Posts

Menghidupi Kepemimpinan dalam “Tubuh Kristus”

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Buat kita yang mungkin pernah melihat atau mengikuti akun satire seperti @gerejapalsu @pastorinstyle atau @jemaat_gerejapalsu, kita akan merasa geregetan dengan pembahasan para mimin tentang para pastor atau pendeta masa kini. Salah satu pembahasan yang heboh ialah petisi yang dibuat oleh Hanzel Samuel, dengan tudingan bahwa persembahan dan perpuluhan di tempat ia beribadah dipakai untuk keperluan sang pendeta. Dalam petisi tersebut, ia menuntut adanya audit keuangan gereja-gereja besar di Indonesia. Hal ini bahkan dibahas dalam berita online.

Di luar kepentingan untuk mengadili apakah sosok pastor atau pendeta yang diangkat oleh akun-akun satire tersebut benar atau salah dalam melaksanakan kepemimpinan gereja, sebenarnya model kepemimpinan seperti apa sih yang sesuai dengan teladan Yesus?

Aku menemukan satu uraian yang menarik dari Pdt. Joas Adi Prasetya* tentang model kepemimpinan yang bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sebagai umat Kristen, juga dalam kehidupan bergereja.

Kita yang saat ini sedang aktif pelayanan di gereja, memimpin kelompok tumbuh bersama, ataupun memimpin organisasi kerohanian di sekolah atau kampus juga perlu memahami hal ini.

* * *

Aku rasa banyak dari kita yang pernah berada dalam suatu kelompok dengan pemimpin yang otoriter, semena-mena, selalu menyalahkan anggota kelompok, dan hanya ingin menang sendiri. Apakah yang kita rasakan? Tentu kita sebal, bahkan mungkin benci terhadap sifat negatif tersebut. Tidak hanya dalam kelompok, kita juga mungkin merasakan kekesalan yang sama ketika berada di organisasi besar seperti gereja. Sifat “tangan besi” dari pemimpin gereja tidaklah disukai. Perlu digarisbawahi bahwa kita mungkin membenci sifatnya, tetapi harus tetap mengasihi orangnya.

Sifat “tangan besi” yang hadir dalam gereja dikenal sebagai model kepemimpinan-tuan (bahasa Yunani: kyriarki). Model ini menggambarkan sifat dari pemimpin yang ingin berada di puncak piramida organisasi gereja, berkuasa atas jemaat maupun aktivis dan pengurus gereja lain. Hal ini pun pernah terjadi ketika Yakobus dan Yohanes meminta posisi khusus di sebelah kanan dan kiri Yesus kelak saat Yesus dipermuliakan (Markus 10:35-41). Tentu sifat ini menggambarkan bahwa Yakobus dan Yohanes ingin berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan murid-murid Yesus lain.

Narasi pun bergulir dengan jawaban Yesus dalam ayat 43, “Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.”

Pernyataan Yesus tersebut menentang model kepemimpinan-tuan dengan sebuah usulan tandingan, yaitu model kepemimpinan-hamba (bahasa Yunani: doularki). Model ini berangkat dengan harapan bahwa pemimpin seharusnya melayani dan mengayomi orang lain, bukan mencari kuasa.

Model kepemimpinan-hamba ini kerap diperdengarkan dalam gereja, dan status “pelayan” Tuhan dan gereja tersebut ditampilkan terus menerus. Namun, pada praktiknya, sang “pelayan” justru minta diperlakukan khusus karena telah melayani. Sikap seperti ini dapat ditemui pada diri segelintir pastor maupun pendeta yang menyatakan dirinya telah melayani Tuhan dan gereja, sehingga mereka pun meminta hak istimewa, seperti barang-barang branded, mobil mewah, rumah megah, dll. Mungkin kita juga pernah seperti itu, mengaku diri kita telah “melayani” dalam gereja ataupun persekutuan, dengan syarat harus ada konsumsi ataupun uang bensin.

Dalam ketegangan antara model kepemimpinan-tuan dan kepemimpinan-hamba di kehidupan bergereja, tentu kita perlu berefleksi kembali pada Yesus. Memang benar bahwa secara organisasi, beberapa gereja dipimpin oleh pastor ataupun pendeta. Namun, sebagai orang Kristen, Yesus merupakan Kepala Jemaat, pemimpin hidup kita. Sebagai pemimpin, Yesus juga menyatakan dirinya sebagai pemimpin yang bersahabat seperti tertulis dalam Yohanes 15:15, “Aku tidak lagi menyebut kamu hamba karena hamba tidak tahu apa yang dilakukan oleh tuannya. Akan tetapi, Aku menyebut kamu sahabat karena semua yang Aku dengar dari Bapa, telah Aku beritahukan kepadamu.”

Model ideal ini menggambarkan kepemimpinan sahabat (bahasa Yunani: filiarki), sebuah kepemimpinan yang setara. Tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi di antara pemimpin dan yang dipimpin. Yesus meneladankan model kepimpinan ini dengan menebus kita dari dosa. Setelah ditebus, status kita bukan sekedar hamba, pengikut, ataupun murid dari Sang Penebus. Lebih dari itu, Yesus mengangkat derajat kita menjadi sahabat-Nya.

* * *

Model kepemimpinan-sahabat bukan sekadar wacana yang dilontarkan Tuhan Yesus secara sembarangan. Sebagai tubuh Kristus, tentu saja kita bisa menerapkannya dalam kehidupan di organisasi apapun. Model kepemimpinan bisa dilakukan oleh kita semua, tanpa harus menjabat sebagai pemimpin organisasi. Justru, model ini menjadi efektif apabila dipahami bersama-sama oleh seluruh anggota komunitas. Ada tiga hal yang perlu dimaknai untuk menghidupi kepemimpinan dalam tubuh Kristus.

1. Kesetaraan

Setiap pribadi berbeda mengemban tugas dan fungsi yang berbeda, tetapi semuanya setara dan sama pentingnya. Anggap saja dalam suatu peribadatan, terdapat berbagai individu dengan perannya masing-masing. Ada pendeta, liturgos/worship leader, pemandu pujian, pemusik, petugas multimedia, pemimpin liturgi, dll. Bayangkan jika dalam menjalankan perannya, seseorang merasa dirinya harus lebih besar dari yang lain: pemusik merasa dentuman musiknya harus nampak keras yang berakibat suara pemandu pujian terdengar lebih sayup, liturgos/worship leader merasa keinginannya harus dituruti untuk mengulang bagian lagu secara mendadak sehingga pujian menjadi kacau, ataupun pendeta yang tiba-tiba mengubah tema sebelum ibadah dimulai dan memaksa lagu yang sudah disiapkan harus diubah. Kacau balau, bukan? Dari ilustrasi tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam setiap kepelbagaian tugas dan fungsi yang diemban, setiap bagian dari organisasi perlu memaknai kesetaraan dengan bijak.

2. Keterbukaan

Setiap komunitas tentunya memiliki identitas yang berbeda-beda. Yang membedakan kita yang telah menerima rangkulan persahabatan Kristus dengan komunitas lain adalah keterbukaan, yang mengundang seluruh ciptaan masuk ke dalam komunitas ilahi tersebut. Hal ini pun ditunjukkan oleh Yesus yang dalam kehidupan pelayanannya. Komunitas murid Yesus tidak terbatas pada 12 orang saja! Dalam kitab Lukas tercatat bahwa Ia memiliki 70 murid, dan kitab Matius menyatakan bahwa Yesus merupakan sahabat dari pemungut cukai dan orang berdosa.

Menjadi komunitas Kristiani yang terbuka merupakan wujud penerapan model kepemimpinan-sahabat Kristus. Kita memiliki peluang besar untuk menerapkan keterbukaan dalam “tubuh Kristus” di tengah-tengah bangsa kita yang beragam. Ketika bertemu orang-orang baru dengan karakter yang berbeda, stigma negatif harus kita buang jauh-jauh. Sebaliknya, kita harus menunjukkan keramahtamahan sebagai sambutan hangat.

3. Menarik dan Memberi Kehidupan

Seperti yang Yesus katakan dalam Yohanes 12:32 “Dan, jika Aku ditinggikan dari dunia ini, Aku akan menarik semua orang kepada-Ku,” Yesus ingin setiap insan mengenal kasih-Nya. Keinginan tersebut bukanlah sekadar omong kosong, Ia mewujudnyatakan keinginan-Nya dengan mengasihi. Tertulis pada Yohanes 15:13, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

Mungkin sebagian komunitas Kristiani bermimpi agar komunitas atau gerejanya memiliki jumlah anggota yang banyak, hingga mencapai ribuan bahkan jutaan jiwa. Namun, Yesus bukan sekadar menginginkan kuantitas anggota dari komunitas, melainkan kualitas pengenalan akan kasih-Nya yang semakin mendalam. Lebih dari sekadar sibuk di dalam komunitas, Yesus ingin kita menerapkan kepemimpinan-sahabat di luar komunitas kita. Ia rindu melihat kita menyatakan kasih persahabatan kepada lingkungan sosial kita, dengan segala ragam konflik yang terjadi.

* * *

Kita semua adalah bagian dari “tubuh Kristus”. Lebih dari sekadar pemegang jabatan dalam komunitas Kristiani, kita adalah sahabat Kristus yang diajak menerapkan model kepemimpinan-sahabat. Kristus sebagai pemimpin hidup kita telah menunjukkan kasih-Nya dan mengangkat kita sebagai sahabatnya, maka sudah seharusnya kita juga menghidupi kasih-Nya—kepada orang-orang yang ada dalam komunitas kita serta kepada seluruh ciptaan.

*Joas Adiprasetya adalah pendeta jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta, yang ditugasi secara khusus menjadi dosen penuh waktu di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta untuk bidang Teologi Konstruktif. Tulisan ini mengulas makalah “Memimpikan Sebuah Gereja Persahabatan” yang disampaikan dalam Pembinaan Penatua GKI Klasis Jakarta Satu, di GKI Kelapa Cengkir, Jakarta, 6 April 2019.

Baca Juga:

Memandang Salib Yesus, Aku Belajar Mengampuni

“Jangan menyimpan kesalahan orang dalam hati,” agaknya kata-kata ini mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan. Pernahkah kamu bergumul akan hal ini juga, sobat muda?

Memimpin dengan Kasih

Kamis, 3 November 2016

Memimpin dengan Kasih

Baca: Filemon 1:8-18

1:8 Karena itu, sekalipun di dalam Kristus aku mempunyai kebebasan penuh untuk memerintahkan kepadamu apa yang harus engkau lakukan,

1:9 tetapi mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintanya dari padamu. Aku, Paulus, yang sudah menjadi tua, lagipula sekarang dipenjarakan karena Kristus Yesus,

1:10 mengajukan permintaan kepadamu mengenai anakku yang kudapat selagi aku dalam penjara, yakni Onesimus

1:11 –dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku.

1:12 Dia kusuruh kembali kepadamu–dia, yaitu buah hatiku–.

1:13 Sebenarnya aku mau menahan dia di sini sebagai gantimu untuk melayani aku selama aku dipenjarakan karena Injil,

1:14 tetapi tanpa persetujuanmu, aku tidak mau berbuat sesuatu, supaya yang baik itu jangan engkau lakukan seolah-olah dengan paksa, melainkan dengan sukarela.

1:15 Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya,

1:16 bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan.

1:17 Kalau engkau menganggap aku temanmu seiman, terimalah dia seperti aku sendiri.

1:18 Dan kalau dia sudah merugikan engkau ataupun berhutang padamu, tanggungkanlah semuanya itu kepadaku–

Mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintanya dari padamu. —Filemon 1:9

Memimpin dengan Kasih

Dalam buku Spiritual Leadership (Kepemimpinan Rohani), J. Oswald Sanders membahas kualitas dan nilai penting dari kearifan dan diplomasi. Sanders mengatakan, “Paduan dari kedua kata itu mengandung makna tentang kecakapan dalam menyatukan sudut-sudut pandang yang bertentangan tanpa melukai masing-masing pihak dan tanpa mengkompromikan prinsip yang dipegang.”

Selama dipenjara di Roma, Paulus menjadi pembina rohani dan teman dekat dari seorang budak pelarian bernama Onesimus, yang pernah bekerja bagi majikan bernama Filemon, seorang pemimpin jemaat di Kolose. Dalam suratnya kepada Filemon, Paulus memintanya untuk menerima Onesimus sebagai saudara seiman dalam Kristus. Di sinilah Paulus memberikan teladan dalam kearifan dan diplomasi. “Karena itu, sekalipun di dalam Kristus aku mempunyai kebebasan penuh untuk memerintahkan kepadamu apa yang harus engkau lakukan, tetapi mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintanya dari padamu. . . . [Onesimus adalah] saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan” (Fil. 1:8-9,16).

Paulus adalah seorang pemimpin yang dihormati di antara jemaat mula-mula, dan ia sering memberikan perintah-perintah yang tegas kepada para pengikut Yesus. Namun dalam kasus ini, ia memohon kepada Filemon dengan dasar kesetaraan, persahabatan, dan kasih. “Tanpa persetujuanmu, aku tidak mau berbuat sesuatu, supaya yang baik itu jangan engkau lakukan seolah-olah dengan paksa, melainkan dengan sukarela” (ay.14).

Dalam hubungan kita dengan siapa saja, kiranya kita selalu berusaha memegang prinsip kita dan memelihara keharmonisan kita dengan didasari kasih. —David McCasland

Bapa di surga, dalam hubungan kami dengan sesama, berilah kami anugerah dan hikmat untuk menjadi pemimpin, orangtua, dan teman yang bijaksana.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang melayani.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 30-31; Filemon

Artikel Terkait:

Ketika Pemimpin Gereja Kita Jatuh, Inilah yang Dapat Kita Lakukan

Di saat pemimpin gereja kita jatuh atau mengecewakan kita, apa yang dapat kita lakukan? Kezia membagikan 3 hal yang dapat kita lakukan, yuk temukan di dalam artikel ini.

Ketika Kita Dikecewakan

Sabtu, 11 April 2015

Ketika Kita Dikecewakan

Baca: 1 Samuel 17:33-50

17:33 Tetapi Saul berkata kepada Daud: "Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit."

17:34 Tetapi Daud berkata kepada Saul: "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya,

17:35 maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya.

17:36 Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak bersunat itu, ia akan sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia telah mencemooh barisan dari pada Allah yang hidup."

17:37 Pula kata Daud: "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." Kata Saul kepada Daud: "Pergilah! TUHAN menyertai engkau."

17:38 Lalu Saul mengenakan baju perangnya kepada Daud, ditaruhnya ketopong tembaga di kepalanya dan dikenakannya baju zirah kepadanya.

17:39 Lalu Daud mengikatkan pedangnya di luar baju perangnya, kemudian ia berikhtiar berjalan, sebab belum pernah dicobanya. Maka berkatalah Daud kepada Saul: "Aku tidak dapat berjalan dengan memakai ini, sebab belum pernah aku mencobanya." Kemudian ia menanggalkannya.

17:40 Lalu Daud mengambil tongkatnya di tangannya, dipilihnya dari dasar sungai lima batu yang licin dan ditaruhnya dalam kantung gembala yang dibawanya, yakni tempat batu-batu, sedang umbannya dipegangnya di tangannya. Demikianlah ia mendekati orang Filistin itu.

17:41 Orang Filistin itu kian dekat menghampiri Daud dan di depannya orang yang membawa perisainya.

17:42 Ketika orang Filistin itu menujukan pandangnya ke arah Daud serta melihat dia, dihinanya Daud itu karena ia masih muda, kemerah-merahan dan elok parasnya.

17:43 Orang Filistin itu berkata kepada Daud: "Anjingkah aku, maka engkau mendatangi aku dengan tongkat?" Lalu demi para allahnya orang Filistin itu mengutuki Daud.

17:44 Pula orang Filistin itu berkata kepada Daud: "Hadapilah aku, maka aku akan memberikan dagingmu kepada burung-burung di udara dan kepada binatang-binatang di padang."

17:45 Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu.

17:46 Hari ini juga TUHAN akan menyerahkan engkau ke dalam tanganku dan aku akan mengalahkan engkau dan memenggal kepalamu dari tubuhmu; hari ini juga aku akan memberikan mayatmu dan mayat tentara orang Filistin kepada burung-burung di udara dan kepada binatang-binatang liar, supaya seluruh bumi tahu, bahwa Israel mempunyai Allah,

17:47 dan supaya segenap jemaah ini tahu, bahwa TUHAN menyelamatkan bukan dengan pedang dan bukan dengan lembing. Sebab di tangan Tuhanlah pertempuran dan Iapun menyerahkan kamu ke dalam tangan kami."

17:48 Ketika orang Filistin itu bergerak maju untuk menemui Daud, maka segeralah Daud berlari ke barisan musuh untuk menemui orang Filistin itu;

17:49 lalu Daud memasukkan tangannya dalam kantungnya, diambilnyalah sebuah batu dari dalamnya, diumbannya, maka kenalah dahi orang Filistin itu, sehingga batu itu terbenam ke dalam dahinya, dan terjerumuslah ia dengan mukanya ke tanah.

17:50 Demikianlah Daud mengalahkan orang Filistin itu dengan umban dan batu; ia mengalahkan orang Filistin itu dan membunuhnya, tanpa pedang di tangan.

TUHAN menyelamatkan bukan dengan pedang dan bukan dengan lembing. Sebab di tangan TUHANlah pertempuran dan Iapun menyerahkan kamu ke dalam tangan kami. —1 Samuel 17:47

Ketika Kita Dikecewakan

Pada 4 Agustus 1991, kapal pesiar MTS Oceanos dihantam badai besar di lepas pantai Afrika Selatan. Ketika kapal mulai tenggelam, kapten kapal dan anak buahnya memutuskan untuk meninggalkan kapal dan tidak memberi tahu penumpang tentang bahaya yang mengancam. Moss Hills, seorang penumpang dan musisi asal Inggris, menyadari adanya bahaya dan mengirimkan isyarat tanda bahaya ke penjaga pantai Afrika Selatan. Lalu, Moss dan Tracy, istrinya, beserta rekan-rekan pemusik yang berada di kapal itu mengambil inisiatif untuk mengevakuasi seluruh penumpang dengan menolong mereka naik ke helikopter.

Ada saatnya orang yang kita andalkan sebagai pemimpin justru mengecewakan kita. Ketika Raja Saul dan perwiranya menghadapi tantangan dan hujatan Goliat, si raksasa dari Filistin, mereka menjadi cemas dan takut (1Sam. 17:11). Namun Daud, seorang musisi sekaligus gembala yang masih muda, mempunyai iman kepada Allah yang membuatnya melihat tantangan itu dari sudut lain. Daud berkata kepada Goliat, “Engkau mendatangi aku dengan pedang . . . . tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam” (ay.45). Daud pun mengalahkan musuhnya dan membalikkan keadaan (ay.50). Ia tidak mengandalkan para pemimpin duniawi, tetapi hanya mengandalkan Allah yang hidup.

Ketika orang lain telah mengecewakan kita, Allah mungkin sedang memanggil kita untuk memimpin sesama dengan kuasa-Nya dan demi kemuliaan nama-Nya. —Dennis Fisher

Ya Tuhan, aku tidak berdaya menolong orang lain dalam kesulitan mereka. Namun Engkau Mahakuasa. Beriku keberanian untuk menolong orang lain sembari aku mengandalkan kekuatan-Mu yang tak mungkin gagal.

Kita hanya dapat memimpin orang lain ke arah yang benar apabila kita mengikut Kristus.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 17-18; Lukas 11:1-28

Kuasa Kasih

Rabu, 26 Februari 2014

Kuasa Kasih

Baca: 1 Yohanes 4:7-10

4:7 Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah.

4:8 Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.

4:9 Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya.

4:10 Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.

Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. —1 Yohanes 4:10

Kuasa Kasih

Buku-buku tentang topik kepemimpinan sering masuk dalam daftar buku terlaris. Kebanyakan dari buku-buku itu mengajarkan bagaimana menjadi seorang pemimpin yang tangguh dan berhasil. Namun buku berjudul In the Name of Jesus: Reflections on Christian Leadership (Dalam Nama Yesus: Refleksi Tentang Kepemimpinan Kristen) dituliskan oleh Henri Nouwen dari suatu sudut pandang yang berbeda. Mantan pengajar universitas yang pernah bertahun-tahun melayani sebuah komunitas bagi orang dewasa dengan keterlambatan pertumbuhan mental ini menulis: “Pertanyaannya bukanlah: Berapa banyak orang yang memperhatikan Anda? Berapa banyak yang akan Anda capai? Adakah hasil yang Anda raih? Melainkan ini: Apakah Anda mengasihi Yesus? . . . Dalam dunia yang penuh dengan orang yang kesepian dan putus asa ini, alangkah dibutuhkannya para pria dan wanita yang mengenal isi hati Allah, suatu hati yang mengampuni, yang peduli, yang rela menjangkau, dan rindu membawa kesembuhan.”

Yohanes menulis, “Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1Yoh. 4:9-10).

“Pemimpin Kristen masa depan,” tulis Nouwen, “adalah seseorang yang benar-benar mengenal isi hati Allah sebagaimana telah diwujudnyatakan . . . dalam Yesus.” Di dalam Dia, kita menemukan dan mengalami kasih Allah yang tak bersyarat dan tak terbatas. —DCM

Bapa, kami mohon tunjukkanlah keajaiban kasih-Mu kepada
orang lain hari ini melalui diriku agar mereka menyadari
bahwa mereka tidak perlu menjalani kehidupan ini seorang diri.
Kiranya hatiku sendiri mengalami dan menunjukkan perhatian-Mu.

Kasih Allah dalam hati kita mendorong kita untuk memiliki hati yang peduli kepada orang lain.

Ciri Kepemimpinan

Minggu, 27 Januari 2013

Ciri Kepemimpinan

Baca: Markus 10:35-45

Dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. —Markus 10:44

Ketika mengunjungi kampus Universitas Purdue di suatu hari yang sangat dingin di musim dingin, saya berpapasan dengan dua pemuda yang sedang membersihkan salju tebal di tepi jalan dekat asrama. Mengira bahwa mereka pastilah mahasiswa baru yang sedang diberi tugas berat oleh para senior asrama tersebut, saya berkata, “Waktu kalian bergabung, mereka pasti tidak bilang jika kalian harus melakukan ini, kan?” Salah seorang dari mereka memandang saya sambil tersenyum dan berkata, “Kami berdua adalah mahasiswa senior. Saya wakil presiden asrama dan teman saya ini presidennya.” Saya berterima kasih kepada mereka atas kerja keras mereka dan meneruskan perjalanan. Saya pun diingatkan kembali bahwa melayani orang lain merupakan ciri seorang pemimpin sejati.

Pada saat dua murid Yesus meminta kedudukan terhormat dalam kerajaan-Nya yang akan datang, Tuhan mengumpulkan kedua belas murid-Nya dan berkata, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (Mrk. 10:43-44). Untuk menegaskan maksud-Nya, Yesus mengingatkan mereka bahwa Dia telah datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani manusia dan memberikan nyawa-Nya untuk membebaskan mereka dari cengkeraman dosa (ay.45).

Ciri dari kepemimpinan yang sejati dan saleh tidak terletak pada kekuatan dan hak istimewa, melainkan pada pelayanan yang dilakukan dengan rendah hati. Allah memberi kita kekuatan untuk mengikuti teladan Yesus dan untuk memimpin di jalan-Nya. —DCM

Jalan kepemimpinan itu ditempuh oleh mereka
Yang dengan rela hati berjalan bersama Allah,
Semangat mereka yang penuh kasih terpancar
Membuat Anda ingin mengikuti jalan mereka. —D. De Haan

Seorang pantas memimpin apabila ia telah belajar untuk melayani.