Posts

Belajar Berserah pada Tuhan lewat Perubahan yang Terjadi di Luar Kendali

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Rifa menghitung jumlah partisipan yang sudah dikontaknya.

“Yes, ada 5!” Artinya dia sudah berhasil mencapai target harian dalam mencari partisipan penelitian untuk riset yang sedang dikerjakan kantornya.

Dialihkan lagi pandangannya pada list partisipan yang belum di kontaknya.

“1, 2, 5, 7, ini kontak besok aja, ini besoknya lagi. Aman berarti.”

Ia kemudian meneguk teh yang ada di depannya, sambil memperhatikan mobil berseliweran dari kaca yang membatasi.

Nanti profiling dari komunitas di media sosial ah, bisa banyak nih partisipan sampai riset selanjutnya,” pikir Rifa saat itu. Ia mulai mencoret-coret bukunya, dengan berbagai perhitungan yang hanya ia sendiri yang mengerti.

Namun, baru saja ia ingin terhanyut dalam rasa tenang bahwa partisipan penelitiannya sudah aman, ia dibangunkan oleh notifikasi yang kurang menyenangkan.

“Kak, maaf, jadwal saya boleh dipindah minggu depan gak ya? Saya lupa ada kuliah sore di jam 4.”

Seolah belum cukup, notifikasi lain muncul di layar ponselnya.

“Hi Rifa, sebenarnya aku ada rencana untuk keluar kota besok, jadi mau prepare dari sore ini. Kalau aku ikutnya di hari Jumat boleh?”

Rifa mendadak pusing. 5 partisipan hari ini berkurang drastis menjadi 3. Ia harus mencoba menghubungi daftar partisipan cadangan.

Kring!

Sorry mendadak Mba Rifa, hari ini kan jam 4 ya, tapi saya masih di jalan. Ban saya bocor dan ini masih di bengkel. Kemungkinan saya telat mba, mungkin baru nyampe jam 5 kurang 15 menit. Bisa gak Mba?”

Astaga! Apa-apaan nih, kok mereka seperti janjian? Walau partisipan terakhir tidak memindahkan hari, Rifa tetap saja pening dan perlu melakukan penyesuaian.

Ya Tuhan, tadi baru aja ngerasa aman, kok sekarang tiba-tiba hilang 3?

Cerita di atas adalah modifikasi dari apa yang sedang kurasakan akhir-akhir ini dalam pekerjaan. Perasaan yang cepat sekali berubah. Baru saja aku merasa senang karena mencapai target, tapi perasaan itu harus digantikan oleh rasa gelisah karena perubahan yang datang mendadak. Harusnya A jadi C, harusnya B jadi X. Lebih menyebalkannya, perubahan itu bahkan kadang terjadi dalam kurun waktu kurang dari 1 jam, sehingga aku harus cepat mempersiapkan alternatif lain.

Namun, perubahan yang terjadi cukup berulang ini dalam beberapa minggu memaksaku untuk belajar satu hal: perubahan adalah hal yang nyata, pergerakan adalah hal yang pasti.

Manusia selalu mengusahakan kestabilan dan tidak ada hal yang salah dengan itu, namun aku belajar, perubahan—yang di luar kontrol kita—bisa terjadi kapan saja, suka atau tidak suka.

Aku juga belajar untuk tidak berpuas diri pada usaha menstabilkan target, pekerjaan, atau apapun itu. Bergantung pada rasa nyaman atas usaha kita adalah hal yang sia-sia, karena kita tahu bahwa keberhasilan usaha kita pun adalah dengan seizin Tuhan.

Perasaan bangga yang melingkupiku karena merasa usahaku keren, dengan cepat berganti menjadi keluhan karena perubahan itu. Aku kembali tersadar bahwa keberhasilan mencapai target harusnya disambut dengan rendah hati karena Tuhan telah menyanggupkan kita, terlepas bahwa kita bekerja keras. Bukan berarti bangga tidak diperbolehkan, namun alangkah baiknya jika rasa bangga tersebut dilanjutkan dengan ucapan syukur.

Cerita itu bukan satu-satunya yang menjadi bahan refleksi bahwa Tuhan memegang kendali akan hidupku. Ada juga beberapa cerita lain.

Tahun lalu menjelang Desember, aku mengira bahwa 2022 akan semakin normal dengan pembatasan sana-sini yang lebih minimal, namun tiba-tiba varian baru Omicron muncul dan membuat kepusingan baru. Pembatasan sana sini tetap dilanjutkan. Munculnya varian baru ini seolah-olah menentang harapan kumpul-kumpulnya manusia pasca pandemi. Mungkin ada pelajaran lain yang tetap harus kita cari.

Di cerita lain lagi, seorang jemaat di gerejaku tiba-tiba meninggal beberapa jam sebelum ia berangkat ke luar kota. Aku tidak mengetahui jelas kronologinya, namun ia ditemukan tidak sadarkan diri di kamarnya tanpa bukti yang jelas sebelum meninggal. Padahal berdasarkan keterangan, ia tidak memiliki riwayat penyakit jantung atau penyakit lain yang berpotensi mengalami serangan mendadak. Hampir semua jemaat kaget mendengar berita kepergian seorang jemaat ini. Ia adalah seorang pelayan Tuhan di gereja, memiliki keteladanan yang baik lewat keluarganya yang harmonis dan sifat suka membantu jemaat yang sedang dalam kesulitan.

Peristiwa ini masih membuatku suka menggumam “Kok bisa ya?” ketika aku sedang merenung. Aku tidak bisa menemukan jawabannya melainkan meyakini bahwa perubahan itu dekat dengan kita, dan mengajarkanku lagi bahwa kejadian-kejadian ini telah diatur oleh Tuhan dan kehidupan ini dikendalikan Tuhan. Jika sehelai rambut jatuh saja terjadi dengan seizin Tuhan, apalagi perkara besar tentang keinginan dan anganmu? Tentu Tuhan akan memperhatikannya satu per satu.

Hampir melewati 2 bulan di 2022, aku hanya ingin mengatakan bahwa apapun bisa terjadi jika Tuhan menginginkan dan semoga kita bisa sebaik-baiknya mengerti bahwa kita bisa mengusahakan yang terbaik dan berdoa agar Tuhan pun berkenan atas usaha kita.

Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana (Amsal 19:21).