Posts

Kepada Sang Penulis Hidup

Oleh: Ruth Lidya Panggabean

Kepada-Sang-Pemilik-Kehidupan

Ampunilah ia, pena kepunyaan-Mu itu,
karena seringkali mencuri kemuliaan dari Pemilik aslinya.
Engkaulah yang selama ini menuliskan semua cerita,
sesungguhnya pena itu tidak layak mendapatkan pujian apa-apa.

Biarlah hanya Pribadi-Mu yang dikenal oleh pembaca,
lewat tulisan-tulisan indah di kitab yang terbuka.
Cerita itu bukan tentang si pena, jelas ia bukan tokoh utama.
Cerita itu adalah tentang Engkau saja.

Ampunilah ia, pena kesayangan-Mu itu,
kadangkala sok tahu menulis cerita dengan versinya sendiri.
Dengan kehendak bebasnya, ia berkisah sesuka hati
Cerita-Mu yang Mahaindah jadi sukar terbaca dan kerap disalahpahami.

Oh, janganlah karena dia, nama-Mu tercoreng di mata para pembaca.
Tidak, pena itulah yang bebal dan harus belajar berserah kepada Sang Empunya.
Koreksilah ceritanya supaya kembali pada kerangka-Mu yang sempurna,
Selaraskan geraknya dengan maksud-Mu dalam menulis cerita demi cerita.

Berikanlah pena itu ketaatan, supaya menulis untuk kemuliaan-Mu saja.
Berikanlah pena itu kesanggupan, untuk berucap “He must be greater, I must be less.”
Predestinasi-Mu akan selalu tetap, ya Maha Penulis Hidup.
Kau masih berdaulat di atas setiap kegagalannya menunaikan tugas.

Engkaulah yang berhak mengakhiri proses penulisannya.
Engkaulah yang nanti menyingkapkan alasan dari setiap peristiwa.
Dan sesuai janji-Mu, di ujung lembaran yang belum bisa ia raba itu,
ada rancangan kebaikan di balik segala sesuatu.

Klimaksnya nanti tak akan pernah tentang si pena.
Klimaksnya pasti adalah tentang Engkau saja.

Si pena hanya perlu mempercayakan segenap kisahnya kepada Sang Pencerita.

 
I was but a pen in God’s hand, and what praise is due to a pen?” -Richard Baxter (1615-1691)