Posts

1 Perjalanan yang Menginspirasiku untuk Berkarya bagi Indonesia

Satu-Perjalanan-yang-Menginspirasiku-untuk-Berkarya-bagi-Indonesia

Oleh Claudya Tio Elleossa, Surabaya
Foto oleh Aryanto Wijaya

Suatu ketika, tatkala aku sedang menjelajah media sosialku, ada seorang teman yang mengungkapkan kekecewaannya dengan mengumbar kritik-kritik tak sedap. Nama “Indonesia” pun dia pelesetkan dengan ejaan yang salah. Ketika kutanya mengapa, dia berkata bahwa kritikan pedas itu adalah satu-satunya cara berkontribusi bagi negeri ini. Jawaban itu kemudian membuatku terdiam tak habis pikir. Jika memang kita “hanya bisa bersuara”, mengapa tidak kita berikan saran dan bukan kecaman?

Momen ini mengingatkanku kembali akan pergumulanku dulu ketika memulai karier sebagai seorang guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Sebagai seorang guru, aku ingin mengemas pelajaran PKN supaya murid-muridku nantinya tidak sekadar menghafal, tetapi juga belajar untuk memiliki hati yang mau mencintai tanah airnya. Oleh karena itu, sebelum aku benar-benar mengajar mereka, aku memutuskan untuk terlebih dahulu belajar mengenal negeriku Indonesia lebih dekat.

Bak gayung bersambut, tepat di bulan Juni 2015, aku diterima menjadi seorang relawan dalam sebuah program pelayaran. Tugasku waktu itu adalah mengajar di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Program ini diprakarsai oleh pemerintah Indonesia untuk menumbuhkan semangat dan rasa cinta tanah air bagi tiap pesertanya. Bersama 9 orang relawan lainnya, aku ditempatkan di sebuah pulau kecil bernama Keramian yang membutuhkan waktu tempuh selama 22 jam berlayar dari daratan Jawa.

Tidak ada dermaga di pulau itu. Jadi, kapal besar yang kami tumpangi harus membuang sauh di tengah-tengah lautan, kemudian kapal-kapal kecil milik nelayan setempat menjemput kami. Satu per satu logistik dan relawan berhasil dipindahkan dari kapal besar ke perahu nelayan. “Ini baru namanya perjuangan orang pulau terluar!” gumamku dalam hati.

Dokumentasi oleh Claudya Elleossa

Dokumentasi oleh Claudya Elleossa

Selama mengajar di sana, segala kenyamanan yang biasa aku temui di Jawa harus kutinggalkan. Jika di Jawa listrik bisa menyala kapanpun, di sini listrik hanya berfungsi selama 4 jam saja dalam sehari. Tak ada bahan pangan yang melimpah, dan juga kondisi sekolah-sekolah memprihatinkan. Apa yang kulihat di depan mataku adalah sebuah ironi. Di negeri yang kutinggali ini, ada terlalu banyak kondisi yang tidak ideal. Lalu, siapa yang dapat membenahinya? Aku rasa orang hebat atau pejabat pun tidak akan bisa membenahi permasalahan ini. Saat itu aku melamun, merasa amat kecewa dan tidak tahu apa yang harus kuperbuat.

Di tengah lamunanku, ada sekelompok anak mendekatiku dan mengajakku berbincang-bincang. Dengan antusias, mereka bertanya tentang banyak hal: Apa itu kuliah? Bagaimana kondisi sekolah di pulau Jawa? Setelah aku menjawab mereka dengan bercerita, sekarang giliran mereka yang bercerita. Kata mereka, setiap kali menjelang Ujian Nasional, mereka akan menabung hingga beberapa bulan sebelumnya untuk menyewa kapal penjemput soal-soal agar mereka dapat mengikuti Ujian Nasional. “Yang penting kami bisa lanjut sekolah kak, kalau harus sewa kapal, ya udah sewa aja,” kata mereka dengan polosnya. Cerita mereka membuatku terdiam. Di tengah keterbatasan akan akses pendidikan, alih-alih berdiam diri, mereka rela menabung dan menyewa kapal demi bisa mengikuti Ujian Nasional.

Dokumentasi oleh Claudya Elleossa

Dokumentasi oleh Claudya Elleossa

Potongan percakapanku dengan anak-anak di Pulau Keramian ini membuatku akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaanku selama ini: Bagaimana cara mencintai negeri ini? Jawabannya adalah dengan berani bertindak. Sebenarnya, dengan keterbatasan akses pendidikan, mereka bisa saja tidak mengikuti Ujian Nasional. Mereka bisa saja menyalahkan pihak lain atas keterbatasan akses yang mereka miliki. Tapi, alih-alih melakukan itu semua, mereka lebih memilih untuk bertindak. Alih-alih mengutuki kegelapan, mereka memilih untuk menyalakan sebuah lilin untuk mengusir kegelapan itu.

Dokumentasi oleh Claudya Elleossa

Dokumentasi oleh Claudya Elleossa

Di banyak seminar-seminar motivasi tentang kesuksesan, mungkin kita tidak asing dengan saran dan dorongan untuk bertindak. Tapi, siapa sangka bahwa motivasi untuk mau bertindak ini juga berlaku untuk mengungkapkan bahasa cinta kita kepada tanah air?

Pengkhotbah 11:4 berkata, “Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai.” Sikap yang kita butuhkan saat ini adalah kemauan untuk bertindak. Daripada melontarkan kritik-kritik pedas penuh kutuk tanpa aksi, lebih baik kita mulai melakukan satu tindakan nyata.

Sumbangsih yang bisa kita lakukan bisa kita mulai dari talenta yang Tuhan telah berikan kepada kita dan juga dimulai dari tempat di mana kita berada saat ini. Aku yakin bahwa Tuhan tidak pernah meminta apa yang tidak Dia berikan pada kita. Dengan talenta yang Dia sudah percayakan, Dia ingin kita mengusahakan kesejahteraan negeri tempat kita tinggal sekarang (Yeremia 29:7). Jika talenta kita adalah menulis, Tuhan tidak akan meminta kita untuk merancang sebuah pesawat terbang. Jika talenta kita adalah di bidang Arsitektur, Tuhan tidak akan menuntut kita untuk merancang pakaian layaknya desainer terkenal. Lakukanlah apa yang memang kita bisa.

Perjalanan yang kulakukan selama beberapa waktu di Pulau Keramian itu menginspirasiku untuk mulai melakukan tindakan-tindakan kecil tetapi nyata sebagai wujud kontribusiku untuk Indonesia.

1. Aku jadi lebih giat mendidik generasi muda melalui profesiku sebagai guru

Pengalaman mengajar anak-anak di sana membuatku jadi lebih lagi menghayati profesiku sebagai seorang guru. Jika dahulu aku mengaggap guru sebagai pekerjaan yang biasa saja, sekarang aku menyadari bahwa pekerjaan ini adalah ladang yang memang Tuhan percayakan kepadaku—ladang untukku menunjukkan cinta dan mengusahakan kesejahteraan bangsaku dengan mengajari anak didikku. Sebagai seorang guru, aku tahu betul bahwa aku sedang berinvestasi pada generasi muda penerus bangsa. Kepada merekalah masa depan bangsa ini dipercayakan.

2. Aku giat menulis

Selain mengajar, salah satu talenta yang Tuhan berikan kepadaku adalah menulis. Melalui menulis, aku belajar untuk mengungkapkan opini serta saranku atas suatu fenomena yang terjadi lewat tulisan-tulisan. Dengan menulis, aku juga belajar melatih diriku untuk berpikir kritis serta menggugah semangatku untuk mencintai Indonesia.

3. Aku bergabung dengan komunitas dan menjadi relawan

Belakangan ini, aku juga bergabung dengan komunitas pembuat video yang bergerak menyebarluaskan pesan positif melalui karya audio visual. Caraku lainnya untuk bersumbangsih bagi Indonesia adalah melalui keikutsertaan sebagai relawan. Beberapa waktu lalu, aku mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi non-pemerintah (NGO) dari Singapura. Organisasi itu menugaskanku untuk menyebarluaskan kesadaran atau awareness terhadap pemberdayaan wanita di daerah pelosok Indonesia, serta mengedukasi mereka untuk beralih menggunakan lampu hemat energi daripada lampu pijar minyak.

4. Aku membuat proyek sosial

Dalam lingkup yang lebih kecil, aku membuat konsep proyek sosial yang kuberi judul “As Their Wish”. Melalui proyek ini, aku berusaha memberikan barang-barang yang memang dibutuhkan oleh para lansia di sana. Proyek kecil yang kulakukan di sini adalah salah satu upayaku untuk berlatih peka terhadap lingkungan sosial di sekitarku. Tuhan sudah menempatkanku di Indonesia. Oleh karena itu, sudah selayaknya aku mencintai negeri ini lewat hal-hal kecil yang bisa kulakukan sesuai dengan kapasitasku saat ini.

Mungkin tindakan-tindakan yang kita lakukan terlihat remeh, tetapi aku selalu yakin bahwa tugas kita adalah untuk melakukan sesuatu. Selama itu positif dan sesuai dengan kehendak Tuhan, kita dapat percaya bahwa ada daya guna di baliknya. Walaupun signifikansinya kecil, walaupun lingkupnya hanya lokal, tetapi—sekali lagi, itu lebih baik dari sikap berpangku tangan.

Mungkin saat ini kita memiliki banyak harapan terhadap bangsa kita. Di saat yang sama, kita tidak menutup mata bahwa masih banyak hal yang perlu dibenahi dari Indonesia. Mungkin kita bisa saja merasa kesal dan kecewa. Tetapi, seperti pesan dari kitab Pengkhotbah: Marilah kita berhenti sekadar memperhatikan dan mulailah bertindak. Mulailah satu langkah kecil sesuai dengan apa yang Tuhan sudah percayakan pada kita. Jangan sampai kita piawai berekspektasi tetapi lumpuh dalam mengeksekusi.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengizinkan Hal-hal yang Kurang Baik Terjadi

Aku mengernyit ketika seorang temanku berkata bahwa dia tidak pernah mengalami momen menyedihkan di hidupnya. Dalam hati, aku jadi bertanya, “Luar biasa sekali jika hidupnya selalu bahagia. Tapi, masa sih? Atau, mungkin memang ada orang yang hidupnya seperti itu ya, Tuhan?”

Mengapa Harus Patuh?

Oleh: Abyasat Tandirura

dilarang-korup

Tersebutlah empat orang pemuda yang harus bekerja di bawah sebuah pemerintahan yang bukan saja tidak takut akan Tuhan, tetapi juga telah menjajah (dan akhirnya menghancurkan) negeri mereka. Sangat wajar seandainya mereka mengeluh dan benci pada pemerintah. Sangat bisa dimengerti seandainya mereka menjadi pahit hati dan menyalahkan Tuhan karena mengizinkan orang-orang yang telah menangkapi (atau mungkin juga membunuh) kerabat dan sahabat mereka itu berkuasa. Orang pun akan maklum seandainya mereka diam-diam berniat korupsi atau membangun kekuatan untuk melawan pemerintah. Namun, menariknya, mereka ternyata malah bersedia mengabdikan keahlian-keahlian mereka di dalam pemerintahan. Perilaku dan prestasi mereka tampaknya sangat baik sehingga mereka kemudian dipercaya dengan jabatan-jabatan penting.

Kalau kamu rajin baca Alkitab, kamu mungkin langsung tahu siapa yang aku maksudkan. Yep, Daniel, Hananya, Misael, dan Azarya (tiga teman Daniel ini dikenal juga sebagai Sadrakh, Mesakh, dan Abednego). Alkitab mencatat bagaimana di tengah situasi sulit yang dialami, mereka tetap percaya penuh kepada Tuhan dan mengandalkan-Nya sebagai sumber segala hikmat (Daniel 2:18-23). Mereka tahu bahwa situasi mereka adalah konsekuensi yang harus ditanggung karena bangsa mereka telah berdosa kepada Tuhan (Daniel 9:11). Meski pemimpin mereka kini jauh dari sosok pemimpin yang ideal, mereka menghormati dan mematuhinya, bahkan menunjukkan integritas tinggi dalam pekerjaan yang ia berikan kepada mereka. Pemerintah yang tidak ideal bukan alasan bagi mereka untuk hidup sembarangan. Musuh-musuh Daniel bahkan tidak bisa menemukan kesalahan untuk menjatuhkannya (Daniel 6:5-6).

Friends, seperti mereka, kita juga enggak bisa menjamin bahwa pemerintah adalah orang-orang yang sesuai dengan harapan kita. Namun, Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa yang memegang kendali adalah Tuhan; tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Tuhan (Roma 13:1b). Kalau tidak diizinkan Tuhan, ya tidak ada orang yang bisa memegang kekuasaan. Konsekuensinya, kita yang mengaku percaya pada Tuhan, seharusnya menghargai dan menghormati mereka yang telah ditetapkan Tuhan sebagai para pemimpin. Kita mematuhi aturan-aturan yang mereka buat, karena kita mengamini bahwa pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikan kita, untuk menertibkan mereka yang berbuat jahat (Roma 13:4). Pemerintah mendapatkan kepercayaan dan tanggung jawab dari Tuhan untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa yang mereka pimpin. Kita mematuhi pemerintah, bukan karena takut dihukum, tetapi karena kita menghormati dan mau taat kepada Tuhan sendiri.

T’rus, gimana dong kalo pemerintahnya bikin peraturan yang gak bener? Atau, malah menyalahgunakan kedudukan mereka, korupsi, menunjukkan hidup yang gak bermoral. Apa kita masih harus mematuhi mereka?

Well, kalo memang pemerintahan membuat aturan yang bertentangan dengan Firman Tuhan, tentu saja kita harus berani menyuarakan kebenaran. Pengalaman Daniel dan teman-temannya bisa menginspirasi kita. Meski merupakan kaum minoritas, mereka berani menyatakan ketidaksetujuan mereka dengan aturan pemerintah yang merendahkan Tuhan (baca Daniel pasal 3 dan 6). Tidak dengan membuat kerusuhan atau menjelek-jelekkan pemimpin, tetapi dengan menyampaikan pendirian mereka secara santun, jelas dan tegas. Mereka berani mengambil risiko kehilangan jabatan bahkan nyawa mereka, karena ketaatan mereka pada pemerintah bukan sekadar upaya pencitraan, tetapi bersumber dari ketaatan pada Tuhan sendiri. Ketaatan mereka membawa pucuk pemerintahan mengakui keberadaan dan kebesaran Tuhan, dan bahkan memerintahkan segenap rakyat untuk menghormati Tuhan yang mereka sembah (Daniel 3:18-29; 6:26-28).

Bisa saja kita patuh pada pemerintah karena punya kepentingan, bukan karena menghormati Tuhan. Kita tidak ingin dipersulit, kita ingin dipandang baik, kita ingin segala urusan kita menjadi mudah. Naahh, kalo tujuannya hanya itu, bisa jadi kita hanya patuh kalau ada petugas yang mengawasi. Di belakang mereka, kita melanggar dan mencela. Kita tidak sungguh-sungguh ingin mendukung pemerintah sebagai hamba-hamba Allah untuk menegakkan kebenaran. Kita juga akan cenderung mendukung dan mematuhi kebijakan pemerintah yang menguntungkan kita saja, tidak peduli dampaknya bagi rakyat banyak. Kita akan malas menyuarakan kebenaran saat pemerintah mulai menyimpang, selama hidup kita lancar-lancar saja dan tidak dirugikan.

Friends, sebagai generasi muda Kristen, mari kita menunjukkan betapa Tuhan yang kita sembah sungguh patut dihormati dan ditaati, melalui kasih dan kepatuhan kita kepada pemerintah yang telah ditetapkan-Nya. Lebih dari sekadar warga negara Indonesia, kita juga adalah warga kerajaan-Nya. Mari kita melakukan kewajiban-kewajiban kita sebagai warga negara yang baik, agar pemerintah leluasa melakukan pembangunan dan mensejahterakan negeri ini. Bukan hanya dengan retorika, tetapi dengan tindakan yang konkret. Misalnya saja yang sederhana: tertib berlalu lintas, buang sampah pada tempatnya, juga membayar pajak. Tuhan Yesus mengajar murid-murid-Nya, “Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Markus 12:17).

Mari kita mendukung pemerintah kita sebagai hamba-hamba Allah untuk menegakkan kebenaran, melalui peran aktif kita; berkata YA pada apa yang benar dan TIDAK pada apa yang salah. Mari menyuarakan kebenaran dengan cara-cara yang membawa damai dan pencerahan pikiran, tidak dengan cara-cara yang negatif dan merusak. Mari proaktif menjadi teladan di tengah lingkungan tempat kita tinggal, studi, atau bekerja. Mari kita memberi diri dipimpin, mengerjakan bagian kita sebaik-baiknya, hidup dengan penuh integritas. Doa kita bersama, melalui pemerintah yang ada, bangsa ini dapat mengalami kebaikan Tuhan dan hidup dalam kebenaran-Nya.

Selamat mematuhi pemerintah! =)

Doa Bagi Indonesiaku

Lagu gubahan Sidney Mohede yang berjudul Doa Kami ini pernah aku nyanyikan dalam berbagai persekutuan doa bersama komunitas yang berbeda-beda. Aku sangat menyukai lagu ini, bahkan selalu terharu saat menyanyikannya.

Syukur untuk setiap rencana-Mu, dan rancangan-Mu yang mulia
Dalam satu tubuh kami bersatu, menjadi duta kerajaan-Mu

Kuucapkan berkat atas Indonesia, biar kemuliaan Tuhan akan nyata

Bagi bangsa ini kami berdiri dan membawa doa kami kepada-Mu
Sesuatu yang besar pasti terjadi dan mengubahkan negeri kami
Hanya nama-Mu Tuhan ditinggikan atas seluruh bumi

Kami rindu melihat Indonesia pulih dari semua problema
Hidup dalam jalan kebenaran-Mu, pancarkan terang kemuliaan-Mu

Kami tahu hati-Mu ada di bangsa ini

Hanya nama-Mu Tuhan ditinggikan, atas seluruh bumi

 

Lagu ini adalah sebuah doa. Ungkapan kerinduan anak-anak Tuhan bagi Indonesia. Ungkapan keprihatinan mengingat kejahatan yang merajalela di tengah bangsa dan bahkan di tengah dunia ini, sungguh jauh dari rancangan Sang Pencipta. Ada banyak perpecahan, pertengkaran, konflik antar agama dan aliran, kecemburuan sosial, korupsi, masalah kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Banyak orang sampai-sampai mengaku tak lagi peduli apa yang akan terjadi di negeri ini. Mereka kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Siapa pun yang akan menjadi presiden, wakil presiden, atau para menteri, menurut mereka, semua sama saja. Tidak membuat negeri ini lebih baik. Yang penting masih bisa bekerja untuk bertahan hidup. Yang penting kondisiku baik-baik saja. Namun, bukankah pemerintah ada karena izin Tuhan (Roma 13:1)? Dan dalam kondisi pemerintahan yang tidak ideal pun, anak-anak Tuhan tetap dipanggil untuk menunjukkan sikap hormat terhadap para penguasa, sekaligus berbuat baik dan menjadi teladan bagi banyak orang (1 Petrus 2:16-17). Kita bahkan dipanggil untuk mendoakan pemerintah kita, agar mereka juga dapat mengenal kebenaran dan hidup di dalamnya (1 Timotius 2:1-4).

Lagu ini mengingatkanku, betapa doa sungguh diperlukan dalam usaha membangun bangsa ini. Kekuatan manusia belaka tidak bisa mengubah keadaan Indonesia. Aku yakin bahwa doa tidak pernah sia-sia. Ketika orang percaya berdoa, Bapa di surga mendengarkan. Tuhan memahami perasaan hati kita, pikiran kita, dan kesungguhan niat kita dalam berdoa. Dia juga akan memberi hikmat dan memampukan kita menjadi garam dan terang di mana pun kita ditempatkan-Nya.

Seiring doa-doa kita kepada Tuhan, mari kita juga “dalam satu tubuh … bersatu, menjadi duta kerajaan-Nya”. Memberikan yang terbaik dalam bidang kita masing-masing. Mengusahakan kesejahteraan bangsa ini dengan keahlian-keahlian yang Tuhan berikan. Menolong sesama yang membutuhkan. Memberi sumbangsih pemikiran dan karya untuk mendukung pemerintah. Menggunakan hak-hak kita sebagai warganegara untuk kemajuan bersama. Menyuarakan kebenaran melalui saran dan kritik yang bertanggung jawab. Memberi teladan dalam perkataan maupun perbuatan kita. Menghormati dan mengasihi satu sama lain, baik dengan saudara seiman maupun mereka yang berbeda keyakinan. Bukan kebetulan kita lahir dan besar di Indonesia. Aku yakin Tuhan menempatkan kita di negeri ini, dan bukan di negeri lain, karena Dia ingin menggenapkan rencana-Nya di Indonesia di dalam dan melalui hidup kita.

Menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-69, yuk kita pikirkan cara-cara kreatif untuk memberkati negeri ini. Orang-orang yang merdeka dapat dengan bebas berkreasi dalam kebenaran. Tidak didikte oleh tren dunia yang banyak mengekspos kejahatan sebagai hiburan dan kenikmatan. Orang-orang yang merdeka dapat dengan bebas berbuat baik dan mengasihi sesama. Tidak dipengaruhi hasutan orang yang mengumbar kebencian dan penghakiman. Orang-orang yang merdeka dapat dengan tanpa beban melakukan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Kita menyadari bahwa Tuhan sendirilah yang menetapkan keberadaan negara ini dan pemerintahannya, Tuhan jugalah yang menempatkan kita di dalamnya. Setiap hal yang kita lakukan bagi kebaikan negara ini adalah wujud penghormatan dan kasih kita kepada Tuhan. Seperti lagu di atas, kita rindu melihat pemerintah dan segenap rakyat negeri ini hidup dalam jalan kebenaran, kita rindu melihat Indonesia memancarkan terang kemuliaan Tuhan. Mari terus berdoa dan berjuang untuk itu. Never give up! Dirgahayu Indonesiaku!

 

Hiduplah sebagai orang merdeka
dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu
untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.
Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!
1 Petrus 2:16-17

Merdeka!

Oleh Stephanie Tanata

Setiap mendengar kata Merdeka, yang terbayang pertama kali dalam benak saya adalah hari kemerdekaan Indonesia yang tiap tahun dirayakan. Cerita tentang perjuangan mencapai kemerdekaan, mulai dari penculikan di Rengasdengklok sampai pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno-Hatta, sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Perayaan hari kemerdekaan ini biasanya identik dengan upacara, banyak lomba, dan pawai. Tujuan dari semua itu adalah untuk menghormati jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang sampai titik darah penghabisan demi memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan. Kata merdeka biasa diucapkan dengan lantang dan penuh semangat yang berkobar-kobar. Ketika guru saya memekikkan kata merdeka dalam suatu upacara 17 Agustus, daya kata itu serasa menjalar sampai ke tulang-tulang dan membuat semangat saya ikut meluap-luap juga. Merdeka berarti saya, Anda, dan bangsa ini terlepas dari segala ikatan penjajahan dan dapat berjalan mandiri.

Sayangnya, seiring berjalannya waktu, sepertinya makna kemerdekaan bangsa kita juga telah perlahan-lahan terkikis. Peringatan kemerdekaan hanya menjadi sekadar formalitas dan hanya terasa pada saat peringatannya saja. Bahkan ada yang mengikuti upacara peringatan ini karena diharuskan untuk datang, bukan karena ingin mengingat kembali makna peringatan kemerdekaan.

Arti lain dari kata merdeka adalah bebas, tidak terikat, dan independen. Senang sekali merasakan kemerdekaan yang kita miliki ini karena sifatnya kompleks: merdeka dari penjajah bangsa; merdeka untuk berpatisipasi, memilih, atau menciptakan sesuatu; merdeka untuk mencapai cita-cita sesuai yang diharapkan, dan merdeka dari dosa tentunya.

Merdeka dari dosa. Ya, saya sendiri sering mendengar kalimat ini tiap tahun saat Paskah tiba. Entah dalam khotbah, drama, ataupun cerita Paskah. Kisahnya klasik dan sudah didengar berulang kali, bahwa Yesus mengorbankan nyawa-Nya untuk menebus dosa kita. Namun, terkadang karena terlalu sering kita dengar, sama seperti cerita tentang perjuangan bangsa ini, kita pun tak bisa lagi merasakan makna sesungguhnya dari pengorbanan Yesus.

Kemerdekaan kita sering disalahgunakan. Misalnya kita berkali-kali melakukan dosa yang sama, walaupun tahu itu salah. Kita melakukannya dengan berpikir bahwa selalu ada pengampunan, ketika kita tersadar dan mengakui kesalahan kita. Tanpa kita sadari, akhirnya kita pun terjerumus lagi dalam dosa yang sama. Padahal, kita sendiri tidak tahu sampai kapan pengampunan itu tersedia. Bagi seorang narapidana yang baru bebas dari penjara, hakim dan para polisi tentu mengharapkannya tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Ia diharapkan bertobat, memulai hidup yang lebih baik, dan tidak masuk penjara lagi. Begitu juga harapan Yesus kepada kita.

Menjadi merdeka itu memang penting, namun yang terpenting adalah merdeka di dalam Kristus. Kemerdekaan itu harus dimaknai sebagai proses mengelola diri kita dan usaha menjaga supaya makna kemerdekaan tetap sama seperti saat pertama kali kita mengalaminya. Darah Tuhan Yesus telah menjadi bukti dari kemerdekaan yang kita miliki sampai sekarang ini. Coba kita pikirkan apa saja yang telah kita lakukan sepadan dengan pengorbanan darah Yesus?

“Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka.
Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.”
(Galatia 5:13)