Posts

Catatan Kecilku Saat Berduka: Ada Pengharapan dari-Nya

Oleh Jefferson

Natal identik dengan perayaan, sukacita, dan reuni bersama kerabat dan teman, tetapi Natal yang baru berlalu terasa berbeda untukku dan keluarga. Tepat satu minggu sebelum Natal, nenekku meninggal dunia. Aku yang sedang pulang liburan kuliah langsung membatalkan semua janjiku untuk menjalani proses kedukaan bersama keluarga.

Perasaanku campur aduk. Aku bingung bagaimana harus menanggapi kepergian nenek. Di satu sisi, aku selalu menemui beliau setiap kali aku pulang dan sebelum aku berangkat kembali Singapura. Di sisi lain, aku merasa tidak dekat dengan beliau karena jarak yang membatasi interaksi kami selama sembilan tahun terakhir.

Seperti yang biasa kulakukan untuk setiap peristiwa kehidupan yang signifikan, aku menulis jurnal sebagai doa kepada Tuhan sembari memproses setiap kejadian dan perasaan yang kualami bersama-Nya. Aku belakangan tahu manfaat di balik memusatkan diri kepada Allah selama berduka. Prakata buku On Death (“Tentang Maut”) karangan Tim Keller mengutip Samuel Johnson, “maut cenderung memusatkan pikiran dengan luar biasa.” Selama masa berduka kita cenderung merenungkan hal-hal yang tak biasa kita pikirkan seperti kehidupan dari yang berpulang, memori-memori bersamanya, dan apa yang terjadi setelah kematian. Dalam periode seperti inilah iman kita diuji. Oleh karena itu, kita yang mengaku percaya kepada Kristus harus mengarahkan diri untuk berduka dalam Tuhan. Dan dalam Firman-Nya kutemukan cara berduka yang menangkap dengan baik perasaanku yang campur aduk:

“Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia. Ini kami katakan kepadamu dengan firman Tuhan: kita yang hidup, yang masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang telah meninggal. Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini” [1 Tes. 4:13–18].

Berdukacita Menurut Alkitab: Tindakan yang Paradoksal

Tim Keller mengamati bahwa klausa terakhir dalam ayat 13 adalah negatif ganda (“jangan” dan “tidak”), jadi dalam konotasi positif Paulus sedang mengajarkan jemaat Tesalonika untuk berdukacita sebagai orang-orang yang mempunyai pengharapan. Tetapi bukankah frasa ini, berdukacita dalam pengharapan, terdengar kontradiktif? Bagaimana dua hal yang bertolak belakang, kesedihan dan pengharapan, dapat kita hidupi secara bersamaan? Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami konteks surat 1 Tesalonika terlebih dahulu.

Tema utama kitab ini adalah kedatangan Yesus Kristus yang kedua (1:10; 2:19–20; 3:13; 4:13–18; 5:1–11, 23–24). Jemaat Tesalonika tampaknya tak memahami hal ini dengan benar sehingga ada beberapa isu berkaitan yang Paulus bahas dalam suratnya, termasuk tentang kebangkitan orang mati dalam perikop ini. Ada jemaat yang menganggap bahwa anggota gereja yang saat itu telah meninggal akan melewatkan kedatangan kedua Kristus sehingga mereka “berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (ay. 13).

Paulus tidak menyalahkan jemaat Tesalonika karena ia memang tidak sempat mengajarkan hal ini ketika ia melayani di sana (3:10, bdk. 2:15, 17; Kis. 17:5–10). Ia malahan mendorong mereka untuk berdukacita, tetapi dalam pengharapan yang tidak dunia miliki. Maka Paulus mengajak kita untuk menyeimbangkan dua ekstrim, duka dan pengharapan, sehingga kita dapat melihat dua sudut dari tanggapan Kristiani terhadap kepergian orang yang berpulang.

Di satu sisi, kita patut berdukacita karena itu memang adalah respons yang pantas ketika seseorang meninggal. Aku mungkin terdengar bodoh karena menuliskan hal yang sudah jelas, namun ada banyak orang Kristen yang mencoba melangkahi dukacita lalu menderita di kemudian hari karena tidak memproses kepergian orang yang berpulang dengan benar. Kita tahu ada pengharapan kebangkitan orang mati (yang akan dibahas di paragraf berikutnya), namun Paulus di suratnya yang lain juga mengajarkan kita untuk berduka bersama mereka yang sedang berduka (Rom. 12:15). Kekayaan catatan Alkitab tentang orang-orang yang berduka (e.g., Ul. 34:8; 2 Sam. 12:15–23; Ay. 1:13–21) turut mendorongku untuk berani merangkul kedukaan. Firman Tuhan menyediakan ruang bagi yang berduka dan meragukan kehadiran-Nya di tengah duka, bahkan Ayub tidak mempertanyakan Tuhan hanya pada dua pasal pertama dan terakhir kitabnya! Kamu dapat membaca bagian-bagian Alkitab lain yang mencatat pengalaman dukacita umat Allah, tapi aku ingin mengakhiri paragraf ini dengan air mata Tuhan Yesus sendiri (Yoh. 11:35). Mengapa Yesus meratapi kematian Lazarus ketika Ia tahu Ia akan membangkitkannya sesaat kemudian? Tim Keller mengamati, “Karena itu adalah respons yang benar terhadap kejahatan dan ketidakwajaran maut.”

Di sisi lain, kita menyandarkan kedukaan kita pada pengharapan “bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia” (ay. 14) dan “mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit” (ay. 16). Dengan kata lain, kita perlu mengingat pengharapan akan kebangkitan dari maut. Ketika Paulus mengajarkan kita untuk tidak berdukacita seperti mereka yang tak memiliki pengharapan di ayat 13, ia sedang menunjukkan keunikan iman Kristen yang berharap pada kebangkitan tubuh dan kehidupan kekal setelah kematian. Sambil memproses perasaanku, mengikuti setiap proses kedukaan, dan merenungkan Natal, aku jadi lebih menghargai kata-kata Tuhan Yesus dalam Yohanes 10:10, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Ia pertama kali datang untuk mati dan bangkit agar kita dapat percaya dengan yakin bahwa Ia akan membangkitkan kita pada kedatangan-Nya yang kedua. Adakah pengharapan lain yang lebih kuat, hebat, dan mulia dibandingkan dengan yang Yesus Kristus berikan kepada manusia? Maka Ia memampukan kita untuk berdukacita dalam pengharapan.

Berdukacita untuk Mereka yang Mengaku Tidak Percaya Kepada Kristus

Namun bagaimana praktik berdukacita dalam pengharapan ini diterapkan kalau orang yang berpulang tidak percaya kepada Kristus, apalagi ayat 14 dengan spesifik mencatat “mereka yang telah meninggal dalam Yesus”? Jika Kekristenan adalah satu-satunya iman yang sejati dan benar, bukankah mereka yang tak percaya kepada Yesus tidak “akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia”? Bagaimana aku dapat berduka dalam pengharapan-Nya untuk nenekku yang sampai akhir hidupnya kelihatannya tidak percaya kepada Yesus?

Karena hal ini tidak dijelaskan oleh Alkitab dengan eksplisit, kita perlu menerapkan hikmat dari Allah untuk mencapai kesimpulan yang selaras Firman-Nya. Dua sumber terpercaya, Got Questions dan Desiring God, mengarahkanku kepada doa Abraham:

“Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil? [Kejadian 18:25].

Dalam ayat ini, Abraham memohon kepada Tuhan untuk tidak menghancurkan Sodom dan Gomora asalkan ada orang benar di sana. Perhatikan bahwa ia tidak melandaskan doanya pada kebajikan penduduk-penduduk Sodom dan Gomora. Abraham justru memohon atas dasar identitas Allah sendiri sebagai “Hakim segenap bumi” yang “menghukum dengan adil”.

Dari sumber-sumber di atas, aku belajar dua hal tentang bagaimana berduka bagi mereka yang tampaknya tidak percaya kepada Kristus. Pertama, urusan ke mana yang berpulang pergi adalah antara dia dengan Tuhan. Aku tidak dapat bilang dengan pasti bahwa nenekku tidak percaya dengan Tuhan sampai akhir, walaupun kelihatannya begitu. Mungkin saja Ia secara ajaib menemui nenekku di detik-detik akhirnya dan membawanya percaya pada-Nya. Yang pasti, kami yang percaya pada Kristus telah membagikan Injil kepada nenekku bahkan hingga di ranjang perawatannya. Percaya atau tidaknya nenekku adalah urusannya dengan Tuhan, bukan kami. Yang kedua, mengutip John Piper, “yang perlu kita ingat adalah Tuhan adil, baik, dan tidak melakukan apapun yang tidak akan kita setujui pada akhirnya.” Standar kebenaran, kebaikan, dan kebajikan adalah Tuhan Yesus, bukan kita. Ketika ada orang yang mengaku tidak percaya berpulang, kita dapat turut berduka baginya sambil berharap bahwa penghakiman Allah baginya adalah adil dan benar. Pada titik ini makna kedatangan pertama Yesus Kristus di momen Natal menjadi semakin berarti. Roma 8:32 terngiang dalam benak, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?”

Doa Dukaku dalam Pengharapan Natal

Tulisan ini adalah rangkuman perenungan yang kucatat dalam jurnalku pada hari kematian nenekku. Maka kurasa tepat untuk mengakhirinya dengan doaku hari itu kepada Allah:

Bapa di dalam surga, aku mengucap syukur atas segala karunia dan berkat yang telah Kau bagikan lewat nenek sehingga bahkan asisten rumah tangga kami pun meneteskan air mata atas kehilangannya. Aku berdoa dan berharap Engkau sempat menyatakan diri-Mu sendiri kepadanya di momen-momen terakhirnya di bumi dan membawanya kembali ke hadirat-Mu sehingga aku dapat bertemu dengannya lagi bersama-Mu di masa yang akan datang. Tetapi aku bukan Engkau, aku hanya dapat beriman bahwa Engkau telah melaksanakan apa yang Engkau kehendaki. Aku menyerahkan diriku sendiri dan semua anggota-anggota keluargaku ke dalam tangan-Mu, mengetahui bahwa bahkan kematian pun adalah salah satu berkat-Mu bagi kami. Beri aku kekuatan untuk mendampingi orangtuaku selama masa berkabung ini, biarlah Roh-Mu terus beserta dengan kami dan menghibur kami dalam kasih Anak-Mu bagi kami. Dan biarlah peristiwa ini menjadi alat-Mu untuk menjangkau kerabat-kerabatku yang belum percaya kepada-Mu. Sebab tak ada dukacita dalam pengharapan lain di dunia selain yang Injil-Mu beritakan.

Di dalam nama-Mu, Anak, dan Roh Kudus aku berduka, berharap, dan telah berdoa, amin.

Dari Pilunya Kehilangan, Kita Belajar Ketenangan

Oleh Raganata Bramantyo

“Ril… mamah pulang dulu ke Indonesia, ya.”

Sepenggal kalimat yang membuka caption panjang ini mendapat respons yang luar biasa banyak di Instagram milik Atalia, istri dari gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Seminggu ke belakang, keluarga pak gubernur jadi sorotan publik lantaran Eril, putra mereka hanyut dan hilang di sungai Aare di Swiss. Seminggu lebih pencarian belum membuahkan hasil. Pihak keluarga pun akhirnya menyatakan bahwa Eril telah meninggal dunia kendati jenazahnya belum ditemukan.

Pencarian Eril menjadi dramatis bukan hanya karena dia adalah anak dari seorang tokoh terkenal, tetapi ada perasaan sepenanggungan yang juga dirasakan oleh banyak orang—termasuk kita—jika kita bicara mengenai kehilangan. Saat kita kehilangan sesuatu atau seseorang yang kita kasihi, dunia kita berubah. Kehilangan di sini tak hanya tentang kematian. Apa pun yang direnggut daripada kita, tanpa kita berdaya untuk mencegahnya, akan menyisakan pilu di hati.

Narasi kehilangan

Belum lama ini, aku pun mengalami kehilangan yang pilu. Saking pilunya buatku, aku mendatangi konselor yang juga psikolog dan mendapatkan pertolongan profesional darinya. Kisah kehilangan ini pernah kutuliskan di sini. Selama 20 tahun aku mendoakan papaku untuk menjadi seorang ayah yang karib denganku, dan doa itu terjawab di tahun ini. Namun, kebersamaan yang sungguh erat itu tidak berlangsung lama, hanya 29 hari sebelum akhirnya ayahku berpulang. Kehilangan ini mengguncangku. Tak pernah aku menyiapkan diri akan kehilangan sosok ayah yang secara usia belum masuk kategori lansia. Apalagi dengan diagnosis sakit yang menurut logikaku tak masuk akal. Namun, inilah realitasnya, kehilangan adalah bagian dari hidup yang mau tak mau, suka tak suka, harus aku dan kamu hadapi. Yang kelak membedakan fatalitas kehilangan ini hanyalah waktu dan bagaimana alur ceritanya. Namun pada dasarnya, semua kehilangan memberi duka mendalam.

Jika aku yang adalah seorang anak kehilangan ayah yang usianya jauh di atasku saja merasa begitu berat, tak terbayangkan apabila kehilangan yang terjadi adalah sebaliknya. Seorang ayah yang harus kehilangan anak, yang secara usia jauh lebih muda. Seperti apa yang dituliskan oleh Ridwan Kamil: anak yang kehilangan orang tua disebut yatim. Istri atau suami yang kehilangan pasangan disebut janda atau duda, tapi tak ada istilah yang bisa diberikan kepada orang tua yang kehilangan anaknya. Dukanya begitu dalam.

Seiring usia kita yang menanjak, kehilangan dan dukacita pasti akan kita alami, meski kita tak tahu kapan dan bagaimana itu akan terjadi. Kehilangan yang pilu juga pernah dialami oleh seorang Kristen yang hidup pada abad 19 yang bernama Horatio Spafford. Ia adalah seorang pengacara kenamaan sekaligus wirausahawan di Amerika Serikat. Pada tahun 1871, kebakaran hebat di Chicago menghancurkan bisnisnya. Tragedi ini memaksa Horatio untuk memikirkan strategi baru bagaimana melanjutkan usahanya. Dua tahun pasca kebakaran, istri dan anak-anaknya pergi berlayar ke Eropa, namun Spafford tidak ikut karena masih harus mengurusi pekerjaannya. Jika sudah selesai, barulah dia menyusul.

Namun, nahas tak pernah disangka. Tanggal 22 November 1873, kapal uap Ville du Havre yang ditumpangi oleh istri dan empat anaknya tenggelam. Sebanyak 226 orang tewas, termasuk di dalamnya anak-anak Spafford. Sang istri berhasil selamat. Saat dia tiba di Wales, barulah dia mengirimkan telegram dengan pesan “Saved alone” kepada Spafford.

Mendapati berita duka, Spafford menyusul berlayar ke Wales untuk berjumpa sang istri. Dalam pelayarannya, saat kapal yang dia tumpangi melewati titik karam kapal du Havre, Spafford menuliskan sebuah himne yang sampai hari ini masih kita nikmati melodi dan liriknya.

It is well with my soul… yang dalam beberapa versi kidung pujian diterjemahkan sebagai “tenanglah jiwaku,” “s’lamatlah jiwaku,” atau “nyamanlah jiwaku.”

Apa yang ditulis Spafford bukanlah sebuah ilusi. Bagaimana bisa jiwa yang hancur merasa tenang dan nyaman di tengah dukacita hebat? Spafford memberi jawaban pada lirik-liriknya. “Ketika hidupku sentosa teduh ataupun sengsara penuh, di dalam kasih-Mu ku tinggal teguh, nyamanlah, nyamanlah jiwaku…” (NP 221).

Ketenangan dan kekuatan itu datang bukan dari kekuatan kita sendiri, tetapi dari tinggal tetap dalam kasih yang teguh, yang tak pernah berubah, yaitu kasih Allah. Kematian dan kehilangan selalu membangkitkan reaksi emosional yang kuat. Dalam kisah Lazarus yang mati karena sakit, Alkitab mencatat Yesus sangat terharu (Yohanes 11:33). Kata terharu oleh para penafsir dapat diterjemahkan pula dengan lebih rinci, “kemarahan besar lalu meluap dari dalam hati-Nya.”

Yesus terharu, bahkan marah, tetapi terhadap apa? Sangat mungkin Dia marah terhadap dosa dan akibat yang ditimbulkannya. Allah tidak menciptakan dunia yang dipenuhi penyakit, penderitaan, dan kematian. Namun, dosa masuk ke dalam dunia dan mencemari rencana Allah yang indah. Hidup kita yang telah jatuh ke dalam dosa membuat maut, dukacita, dan segala penderitaan menjadi tak terelakkan. Namun, Allah tidak tinggal diam. Dia hadir bersama kita (Yohanes 1:14), mengerti apa yang jadi dukacita dan ketakutan kita (Yohanes 11:1-44). Namun lebih daripada itu, Kristus mengalahkan dosa dan kematian dengan mati menggantikan kita dan bangkit dari maut (1 Korintus 15:56-57).

Apa pun yang hari ini menjadi kehilangan dan dukacita kita, aku berdoa kiranya kasih Allah melingkupimu dan memampukanmu untuk menjalani hidup dan berbuah bagi-Nya.

Ingatlah Ajal Pada Masa Mudamu

Oleh Aryanto Wijaya

Tahun 2019 lalu, aku membaca sebuah artikel yang menuturkan tentang kehidupan seorang pria. Di usianya yang ke 32 tahun, dia sedang menikmati puncak kariernya, namun kenikmatan itu perlahan susut ketika penyakit ganas menggerogoti tubuhnya hingga dia pun meninggal dunia.

Baru-baru ini, media sosial tanah air pun gempar mendengar kabar seorang selebriti muda yang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Padahal, beberapa jam sebelumnya dia masih mengunggah Instagram Story—ada cuplikan perjalanannya, yang bernuansakan sukacita. Tak ada yang menyangka itu akan jadi unggahan terakhirnya.

Aku tercenung dan larut dalam ratapan warganet yang tak menyangka kematian akan secepat ini menjemput dan begitu mendadak. Mengingat dua kisah dukacita ini menggemakan kembali sebuah realita pahit yang kita semua sebagai umat manusia harus alami: kematian.

Kubuka lembaran kertas Alkitabku dan kudapati Pengkhotbah 9:5 berkata tegas, “Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati…” Tetapi, yang tidak pernah kita tahu dari sisi kematian adalah bilamana dan bagaimana itu akan datang menjemput kita.

Ketidaktahuan ini seringkali menjadi faktor terbesar yang membuat kita merasa takut, atau di sisi yang lain, membuat kita acuh tak acuh terhadap kematian. Padahal, seperti yang Alkitab katakan bahwa setiap manusia kelak pasti akan menjumpai kematian; itu bukan sebuah kesempatan, tetapi kepastian. Mengetahui bahwa kelak setiap kita pasti akan tiba di garis akhir kehidupan seharusnya mendorong kita untuk menjalani hidup terbaik untuk tiba di sana.

Mengenal garis akhir, menikmati perjalanan

Konsep dunia menyebutkan kematian sebagai garis akhir dari kehidupan, titik terakhir dari perjalanan manusia. Agama-agama lalu menyajikan pemahaman yang lain, tentang apa yang akan terjadi setelah kematian itu. Kita tidak akan membahas masing-masing konsep pasca kematian yang disajikan tiap agama, tetapi sebagai orang Kristen, kendati kematian memang sejatinya adalah garis akhir dari peziarahan ragawi kita di dunia, itu merupakan awal dari sebuah kehidupan yang baru.

Paulus menegaskan, “Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia” (2 Korintus 5:1).

Ada kehidupan yang abadi bagi anak-anak Tuhan, kehidupan di suatu tempat yang dibuat oleh Allah sendiri, yang tidak akan ada lagi ratap dan dukacita (Wahyu 21:4).

Memang kita tidak tahu waktu dan caranya, tapi Alkitab memang menjelaskan apa yang terjadi. 2 Korintus 5:6-8 dan Filipi 1:23 mengatakan bahwa ketika kita meninggalkan tubuh kita, kita akan menetap bersama Allah. Suatu pemikiran yang menghibur kita semua yang percaya.

Dalam Ilmu Komunikasi, ada sebuah teori yang bernama “Teori Pengurangan Ketidakpastian” yang dikemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese. Teori ini menjelaskan bahwa dalam relasi antar dua orang manusia atau lebih yang tidak saling mengenal seringkali terjadi ketidaktahuan yang dapat berlanjut menjadi rasa takut atau spekulasi. Contoh, ketika dua orang asing bertemu dalam satu kendaraan, mungkin Si A menaruh curiga terhadap si B. Barulah ketika tercipta komunikasi antara A dan B, keduanya menemukan banyak persamaan, dan relasi itu berlanjut melintasi waktu, pelan-pelan rasa takut dan curiga itu luruh. Ketika dua orang telah saling mengenal erat, ada rasa percaya yang terbangun—kondisi yang jauh berbeda dari momen saat mereka pertama kali saling mengenal.

Demikian pulalah dengan kehidupan kita. Mengenal Tuhan yang kita percayai dengan erat akan memberikan kita iman yang teguh dan kokoh. Kita tidak akan lagi meragukan janji-janji-Nya karena kita tahu janji itu pasti akan terlaksana (2 Korintus 1:20), bahwa barangsiapa yang percaya kepada Kristus tidak akan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Dan, dari pengenalan dan relasi yang erat dengan-Nyalah kita dimampukan untuk menjalani hari-hari kita di dunia bukan dengan ketakutan akan garis akhir yang tak kita ketahui, tapi dengan sukacita bahwa segala jerih lelah dan perjuangan kita di masa-masa kita masih bisa bernafas akan mengantar kita pada tujuan yang mulia.

Kita tidak pernah tahu bilamana kematian itu akan datang. Usia muda, tubuh yang sehat, kekayaan yang berlimpah, karier yang cemerlang, semua itu tidak akan menghindarkan kita dari kepastian bahwa kehidupan di dunia akan berakhir.

Namun, kita dapat bersukacita dan bersemangat menjalani hidup, karena bersama dengan Tuhan Yesus, segala jerih lelah kita tidak akan sia-sia (1 Korintus 15:58).

Tugas kita saat ini adalah menyelesaikan setiap tanggung jawab yang diberikan-Nya dengan sebaik mungkin (Lukas 16:10), agar kelak ketika perjalanan ragawi kita paripurna, kita menyambutnya laksana seorang pemenang yang mengakhiri pertempuran dengan baik, yang telah memelihara iman sampai kepada garis akhir (2 Timotius 4:7).

Gwan-hee Lee: Melalui Kanker, Kristus Nyata Hidup di Tubuhku

Oleh Yosheph Yang
Artikel ini ditulis berdasarkan film dan buku “Church Brother” (교회 오빠) yang mengisahkan perjuangan Gwan-hee melawan kanker.

*Spoiler alert

Segala sesuatu berjalan dengan baik di kehidupan Gwan-hee. Lulus dari salah satu universitas ternama di Korea Selatan, kerja sebagai peneliti di perusahaan besar di Korea, dan menikah dengan istri yang baik (Eun-joo Oh). Tidak sampai 100 hari setelah kelahiran anak pertama (So-yeon Lee), di bulan September 2015, Gwan-hee didiagnosis menderita kanker usus besar stadium empat. Tidak ada yang mengira bahwa ini adalah awal dari penderitaan lain yang menghampiri hidup Gwan-hee.

Hidupku adalah misi dari Tuhan

Di akhir tahun 2015, Gwan-hee dan keluarganya harus menelan pil pahit lain dalam kehidupannya. Ibunya Gwan-hee mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dikarenakan depresi melihat Gwan-hee yang menderita kanker. Eun-joo merasa bersalah tidak tahu bagaimana galaunya kehidupan ibu mertuanya setelah mengetahui berita kanker itu.

Melalui film dokumentasi tentang hidupnya melawan kanker, Gwan-hee sama sekali tidak berusaha menutupi masalah keluarganya. Gwan-hee menanggap apa yang ia alami berada di bawah pengaturan Tuhan, dan ia hanya menyampaikan kehidupannya yang terhempas ini apa adanya kepada orang-orang lain.

Walaupun kenyataannya pahit, Gwan-hee tetap mengasihi Tuhan dan percaya kepada kedaulatan Kristus dalam kehidupannya. Melihat sikap Gwan-hee yang seperti ini, banyak orang bertanya kepadanya. “Dengan kenyataan bahwa ibu kamu meninggal dengan bunuh diri, bagaimana kamu tetap bisa memuji Tuhan dan tidak membenci Tuhan sama sekali?”

Dan beginilah Gwan-hee menjawabnya. “Setelah menerima kenyataan pahit tentang ibuku, aku memulai doaku dengan menyalahkan Tuhan. Tuhan, kapan aku membenci Engkau dengan kanker yang aku terima? Tuhan tahu dengan jelas isi doa-doaku. Aku berdoa tolong Tuhan jaga hati ibuku yang lemah, berikan ibuku kekuatan terhadap berita kankerku. Apabila doa ini tidak didengar sama sekali, selanjutnya doa apakah yang bisa kupanjatkan kepada Engkau, ya Tuhanku?” Ketika Gwan-hee memulai doanya seperti itu, ia merasakan Roh Kudus memberikan penghiburan kepadanya. “Dukacita dan kesedihan yang aku terima tentang meninggal ibuku yang sangat kusayangi itu juga lebih dirasakan oleh Tuhan. Aku juga melihat di dalam hatiku Tuhan menangis ketika memeluk ibuku. Aku tidak bisa membenci Tuhan setelah itu.” Gwan-hee pun mengakhiri doanya saat itu dengan memuji Tuhan. Ia berkomitmen untuk tetap cinta Tuhan apapun kesengsaraan yang akhirnya akan muncul di dalam kehidupannya.

Empat bulan setelah meninggalnya sang ibu, Gwan-hee menerima kenyataan pahit lain dalam kehidupannya. Istrinya yang ia kasihi didiagnosis kanker darah stadium empat. Gwan-hee dalam kesaksiannya menceritakan walaupun kehidupannya tidak dapat dibandingkan dengan kisah Ayub di Alkitab, ia merasakan Tuhan sedang menguji imannya. Di dalam situasinya saat itu, Gwan-hee percaya misinya saat itu adalah tetap percaya kepada Tuhan. Mazmur 50:15 dan Yeremia 33:3 menjadi janji Firman Tuhan yang ia pegang dan percaya di dalam kesesakannya. Berseru dan berdoa kepada Tuhan dengan mengutarakan segala permasalahan dalam kehidupannya menjadi tanggapan Gwan-hee terhadap janji Tuhan yang ia pegang itu.

Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku. (Mazmur 50:15)

Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui. (Yeremia 33:3)

Perenungan melalui kanker

Di dalam masa pengobatan buat Gwan-hee dan istrinya yang sama-sama melawan kanker, mereka bersama-sama melakukan saat teduh di pagi hari. Di pagi itu, mereka membaca dari Roma 3:23, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”.

Gwan-hee membimbing diskusi yang ia lakukan bersama istrinya. Mengapa Tuhan melihat kita sebagai orang berdosa? Kita perlu lebih jelas memahami makna dosa dalam kehidupan kita. Menurut Gwan-hee, dosa adalah walaupun tahu pentingnya percaya Kristus, manusia pada umumnya tidak percaya sepenuhnya kepada Kristus dan tidak memberikan Kristus hak milik seutuhnya dalam kehidupan kita. Selain itu bagi Gwan-hee, dosanya adalah walaupun Tuhan telah memilihnya sebagai bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah (1 Petrus 2:9) yang diciptakan untuk mengasihi orang lain dan menjadi murid Kristus, ia tidak melakukan panggilan tersebut sepenuhnya.

Melalui perenungan tentang relasi antara dosa dan mengasihi orang lain, terlebih di masa pengobatan kankernya, Gwan-hee diajarkan Tuhan tentang apakah dosa itu dan makna kasih yang sebenarnya. Inilah yang menjadi hal yang pertama dalam pertobatannya. “Sebelum kanker tiba, dibandingkan dengan orang lain, aku berpikir bahwa aku melakukan banyak hal-hal baik di dalam atau pun di luar gereja.” Namun, setelah sakit menerpa tubuhnya, Gwan-hee menyadari bahwa dia tidak sepenuhnya mencari kemuliaan Tuhan.

Gwan-hee juga berpikir apabila ia tetap membiarkan rasa kebencian dan akar pahit dalam kehidupannya, itu bisa berdampak terhadap penyebaran sel-sel kanker di dalam tubuhnya. Gwan-hee pun berdoa kepada Tuhan untuk bisa mengasihi, mengerti, dan mengampuni orang-orang tersebut. Tuhan pun memberikan kasih karunia bagi Gwan-hee untuk berubah. “Dengan asumsi bahwa hari yang diberikan adalah hari terakhir dalam hidupku, aku tidak ingin menghabiskan hari yang diberikan ini dengan membenci orang lain,” katanya.

Di dalam masa pengobatan kanker, selain berterima kasih atas pengobatan yang ia terima, Gwan-hee juga berterima kasih karena ia dibandingkan sebelumnya lebih bisa melihat dengan jelas keadaan pikiran dan jiwanya dan bisa bertumbuh lebih lagi secara rohani.

Hanya Kristus yang hidup

Empat belas bulan pasca operasi kanker pertama yang dilakukan oleh Gwan-hee, sel kanker di dalam tubuhnya bertumbuh kembali di tubuhnya. Setelah mendengar kabar itu, tidak ada sama sekali rasa putus asa dan kecewa yang keluar dari mulutnya kepada istrinya. Sebaliknya, ia berkata demikian.

“Akhir-akhir ini, pokok doa dalam kehidupanku adalah di dalam tubuhku aku mati dan hanya Kristus yang hidup. Jika dilihat baik-baik, ini ada perkataan yang keren dan sulit, tetapi bagi aku dan Eun-ju yang saat ini berada di antara hidup dan mati, ini adalah situasi yang bisa kita lakukan. Orang-orang yang sehat pada umumnya, sulit untuk bisa memahami makna ini. Tetapi saat ini, jika kita lihat baik-baik, kita diberikan kesempatan untuk benar-benar mengaplikasikan makna sesungguhnya dari aku mati dan Kristus hidup dalam kehidupan kita. Hidup yang hanya digerakkan oleh Kristus”

Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku (Galatia 2:20)

Banyak orang di sekitar Gwan-hee yang berpikir kalau ia bisa sembuh seutuhnya dari kanker ini adalah mukjizat Tuhan yang luar biasa. Tetapi Gwan-hee berpikir lain. “Melalui pengobatan kanker ini, satu hari untuk hidup yang diberikan oleh Tuhan, itu sendiri adalah mukjizat yang besar. Melalui kanker ini, aku bisa merasakan pentingnya satu hari. Walaupun kanker itu sendiri bukan berkat, kita bisa merasakan pentingnya satu hari. Inilah manfaat yang aku dapat,” katanya.

Gwan-hee menjalani hidupnya hari demi hari. Apabila hanya satu hari saja yang diberikan oleh Tuhan, Gwan-hee mau melalui masa yang singkat itu untuk menjadi orang yang lebih diutuhkan dan dewasa di dalam Kristus. Baginya, inilah alasan hidupnya.

Menghitung berkat dalam hidup

Salah satu alasan lain yang membuat Gwan-hee tidak bisa membenci Tuhan dikarenakan ia selalu menghitung berkat yang ia terima dari Kristus. Di acara perkumpulan bersama para penderita kanker lainnya, ia berkata, “Di dalam pikiranku, aku punya laporan untung dan rugi tentang kehidupanku. Jika aku melihat hidupku seutuhnya dan menghitung berkat yang aku terima dari Tuhan dan membandingkan dengan penderitaan yang aku alami, hasilnya selalu positif. Aku sama sekali tidak bisa membenci Tuhan.”

Terkadang Gwan-hee juga khawatir apakah ia bisa tetap menjaga imannya sampai akhir hidupnya, terlepas apapun masalah lain yang akan muncul. Melalui sakit yang dideritanya, Ia merasakan bahwa ia adalah orang yang lemah yang sangat memerlukan bantuan Roh Kudus untuk hidup hari demi hari. Dengan keyakinan penuh, Gwan-hee berkata, “Bagi kita yang percaya kepada Yesus Kristus, total laporan dalam kehidupan kita tidak akan pernah rugi dikarenakan di laporan keuntungan ada kasih Kristus di atas kayu salib yang menerima kita orang berdosa ini sebagai anak-anak Allah (Yohanes 1:12). Kasih Allah yang di dalam Kristus lebih besar daripada masalah-masalah yang muncul di dalam kehidupan kita.”

Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. (Roma 8:38-39)

Banyak hal lain yang aku juga kagumi di hidupnya Gwan-hee. Di dalam masa pengobatan kankernya, ia lebih memilih tidak menggunakan morfin untuk mengurangi rasa sakitnya. Baginya, dengan morfin, saraf-sarafnya tidak berfungsi secara optimal dan tidak bisa menerima Firman Tuhan. Ia lebih memilih menderita bersama Kristus dibandingkan hidup tanpa Firman Tuhan. Sebagai ganti morfin, ia diberikan obat analgetik-antipiretik.

Masa-Masa terakhir hidup

Setelah operasi kanker keduanya gagal, Gwan-hee memakai waktunya untuk lebih bersama dengan orang-orang yang disayanginya. Gwan-hee sangat kecewa tidak bisa mendampingi anaknya bisa masuk ke hari pertama sekolah, yang merupakan misinya setelah menerima kanker. Terlepas dari kondisinya saat itu, Gwan-hee tetap percaya kepada kedaulatan Kristus. Dia berharap anaknya yang masih kecil itu bisa mencontoh imannya ketika dewasa nanti.

Menjelang akhir hidupnya, Gwan-hee berkata kepada istrinya, “Aku merasa takut. Setiap hari aku berdoa untuk belas kasihan Tuhan, pengampunan atas dosa-dosaku, keselamatan dari kesengsaraanku. Apabila penderitaanku ini kehendak Tuhan, berikan aku kekuatan untuk menghadapinya. Aku terkadang merasakan Tuhan tidak mendengar doa-doaku dan menghempaskanku. Inilah ketakutanku.” Gwan-hee merasakan apa yang Yesus rasakan di atas kayu salib. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46b).

Dini hari tanggal 16 September 2018, Gwan-hee menyelesaikan pertandingan hidupnya dan berpulang ke rumah Bapa di surga. Istrinya berterima kasih kepada Tuhan karena sampai pada akhirnya Gwan-hee tetap beriman kepada Kristus dan percaya kepada pengaturan Kristus. Gwan-hee memberikan kepada keluarganya dan orang-orang di sekitar contoh hidup orang beriman.

Melihat kehidupan perjuangan Gwan-hee melawan kanker, banyak hal yang bisa kita pelajari. Beberapa pelajaran hidup yang aku pelajari dari hidupnya adalah:

  • Pentingnya mendalami kasih Kristus di atas kayu salib bagi kita.
  • Aku berusaha mempelajari kembali makna injil dalam kehidupan. Aku 100% orang berdosa yang diselamatkan oleh Allah melalui pengorbanan Kristus di kayu salib.

  • Memiliki hubungan intim dengan Tuhan adalah cara orang beriman menanggapi kasih Kristus.
  • Gwan-hee di masa kesengsaraannya selalu berusaha mencari Tuhan melalui saat teduh dan doanya. Baginya keselamatannya hanya datang dari Tuhan. Sekalipun dagingnya dan tubuhnya habis lenyap, gunung batu dan bagiannya tetaplah Allah selama-lamanya (Mazmur 73:26).

  • Hidup dengan “fighting spirit” untuk memelihara iman sampai kita kembali bertemu Tuhan.
  • Sama seperti Gwan-hee, kita juga harus menjaga iman sampai garis akhir hidup kita. Apapun permasalahan muncul, kasih Kristus lebih besar dari pada masalah apapun juga. Kita juga bisa menanggap hari yang diberikan Tuhan hari ini adalah hari terakhir kita. Kita tidak mau mengakhiri pertandingan hidup kita dengan tidak taat atau lebih memilih dosa.

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya” (2 Timotius 4:7-8).

Sebagai penutup, aku ingin membagikan lagu yang dibuat berdasarkan renungan saat teduh Gwan-hee Lee. Tuhan memberkati.

Blessed Through Suffering (Lirik dari Note Saat Teduh Gwan-hee Lee)
(Pianis di video tersebut adalah Eun-joo, istri dari Gwan-hee)

I am flying the sky
Up and up I soar into the sky
My wings are strong and I need no more
I will continue and make it to the top

When my Lord broke my wings
And has brought me among the lowest
Now I see what I didn’t see before
My Lord let me see so many souls in pain

Now I know I am blessed through the suffering
My Lord turned my troubles into blessing
and made me kneel before the Cross
when people questioned where my Lord was
I am nowhere to be found now
Only my Lord appears in my humble life

“Who,” you ask me, “is my Jesus?”
Mourners’ Comforter is He
Light and Vision for the blind
He is healing for the ailing
For the dead, He is Resurrection
And in Him we find our life

Baca Juga:

Kebahagiaan Sejati Hanya di Dalam Yesus

Jika ditanya apa yang menjadi sumber kebahagiaan kita? Tentu jawabannya bisa beragam. Ada yang menjawab sumber kebahagiaannya adalah memiliki tabungan berlimpah, rumah, mobil, pekerjaan tetap, anak-anak yang sehat dan pintar, bahkan pensiun di masa tua dengan pemasukan yang terus berjalan.

Menulis Obituari di Masa Muda: Bagaimana Kamu Akan Dikenang Nanti?

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

Beberapa minggu terakhir ini, aku dikejutkan dengan kabar kepergian figur yang aku tahu. Kabar pertama datang dari seorang pendeta di gerejaku tempatku berjemaat dahulu, dan juga kepergian seorang musisi Indonesia.

Ucapan belasungkawa dan testimoni singkat mengenai betapa baik hatinya orang-orang tersebut membanjiri timeline media sosialku. Aku membacanya dan tanpa sadar aku meneteskan air mata. “Tidak ada yang tahu tentang hari besok. Semua menjadi misteri.” Kata seorang temanku ketika aku berdiskusi dengannya mengenai kisah ini. Ya benar, Seperti dalam Yakobus 4:14 berkata “kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.”

Kisah tersebut, mengingatkan aku pada pertanyaan, “Seperti apakah kamu ingin dikenang saat kamu telah tiada?”

Pertanyaan ini pertama kali ditanyakan ketika aku masih orientasi mahasiswa baru. Saat itu, kami dibagi per kelompok 10-15 orang dan dibimbing oleh 2 orang kakak pembimbing. Materi orientasi saat itu bertemakan “tujuan hidup”, dan aku terkejut ketika kakak pembimbing memberikan sebuah lembaran kertas bergambarkan sebuah batu nisan kosong. Tak hanya itu, aku semakin terkejut ketika dia menyuruh kami menuliskan nama kami masing-masing di gambar batu nisan tersebut, diiringi tanggal lahir dan tanggal kematian. Tanggal kematian ditulis dengan tanggal yang sama dengan hari itu, tetapi 2 tahun dari sekarang. Hatiku bertanya-tanya, “Untuk apa sih? Ini terlihat sangat menyeramkan. Aku baru saja jadi mahasiswa baru, kok malah disuruh merancang kematianku sendiri.” Tapi, aku tetap mengikuti arahannya.

Saat itu kami diminta untuk menuliskan obituari kami sendiri. Yang kutuliskan adalah: “Aku ingin dikenang sebagai seorang Kristen yang taat. Pribadi yang ceria dan menghormati orang tua. Pribadi yang selalu membawa sukacita bagi orang lain. Pribadi yang membuat orang tua bangga karena kegigihan dan semangatnya.” Setelah menuliskan ini, kami disuruh untuk memikirkan langkah-langkah konkrit untuk mewujudkannya. Sebuah hal kecil yang selalu kuingat hingga hari ini.

Sekarang, ketika aku flashback ke masa-masa itu, aku menyadari bahwa setelah hari aku “dipaksa” memikirkan kematianku, aku jadi hidup dengan sebuah tujuan. Tujuan untuk hidup sebagai seorang Kristen yang taat, menjadi pribadi yang baik dan membanggakan bagi orang tua. Perlahan-lahan kugapai semua angan-angan tersebut. Walau belum sempurna, kisah mahasiswa baru itu membuatku untuk tetap berada pada track yang benar.

Pernahkah kamu berpikir hal ini? Warisan rohani apa yang ingin kamu tinggalkan bagi keluarga dan kerabatmu?

Jika aku ingin dikenang menjadi seorang pribadi yang cinta Yesus dengan segenap hati dan jiwa, maka dalam hidupku saat ini ku juga harus sejalan dengan isi hati-Nya. Membaca Firman Tuhan untuk mengetahui isi hati-Nya dan terus berkomunikasi dengan Dia melalui doa. Aku belajar membuat list pokok-pokok doa mingguan untuk menolongku berdoa bagi sesama, bukan saja berdoa tentang pribadiku. Hari Senin, aku mendoakan keluarga besarku. Hari selasa, aku mendoakan komunitas di mana aku bergereja dan bertumbuh. Aku bahkan menyebut nama mereka satu per satu dalam doaku. Dilanjutkan dii Rabu, aku mendoakan bangsa dan negara. Begitu seterusnya. Aku pun mengatur reminder di HP untuk saat teduh. Konsisten melakukan ini tidak mudah, seringkali aku pun gagal. Adakalanya aku melewatkan itu berhari-hari. Namun ketika gagal, aku diingatkan kembali oleh Roh Kudus untuk bangkit dan bahwa tujuan hidupku adalah untuk memuliakan Dia.

Tidak seorang pun kelak bisa menghindar dari kematian. Namun, ketika kita sudah menerima Kristus, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Aku ingin mengajakmu yang membaca cerita ini untuk mulai berpikir akan akhir hidup kita di dunia. Kita perlu memikirkan sesuatu yang lebih jauh, tentang hari depan. Ketika kita memahami bahwa kita akan diperhadapkan dengan kematian, sudah seharusnya kita tidak menjalani hidup dengan cara yang sia-sia. Kita bisa menjadikan hidup kita berkat bagi orang lain. Kita harus menghidupi kehidupan saat ini dengan sesuatu yang baik, berguna dan memenuhi apa yang menjadi panggilan Tuhan dalam hidup kita.

Bulan ini kita telah merayakan Jumat Agung dan Paskah, kematian dan kebangkitan Yesus Krisus. Ketika Dia telah menyerahkan seluruh hidupnya bahkan nyawa-Nya untuk menebus dosa-dosa manusia, maka apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa menolong sesama kita hari ini. Mulai dari hal sederhana, bertanya kabar dan mendoakannya. Juga jika hari ini kita diberikan pekerjaan dan tanggung jawab, lakukanlah itu dengan sepenuh hati.

Aku teringat akan Paulus, rasul yang pelayanannya memberkati banyak orang. Paulus yang dulunya penganiaya orang-orang percaya diubahkan Tuhan menjadi seorang Kristen yang taat dan berapi-api. Dia tak cuma mengabarkan Injil, tapi juga memberikan hidupnya bagi Injil. Satu hal yang aku pelajari dari hidup Paulus adalah ketika dia menerima Kristus, hidupnya mengalami perubahan. Pandangannya mengarah kepada rancangan Tuhan. Hidupnya hari demi hari berfokus pada bagaimana dia harus menjadi berkat bagi banyak orang.

Yuk ambil waktu sejenak untuk menuliskan obituari kamu sendiri. Jadikan apa yang akan kamu tulis di sana, sebagai sebuah komitmen bagaimana kamu akan menghidupi hari-harimu hari ini dan besok.

Baca Juga:

Surat untuk Sahabatku yang Sedang Berduka

Yang terkasih, sahabatku,

Tahun telah berganti, tetapi kamu tidak ingin melangkah sebab orang yang paling kamu kasihi, telah meninggalkanmu di tahun sebelumnya. Semarak pesta pergantian tahun tidak membuatmu terpesona. Kamu mungkin merasa lebih nyaman menghabiskan waktu di kamar. Dan, mungkin pula kamu berharap ada mesin waktu yang dapat membawamu kembali ke masa-masa dulu.

Kata Terakhir

Kamis, 5 September 2019

Kata Terakhir

Baca: 1 Korintus 15:12-19

15:12 Jadi, bilamana kami beritakan, bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu yang mengatakan, bahwa tidak ada kebangkitan orang mati?

15:13 Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan.

15:14 Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu.

15:15 Lebih dari pada itu kami ternyata berdusta terhadap Allah, karena tentang Dia kami katakan, bahwa Ia telah membangkitkan Kristus—padahal Ia tidak membangkitkan-Nya, kalau andaikata benar, bahwa orang mati tidak dibangkitkan.

15:16 Sebab jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan.

15:17 Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu.

15:18 Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus.

15:19 Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia.

Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia. —1 Korintus 15:19

Kata Terakhir

Nama perempuan itu Saralyn, dan saya sempat menaksirnya semasa sekolah dahulu. Tawanya menyenangkan. Saya tidak yakin ia mengetahui perasaan saya, tapi saya rasa ia tahu. Setelah lulus, saya putus kontak dengannya. Seperti yang sering terjadi dalam kehidupan ini, hidup kami berjalan ke arah yang berbeda.

Saya masih tetap berhubungan dengan teman-teman seangkatan saya di berbagai forum daring, dan merasa sangat sedih ketika mendengar kabar bahwa Saralyn sudah meninggal dunia. Saya sempat bertanya-tanya apa dan bagaimana kehidupannya selama ini. Seiring dengan bertambahnya usia, semakin sering saya kehilangan teman-teman dan anggota keluarga. Namun, banyak orang yang enggan membicarakan tentang kematian.

Meskipun masih bisa merasa dukacita, kita mempunyai pengharapan yang dikemukakan oleh Rasul Paulus: Maut bukanlah akhir segalanya (1Kor. 15:54-55), karena setelah itu ada kebangkitan. Paulus mendasarkan pengharapan itu pada kenyataan bahwa Kristus sudah bangkit (ay.12), dan berkata, “andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (ay.14). Jika pengharapan kita sebagai orang percaya hanya terbatas pada dunia ini, alangkah malangnya hidup kita (ay.19).

Suatu hari kelak, kita akan bertemu kembali dengan “orang-orang yang mati dalam Kristus” (ay.18)—kakek-nenek dan orangtua, kawan dan tetangga kita, atau mungkin juga mereka yang pernah menarik hati kita di masa sekolah.

Kebangkitan, bukan maut, yang akhirnya menang. —John Blase

WAWASAN
Pemberitaan Paulus dan tokoh Perjanjian Baru lain mengenai kebangkitan (1 Korintus 15:12) berdasar pada Perjanjian Lama (ay.3-4). Perkataan mereka mengikuti contoh pengajaran Yesus yang juga mengacu kepada Perjanjian Lama, di mana Dia menjelaskan kepada para murid yang terheran-heran mengenai kebangkitan-Nya. Dia berfirman, “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur. . . . Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga” (Lukas 24:44-46). Dalam Kisah Para Rasul 2:23-28, Petrus berbicara tentang kebangkitan Kristus dan mengutip Mazmur 16:8-11 untuk menunjukkan bahwa Daud pun telah menubuatkannya. Kemudian Petrus mengutip Mazmur 110:1 untuk membuktikan bahwa Daud juga menubuatkan kenaikan dan kemuliaan Kristus (Kisah Para Rasul 2:34-36). —Arthur Jackson

Apa arti kebangkitan Kristus bagimu? Bagaimana kamu dapat menyatakan imanmu dan menuntun seseorang kepada pengharapan akan kebangkitan itu?

Tuhan Yesus, biarlah kuasa kebangkitan-Mu menjadi semakin nyata dalam hidupku. Kiranya itu nyata dalam perkataan dan perbuatanku, terutama ketika aku berinteraksi dengan orang-orang yang belum mengenal-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 146-147; 1 Korintus 15:1-28

Kasih dan Damai

Jumat, 8 Februari 2019

Kasih dan Damai

Baca: Mazmur 16

16:1 Miktam. Dari Daud. Jagalah aku, ya Allah, sebab pada-Mu aku berlindung.

16:2 Aku berkata kepada TUHAN: “Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!”

16:3 Orang-orang kudus yang ada di tanah ini, merekalah orang mulia yang selalu menjadi kesukaanku.

16:4 Bertambah besar kesedihan orang-orang yang mengikuti allah lain; aku tidak akan ikut mempersembahkan korban curahan mereka yang dari darah, juga tidak akan menyebut-nyebut nama mereka di bibirku.

16:5 Ya TUHAN, Engkaulah bagian warisanku dan pialaku, Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian yang diundikan kepadaku.

16:6 Tali pengukur jatuh bagiku di tempat-tempat yang permai; ya, milik pusakaku menyenangkan hatiku.

16:7 Aku memuji TUHAN, yang telah memberi nasihat kepadaku, ya, pada waktu malam hati nuraniku mengajari aku.

16:8 Aku senantiasa memandang kepada TUHAN; karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah.

16:9 Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorak, bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram;

16:10 sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan.

16:11 Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa.

Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, . . . Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa. —Mazmur 16:10-11

Kasih dan Damai

Saya selalu takjub menyaksikan bagaimana damai—damai yang berkuasa dan melampai segala akal (Flp. 4:7)—dapat menguasai hati kita bahkan di tengah kedukaan yang mendalam. Baru-baru ini, saya mengalaminya dalam kebaktian penghiburan ayah saya. Ketika deretan kerabat mengungkapkan rasa dukacita mereka, saya merasa lega melihat seorang sahabat di SMA. Tanpa sepatah kata pun, ia memeluk saya dengan erat beberapa waktu lamanya. Bentuk perhatiannya yang tenang itu mengalirkan damai yang baru saya rasakan di tengah duka pada hari yang berat itu. Saya disadarkan bahwa saya tidak benar-benar sendirian.

Seperti kata Daud dalam Mazmur 16, damai dan sukacita yang Allah berikan bukanlah hasil dari pikiran kita yang sengaja mengabaikan rasa sakit. Damai tersebut merupakan pemberian yang kita terima dan alami saat berlindung pada Allah kita yang baik (ay.1-2).

Kita bisa saja menyikapi kesedihan karena kematian seseorang dengan cara mengalihkan perhatian. Kita pikir kepedihan takkan terasa jika kita mengabaikannya. Namun, cepat atau lambat kita akan sadar bahwa segala upaya untuk menghindari kepedihan justru membuat kita semakin menderita (ay.4).

Sebaliknya, kita dapat berpaling kepada Allah, dengan mempercayai bahwa hidup yang sudah Dia berikan itu—meski ada kepedihan—tetap baik dan indah, meski kita tidak mengerti sepenuhnya (ay.6-8). Kita bisa berserah kepada tangan kasih-Nya yang dengan lembut menopang kita di dalam kedukaan dan memberi kita damai serta sukacita yang tak bisa direnggut oleh maut sekalipun (ay.11). —Monica Brands

Bapa, terima kasih atas tangan-Mu yang selalu memeluk dan menopang kami di kala suka maupun duka. Tolong kami untuk mencari pemulihan kami di dalam Engkau.

Kasih Allah memampukan kita melewati kepedihan dan mengubahnya menjadi damai dan sukacita.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 4-5; Matius 24:29-51

Doa yang Sarat Pertanyaan

Jumat, 18 Januari 2019

Doa yang Sarat Pertanyaan

Baca: Mazmur 13

13:1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud.13:2 Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?

13:3 Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?

13:4 Pandanglah kiranya, jawablah aku, ya TUHAN, Allahku! Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati,

13:5 supaya musuhku jangan berkata: “Aku telah mengalahkan dia,” dan lawan-lawanku bersorak-sorak, apabila aku goyah.

13:6a Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu.

13:6b Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.

Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. —Mazmur 13:6a

Doa yang Sarat Pertanyaan

Dalam perjalanan jarak jauh (bahkan jarak dekat), sering terdengar pertanyaan, “Sudah sampai belum?” atau “Berapa lama lagi?” Hal itu tidak jarang terlontar dari mulut anak-anak maupun orang dewasa yang ingin segera tiba di tujuan. Namun, orang-orang di segala zaman juga cenderung menanyakan hal itu saat mereka didera kelelahan karena menghadapi tantangan hidup yang tampaknya tak pernah usai.

Mazmur 13 menunjukkan perasaan serupa yang juga dialami Daud. Dalam dua ayat saja (ay.2-3), empat kali Daud meratap, “Berapa lama lagi?” Ia merasa dilupakan, telantar, dan terpuruk. Pada ayat 3, ia bertanya, ”Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari?” Mazmur ratapan seperti ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa kita boleh menghadap Tuhan di dalam doa dengan membawa pertanyaan-pertanyaan kita. Lagipula, bukankah Dia adalah pribadi terbaik untuk diajak bicara di tengah tekanan dan kesesakan kita? Kita dapat membawa setiap pergumulan kita kepada-Nya—penyakit, dukacita, penyimpangan orang yang kita kasihi, dan hubungan yang sulit.

Penyembahan kita tak perlu terhenti ketika kita mempunyai banyak pertanyaan di dalam pikiran kita. Allah yang berdaulat penuh itu menerima kita yang datang kepada-Nya dengan segala pertanyaan yang menjadi sumber kekhawatiran kita. Mungkin saja, seperti Daud, akan tiba saatnya segala pertanyaan kita akan diubah menjadi permohonan, penyerahan diri, dan pujian kepada Tuhan (ay.4-6). —Arthur Jackson

Tuhan, terima kasih karena aku boleh tetap datang menyembah-Mu meski ada banyak pertanyaan di dalam pikiranku.

Nyatakanlah pertanyaan dan pergumulanmu kepada Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 43-45; Matius 12:24-50

Kebangkitan Agung

Selasa, 18 Desember 2018

Kebangkitan Agung

Baca: Ulangan 34:1-8

34:1 Kemudian naiklah Musa dari dataran Moab ke atas gunung Nebo, yakni ke atas puncak Pisga, yang di tentangan Yerikho, lalu TUHAN memperlihatkan kepadanya seluruh negeri itu: daerah Gilead sampai ke kota Dan,

34:2 seluruh Naftali, tanah Efraim dan Manasye, seluruh tanah Yehuda sampai laut sebelah barat,

34:3 Tanah Negeb dan lembah Yordan, lembah Yerikho, kota pohon korma itu, sampai Zoar.

34:4 Dan berfirmanlah TUHAN kepadanya: “Inilah negeri yang Kujanjikan dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub; demikian: Kepada keturunanmulah akan Kuberikan negeri itu. Aku mengizinkan engkau melihatnya dengan matamu sendiri, tetapi engkau tidak akan menyeberang ke sana.”

34:5 Lalu matilah Musa, hamba TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan firman TUHAN.

34:6 Dan dikuburkan-Nyalah dia di suatu lembah di tanah Moab, di tentangan Bet-Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini.

34:7 Musa berumur seratus dua puluh tahun, ketika ia mati; matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang.

34:8 Orang Israel menangisi Musa di dataran Moab tiga puluh hari lamanya. Maka berakhirlah hari-hari tangis perkabungan karena Musa itu.

Mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia. —1 Tesalonika 4:14

Kebangkitan Agung

Ada kenangan berharga ketika berkunjung ke rumah sahabat keluarga kami sewaktu anak-anak masih kecil. Orang-orang dewasa seperti kami biasa berbincang-bincang sampai larut malam, sementara anak-anak yang kelelahan bermain meringkuk tertidur di sofa atau di kursi.

Ketika tiba waktunya pulang, saya akan menggendong anak-anak dalam pelukan, membawa mereka ke mobil, membaringkan mereka di kursi belakang, lalu pulang. Sesampainya di rumah, saya membopong mereka lagi, menaruh mereka di tempat tidur, memberi kecupan selamat malam, dan mematikan lampu. Mereka pun bangun keesokan harinya—di rumah mereka sendiri.

Bagi saya, pengalaman itu sarat akan metafora dari peristiwa kita yang “meninggal dalam Yesus” (1tes. 4:14). Kita hanya akan tertidur sejenak . . . lalu terbangun di kediaman abadi, suatu rumah yang akan memulihkan kita dari segala keletihan hidup yang pernah kita jalani.

Suatu hari, saya membaca teks dari Perjanjian Lama yang mengejutkan. Itu adalah kalimat dari bagian akhir kitab Ulangan: “Lalu matilah Musa, . . . di sana di tanah Moab, sesuai dengan firman Tuhan” (ul. 34:5). Dalam bahasa Ibrani, secara harfiah ayat itu berbunyi, “Matilah Musa . . . dengan mulut Tuhan.“ Menurut tafsiran kuno para rabi, frasa itu bisa diartikan “dengan kecupan dari Tuhan.”

Rasanya tidak berlebihan untuk membayangkan bahwa Allah membungkuk, membaringkan kita, lalu memberi kecupan selamat malam pada saat-saat terakhir kita di bumi. Kemudian, seperti kata John Donne, “Berlalulah satu tidur yang singkat, dan kita pun bangun dalam kekekalan.” —David H. Roper

Bapa Surgawi, kami dapat tidur dengan damai karena tangan-Mu menggendong kami.

Kematian hanya memindahkan kita dari ikatan waktu ke dalam keabadian. —William Penn

Bacaan Alkitab Setahun: Obaja; Wahyu 9