Segala sesuatu berjalan dengan baik di kehidupan Gwan-hee. Lulus dari salah satu universitas ternama di Korea Selatan, kerja sebagai peneliti di perusahaan besar di Korea, dan menikah dengan istri yang baik (Eun-joo Oh). Tidak sampai 100 hari setelah kelahiran anak pertama (So-yeon Lee), di bulan September 2015, Gwan-hee didiagnosis menderita kanker usus besar stadium empat.
Beberapa minggu terakhir ini, aku dikejutkan dengan kabar kepergian figur yang aku tahu. Kabar pertama datang dari seorang pendeta di gerejaku tempatku berjemaat dahulu, dan juga kepergian seorang musisi Indonesia.
Nama perempuan itu Saralyn, dan saya sempat menaksirnya semasa sekolah dahulu. Tawanya menyenangkan. Saya tidak yakin ia mengetahui perasaan saya, tapi saya rasa ia tahu.
Saya selalu takjub menyaksikan bagaimana damai—damai yang berkuasa dan melampai segala akal (Flp. 4:7)—dapat menguasai hati kita bahkan di tengah kedukaan yang mendalam.
Nenekku terbaring tak berdaya di tempat tidur. Nafasnya terengah-engah dan sesekali dia mengerang karena merasa sakit dan tidak nyaman. Wajahnya yang keriput menunjukkan usianya yang tua.
Saya dan cucu saya, Allyssa, memiliki kebiasaan yang kami lakukan saat kami berpisah. Kami akan berpelukan dan berpura-pura menangis terisak-isak selama kurang lebih 20 detik.