Posts

Ingatlah Yesus yang Pernah Menderita Bagi Kita – Artspace Jumat Agung

Apapun situasi yang kita alami saat ini, kita dapat yakin bahwa ada seseorang yang benar-benar tahu apa yang sedang kita hadapi. Karena Dia sendiri pernah melewati semua itu.

Jadi, kalau kamu mendapatkan diagnosa penyakit tertentu, ingatlah Yesus, yang hidup setiap hari dalam hidup-Nya dengan menyadari bahwa Dia akan mati dengan cara yang begitu kejam (Matius 16:21).

Jika kamu bergumul untuk menerima apa yang menjadi kehendak Tuhan (mungkin keadaan di rumah atau tempat kerjamu tidak berjalan seperti yang kamu inginkan), ingatlah Yesus yang memohon kepada Allah Bapa di Taman Getsemani (Lukas 22:42).

Jika teman-temanmu telah mengkhianati atau meninggalkanmu, ingatlah Yesus, yang juga dikhianati oleh Yudas, murid-Nya (Lukas 22:3-6).

Jika kamu mendapatkan tuduhan yang salah, ingatlah Yesus, yang juga mendapatkan tuduhan yang salah di hadapan Pilatus dan Herodes (Lukas 23:2, 10).

Jika kamu telah kehilangan semua yang kamu miliki, ingatlah Yesus, yang meninggalkan takhta-Nya di surga untuk datang ke dunia yang telah jatuh dalam dosa ini (Filipi 2:6-8).

Jika kamu tidak mendapatkan apa yang menjadi hakmu, ingatlah Yesus, yang tubuh-Nya didera bagi kita (Filipi 2:6-8).

Jika kamu sedang menghadapi sakit secara fisik, ingatlah Yesus yang tergantung di kayu salib (Yesaya 53:4-5).

Jika kamu merasa diabaikan oleh Allah, ingatlah Yesus, yang ditinggalkan Allah di atas kayu salib (Matius 27:46).

Ingatlah Yesus.

Ingatlah bahwa Dia telah mati untuk memberikan kita hidup.

Ingatlah juga bahwa Dia pernah hidup di dunia ini untuk menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya kita hidup.

Paskah dalam Masa-masa Sulit

Oleh Robert Solomon, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Plagues, Quarantines, and Lent

Banyak orang saat ini tak bisa beraktivitas dengan leluasa dan dianjurkan untuk menghabiskan waktu dan bekerja dari rumah saja. Ada lebih banyak waktu yang dapat dipergunakan untuk membaca dan berelasi dengan orang-orang terkasih. Alih-alih menghabiskan waktu untuk menghibur diri sendiri, alangkah baiknya jika kita mempergunakan waktu kita untuk membaca, berdoa, dan melayani dengan berbagai cara yang Tuhan ingin kita lakukan.

Waktu aku masih muda dulu, aku membaca buku berjudul “The Plague” (wabah) karya Albert Camus. Camus adalah pemikir eksistensialis dan seorang ateis. Dia menulis novel ini pada 1947, dua tahun setelah Perang Dunia II usai. The Plague bercerita tentang wabah di Oran, sebuah kota di Algeria. Kota itu menutup perbatasan dan berjuang mati-matian untuk mengentaskan wabah.

Kisah perjuangan melawan wabah itu menunjukkan beragam perilaku dan motivasi manusia kala menghadapi krisis. Bagi Camus, ketiadaan makna dari kehidupan memaksa orang-orang untuk mencarinya—dan baginya, makna itu didapat dalam solidaritas antar manusia.

Sosok yang menjadi pahlawan bagi Camus adalah seorang dokter yang menggulung lengan bajunya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa, meskipun sang dokter tahu bahwa situasi yang dihadapinya suram. Para rohaniawan digambarkan Camus sebagai sosok yang tidak berguna, mereka hanya bisa menyuarakan kata-kata yang tak bisa menyembuhkan atau menolong orang dalam wabah ini.

Camus adalah seorang ateis dan dia tidak menyadari bahwa selama masa wabah pes di Eropa abad ke-14, tingkat kematian di kalangan rohaniawan gereja 20% lebih tinggi daripada populasi pada umumnya. Akibat wabah ini, sepertiga populasi Eropa musnah.

Kematian para rohaniawan bukanlah hukuman tambahan bagi mereka, tapi karena merekalah yang melayani orang-orang yang terinfeksi dan sekarat. Para rohaniawan bukannya “tidak berguna” seperti yang digambarkan masyarakat sekuler. Faktanya, iman Kristen mewartakan pesan yang berisi harapan terbesar bagi umat manusia di tengah suasana paling suram, sebagaimana C.S Lewis mengingatkan kita.

Dalam artikelnya yang berjudul, “On Living in an Atomic Age”, Hidup dalam Era Atom, ketika ketakutan akan bahaya senjata nuklir mengancam umat manusia, Lewis menuliskan kata-katanya. Secara sederhana, kita bisa mengubah kata “bom” yang ditulis Lewis dengan “virus corona”, dan kebenarannya tetaplah sama.

“Di satu sisi, kita terlalu banyak memikirkan bom atom. ‘Bagaimana kita bisa hidup di era nuklir seperti ini?’ Aku tergerak untuk menjawab: ‘Mengapa gelisah? Bayangkan, kamu bisa saja hidup di abad 16 ketika wabah menjangkiti kota London hampir setiap tahun, atau kamu hidup di masa Viking ketika orang-orang dari Skandinavia mendarat di tanahmu dan menyembelihmu kala malam; atau, kamu hidup di masa-masa penyakit kanker, sifilis, kelumpuhan, serangan udara, kecelakaan kereta api, juga kecelakaan lalu lintas seringkali terjadi’

Dengan kata lain, janganlah kita membesar-besarkan kesusahan yang kita hadapi saat ini. Percayalah kepadaku, wahai ibu dan bapak, kamu dan semua yang kamu kasihi telah dihukum menghadapi kematian bahkan sebelum bom atom ditemukan; dan banyak dari kita menghadapi kematian dengan cara yang mengenaskan. Memang, sekarang generasi kita mengenal sesuatu yang lebih baik daripada leluhur kita—anestesi; tapi kematian tetaplah tak terhindarkan. Sangat konyol untuk merintih dan bersedih hanya karena para ilmuwan menambah daftar kesakitan dan kematian yang lebih dini kepada dunia yang sejatinya telah dipenuhi oleh kengerian dan derita, di mana kematian itu sendiri bukanlah sebuah kesempatan, tapi kepastian.

“Inilah hal pertama yang harus kita lakukan: dan langkah pertama yang harus diambil adalah kita perlu menenangkan diri kita. Jika bom atom yang akan membinasakan kita, biarkanlah hal itu terjadi di saat kita melakukan kegiatan kita sehari-hari seperti biasa—berdoa, bekerja, mengajar, membaca, mendengarkan musik, memandikan anak-anak, bermain tenis, mengobrol dengan rekan kita sambil minum dan bermain—bukannya bersembunyi seperti kawanan domba yang ketakutan dan selalu memikirkan tentang bom. Bom-bom itu mungkin menghancurkan tubuh kita (bakteri pun bisa melakukannya), tetapi mereka tidak mampu mengatur pikiran kita.”

Bagi Camus, virus itu melambangkan kejahatan manusia—sama seperti yang terjadi saat perang dunia berlangsung. Virus itu hidup dan menjangkiti hati manusia dan masyarakat, serta menyebar seperti infeksi endemik. Camus tak punya solusi nyata atau pun harapan.

Namun, orang Kristen punya pandangan berbeda. Kita menantikan hari ketika Kristus akan datang kembali untuk menghapus setiap tetes air mata dan mengakhiri kejahatan serta penderitaan (Wahyu 21:4).

Yesus Kristuslah harapan kita yang sesungguhnya. Dialah yang telah mengalahkan maut serta dosa yang menjangkiti umat manusia—dengan mengalahkannya di kayu salib dan bangkit dari maut. Marilah kita memandang kepada Kristus dan menguatkan hati di kala badai menerpa. Kristus telah mengalahkan dunia (Yohanes 16:33).

Kata “quarantine” atau “karantina” digunakan pertama kali pada abad 14 di Venezia, mengingatkan kita akan keadaan menyeramkan yang saat ini juga dihadapi di Italia. Kala itu, Venezia adalah sebuah pusat perdagangan dengan pelabuhan yang sangat sibuk. Untuk mencegah masuknya wabah, pemerintah saat itu mewajibkan semua kapal tetap di laut selama 40 hari sebelum bisa berlabuh.

Kata asli yang digunakan adalah “Quaranta giorni” yang artinya periode selama 40 hari. Kata ini diadaptasi menjadi “quarantine” dalam bahasa Prancis dan Inggris, dan juga diasosiasikan dengan 40 hari pencobaan Kristus di padang gurun (Markus 12-13), juga 40 hari masa pra-Paskah.

Kita tidak menampik, hari ini pun kita menjalani masa pra-Paskah dalam situasi yang tidak seperti biasanya. Setiap hari kita mendengar berita tentang karantina dan lockdown. Pikiran kita secara alami berkutat tentang COVID-19 yang merebak di banyak negara. Tapi, adalah penting untuk juga memfokuskan pikiran kita kepada Kristus, sebab masa pra-Paskah adalah masa-masa untuk mengingat kembali penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya.

Namun, banyak orang Kristen mungkin telah lupa bahwa saat ini kita ada dalam masa-masa pra-Paskah! Pikiran tentang virus membuyarkan perhatian kita, seperti Petrus yang berfokus pada gelombang laut daripada Yesus, hingga akhirnya dia tenggelam (Matius 14:29-30).

Jadi, marilah kita menghormati Tuhan dengan memfokuskan kembali pikiran kita kepada-Nya, mempercayai-Nya, menaati-Nya, dan melayani dalam nama-Nya. Janganlah kita kehilangan kebiasaan kita untuk menyembah-Nya secara pribadi dan bersama-sama, meskipun kita menghadapi tantangan saat ini.

Marilah kita “bersukacita dalam pengharapan, sabar dalam kesesakan, dan bertekun dalam doa!” (Roma 12:12). Seiring kita mengisi hari-hari dalam karantina, marilah kita menghayati pra-Paskah dengan mengingat apa yang biasanya kita lakukan pada masa ini (berdoa, berpuasa, berbalik pada Tuhan, menguduskan diri kita sepenuhnya untuk Tuhan dan melakukan apa yang baik).

Dalam kesunyian dan keheningan, marilah kita menghadap hadirat-Nya. Meskipun kita mendengar kata “social distancing”, atau pun kita merasa kesepian dan terkurung, kiranya kita dapat senantiasa menemukan keintiman rohani bersama Allah dan dalam tubuh Kristus.

Benarlah apa yang Alkitab katakan: “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya” (Yesaya 26:3).

Baca Juga:

Di Tengah Kegelapan, Aku Melihat Terang

Yehuda, di bawah kepemimpinan Raja Ahas memilih berpaling dari Allah dan jatuh ke dalam kegelapan. Berkaca dari peristiwa itu, manakah yang mau kita pilih: merangkul, atau menjauhi Terang?

3 Hal yang Membuat Kematian Yesus Berbeda

Penulis: Abyasat Tandirura

Kematian-yang-istimewa

Kematian itu menakutkan. Bisa merenggut siapa saja tanpa memandang usia. Dua tahun silam, nenekku meninggal setelah menjalani perawatan di rumah sakit selama beberapa hari. Sebulan setelah pemakamannya, keponakan perempuanku yang masih bayi juga meninggal dunia. Bersama keluarga besar di Toraja, aku mengikuti ritual panjang pemakaman jenazah dengan perasaan campur aduk.

Di Toraja, jenazah tidak dimakamkan begitu saja. Ada ritual panjang yang disebut Rambu Solo’ (Rambu=asap, Solo’=turun) yang meliputi penyembelihan hewan (kerbau dan babi) dengan jumlah yang tidak sedikit. Menurut kepercayaan leluhur orang Toraja (aluk todolo), makin banyak hewan yang dikurbankan, makin cepat roh orang yang meninggal mencapai Puya (dunia arwah, tempat perhentian sejatinya). Biayanya yang fantastis membuat ada yang berkata bahwa “orang Toraja itu hidup hanya untuk mempersiapkan kematian”.

Setelah Injil masuk ke Toraja lebih dari 100 tahun lalu, pandangan orang Toraja sudah banyak berubah. Yang diyakini dapat membawa orang ke tempat perhentian sejati (surga) bukan lagi kurban hewan yang banyak, melainkan Yesus Kristus saja. Yesus telah mati disalib sebagai kurban yang sempurna, sehingga setiap orang yang percaya kepada-Nya dapat memasuki tempat perhentian yang kekal (surga). Kalaupun orang masih menyumbang dan menyembelih hewan, kebanyakan orang Toraja memaknainya hanya sebagai simbol penghormatan dan kasih kepada orang yang meninggal sekaligus wujud empati terhadap keluarga yang berduka. Ritual rambu solo kini menjadi sarana mempererat tali kasih persaudaraan dan semangat kekeluargaan. Di dalamnya ada kebaktian penghiburan bagi segenap keluarga besar yang ditinggalkan.

Mengikuti rangkaian pemakaman kedua anggota keluarga yang sangat kukasihi membuat aku banyak merenungkan kembali tentang kematian. Secara khusus, aku diingatkan pada kematian Yesus Kristus yang sangat berbeda dengan kematian manusia pada umumnya.

1. Yesus memilih untuk memberikan nyawa-Nya sekalipun Dia sebenarnya berkuasa untuk menghindari kematian.

Nenekku meninggal di usia 80-an, sedangkan keponakan perempuanku di usia 42 hari. Tidak seorang pun di dunia ini yang tahu persis kapan kematian akan menjemputnya. Namun, Yesus berbeda. Dia tahu kapan “saatnya tiba” (bandingkan Yohanes 7:30 dengan Markus 14:41-42). Yesus mati bukan karena Dia tidak berdaya menghadapi kematian, namun karena Dia memang memilih untuk menyerahkan nyawa-Nya (Yohanes 10:17-18; 2 Korintus 5:15). Kebangkitan-Nya setelah tiga hari kemudian menegaskan fakta bahwa Yesus berkuasa atas kehidupan dan kematian. Sebab itulah, kita dapat mempercayakan hidup dan mati kita kepada-Nya.

2. Yesus rela mati dalam kehinaan sekalipun Dia adalah Anak Allah yang layak dihormati.

Seringkali besarnya acara pemakaman dianggap menjadi simbol penghormatan dan kasih keluarga kepada orang yang meninggal. Dalam Rambu Solo’ yang aku ikuti bahkan ada yang namanya Ma’badong, suatu tarian kedukaan yang disertai lantunan syair ratapan.

Yesus mati disalib bersama para penjahat, hukuman paling hina pada zaman itu. Tidak ada ritual khusus yang mengantar kematian-Nya, orang-orang yang mengasihi-Nya mungkin hanya bisa melihat dan menangis dari jauh. Dia bahkan dimakamkan secara sembunyi-sembunyi di kuburan milik orang lain (Matius 27:57-60; Yohanes 19:38). Padahal, Yesus adalah Pribadi yang selayaknya mendapat penghormatan tertinggi. Tanda-tanda ajaib menjelang kematian-Nya membuat kepala pasukan dan para prajurit yang berjaga di dekat-Nya mau tidak mau mengakui bahwa Dia sungguh adalah Anak Allah (Matius 27:45-54).

Yesus menunjukkan kepada kita bahwa menaati Allah dan mendapatkan penghormatan-Nya itu jauh lebih penting daripada penghormatan manusia (Yohanes 17:4; Filipi 2:5-11). Melalui kematian-Nya Yesus menunjukkan betapa besar kasih Allah kepada kita (Yohanes 3:16; Roma 5:10).

3. Yesus mati untuk memberikan kehidupan kekal bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya.

Kerinduan leluhur orang Toraja adalah masuk ke dalam tempat perhentian yang sejati. Segala harta diberikan demi bisa mengurbankan banyak hewan yang dipercaya dapat mengantar roh mereka menuju ke sana. Yesus mati untuk menjawab kerinduan orang Toraja dan semua manusia akan tempat perhentian yang sejati (surga) itu. Dia adalah jalan kepada Allah Bapa dan sedang menyediakan tempat kediaman abadi bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya (Yohanes 14:1-7). Kelak, Dia akan datang kembali untuk membawa kita yang percaya tinggal bersama-Nya (ayat 3).

Betapa istimewanya kematian Yesus! Setiap kali mengingat-Nya, aku dihiburkan, karena Yesus menunjukkan kepadaku betapa besar kasih Allah kepadaku. Kematian bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari kehidupan yang baru bersama Allah selamanya. Meski di dunia ini, maut bisa memisahkan kita dengan orang-orang yang kita kasihi, di surga nanti, setiap orang yang percaya kepada-Nya akan kembali bertemu dan tinggal bersama dalam sukacita abadi, sebagaimana yang dinubuatkan nabi Yesaya: “... dan orang-orang yang dibebaskan TUHAN akan pulang dan masuk ke Sion dengan bersorak-sorai, sedang sukacita abadi meliputi mereka; kegirangan dan sukacita akan memenuhi mereka, kedukaan dan keluh kesah akan menjauh” (Yesaya 35:10).

 

Untuk direnungkan lebih lanjut

Apa arti kematian dan kebangkitan Yesus untukmu?
Yuk bagikan dalam kolom komentar di bawah ini…

Siapakah Orang Ini?

Selasa, 1 Juli 2014

Siapakah Orang Ini?

Baca: Matius 27:32-44

27:32 Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus.

27:33 Maka sampailah mereka di suatu tempat yang bernama Golgota, artinya: Tempat Tengkorak.

27:34 Lalu mereka memberi Dia minum anggur bercampur empedu. Setelah Ia mengecapnya, Ia tidak mau meminumnya.

27:35 Sesudah menyalibkan Dia mereka membagi-bagi pakaian-Nya dengan membuang undi.

27:36 Lalu mereka duduk di situ menjaga Dia.

27:37 Dan di atas kepala-Nya terpasang tulisan yang menyebut alasan mengapa Ia dihukum: "Inilah Yesus Raja orang Yahudi."

27:38 Bersama dengan Dia disalibkan dua orang penyamun, seorang di sebelah kanan dan seorang di sebelah kiri-Nya.

27:39 Orang-orang yang lewat di sana menghujat Dia dan sambil menggelengkan kepala,

27:40 mereka berkata: "Hai Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, selamatkanlah diri-Mu jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!"

27:41 Demikian juga imam-imam kepala bersama-sama ahli-ahli Taurat dan tua-tua mengolok-olokkan Dia dan mereka berkata:

27:42 "Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan! Ia Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib itu dan kami akan percaya kepada-Nya.

27:43 Ia menaruh harapan-Nya pada Allah: baiklah Allah menyelamatkan Dia, jikalau Allah berkenan kepada-Nya! Karena Ia telah berkata: Aku adalah Anak Allah."

27:44 Bahkan penyamun-penyamun yang disalibkan bersama-sama dengan Dia mencela-Nya demikian juga.

Dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita. —Roma 1:4

Siapakah Orang Ini?

Sewaktu Kelly Steinhaus mengunjungi Harvard Square untuk menanyai para mahasiswa tentang Yesus, pendapat yang mereka berikan mengungkapkan suatu rasa hormat pada diri-Nya. Seorang mengatakan, “Dia begitu peduli pada sesama manusia.” Yang lain mengatakan, “Sepertinya Dia orang yang menyenangkan.” Yang lain menolak- Nya mentah-mentah: “Dia hanya manusia biasa. Kurasa Dia bukan Juruselamat.” Ada pula yang berkata, “Aku tidak bisa menerima keyakinan atau agama yang menyatakan, ‘Akulah satu-satunya jalan kepada Allah.’” Ada yang memang serius memikirkan tentang Yesus tetapi ada juga yang menolak-Nya.

Ketika Yesus menghadapi kematian-Nya 2000 tahun yang lalu, banyak orang yang melecehkan pemikiran bahwa Dia adalah seorang yang istimewa. “Di atas kepala-Nya terpasang tulisan yang menyebut alasan mengapa Ia dihukum: ‘INILAH YESUS RAJA ORANG YAHUDI’” (Mat. 27:37). Mereka yang berkata, “Hai Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, selamatkanlah diri-Mu!” (ay.40) telah meragukan kuasa-Nya. Para pemuka agama bahkan berkata, “Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!” (ay.42).

Dalam kematian-Nya, kelihatannya Yesus tidak berdaya sama sekali. Namun ketika membaca keseluruhan kisahnya, kita melihat bahwa Dia telah menyerahkan nyawa-Nya dengan rela. Dia membuktikan bahwa diri-Nya memang Anak Allah dengan kuasa tak terbatas ketika Dia bangkit dari kubur. Hayatilah kematian-Nya dan saksikanlah kuasa kebangkitan-Nya. Dialah Juruselamat dunia! —JDB

Bangkitlah Dia megah,
Kuasa Iblis patah menyerah;
Alam maut sudah dikalahkan-Nya,
Ia hidup dan berkuasa s’lamanya! —Lowry
(Kidung Jemaat, No. 195)

Kebangkitan Yesus telah menaklukkan kuasa maut.

Alur Emas

Selasa, 24 Juni 2014

Alur Emas

Baca: Roma 6:1-14

6:1 Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?

6:2 Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?

6:3 Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?

6:4 Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.

6:5 Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya.

6:6 Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa.

6:7 Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa.

6:8 Jadi jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya, bahwa kita akan hidup juga dengan Dia.

6:9 Karena kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia.

6:10 Sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah.

6:11 Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus.

6:12 Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.

6:13 Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran.

6:14 Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia.

Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya. —Roma 6:5

Alur Emas

Ketika mengunjungi daerah Cotswold yang indah di Inggris, saya membeli sejumlah cangkir keramik sebagai cenderamata. Saya memakainya dengan hati-hati, tetapi suatu hari sebuah cangkir terjatuh di wastafel dan pecah. Baru-baru ini saya teringat pada cangkir yang pecah tersebut saat mengetahui tentang seni Kintsugi asal Jepang.

Biasanya saat suatu benda pecah atau rusak, kita berusaha memperbaikinya agar dapat dipakai kembali. Namun beberapa ratus tahun yang lalu, seorang seniman Jepang memutuskan bahwa ia akan membuat benda keramik yang telah pecah menjadi sesuatu yang indah. Jadi ia mulai menggunakan resin emas untuk menyatukan kembali pecahan-pecahan keramik itu. Benda-benda keramik yang telah diperbaiki dengan menggunakan metode tersebut akhirnya menampilkan alur-alur emas yang berseluk-beluk.

Pada awal kisah umat manusia, dosa masuk ke dalam dunia (Kej. 3). Para ahli teologi menyebut peristiwa itu sebagai “kejatuhan”. Dampak yang tak terhindari dari kejatuhan tersebut ialah kehancuran. Hidup terasa menyakitkan karena kita terus tersakiti dan menyakiti orang lain dengan sikap dan perilaku kita yang tajam. Namun Allah tidak menginginkan kita terus hancur, dan karya perbaikan-Nya mengubah kehancuran kita menjadi sesuatu yang indah.

Bagai seorang seniman Kintsugi, Allah memperbaiki kita. Namun Allah menggunakan sesuatu yang lebih berharga daripada emas, yakni darah Anak-Nya. Kita tidak disatukan oleh alur-alur emas, melainkan oleh aliran darah Kristus itu sendiri. “Kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya” (Rm. 6:5). Tiada yang lebih indah daripada itu. —JAL

Dia curahkan darah-Nya, berikan hidup-Nya;
Dia berikan segala milik-Nya di Kalvari;
Oh apa yang dapat kita berikan kepada-Nya
Balas kasih yang amat kaya, penuh, cuma-cuma? —NN.

Harga kebebasan kita dari dosa telah dibayar lunas oleh darah Yesus.

Mahkota Kemuliaan

Selasa, 10 Juni 2014

Mahkota Kemuliaan

Baca: Yohanes 19:1-8

19:1 Lalu Pilatus mengambil Yesus dan menyuruh orang menyesah Dia.

19:2 Prajurit-prajurit menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepala-Nya. Mereka memakaikan Dia jubah ungu,

19:3 dan sambil maju ke depan mereka berkata: "Salam, hai raja orang Yahudi!" Lalu mereka menampar muka-Nya.

19:4 Pilatus keluar lagi dan berkata kepada mereka: "Lihatlah, aku membawa Dia ke luar kepada kamu, supaya kamu tahu, bahwa aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya."

19:5 Lalu Yesus keluar, bermahkota duri dan berjubah ungu. Maka kata Pilatus kepada mereka: "Lihatlah manusia itu!"

19:6 Ketika imam-imam kepala dan penjaga-penjaga itu melihat Dia, berteriaklah mereka: "Salibkan Dia, salibkan Dia!" Kata Pilatus kepada mereka: "Ambil Dia dan salibkan Dia; sebab aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya."

19:7 Jawab orang-orang Yahudi itu kepadanya: "Kami mempunyai hukum dan menurut hukum itu Ia harus mati, sebab Ia menganggap diri-Nya sebagai Anak Allah."

19:8 Ketika Pilatus mendengar perkataan itu bertambah takutlah ia,

Prajurit-prajurit menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepala-Nya. —Yohanes 19:2

Mahkota Kemuliaan

Seperangkat tanda dan jubah kebesaran milik Kerajaan Inggris Raya yang disebut Crown Jewels disimpan dengan aman di Menara London dan dijaga ketat 24 jam sehari. Setiap tahunnya, jutaan orang akan mengunjungi pameran itu untuk mengagumi harta benda yang penuh hiasan tersebut. Crown Jewels melambangkan kekuasaan dari kerajaan itu, sekaligus kewibawaan dan kedudukan dari orang-orang yang mengenakannya.

Salah satu bagian dari Crown Jewels adalah mahkota. Ada tiga jenis mahkota yang berbeda: mahkota penobatan, yang dikenakan ketika seseorang dinobatkan sebagai raja atau ratu; mahkota negara (atau coronet/mahkota kecil) yang dipakai pada beragam kegiatan; dan mahkota permaisuri yang dikenakan oleh istri dari raja yang sedang berkuasa. Setiap mahkota memiliki fungsinya masing-masing.

Sang Raja Surgawi, yang layak mengenakan mahkota teragung dan mendapat penghormatan tertinggi, mengenakan mahkota yang jauh berbeda. Pada saat Kristus dihina dan disiksa sebelum disalibkan, “prajurit-prajurit menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepala-Nya. Mereka memakaikan Dia jubah ungu” (Yoh. 19:2). Hari itu, mahkota, yang biasanya merupakan lambang kerajaan dan kehormatan, berubah menjadi alat caci-maki dan penuh kebencian. Akan tetapi Juruselamat kita rela mengenakan mahkota itu bagi kita, dengan menanggung malu dan dosa kita.

Yesus, Pribadi yang layak mengenakan mahkota yang terbaik dari segalanya, rela mengenakan mahkota yang terburuk demi kita. —WEC

Dia nobatkanlah
Sang Raja hidupmu;
Sang maut dikalahkan-Nya
Demi selamatmu. —Bridges/Thring
(Kidung Jemaat, No. 226)

Tiada mahkota tanpa salib.

Kemenangan Atas Kematian!

Senin, 21 April 2014

Kemenangan Atas Kematian!

Baca: Yohanes 5:24-30

5:24 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup.

5:25 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya saatnya akan tiba dan sudah tiba, bahwa orang-orang mati akan mendengar suara Anak Allah, dan mereka yang mendengarnya, akan hidup.

5:26 Sebab sama seperti Bapa mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri, demikian juga diberikan-Nya Anak mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri.

5:27 Dan Ia telah memberikan kuasa kepada-Nya untuk menghakimi, karena Ia adalah Anak Manusia.

5:28 Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya,

5:29 dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.

5:30 Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.

Waktunya akan datang bahwa semua orang yang sudah mati mendengar suara-Nya, lalu keluar dari kuburan. —Yohanes 5:28-29 (BIS)

Kemenangan Atas Kematian!

Sebuah lukisan kuno yang baru-baru ini saya lihat meninggalkan kesan yang sangat mendalam. Lukisan itu berjudul Anastasis yang berarti “kebangkitan”, dan menggambarkan kemenangan gemilang Kristus atas kematian dengan cara yang sangat menakjubkan. Pada lukisan itu digambarkan Tuhan Yesus, yang baru saja bangkit dari kubur-Nya, sedang menarik Adam dan Hawa keluar dari peti mati mereka untuk dibawa- Nya menuju hidup yang kekal. Yang luar biasa dari karya itu adalah penggambarannya tentang bagaimana kematian jasmani dan rohani, yang merupakan akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa itu, secara dramatis diputarbalikkan oleh Kristus yang bangkit.

Sebelum kematian-Nya di kayu salib, Tuhan Yesus menggambarkan suatu hari di masa yang akan datang ketika Dia akan memanggil semua orang yang percaya ke dalam suatu keberadaan yang baru dan mulia: “Waktunya akan datang bahwa semua orang yang sudah mati mendengar suara-Nya, lalu keluar dari kuburan” (Yoh. 5:28-29 BIS).

Kemenangan Kristus atas kematian membuat kubur bukan akhir dari segalanya. Memang wajar kita merasa sedih dan berduka ketika orang-orang yang kita kasihi meninggal dunia dan kita dipisahkan dari mereka dalam kehidupan ini. Namun orang yang percaya tidaklah berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan (1Tes. 4:13). Dampak dari kebangkitan Yesus adalah bahwa semua orang Kristen kelak akan dipanggil keluar dari kubur mereka untuk diberikan tubuh kebangkitan yang mulia (1Kor. 15:42-44). Maka “demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan” (1Tes. 4:17). —HDF

Tuhan, kami bersyukur untuk pengorbanan-Mu atas dosa kami
sehingga kami boleh hidup. Kami berterima kasih, karena Engkau
mati dan bangkit kembali, kami punya jaminan bahwa suatu hari
nanti kami akan bersama-Mu di surga di mana tak ada kematian lagi.

Karena Kristus hidup, kita juga akan hidup.

Paskah Setiap Hari

Minggu, 20 April 2014

Paskah Setiap Hari

Baca: Ibrani 10:11-18

10:11 Selanjutnya setiap imam melakukan tiap-tiap hari pelayanannya dan berulang-ulang mempersembahkan korban yang sama, yang sama sekali tidak dapat menghapuskan dosa.

10:12 Tetapi Ia, setelah mempersembahkan hanya satu korban saja karena dosa, Ia duduk untuk selama-lamanya di sebelah kanan Allah,

10:13 dan sekarang Ia hanya menantikan saatnya, di mana musuh-musuh-Nya akan dijadikan tumpuan kaki-Nya.

10:14 Sebab oleh satu korban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan.

10:15 Dan tentang hal itu Roh Kudus juga memberi kesaksian kepada kita,

10:16 sebab setelah Ia berfirman: “Inilah perjanjian yang akan Kuadakan dengan mereka sesudah waktu itu,” Ia berfirman pula: “Aku akan menaruh hukum-Ku di dalam hati mereka dan menuliskannya dalam akal budi mereka,

10:17 dan Aku tidak lagi mengingat dosa-dosa dan kesalahan mereka.”

10:18 Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa.

Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya. —Matius 28:6

Paskah Setiap Hari

Suatu hari, seorang sahabat saya yang bekerja sebagai guru taman kanak-kanak mendengar pembicaraan yang meriah di antara murid-muridnya. Seorang anak bernama Maria bertanya: “Siapa yang mengasihi Tuhan?” Semua temannya menjawab, “Aku! Aku! Aku!” Jawab Billy, “Aku mengasihi Yesus.” Kelly pun protes, “Tetapi Dia mati.” Billy menjawab, “Memang, tetapi setiap hari Paskah, Dia bangkit dari kematian!”

Tentu saja, sebagai anak kecil, pemahaman Billy tentang makna Paskah masih belum sempurna. Kita tahu bahwa Yesus mati satu kali dan untuk selama-lamanya (Rm. 6:10; Ibr. 10:12) dan tentu, hanya sekali pula bangkit dari kematian. Tiga hari setelah menanggung hukuman atas dosa kita di kayu salib, Yesus yang tidak berdosa menaklukkan kematian dengan bangkit dari kubur dan mematahkan kuasa dosa. Pengorbanan terakhir dengan pencurahan darah inilah yang membuka satu-satunya jalan bagi manusia untuk dapat memiliki hubungan dengan Allah sekarang dan tinggal bersama-Nya untuk selamanya.

“Kristus telah mati karena dosa-dosa kita . . . Ia telah dikuburkan, dan . . . Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga” (1Kor. 15:3-4). Dia telah berjanji akan menyediakan tempat bagi kita (Yoh. 14:1-4), dan Dia akan datang kembali suatu hari nanti. Kelak kita akan bersama dengan Juruselamat kita yang telah bangkit.

Itulah mengapa setiap tahun di masa Paskah—bahkan, setiap hari di sepanjang tahun—kita memiliki alasan untuk merayakan kebangkitan Juruselamat kita. “Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku” (Mzm. 34:2). —CHK

Maha Pengasih hidup dan mati
Untuk menghapus dosaku bersih;
Kebangkitan-Nya dasar imanku,
Kedatangan-Nya berkat abadi. —Chapman
(Nyanyikanlah Kidung Baru, No. 70)

Kebangkitan Kristus adalah alasan perayaan kita.

Hari Yang Mulia!

Senin, 21 Oktober 2013

Hari Yang Mulia!

Baca: Matius 27:27-31; 28:1-6

Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit. —Matius 28:6

Hari sebelumnya, tim favorit saya baru saja kalah dalam pertandingan final dan mimpi meraih juara pun kandas. Cuaca di luar begitu dingin dan agak mendung ketika saya masuk ke mobil untuk pergi ke tempat kerja. Semestinya semua keadaan tersebut tidak terlalu mempengaruhi suasana hati saya, tetapi rasanya hari itu akan menjadi Senin kelabu bagi saya.

Lalu terdengar sebuah lagu di radio yang mengubah perspektif saya. Lagu itu berjudul Glorious Day (Hari yang Mulia) yang dinyanyikan oleh Casting Crowns. “Hari itu [Kristus] dibawa ke Kalvari, hari itu Dia dipaku untuk mati di kayu salib.” Belum muncul perkataan yang menguatkan. “Menanggung sengsara, nista dan hina”—semakin menambah kabar buruk. Namun selanjutnya lagu itu menggambarkan kabar baik tentang kebangkitan Kristus dan kemenangan-Nya atas maut.

Dari hari yang paling kelam itu—dari kegelapan di tengah hari yang melingkupi bukit di Yerusalem—telah muncul satu-satunya harapan sejati bagi umat manusia. Karena Yesus “dipaku di salib bagiku,” dalam lirik lagu itu, “Dia menghapus dosaku bersih.” Dan suatu hari Dia akan datang kembali—“Itulah hari yang mulia!”

Mungkin Anda tidak memulai hari ini dengan baik. Mungkin hari ini Anda menghadapi sejumlah masalah yang mengancam untuk menenggelamkan Anda ke dalam keputusasaan. Arahkan perhatian Anda kepada Yesus. Tinjaulah yang telah dilakukan-Nya bagi Anda di Kalvari dan bagaimana Dia menaklukkan maut dengan kebangkitan-Nya: “Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit” (Mat. 28:6). Oleh karena itu, setiap hari bisa menjadi hari yang mulia! —JDB

Oleh hidup-Nya, Dia kasihiku; oleh mati-Nya, Dia selamatkanku;
Oleh kubur-Nya, Dia menghapus dosaku bersih;
Oleh bangkit-Nya, Dia benarkanku selamanya;
Kelak Dia akan datang—itulah hari yang mulia! —Chapman

Kubur Kristus yang kosong memenuhi kita dengan harapan.