Posts

Renungan untuk Kaum Rebahan

Oleh Giovanni Elvaretta, Bandung

Kegiatan yang paling aku nikmati ketika hari libur adalah rebahan. Bangun pagi hari, berjalan ke meja untuk bersaat teduh sejenak, lalu kembali lagi ke kasur menikmati dinginnya udara pagi yang menempel di seluruh bagian kasur dan bantal. Ah, nikmat sekali rasanya. Tapi, oh! Aku lupa. Rebahanku jadi lebih nikmat jika ditambah dengan melihat Instagram, TikTok, atau YouTube di gadget kesayangan. Rasanya hidupku sangat nyaman.

Konten-konten menarik yang tersaji di media sosial membuatku lupa waktu. Rasa penasaran untuk mencari tahu tidak luntur, “Ada hal menarik apa lagi? Ada hal lucu apalagi? Ada info viral apalagi?”. Tanpa terasa, setengah hari sudah berlalu! Setengah hari itu dijalani hanya dengan rebahan–menikmati dunia media sosial yang belum tentu terjadi dalam kehidupan nyataku.

Kalau dipikir-pikir, apa gunanya kegiatan rebahan yang kulakukan itu? Apakah ada hal positif yang bisa kudapat? Pikiranku sontak menjawab, oh tentu! Ada berbagai konten positif di media sosial yang bisa kuterapkan di hidupku…tapi, perlukah sampai menghabiskan setengah hari hanya untuk mencari konten-konten itu?

Mengatakan bahwa aku mencari inspirasi dari konten-konten positif agaknya hanyalah dalih yang kusebut untuk menutupi sifat buruk yang terselubung di balik rebahanku: rasa malas yang kunikmati. Aku rela menghabiskan setengah dari satu hari yang Tuhan berikan buatku hanya untuk melakukan aktivitas yang mendorongku jadi semakin malas. Kurasa aku telah membuang sia-sia waktu yang telah Tuhan berikan.

Dalam perenunganku akan kemalasanku itu, aku tertegur oleh isi dari Amsal 6:6-15. Petikan ayat yang tak asing kita dengar dari perikop itu berkata, “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakuknya dan jadilah bijak” (ayat 6). Dalam perikop itu, penulis Amsal hendak memberikan nasihat kepada si pemalas dan memberitahukan akibat dari kemalasan yang dipelihara. Semut, hewan yang hidupnya tidak diatur maupun diawasi oleh manusia mampu bekerja produktif untuk mengumpulkan makanan. Secara sederhana, penulis Amsal menyiratkan bahwa semut menggunakan waktu hidup mereka dengan baik.

Bagiku pribadi, penulis Amsal dengan tepat memberikan contoh pelajaran hidup dari si semut. Sebagai anak Allah yang mempunyai hidup yang lebih berwarna dari semut, seharusnya aku dapat memaknai hidupku dengan lebih sungguh. Sebagai anak Allah yang mempunyai relasi yang dekat dengan Allah, seharusnya aku dapat menggunakan waktu yang Tuhan berikan dengan bijaksana, dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan-Nya. Waktuku, waktumu, adalah waktu yang sangat berharga dari Tuhan dan tidaklah pantas untuk disia-siakan dengan kemalasan.

Penulis Amsal juga mengingatkan bahwa kemalasan yang dipelihara akan mendatangkan ganjaran, yaitu kemiskinan dan kebinasaan (ayat 11). Kemalasan memang terasa nyaman dilakukan, tapi tanpa disadari ia akan mencegah dan menjerat kita dari melakukan sesuatu yang lebih berguna. Alih-alih berolahraga di pagi hari, kita rebahan bermenit-menit lagi sampai hampir terlambat berangkat kerja. Alih-alih mengerjakan tugas sekarang, kita menundanya sampai akhirnya kita kewalahan di detik-detik terakhir. Malas belajar menjadikan kita miskin pengetahuan. Malas bekerja menjadikan kita miskin pengalaman. Malas memperbaiki diri menjadikan kita semakin miskin dalam karakter. Dan yang lebih parah, apabila kita malas mencari kebenaran firman-Nya, kita akan miskin hikmat, miskin dari kedekatan relasi dengan Allah. Kemiskinan yang mewujud dalam berbagai bentuk itulah yang akan berbuah kebinasaan.

Mungkin tidak ada orang yang menegur sikap malasku. Bahkan, mungkin pula tak ada yang tahu kalau aku sedang menikmati dan memelihara kemalasan. Namun, firman Tuhan tidak pernah meleset untuk menegur aku dan kamu.

Yuk teman-teman, bersama-sama kita coba memakai waktu hidup kita dengan bijak dan produktif. Hidup kita hanya sekali dan kita punya waktu yang terbatas. Sekalipun pandemi membuat kegiatan kita banyak di rumah, kita tidak seharusnya terus-terusan berleha-leha sesuka hati, tapi marilah pakai waktu dengan bijak dan berguna. Jangan biarkan kemalasan dan rebahan yang kita pupuk malah membawa kita kepada kesusahan di kemudian hari.

Salam rajin! God bless.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Sekaranglah Kesempatan Kedua Itu!: Disiplin Rohani Menebus Waktu

Bagaimana kita menatalayani waktu ialah salah satu disiplin rohani terpenting zaman ini, terlebih kita tahu bahwa hari Tuhan sudah semakin dekat.

Yuk baca artikel ketiga dari #SeriDisiplinRohani ini.

Tumpaslah Kemalasan, Sebelum Itu Menghancurkan Kita

Oleh Fandri Entiman Nae, Manado

Kesempatan adalah sesuatu yang tidak selalu ada. Beberapa dari kita berupaya mencarinya, mungkin mati-matian, lalu pada saat kita mendapatkannya, kita “melahapnya”. Namun anehnya, pola seperti itu tidak selalu terjadi. Ada momen ketika sejumlah kesempatanlah yang terlihat menawarkan diri kepada kita. Beberapa kesempatan bahkan hadir secara tiba-tiba, tanpa perlu diawali dengan butir-butir keringat. Tapi, bukannya menyambutnya dengan antusias, kita malah mengambil kesempatan-kesempatan itu dan menyimpannya di saku kita, berharap mereka aman di sana, lalu perlahan mulai menyadari saku kita telah kosong. Intinya adalah kita senang menunda-nunda sesuatu.

Ada kasus yang dimulai dengan berkata santai “nanti saja”, lalu pada akhirnya disusul dengan kepanikan mengejar deadline. Ada pula kasus lain yang diawali dengan kalimat “sebentar lagi” dan berakhir dengan nada penyesalan berbunyi “coba kalau aku sedikit lebih cepat”. Mari renungkan sejenak, berapa kali dalam hidup ini kita kehilangan hal berharga yang tidak kita jaga dengan baik karena sikap suka menunda-nunda? Seberapa sering kita menganggap enteng peluang-peluang positif yang tepat berada di depan mata kita dan menunda untuk memanfaatkannya, lalu akhirnya menangis hingga mengutuki diri sendiri?

Tentu untuk menyelesaikan masalah yang serius ini, kita patut mencari akar permasalahannya. Akan tetapi, sebisa mungkin kita tetap harus berusaha bersikap adil agar tidak terjebak pada oversimplifikasi (sikap yang terlalu menyederhanakan masalah). Yang aku maksud adalah kita harus mengakui bahwa tindakan menunda tidak selalu buruk. Ada masa di mana kita tidak boleh terburu-buru. Malahan pada banyak situasi pula kita harus berpikir bijaksana dengan menunda sesuatu dan lain hal. Jadi amat penting untuk kita menganalisa dengan cermat alasan di balik sikap menunda-nunda seseorang, apalagi pada saat kita berbicara tentang seorang yang mengidap Procrastination (Penyakit Psikologis Suka Menunda). Karena faktanya alasan orang menunda-nunda pekerjaan bisa bersumber dari beraneka ragam alasan, misalnya ketakutan berlebih pada kegagalan akibat trauma masa lalu, atau mungkin kurangnya motivasi orang-orang sekitar. Apabila pembahasannya seluas ini, maka itu memerlukan ruang yang besar, bahkan pengalaman dan keahlian dari seorang psikolog tentu akan sangat membantu dalam melihat kasus per kasus secara spesifik.

Maka dari itu, dalam tulisanku ini kita hanya akan membahas sebuah sikap suka menunda-nunda yang bersumber dari kemalasan. Dengan kata lain, seperti yang kusinggung sebelumya, kita akan membahas apa yang menjadi akar permasalahannya. Sehingga di sini, sikap malas yang menjadi penyebab dari sikap suka menunda-nunda akan menjadi apa yang kita bedah secara serius.

Sebagai langkah awal kita harus bertanya tentang bagaimana sikap Firman Tuhan dalam memandang kemalasan. Pertanyaan itu amat mendesak karena sangat disayangkan ada sebagian dari kita yang beranggapan bahwa masalah kemalasan ini adalah masalah sepele. Bahkan, mungkin kita telah menghapus kemalasan dari daftar dosa di hadapan Allah. Aku pernah mendengarkan tanggapan dari seorang teman atas sikap teman lain yang berbunyi, “dia orang yang sangat baik tapi sayang sekali dia orang yang malas”. Apakah benar seorang dapat menjadi sangat baik tetapi juga pemalas?

Dalam perumpamaan yang diberikan oleh Yesus tentang talenta (Matius 25:14-30) digambarkan ada 3 orang yang diberikan kepercayaan oleh tuannya untuk dikelola. Dua hamba yang diberi 5 dan 2 talenta mengerjakan bagian mereka dengan serius dan mendapatkan pujian/apresiasi dari sang tuan (padahal pada masa itu seorang hamba, serajin apapun dia, sama sekali tidak punya hak, termasuk hak untuk dipuji oleh tuannya). Sedangkan hamba terakhir yang mendapat 1 talenta, benar-benar mengecewakan tuannya dengan menguburkan uang yang telah dipercayakan kepadanya. Kemudian seperti yang kita tahu, atas apa yang dilakukan oleh hamba terakhir itu, sang tuan yang marah besar lantas berkata “Hai kamu hamba yang jahat dan malas”.

Coba membaca nats itu dengan lengkap dan kita akan mendapati kerasnya rangkaian kata dari sang tuan beserta konsekuensi yang harus ditanggung hamba yang malas itu. Dalam perumpamaan itu kita sama sekali tidak diizinkan oleh Yesus untuk menganggap kemalasan sebagai hal yang biasa-biasa saja. Kemalasan adalah kejahatan. Menunda-nunda apa yang mampu kita lakukan secepatnya berarti mengizinkan kemalasan untuk masuk dan mendapatkan ruang di hati kita. Dan itu adalah kekejian di mata Allah.

Setiap kesempatan yang baik adalah pemberian Allah. Meremehkan dan menunda memanfaatkannya sama saja dengan menghina Sang Pemberinya. Sekali lagi, kita tidak diajar untuk menjadi orang yang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan dan bertindak. Menjadi ceroboh adalah hal lain. Tetapi menjadi pemalas yang suka menunda-nunda adalah hal yang lain pula. Kemalasan membawa dampak yang berbahaya, baik secara internal maupun eksternal. Ia dapat menghancurkan kita bersamaan dengan semua yang ada di sekitar kita. Mungkin tidak bersifat instan, tetapi bersifat pasti.

Di suatu malam yang larut seorang teman lama menghubungiku dan meminta waktu untuk bercerita secara serius. Dalam pembicaraan kami melalui telepon genggam, ia menyodorkanku sejumlah pertanyaan yang sungguh-sungguh menguras emosi. Aku menduga, dan amat yakin, deretan pertanyaan itu lahir dari sebuah penyesalan yang amat dalam. Sambil menangis temanku mengisahkan bagaimana ia harus kehilangan seorang adik yang sangat dikasihinya tanpa pernah bertemu secara langsung ketika adiknya itu dirawat di rumah sakit. Berkali-kali sang adik menelepon dan memintanya sedikit waktu saja untuk bertemu. Temanku itu terus mengiyakan, mencoba “mengumpulkan niat”, dan akhirnya kembali menunda kunjungannya. Ia selalu menenangkan dan meyakinkan dirinya dengan berkata “masih ada hari esok”. Dan dia benar, hari esok masih ada, tapi adiknya telah pergi. Dimulailah tuduhan pada diri sendiri, berharap waktu dapat diputar kembali. Bahkan untuk menghibur hatinya yang diliputi perasaan tertuduh itu aku akhirnya memutuskan untuk bertemu langsung dan berbicara dengan dia meski di tengah-tengah kesibukanku.

Bukankah ini yang terjadi banyak dari kita? Beberapa orang secara keliru menjadi terlalu yakin bahwa mereka akan selalu baik-baik saja. Kita menunda untuk memulai hidup yang sehat, makan sembarangan, mengabaikan olahraga, lalu petaka datang dan akhirnya kita menangis bagai anak kecil yang permennya dirampas orang. Berkali-kali seperti itu. Kita bisa saja mencari ratusan contoh lain untuk masalah serupa, tetapi biarkan aku mengatakan salah satu kalimat angkuh yang paling sering kudengar dari mulut seseorang: “Biarkan aku menikmati hidupku dengan memuaskan semua nafsuku di masa muda, lalu aku akan bertobat di masa tua dan mati dengan tenang”. Entah dari mana dia tahu bahwa dia akan hidup sampai pada masa senja. Tanpa bermaksud memprediksi usia seseorang, tetapi atas dasar apa kita menjadi sangat yakin bahwa kesempatan akan selalu tersedia bagi kita? Betapa kagetnya setiap kali mendengarkan kabar pilu dari teman dan anggota keluarga yang terlihat sangat sehat, tetapi malah meninggal secara tiba-tiba di usia yang masih sangat muda. Tubuh kekar dan karier gemilang memang membanggakan, tapi jangan lupa, hidup penuh dengan kejutan!

Mari kita pikirkan sesuatu yang lebih dalam tentang semua ini. Sungguh tidak terbayangkan apa jadinya jika para rasul Kristus adalah sekumpulan pemalas yang menunda-nunda pengabaran Injil. Semakin dalam lagi, apa yang akan terjadi dengan kita jika Tuhan Yesus yang kita sembah adalah pribadi yang tidak tahu bekerja? Tetapi sungguh aku terpesona dengan-Nya. Semakin aku mengenal-Nya, semakin hatiku bergelora. Dia yang kukenal adalah Tuhan yang tidak takut “meninggalkan” kenyamanan takhta-Nya dan mengambil rupa seorang hamba yang dianiaya dengan kejam. Ia punya kuasa, tapi tidak sekalipun Ia memeras Petrus agar memberi-Nya ikan setiap kali Ia lapar, lalu setelah kenyang naik ke atas keledai, dan jalan-jalan menikmati pemandangan sore di Galilea. Tidak!

Tanpa menunda-nunda, pada waktu yang telah ditetapkan-Nya, Ia menyusuri jalan berbatu di bawah panas terik dan berteriak sana sini agar manusia kembali bersekutu dengan Allah. Ia menempuh perjalanan jauh dari Surga yang mulia ke Betlehem yang kotor dengan hati yang tulus. Dengan punggung yang robek serta pelipis yang tertancap duri jerami Ia menempuh jalan Via Dolorosa yang berkelok-kelok. Dengan keringat, darah, dan (kuyakin) air mata, Ia lalu mati di Golgota untukku dan untukmu.

Dia tidak menunda-nunda apa yang telah dijanjikan-Nya melalu para nabi-Nya. Ia sudah menepatinya, tepat dua ribu yang tahun lampau. Saat ini adalah waktumu dan waktuku. Berjuanglah dan jangan membuang-buang waktu. Setiap kali kemalasan datang menggodamu, berdoalah dan mintalah semangat, hikmat, dan kekuatan dari Allah. Renungkanlah salib itu. Di sana pernah tergantung Kristus, sang pejuang yang bijaksana. Ikutlah teladan-Nya. Lakukan apa yang masih bisa dilakukan. Perbaiki apa yang bisa diperbaiki. Hargai setiap kesempatan dan manfaatkanlah dengan sebaik mungkin. Hormati semua pemberian-Nya. Bergegaslah untuk kemuliaan Tuhan. Jangan menunda-nunda!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menikmati Allah di Segala Musim

Menikmati Tuhan di segala keadaan adalah hal terbaik. Sebuah sukacita ketika kita bisa merasakan pimpinan-Nya saat bekerja maupun saat kita beristirahat.

Bertobat dari Kemalasan

Oleh Michael*

Dua tahun lalu setelah lulus S-1, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku. Aku tidak bekerja ke kota besar seperti yang teman-temanku lakukan, sebab sepeninggal papaku, mamaku tinggal seorang diri di rumah sementara kakak-kakakku sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota.

Aku dan mamaku menjalankan usaha toko kelontong yang sekarang kami kelola berdua. Karena usia mama semakin lanjut, dia memintaku untuk mengelola toko ini. Tapi, aku menolaknya dengan alasan aku belum siap, toh mamaku masih sanggup untuk mengelolanya sendiri.

Aktivitas yang kulakukan sehari-hari adalah bermalas-malasan. Pagi dan siang aku bermain game dan nonton YouTube, sore-sore aku bersepeda, dan malamnya kuhabiskan menonton tv. Tak ada satu pun kegiatanku membantu mamaku di toko.

Teguran

Pada tanggal 28 Oktober 2019, ketika mamaku sedang menjaga toko, dia merasakan sakit di dada. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat, dan dia pun muntah. Aku panik dan segera membawa mamaku ke rumah sakit dan memberitahu kakak-kakakku.

Di rumah sakit, mamaku segera mendapat pertolongan pertama dan harus dirawat inap. Kakakku yang pertama segera menyusul ke rumah sakit. Sesampainya di sana, dia memintaku untuk pulang saja ke rumah dan membuka toko sementara dia yang akan mendampingi mama sampai diperbolehkan pulang. Aku berdalih, kupikir biarkan saja tokoku tutup yang penting aku bisa menjaga mamaku. Namun, kemudian aku teringat, bagaimana pun juga pengobatan di rumah sakit membutuhkan biaya. Dari mana lagi kami mendapatkan uang jika tidak menjalankan usaha toko kelontong.

Pikiranku kalut. Aku seperti menghadapi dua dilema. Aku pun merasa ini seperti teguran dari Tuhan atas kemalasan yang selama ini kupelihara. Aku ingat petikan ayat Alkitab yang berkata, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah” (Wahyu 3:19).

Aku masih belum beranjak dari ranjang yang disediakan rumah sakit. Tiba-tiba, ada semut yang menggigit lenganku. Aku tak tahu dari mana datangnya semut itu, tapi seketika itu juga aku ingat lagi petikan ayat Alkitab, “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen. Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu?” (Amsal 6:6-9).

Dua ayat yang terlintas di benakku membuatku merasa malu pada diriku sendiri, bersalah kepada mamaku, dan aku menyesal. Tetapi, aku juga seperti diteguhkan bahwa ini dapat menjadi titik balik hidupku.

Buah teguran adalah perubahan

Aku mulai membenahi hidupku. Aku tidak lagi bangun dengan malas-malasan. Aku bangun di pagi hari dan segera menyiapkan tokoku untuk melayani pembeli. Siang hari yang biasanya kuisi dengan main game atau menonton YouTube, sekarang kugunakan untuk mencatat stok-stok barang, menghitung penghasilan, juga menolong pelayanan publikasi di gerejaku. Sore hari yang biasanya kugunakan untuk bersepeda, kini kugunakan untuk menemani mamaku seraya aku melayani pembeli di toko. Dan, malam hari yang biasanya kuisi menonton tv, kini menjadi waktu pribadiku untuk bersaat teduh.

Aku percaya, peristiwa mamaku jatuh sakit bukan karena Tuhan ingin menghukumku, tetapi Tuhan mengasihi mamaku. Tuhan mengizinkan sakit itu terjadi agar aku dan mamaku dapat melihat kasih dan penyertaan-Nya yang sempurna, dan peristiwa ini juga jadi momen untukku menyadari bahwa cara hidupku yang bermalas-malasan adalah cara hidup yang tidak berkenan kepada Tuhan.

Tuhan mampu menolong kita keluar dari jerat kemalasan, tetapi kita sendirilah yang memutuskan untuk keluar dari jerat itu atau berkubang di dalamnya. Segala dorongan dari luar tidak akan banyak menolong bila kita tidak punya niatan yang sungguh.

Teman-teman yang terkasih yang membaca tulisan ini, apabila kalian sedang terjerat oleh rupa-rupa kemalasan, aku berdoa kiranya kamu punya tekad yang kuat untuk melepaskannya. Aku juga memohon doa darimu juga untuk kesembuhan mamaku.

“Hai anak-Ku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi” (Amsal 3:11-12).

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Menyikapi Fenomena Public Figure yang Mendadak Kristen

Ketika seorang tokoh publik menjadi Kristen, bagaimana seharusnya kita merespons? Apakah dia sungguh menjadi orang Kristen? Apakah dia sungguh-sungguh mengalami transformasi spiritual terlepas dari caranya menjalani hidup? Atau, apakah itu hanya akal-akalan dia saja untuk mendongkrak popularitas?

Komik Kamu: Senin

Oleh: Bella Nessya

Komik-Bella-Senin

Orang Yang Enggan?

Selasa, 21 Februari 2012

Baca: Amsal 6:6-11

Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? —Amsal 6:9

Ketika mempelajari kitab Amsal dalam kelompok Pemahaman Alkitab kami, pemimpin kami memberi usul untuk mendeskripsikan kata pemalas sebagai orang yang enggan (6:6,9). Saya jadi dapat memahami lebih jelas apa maksud kata tersebut. Segera saja, saya mulai membayangkan siapa saja yang saya anggap sebagai orang yang enggan.

Contohnya, para ayah dan ibu yang gagal mendidik dan mendisiplinkan anak-anak mereka. Atau para pria yang menolak untuk menolong pekerjaan di rumah. Atau para remaja yang mengabaikan pendidikan mereka dan memilih untuk bermain di internet sepanjang hari.

Jika jujur, bisa jadi kita semua terjangkit sikap enggan ini. Apakah kita adalah “orang yang enggan berdoa” (1 Tes. 5:17-18), atau “orang yang enggan membaca Alkitab” (Mzm. 119:103; 2 Tim. 3:16-17) atau “orang yang enggan menggunakan karunia rohani” (Rm. 12:4-8), atau “orang yang enggan bersaksi?” (Mat. 28:19-20; Kis. 1:8).

Jika kita tidak melakukan apa yang kita ketahui dikehendaki Allah supaya kita lakukan, sudah pasti kita adalah orang-orang yang enggan rohani. Sebenarnya, ketika kita menolak untuk menaati Allah, kita berbuat dosa.

Perhatikanlah perkataan yang menantang dan menegur dari kitab Yakobus ini: “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (4:17). Marilah kita tidak menjadi orang yang enggan rohani. —CHK

Ketika tahu apa yang dikehendaki Allah untuk kita lakukan,
Namun kemudian kita menolak untuk taat, Kita mengabaikan suara Tuhan,
Dan dengan berdosa memilih jalan kita sendiri. —Sper

Kita mungkin punya alasan untuk tidak menaati Allah, tetapi Dia tetap menyebutnya sebagai ketidaktaatan.