Posts

Belajar Jadi Anak: Proses Seumur Hidup untuk Kita Semua

Oleh Edwin Petrus

Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), aku meninggalkan kota kelahiranku. Aku merantau ke negeri orang untuk mendapatkan gelar sarjana. Selanjutnya, aku pun berkelana lagi ke kota orang untuk meniti karier. Enam tahun kemudian, aku melanjutkan studi ke sebuah kota yang jaraknya kurang lebih dua ribu kilometer dari rumahku. Tiga belas tahun sudah, aku pergi merantau.

Aku adalah seorang anak tunggal yang mendapatkan kasih dan perhatian penuh dari kedua orang tuaku. Namun, secara perlahan dan tanpa aku sadari, kehidupan di perantauan telah mengikis kemanjaanku dan mengubahnya menjadi kemandirian, hingga aku terbiasa melakukan banyak hal seorang diri. Sampai-sampai, banyak orang sering meragukan kalau aku adalah anak satu-satunya dalam keluargaku. Gambaran tentang anak tunggal yang manja sepertinya sudah hilang dari hidupku.

Selama merantau, aku tidak pernah menyia-nyiakan momen liburan bersama keluarga di rumah. Sekali setahun, aku pasti pulang ke rumah untuk beberapa hari lamanya. Aku memanfaatkan hari-hari libur untuk bercengkrama dengan papa dan mama. Walaupun biasanya selalu berkomunikasi melalui sambungan telepon maupun pesan singkat, tapi aku dapat merasakan kehangatan yang berbeda ketika kami banyak bertukar cerita sambil menyantap makanan-makanan khas dari kota kelahiranku. Namun, momen kebersamaan dengan mereka hanya dilalui beberapa hari dalam setahun, yang selalu dihabiskan dengan sukacita tanpa perbedaan cara pandang dan konflik yang berarti.

Di penghujung tahun 2021, aku memilih untuk pulang kampung. Kali ini aku sudah menetap kembali di rumah. Dan ternyata, aku menjumpai diriku berada di sebuah lingkungan yang tampak asing. Padahal aku kembali ke rumah yang pernah ku tinggali selama delapan belas tahun. Namun, aku mendapati bahwa aku harus berjuang untuk menyesuaikan diri dengan pola hidup dari kedua orang tuaku yang sudah kutinggalkan hidup berdua selama ini. Aku perlu mengatur ulang tatanan rutinitasku yang selama ini sudah terbiasa dijalani seorang diri karena aku perlu memikirkan dampaknya bagi kedua orang tuaku. Aku pun belajar memahami cara berpikir orang tuaku yang sudah semakin memutih rambutnya dan membangun cara berkomunikasi yang pas dengan mereka.

Saking banyaknya hal-hal yang harus aku pelajari ketika aku kembali pulang, aku sampai pada titik di mana aku merenungkan sebuah pertanyaan: sampai pada usia berapa sebenarnya seseorang perlu belajar sebagai seorang anak?

Selama ini, di dalam benakku, aku mengira bahwa hanya orang tua saja yang perlu mengikuti kelas parenting. Peran anak hanyalah sebagai objek yang menerima seluruh pengasuhan itu.

Namun, setelah aku merefleksikan lagi pertanyaan tadi, aku menemukan bahwa sekolah menjadi anak adalah pembelajaran seumur hidup. Secara konsisten, kita perlu terus belajar menjadi seorang anak karena sampai akhir hayat, seseorang tetap menyandang gelar sebagai anak dari orang tuanya. Bahkan, pada sebagian suku bangsa, nama orang tua melekat di balik nama anaknya. Akta kelahiran juga menuliskan dengan jelas nama orang tua dari sang anak pemilik surat itu.

Di sisi lain, ketika aku membaca kembali hukum kelima dari sepuluh hukum Taurat (Keluaran 20:1-17), aku menyadari bahwa perintah Allah yang mengatur relasi orang tua-anak ini juga membicarakan hal yang sama dengan pesan yang sangat jelas:

“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Keluaran 20:12).

Dari perintah ini, aku menyadari bahwa hormat yang diberikan oleh seorang anak kepada ayah-ibunya berlaku seumur hidup. Tidak ada pengecualian dari Tuhan bahwa seorang anak boleh berhenti menunjukkan respeknya kepada kedua orang tuanya setelah ia menginjak usia delapan belas tahun.

Hukum ke-5 ini juga memiliki banyak keunikan dibandingkan dengan sembilan lainnya. Jikalau hukum lainnya lebih terdengar seperti larangan bagi umat Allah untuk tidak boleh melakukan beberapa hal, maka menghormati orang tua adalah sebuah perintah yang harus dikerjakan secara aktif oleh setiap umat Allah. Selain itu, hukum ke-5 ini adalah satu-satunya hukum yang mengandung janji, bahwa setiap orang yang mengerjakan perintah ini akan mendapatkan berkat dari Allah.

Selain itu, sebuah kata yang menarik perhatianku dalam hukum ini adalah kata “hormat”. Empat hukum yang mengawalinya adalah tuntutan Allah kepada umat-Nya untuk menunjukkan hormat mereka kepada kekudusan Allah. Namun, Allah juga menggunakan kata “hormat” yang sama ketika Ia menginstruksikan agar setiap orang percaya menghormati orang tua mereka. Jadi, ketika kita menghormati ayah dan ibu sebagai anugerah dari Allah dalam hidup kita, pada waktu sama, kita juga memuliakan Allah. Wow!

Kawan, aku menyadari bahwa menghormati orang tua bukanlah perkara mudah bagi sebagian orang. Aku pun pernah mendengarkan berbagai kisah tentang orang tua yang sepertinya tidak layak untuk dihormati oleh anaknya. Ada anak yang bertumbuh dari keluarga dengan orang tua tunggal ataupun orang tua angkat karena mereka telah “dibuang” oleh orang tuanya sejak kecil. Sebagian lain hidup di dalam ketakutan karena salah satu dari orang tuanya mempraktikkan kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak lainnya tidak pernah bangga dengan figur papa maupun mamanya karena perilaku dan tindakan mereka yang menyakiti hati anak-anaknya. Kawan, mungkin kamu adalah salah satu dari anak-anak itu.

Keluargaku juga bukan keluarga yang sempurna. Aku juga pernah menemukan kekurangan dari ayah-ibuku ketika aku membandingkan mereka dengan orang tua dari teman-temanku. Dalam Alkitab pun, kita tidak dapat menemukan keluarga yang sempurna karena relasi manusia telah dirusak oleh dosa. Walaupun demikian, aku mau belajar untuk meneladani Yesus di dalam menghormati orang tua-Nya. Walaupun Maria hanyalah seorang wanita yang dipinjam rahimnya oleh Allah untuk melahirkan Anak-Nya, tetapi selama hidup-Nya di dunia ini, Yesus menunjukkan respek yang tinggi terhadap ibu-Nya. Bahkan, sesaat sebelum Ia mati di kayu salib, Yesus menitipkan ibu-Nya kepada Yohanes, salah satu murid-Nya, untuk dapat merawat Maria (Yohanes 19:27).

Ketika aku semakin dewasa dan kedua orang tuaku semakin memutih rambutnya, aku menyadari bahwa bentuk hormatku kepada mereka juga perlu mengalami perubahan. Benak hati mereka berkata bahwa mereka merindukan anak yang bisa mereka banggakan. Mereka menginginkan telinga seorang anak yang siap mendengarkan tutur kata mereka. Mereka mengharapkan dukungan dari anak yang memaklumi sedikit kelambanan dan kepikunan mereka. Mereka mengharapkan kasih dan perhatian yang bukan hanya sekadar omongan belaka, tetapi nyata dalam tindakan yang menemani masa tua mereka. Mereka membutuhkan tuntunan untuk dapat menggunakan teknologi yang semakin canggih. Aku mau terus belajar untuk menjadi anak yang menunjukkan hormat kepada orangtuaku, sesuai dengan konteks dan kebutuhan mereka.

Yesus telah menjadi Guruku dalam menjalani pembelajaran ini, Roh Kudus telah menjadi Penolongku dalam mempraktikkannya, dan Allah Bapa memberiku anugerah dan kesempatan untuk terus belajar di tengah jatuh bangunku. Aku juga berdoa, kiranya teman-teman juga mau belajar menjadi seorang anak yang menghormati orang tua.

Memulihkan Sisi “Parentless” Bersama Pacar, Mungkinkah?

Oleh Tabita Davinia Utomo

Pernahkah kamu berpikir mengapa pertengahan tahun sangat sering diwarnai dengan ketidakpastian dan gairah yang berkurang untuk melakukan apa pun? Kalau kamu pernah, well, kamu tidak sendirian, kok. Aku juga sedang mengalaminya saat ini, apalagi kalau bukan karena orang yang sedang mengerjakan tugasnya di depanku itu.

“Avery, kamu kenapa? ”

Aku menoleh ketika mendengar suara Matthew yang sedang menatap laptopnya, lalu menggelengkan kepala. “Nggak. Aku nggak apa-apa, kok.”

“Soalnya ekspresimu kelihatan beda, sih. Kayak lagi galau gitu. Ada yang kamu pikirin, ya?” Kali ini Matthew menatapku dalam-dalam.

Sebegitu jelasnyakah ekspresi wajahku di balik masker ini? batinku tak percaya.

Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan, Matthew berkata, “Kita keluar sebentar, yuk. Biar nggak makin jompo badannya.”

Aku hampir saja tertawa, kalau tidak teringat bahwa sebentar lagi obrolan seperti ini tidak akan terjadi lagi dalam waktu dekat. Namun, dengan pura-pura ceria, aku menjawab, “Boleh.”

Di luar dugaan, Matthew mengajakku ke coffee shop yang ada di dekat kampus. Tidak seperti biasanya, kami berjalan dalam diam. Padahal selama ini, kami akan saling mengobrol ringan di dalam perjalanan kami. Rasanya aneh kalau kami diam saja. Kenapa, sih, aku ini? pikirku dengan tidak nyaman. Bahkan setibanya di coffee shop itu, kami masih tetap diam—kecuali saat memesan spicy bulgogi, creamy shroom, susu matcha, dan kopi pandan.

Setelah duduk di meja kami, Matthew kembali bertanya, “Ada yang menggelisahkan kamu, Ve?”

“Hmmm…” aku menggembungkan pipi, lalu berkata dengan pelan, “Kalau aku bilang nanti, kamu bakal kesel, nggak?”

Matthew mengerutkan dahi. “Kan, aku belum denger kamu mau bilang apa… Jadi belum tahu mau merespons apa…”

“Aku nggak mau kamu pergi.”

Tanpa sadar, aku menyela perkataan Matthew. Aku tidak tahan untuk bersikap baik-baik saja saat Matthew akan pergi ke luar pulau selama beberapa bulan ke depan untuk melakukan pengabdian masyarakat di sana. Bukannya ingin posesif: aku tahu kalau mengabdi di suku Asmat adalah salah satu cita-cita Matthew, dan aku senang kalau bisa mendukungnya berkarya di sana. Namun, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan diriku sendiri saat ini. Rasanya senang, tetapi juga khawatir dan… sedih.

Seakan memikirkan hal yang sama, Matthew berujar, “Tapi nanti aku akan tetep dateng ke wisudamu, kok… Masih keburu…”

“Bukan, sih. Bukan itu,” selaku lagi. “Aku tahu kamu pasti akan datang ke wisudaku setelah pengabdian itu. Cuma… aku juga bingung kenapa selebai ini buat LDR sebentar lagi. Sedih banget, ya.”

“Hmm… nggak juga.”

Jawaban Matthew membuatku menatapnya heran, karena selama berbicara tadi, aku berusaha menghindari tatapannya. Aku takut akan menangis di sini tanpa tahu alasan yang sebenarnya, dan itu justru membuat Matthew kesal. Tepat di waktu yang sama, sang pelayan memanggil Matthew untuk mengambil pesanannya, kemudian kami melanjutkan obrolan yang terputus.

“Maksudnya?” tanyaku sambil mengambil cream shroom-ku.

“Responsmu itu wajar, Avery.” Matthew tersenyum, sementara tangannya mengelus-elus tanganku dengan lembut. “Masa lalumu dengan papamu bisa membuatmu berespons demikian, dan aku bisa paham, kok. Nggak ada yang mau ditinggal pergi sama orang terdekat—apalagi saat kita masih bener-bener butuh perhatian dan kasih sayangnya, kan?”

“Iya, sih…” balasku dengan ragu-ragu, karena merasa titik lemahku dikulik-kulik.

Apa yang Matthew bilang membuatku teringat pada Papa yang meninggalkan Mama demi tugas negara, bahkan hingga hari kelahiranku tiba beliau tidak ada di samping Mama. Akibatnya, Mama jadi bersikap sangat keras padaku karena tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang Papa selama masa-masa kritisnya—bahkan hingga saat ini. Namun, mau bagaimana lagi? Tugas negara yang diemban itu membuat Papa terpaksa pergi dalam jangka waktu lama, sampai akhirnya beliau ditugaskan untuk bertugas di kota asalku hingga sekarang. Hanya saja, kebutuhan terhadap kelekatan yang sudah absen sejak kecil membuatku sangat canggung untuk berelasi dekat dengan Papa. Begitu pula dengan Mama yang otoriter. Tidak heran kalau kondisi seperti itu membuatku haus akan kasih sayang, bukan?

“Apa mungkin itu, ya, yang dibilang sama Kak Dhea?” tanyaku tiba-tiba saat teringat salah satu sesi konselingku bersama Kak Dhea, konselor kami (iya, kami mengikuti couple counseling bersamanya).

“Yang mana?” Matthew balik bertanya.

“Yang aku pernah ceritain itu… Waktu dia bilang, “Kepribadian Matthew yang friendly itu mengisi sisi “fatherless”-mu, kan?””

“Ohh…” Matthew tersenyum, lalu membalas, “Kamu juga, kok, Ve. Kamu juga mengisi sisi “motherless”-ku, bahkan lebih dari yang bisa aku bayangin sebelumnya.”

“Hmm… Kayak gimana maksudmu?” aku mengerucutkan bibir.

“Hehe… Dengan kamu mau dengerin dan kasih penguatan ke aku, itu lebih dari cukup. Aku jarang banget dengerin Mamaku kayak gitu.” Dia menggaruk kepalanya dengan salah tingkah.

“Iya, sih. Syukurlah kalau aku bisa memperlakukanmu sesuai kebutuhanmu.” Aku balas tersenyum, kemudian melanjutkan, “Tapi aku bersyukur karena bisa menjalin hubungan ini setelah punya gambaran yang baru tentang Bapa di surga…”

“Yaps. Kamu pernah share itu di paduan suara, kan? Waktu Bu Tracy tanya apa yang kamu bakal lakuin pertama kali kalau ketemu Dia?”

Aku mengangguk. “Dari dulu aku paling nggak suka kalau harus peluk Papaku. Entah. Aku merasa canggung, tapi juga ambigu. Mungkin antara love and hatred kali, ya. Tapi akhirnya aku sadar kalau seburuk-buruknya Papaku, aku punya Bapa yang pelukan-Nya selalu menyambutku, bahkan kalaupun aku nggak bisa peluk Papaku buat cari perlindungan…”

Sambil menyesap kopi pandannya yang sudah dingin, Matthew berujar, “Iya, ya… Pada akhirnya, nggak ada siapa pun atau apa pun yang bisa gantiin “parentless” yang kita alami—kecuali Tuhan sendiri.”

Matthew benar. Dulu, aku berpikir bahwa ironis ketika orang tua kita merelakan diri untuk menolong orang lain dan berjibaku di medan yang berbahaya, tetapi kehadirannya justru absen dari anggota keluarganya sendiri. Aku butuh beberapa tahun untuk bisa pulih dari cara pandang bahwa aku berhak untuk tidak mengasihi orang tuaku, sampai akhirnya membuat rasa haus akan kasih sayang itu mendorongku mencari pemenuhannya dari orang lain. Berkali-kali aku ingin punya pacar yang mampu menyayangi dan menerimaku, tetapi hasilnya selalu nihil. Entah karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, perbedaan latar belakang yang menjadi “tembok” bagi relasiku, hingga verbal abuse yang aku terima dari mantanku.

“Kamu nggak akan bisa nemuin orang lain sebaik aku, Avery!” kata mantanku itu dengan keras saat aku mau putus. “Aku cinta kamu sampai mau ngalah terus-terusan, tapi ini balasanmu!? Haha! Kamu egois banget!!”

Padahal momen itu adalah awal mula dari pemulihan hidupku. Aku—yang sedang menjalani konseling dengan konselor lain—pelan-pelan sadar bahwa karena sisi parentless-ku, aku menurunkan standarku dalam mencari pasangan hidup. Aku seolah-olah rela berelasi dengan siapa saja, selama dia seiman dan sanggup mengayomiku sebagai wanita. Namun, kenyataannya berkata lain: secara tidak sadar, hal itu juga membuatku ingin “kabur” dari orang tuaku sendiri tanpa mengalami rekonsiliasi yang diperlukan. Mungkin itu juga yang menyebabkan relasiku dengan mereka makin menjauh.

“He’em,” aku mengiyakan Matthew, “kalau bukan karena Tuhan, aku nggak akan sadar secepat ini kalau isu “parentless” bisa jadi “tembok” untuk relasi kita. Jadi… maafkan aku, ya, Matt, kalau tadi aku kedengarannya egois.”

“Nggak apa-apa, kok, Ve…,” balas Matthew. “Aku juga bersyukur karena lewat relasi ini, aku merasa Tuhan sedang memulihkanku. Bukan berarti aku pengen pacaran biar bisa pulih dari “parentless”-ku, ya. Tapi aku juga mau konteks relasi ini jadi sesuatu yang mendewasakan kita dan bikin kita makin kenal Tuhan dan saling kenal diri sendiri.”

“Iya. Makasih udah ingetin aku, Matthew.” Aku tersenyum, mengingat naik-turunnya relasi kami ternyata tidak sia-sia untuk dijalani.

“Jadi, aku dibolehin pergi nggak, nih?” Matthew bertanya dengan iseng.

Aku tertawa dan mengangguk. “Iya. Hahaha… Pergilah dengan damai sejahtera, Kakakk. Dua bulan LDR mah bisalah, yaa.”

Di luar dugaan, Matthew membalas dengan kalimat dan gestur yang menghangatkan hatiku.

“Kalau pun nanti aku pergi, Avery tetep pegang tangan Tuhan, ya. Dia akan selalu bersamamu, dan cuma Dia yang layak untuk Avery percayai sepenuhnya. Tapi kalau Tuhan berkenan kasih kesempatan buatku…”

Tiba-tiba Matthew menggenggam tanganku yang sedang memegang susu matcha di meja. Sambil sesekali mengalihkan pandangannya ke tangan yang digenggamnya, dia melanjutkan, “Aku mau diutus-Nya untuk pegang tangan ini dan melindungi pemiliknya sebagai pendamping hidupku.”

Ya, sisi parentless yang kami miliki mungkin dapat membuat kami kehilangan harapan akan adanya kasih sayang dan penerimaan yang utuh. Ada kalanya pula Matthew mengecewakanku, pun sebaliknya. Namun, relasi ini justru mengajarkan kami bahwa ketika Tuhan memulihkan anak-anak-Nya dengan cara-Nya, Dia bisa memakai apa pun—termasuk relasi yang Dia anugerahkan pada mereka. Terlepas bagaimana ujung kisah kami, aku berdoa agar aku tidak menyesali relasi ini, karena kami sama-sama melihat bahwa ada pertumbuhan dan pemulihan yang Tuhan hadirkan bagi kami secara pribadi—maupun sebagai pasangan.

20 Tahun Menanti Jawaban Doa

Oleh Raganata Bramantyo

Saat aku masih berusia 9 tahunan, guru-guru sekolah Minggu di gerejaku selalu menasihatiku begini, “Doain papah terus ya, jangan nyerah.”

Di usiaku yang masih kecil dengan pikiran yang belum terbuka, aku menganggap sumber permasalahan dan keributan dalam keluargaku adalah sosok papaku. Setiap hari dia kerjanya marah-marah, memukuli mamaku, mengumpat kasar, berjudi, juga selingkuh dengan wanita lain. Saking seringnya aku melihat keburukan, aku hampir tak bisa melihat sisi baiknya, padahal ada momen-momen ketika papaku bersikap begitu manis dan baik.

Nasihat untuk mendoakan papa tak pernah kubantah. Setiap hari, sejak ingatanku mulai tumbuh aku selalu berdoa untuknya. Tapi, aku sendiri tak terlalu paham detail doanya. Perubahan seperti apa yang aku dambakan pada papa? Aku cuma ingin papaku seperti papa-papa lainnya, sosok papa yang tak cuma memberi nafkah keluarga, tapi juga memberi curahan kasih sayang dan bersikap lemah lembut.

Tahun demi tahun, aku beranjak menjadi remaja hingga dewasa dan mapan bekerja, tetapi perubahan yang kudambakan itu malah semakin jauh terwujud. Di tahun 2014 papaku akhirnya menikahi wanita lain dan merahasiakannya dariku, juga dari mamaku yang relasi dengannya sudah amat renggang tapi tak pernah secara resmi bercerai.

Memberi apa yang tak dimiliki

Kekalutan keluarga itu mendorongku untuk pergi menjauh. Selepas SMA, aku pergi merantau ke kota lain, tetapi di antara jarak jauh yang membentang itu Tuhan perlahan menumbuhkan benih-benih rekonsiliasi.

Aku masih tetap berdoa untuk papaku, memohon hal yang sama agar dia berubah, hingga suatu ketika aku mendapat kesempatan untuk pergi ke sebuah pulau kecil di Sumatra, tempat kelahiran papaku. Di sana, aku mengobrol dengan banyak kerabat dan mendapati cerita akan kelamnya masa lalu papaku. Cerita-cerita itu menohokku. Jika papaku sejak lahir berjibaku dengan kerasnya hidup, tak mengenal kasih Tuhan, dan tak pernah menerima kasih sayang berupa kata-kata manis dan sentuhan lembut, bagaimana dia dapat memberikannya buatku? Toh kita tak mungkin memberikan sesuatu yang tak kita punya.

Sejak saat itu, tumbuhlah sebuah pemahaman baru dalam hatiku akan papaku. Aku mengubah isi doaku. Bukan lagi meminta agar Tuhan mengubah papaku, tetapi aku memohon agar Tuhan mengubah hatiku untuk bisa memahami dan menerima perangai serta pribadi papaku. Doa itu kulanjutkan dengan tindakan meminta maaf. Melalui pesan SMS, aku tanya apa kabarnya dan kumintakan maaf. Pesan itu tak dijawab hangat. Mungkin dia gengsi. Tetapi, setahun dan dua tahun setelahnya, relasi antara ayah dan anak yang semula amat dingin dan kaku perlahan berubah. Setelah aku lulus dan kerja, aku sering pulang. Dalam setiap pulangku, papaku berkenan menjemputku dan setiap pertemuan jadi terasa akrab meskipun aku sendiri tak banyak tahu tentang kehidupan papaku sebenarnya, tentang di mana rumah barunya, siapa gerangan istri keduanya, bagaimana usaha dia, dan sebagainya. Yang kutahu dari cerita yang disampaikannya dengan singkat dan tertutup adalah dia mencoba membangun kehidupannya dengan iman dan lingkungan yang baru, bukan lagi iman Kristen. Aku mencoba menghormati keputusannya dengan tidak banyak melakukan interogasi.

Keakraban di ujung nafas

Meskipun aku merasa sudah cukup dekat dengan papaku, tetapi hatiku tetap merasa tidak puas. Dalam doaku kutambah lagi permohonan agar aku bisa mengenalnya lebih erat dan membawa papaku kembali pada Kristus.

Pada akhir Maret 2022, jantungku serasa berhenti ketika aku mendapat kabar bahwa papaku mengalami kecelakaan. Dia jatuh ke sungai saat berjalan kaki. Bonggol sendi antara paha dan panggulnya patah, namun di awal-awal kejadian dia menolak untuk dioperasi. Setelah dibiarkan tanpa pengobatan medis selama enam hari, kondisi fisik papaku semakin menurun hingga dia pun nyaris kehilangan kesadaran dan masuk ICU.

Mendapati kabar tragedi ini aku segera pulang menuju kota kelahiranku tengah malam. Saat paginya aku tiba di rumah sakit, betapa kaget aku melihat sosok wanita lain yang menjadi ibu tiriku. Mengetahui kalau aku pulang dan menunggui di rumah sakit, mama kandungku menentangku. Pikirnya, biarlah papaku dan keluarga barunya yang mengurusi semuanya, jangan aku.

“Mah, aku paham maksud hati mama bahwa mama tidak ingin aku direpotkan… tapi, aku mau merawat papaku. Bagiku gak ada istilah mantan anak dan bapak,” kutenangkan mamaku dengan argumen itu. Lalu tambahku, “Lagian, mama juga pasti pengen kan kalau papa bisa kenal Tuhan Yesus lagi? Kalau iya, siapa dong yang bisa kenalin Yesus ke papa kalau bukan aku, anaknya?”

Tiga hari pasca dirawat di ICU, papaku berhasil melewati masa kritisnya. Jam satu dini hari, bersama seorang suster kudorong ranjangnya menuju bangsal perawatan biasa. Lega hatiku, karena maut tak jadi menjemput. Hari-hari setelahnya operasi dilakukan dan keadaan papaku pun semakin baik. Selama dua belas hari di RS, aku benar-benar mengalami keakraban antara ayah dan anak yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku menyanyi bersamanya, mendoakannya, menyuapinya, bercanda, hingga membersihkan kotorannya.

Di malam kesekian, saat kesadaran papaku sedang prima, kutanya begini: “Pah, papa percaya gak kalau Tuhan Yesus menuntun dan memberkati langkah kita?”

“Iya, nak, papa percaya semua ini karena Tuhan baik,” jawabnya sambil memegang pundakku.

“Papa mau gak kembali lagi beriman sama Tuhan Yesus?”

Tak kuduga, jawaban papaku penuh semangat. “Iya! Papa mau beriman serius sama Yesus.”

Malam itu, kutuntun papaku dalam doa untuk mendeklarasikan iman percayanya. Papaku pun bernazar bahwa setelah sembuh dia akan menanggalkan cara hidupnya yang lama dan hidup serius bagi Tuhan.

Sukacitaku membuncah. Di hari ke-12, papaku akhirnya diperbolehkan pulang dan aku pun kembali ke kota perantauanku. Namun, sukacita itu tak berlangsung lama. Tak sampai 12 jam, papaku kembali masuk rumah sakit dengan kendala sulit buang air dan sesak nafas. Awalnya kupikir tidak ada yang serius, tetapi kenyataan berkata lain. Aku kembali pulang dan menemaninya di rumah sakit, sementara keadaannya semakin memburuk.

Hari ke-13 dan seterusnya, terjadi pendarahan hebat yang sungguh menyiksa papaku. Dalam sehari, puluhan kali darah segar mengalir dari anusnya. Dokter mendiagnosis ini sebagai kanker pada usus, namun betapa leganya kami setelah dilakukan endoskopi ternyata tak ditemukan adanya kanker.

“Ini mah disentri aja karena ususnya lecet,” ucapan dokter ini melegakanku.

Antibiotik diberikan dan selang tiga hari tak ada lagi pendarahan. Tapi… di hari ke 27 perawatan papaku di RS, pendarahan yang sempat terhenti itu terjadi lagi, malah lebih masif. Darah encer dan segar tak bisa berhenti mengalir. Sambil terisak, aku berlari ke ruangan suster dan meminta pertolongan segera. Dokter jaga melarikan papaku ke ICU dan sebelum ranjangnya dipindah, dia merintih kesakitan.

“Saya gak kuat lagi, gak kuat lagi…” ucapan ini menggetarkan hatiku. Papaku berulang kali menegaskan bahwa penyakit yang tak jelas ini begitu berat untuk ditanggungnya. Maka, meskipun aku sangat ingin melanjutkan kisah kasihku bersamanya, aku belajar untuk menerima kemungkinan melepasnya.

“Pah, jika memang sakit ini terlalu berat untuk dilalui dan papa mau berpulang, aku menerima keputusan ini. Di dalam Kristus, papa telah diampuni dan beroleh keselamatan sejati,” kubisikkan ucapan ini di telinga papaku sesaat sebelum dia koma.

Dua puluh empat jam kemudian menjadi pertarungan antara hidup dan mati. Setelah papaku dimasukkan ke ICU, kesadarannya hilang total. Di dalam tenggorokannya tertanam ventilator. Di lehernya tertusuk jarum infus. Kedua tangannya diikat. Yang bisa kulihat hanyalah denyut jantungnya pada monitor. Operasi pun dilakukan. Hasilnya sudah bisa ditebak: papaku tak mampu diselamatkan. Pada ususnya terjadi autoimun yang mengakibatkan seluruh dinding usus hancur, tak lagi bisa diselamatkan. Jikalaupun ada mukjizat untuk hidup, akan sangat sulit bagi papaku hidup tanpa usus besar.

Aku, jam tiga pagi, sendirian di ruangan ICU menerima kabar itu dengan kaki bergetar. Air mataku berderai. “Tuhan, mengapa secepat ini Engkau panggil papaku? Tidakkah aku diberikan kesempatan untuk mengasihinya lebih lagi di usianya yang enam dekade pun belum?”

Isakanku tak berjawab. Ia memantul di antara dinding-dinding rumah sakit yang dingin. Jelang sore hari, akhirnya nafas papaku pun terhenti sepenuhnya, dengan aku terduduk sayu di sampingnya, memegangi tangannya sembari mulutku tak henti-hentinya menyanyikan ratusan kidung pujian.

Sedih dan hancur hatiku. Aku bingung memaknai cara kerja Tuhan, tetapi ketika kantung air mataku mulai mengering, kurasakan ketenangan di jiwaku. Betapa 29 hari di rumah sakit ini Tuhan menjawab penantian doaku selama 20 tahun. Aku ingin keakraban, diberinya lebih dari sekadar akrab. Diberi-Nya rahmat yang tak berkesudahan, yang mengikat aku dan papaku dengan ikatan kasih yang tak terputuskan—kasih dari Kristus, Sang Ilahi yang telah mati bagi setiap orang berdosa. Sepanjang hari-hari ke belakang, terkhusus selama masa perawatan papaku, Tuhan telah menunjukkan jejak kasih-Nya, sekalipun itu tak menjawab keinginanku tetapi selalu mencukupi kebutuhanku.

Jika akhirnya papaku berpulang dalam keadaan telah memegang teguh imannya pada Kristus, bukankah itu sebuah kemenangan? Jika aku sebagai anak bisa mendapat kesempatan untuk senantiasa hadir di sisinya sampai ujung nafasnya, bukankah itu sebuah momen yang terlampau mahal? Jika segala kebutuhan finansial yang jumlahnya luar biasa besar ini bisa tercukupi dengan uluran tangan dari banyak sekali orang, bukankah itu bukti bahwa aku tidak sendirian?

Di hadapan peti jenazah papaku, kumenangis keras. Bukan sebagai tangisan kecewa, tetapi tangisan syukur betapa Tuhan menjawab doaku dan memulihkan papaku dengan pemulihan yang sejati.

Meskipun jawaban doa itu tidak terwujud pada tempat yang kudambakan, tetapi atas kasih setia dan rahmat-Nya, diberikan-Nya sesuatu yang jauh lebih baik dari harapanku. Jika aku sebagai manusia mendambakan perubah sikap, Tuhan Sang Ilahi dalam kedaulatan-Nya tak hanya mengubahkan sikap papaku menjadi lembut, tetapi juga meneguhkan jiwa dan rohnya untuk beroleh keselamatan kekal, tinggal damai bahagia dalam rumah Bapa Surgawi, pada sebuah tempat dan keadaan yang penuh damai sejahtera di mana tak akan ada lagi kesakitan, ratap, dan kertak gigi (Wahyu 21:4).

Hari ini, papaku telah menang atas segala sakit dan deritanya.

Cara Tuhan mengubah pandanganku adalah salah satu cara-Nya juga mengasihiku.

Terpujilah Tuhan, kini dan sepanjang segala masa.

“Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa” (1 Petrus 4:8).

Cerpen: Ira dan Nathan

Oleh Meili Ainun

“Maaf, kami tidak bisa menerima anak ibu. Persyaratan untuk masuk kelas 1 adalah anak sudah dapat membaca dan berhitung dengan lancar. Anak ibu tidak memenuhi persyaratan kami.”

“Tentu. Tentu saja kami menerima anak ibu dengan senang hati. Biaya sekolah per bulan tiga juta rupiah. Ditambah biaya makan, buku, kegiatan sekitar dua juta rupiah. Total biaya per bulan adalah lima juta rupiah.”

“Hasil tes anak ibu tidak memenuhi syarat untuk masuk kelas 1. Kami mohon maaf. Demi kebaikan anak ibu, kami menyarankan agar dia masuk ke sekolah khusus yang lebih sesuai dengan kemampuannya.”

***

Berbagai pesan yang disampaikan oleh beberapa sekolah kembali terngiang dalam pikiran Ira.

“Lagi-lagi penolakan.. Dan biayanya.. Oh, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus mama lakukan, Nathan?”

Nathan yang sedang bermain Lego langsung menoleh dan tersenyum mendengar namanya dipanggil.

Ira tersenyum kembali pada Nathan. “Yuk, kita tidur.”

Di tepi tempat tidur, Ira berlutut bersama Nathan. Dengan wajah serius, Nathan memejamkan matanya menunggu Ira berdoa.

“Tuhan yang baik, terima kasih untuk hari ini. Terima kasih Tuhan menjaga Nathan. Terima kasih untuk makanan yang kami makan. Terima kasih untuk tubuh yang sehat. Tuhan, tolong kami menemukan sekolah untuk Nathan. Sekarang kami mau tidur, tolong jaga kami ya Tuhan. Dalam nama Tuhan Yesus, kami berdoa. Amin.”

Nathan menyahut dengan bersemangat. “Amin. Sekarang cerita.”

“Nathan mau dengar cerita apa?”

“Daud.”

Ira duduk di atas tempat tidur, mengambil Alkitab anak-anak, membuka halaman tertentu, dan membiarkan Nathan memegang Alkitab itu. Lalu Ira mulai membacakan cerita Daud melawan Goliat. Mata Nathan terlihat antusias melihat gambar-gambar yang ada.

“Tuhan hebat!” begitu komentar yang biasanya Nathan ucapkan tiap kali Ira selesai membaca cerita.

“Ya, Tuhan hebat. Mama sayang kamu,” sahut Ira memeluk Nathan.

“Nathan sayang mama,” kata Nathan.

Setelah memastikan Nathan tertidur, Ira duduk di ruang tamu dengan perasaan sedih.. Ira menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Apa yang harus kulakukan? Hanya sekolah ini yang mau menerima Nathan. Tetapi lima juta sebulan? Darimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu?”

Sejak kematian Hendri, suaminya akibat kecelakaan lalu lintas pada awal tahun, tidak banyak pilihan kerja yang bisa diambil Ira karena Nathan harus selalu dijaga dan tidak dapat ditinggal tanpa pengawasan. Maka, Ira memilih bekerja sebagai agen asuransi karena jam kerja yang fleksibel. Bila Ira harus bertemu dengan klien di luar, Nathan dititipkan sebentar kepada tetangga sebelah yang bersedia menjaganya. Tidak ada anggota keluarga yang lain yang dapat memberikan bantuan karena Ira anak tunggal dan kedua orang tuanya sudah meninggal sedangkan orang tua Hendri sudah lanjut usia dan tinggal di kota yang berbeda.

Namun penghasilan sebagai agen asuransi tidak menentu, dan tabungan yang dimilikinya tidak banyak, hanya cukup memenuhi kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Ira bersyukur dia dapat tinggal di rumah yang cukup layak tanpa harus dibebani dengan cicilan rumah. Tetapi biaya pendidikan Nathan yang tidak sedikit membuat Ira resah. “Tuhan, apa yang harus kulakukan?”

Setiap hari diawali dengan rutinitas yang sama. Ira akan membangunkan Nathan pada jam yang sama, mengawasinya saat mandi karena Nathan sedang belajar mandi sendiri, lalu mereka makan pagi bersama-sama. Ira bersyukur Nathan mau makan apa saja yang disajikannya sekalipun sangat sederhana seperti bubur.

Kemudian waktu belajar pun dimulai. Bagi Ira, waktu belajar adalah waktu yang penuh tantangan. Ira tahu Nathan tidak begitu suka belajar. Ira berusaha mencari cara agar waktu belajar menjadi waktu yang menyenangkan bagi Nathan, namun Ira tahu dirinya bukan seorang yang sabar dan kreatif. Dan Nathan mudah sekali bosan.

“Nathan, ini huruf apa?” Ira menunjuk huruf A pada poster abjad yang ditaruhnya di meja.

Nathan menjawab dengan bangga. “A.”

Ira tersenyum dan memuji Nathan. “Bagus. Sekarang ini huruf apa?”

“B”, sahut Nathan dengan cepat.

“Bagus. Sekarang ini huruf apa?”

Nathan diam dan menoleh memperhatikan mainan Lego yang terletak di pojok.

“Nathan. Ini huruf apa?” tanya Ira kembali dengan penekanan pada suaranya.

Nathan menatap Ira dan menjawab, “A.”

“Tidak, ini bukan A. Yang ini huruf A. Ini bukan A. Ini huruf apa?” tanya Ira dengan panik.

“A,” jawab Nathan dengan keras.

“Bukan. Ini bukan huruf A. Ini huruf C. Ayo ingat, ini apa? C,” jelas Ira dengan nada suara kesal.

Nathan diam dan kembali memperhatikan mainan Lego.

“Nathan. Anak pintar. Ayo, belajar. Ingat ya, ini huruf A. Yang ini B, yang ini C. Sekarang coba ulangi lagi,” kata Ira sambil berusaha sabar.

“A. A. A. A. A,” teriak Nathan sambil berlari mengambil mainan Lego kesayangannya.

“Nathan, kembali ke sini. Kita belum selesai belajar,” Ira membentak dengan suara keras.

Nathan diam saja dan sibuk memainkan Lego di lantai.

“Mama bilang kita belum selesai belajar. Kalau kamu seperti ini terus, kamu tidak bisa pergi ke sekolah. Nathan, kamu dengar mama?” Ira menatap Nathan dengan marah.

Suara terisak-isak Nathan segera terdengar. Tubuh kecilnya tergoncang sedikit.

“Maaf…maafkan mama, Nathan. Mama tidak bermaksud marah padamu. Tetapi Nathan harus belajar. Oh…apa yang harus kita lakukan, Nathan?” Ira memeluk Nathan sambil menangis.

Ira menyadari dirinya kadang keras pada Nathan. Dia ingin memastikan agar Narhan dapat tumbuh sama seperti anak-anak lain. Ira tahu Nathan lahir dalam kondisi yang khusus. Nathan telah dibawa bertemu dengan beberapa psikolog dan mereka mengatakan hal yang sama. Nathan adalah penyandang Disabilitas Intelektual ringan dengan tingkat IQ 70. Hal itu membuat Nathan mengalami kesulitan kognitif. Meskipun umurnya sudah menginjak usia 7 tahun, Nathan baru mengenal beberapa huruf dan angka. Perlu waktu yang cukup lama bagi Nathan untuk mengingat sebuah huruf maupun angka. Ira tahu Nathan mampu hanya dia butuh waktu yang lebih lama dibanding anak-anak lain.

Ira sempat menyalahkan dirinya karena kondisi Nathan. Dia berpikir apakah dirinya penyebab Nathan lahir dalam kondisi itu. Para psikolog menyakinkan Ira bahwa tidak ada suatu penyebab pasti dalam kasus ini. Ada banyak faktor penyebab dan berbagai kemungkinan yang terjadi, sehingga tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri.

Meskipun Nathan kadang menyulitkan, namun Ira tahu dia tidak dapat hidup tanpa Nathan. Melihat Nathan tersenyum mampu membuat hati Ira merasa lebih baik. Mendengar Nathan bernyanyi lagu-lagu Sekolah Minggu kadang membuat Ira berpikir Nathan sama seperti anak-anak lain. Nathan memang suka bernyanyi dan paling senang bila hari Minggu tiba. Karena hari itu Nathan akan ikut Sekolah Minggu. Nathan bahkan memiliki pakaian khusus yang dia hanya pakai di hari Minggu.

Di Sekolah Minggu, Nathan akan duduk bersama anak-anak lain. Bernyanyi dengan suaranya yang enak didengar. Bertepuk tangan dengan gembira. Tersenyum lebar setiap waktu. Ira yang mengintip di pintu akan tersenyum juga. “Nathan yang manis,” begitu Ira menyebut Nathan.

Namun, hati Ira menjadi miris melihat Nathan yang duduk dengan tatapan mata kosong karena tidak mengerti apa yang sedang diceritakan guru Sekolah Minggu. Dan selesai Sekolah Minggu dimana anak-anak lain berlari dan bermain bersama, Nathan akan duduk sendirian bermain Lego. Kadang ada guru Sekolah Minggu yang menemaninnya, tetapi lebih sering dia sendirian. Ira sampai pernah meminta seorang anak untuk mau menemani Nathan setiap kali Sekolah Minggu selesai. Anak itu bersedia melakukannya tetapi hanya beberapa kali karena Nathan tidak bisa diajak ngobrol, dia tidak mengerti percakapan yang berlangsung. Pembicaraan mereka tidak nyambung. Maka Nathan akan kembali sendirian.

Adakalanya Ira ingin menyerah dengan keadaan Nathan apalagi jika Ira memikirkan apa yang harus Nathan hadapi bila sudah dewasa nanti. Namun di saat-saat Ira merasa dirinya tidak akan sanggup lagi bertahan, ada Firman Tuhan yang selalu menguatkannya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu. (1 Petrus 5:7). Ira tahu dirinya dapat bergantung kepada Tuhan karena Dia adalah Tuhan yang setia dan pemelihara hidup. Meski Ira tidak selalu dapat mengerti rencana Tuhan terhadap dirinya dan Nathan, namun Ira percaya Tuhan tidak pernah salah. Nathan hadir dalam hidupnya bukanlah kesalahan. Seperti nama Nathan (Nathaniel) yang berarti anugerah Tuhan, bagi Ira, Nathan adalah anugerah Tuhan yang diberikan dalam hidupnya..

Suatu Sore, Saat Aku Pulang Kampung

Sebuah cerpen oleh Santi Jaya Hutabarat

Dret! Dret! Dret! Aku membiarkan ponselku terus bergetar.

Entah panggilan keberapa yang kulewatkan di hari ini. Panggilan berulang dari Ito, adik perempuanku.

Tadi malam, ia masih saja berusaha membujuk aku pulang. Padahal sudah beberapa kali kukatakan, aku tidak pulang Natal tahun ini. Ya, pulang. Kembali ke rumah setelah sekian lama merantau menjadi hal asing bagiku sejak papa menikah lagi.

Ito memintaku pulang agar bisa ziarah ke makam mama untuk merayakan kelulusannya.

“Sudah lima tahun abang tidak kumpul dengan kami. Nggak kangen ya?” tanya Ito dari seberang.

“Nanti pulang nyekar, kita sama-sama merayakan kelulusanku. Tante Yose jago lho masak ayam pinadar kesukaan abang” sambungnya.

Aku diam saja, tidak mengiyakan, tidak pula menolak.

“Aku tahu abang enggan pulang karena ada tante Yose dan Yosafat di rumah, tapi kali ini pulang ya. Please!!” terdengar nada memelas dari Ito.

“Abang coba ajukan cuti ya, kan masih pandemi,” aku mencari alasan menutup pembicaraan.

Lima kali merayakan Natal dan tahun baru di perantauan biasanya aku habiskan di kosan. Meski hanya 55 menit naik pesawat, aku malas pulang. Padahal saat kuliah, tidak jarang aku mengalami homesick, rindu rumah dan mau pulang. Now, it doesn’t feel like home anymore.

Belum setahun kematian mama, papa memutuskan menikah lagi dengan Tante Yose, single parent 1 anak, teman sekantor papa. Agar ada sosok mama yang mengurus kami katanya.

Aku menentang rencana papa, aku merasa papa hanya memikirkan kepentingannya. Lebih dari itu, aku sulit menerima ada yang menggantikan mama.

Aku tidak siap menerima orang baru di rumah, apalagi jadi pengganti mama. Meski sudah beranjak dewasa, rumor kengerian hidup bersama ibu tiri pun mengganggu pikiranku. Lagipula, aku menaruh sedikit curiga kalau papa dan tante Yose sudah mulai berhubungan saat mama masih hidup.

“Bagaimana mungkin bisa menggantikan mama secepat itu,” batinku membenarkan.

Aku kecewa dengan keputusan papa. Menurutku, papa harusnya mendampingi aku yang masih berduka dengan kematian mama.

Setahun berlalu hidup dengan tante Yose dan anaknya di rumah kami, aku akhirnya punya alasan meninggalkan rumah. Meski gaji dan posisinya belum sesuai harapanku, aku menerima tawaran jadi asisten guru di tempat temanku mengajar.

Sejak hari itu, hubunganku dengan papa semakin berjarak. Aku memang terus berkabar dengan Ito, tapi tidak dengan papa.

“Bang, jadi pulang kan?” Ito menanyai lagi dari chat.

Aku mengirimkan capture tiket yang aku pesan setelah mendapat izin pulang dari tempatku bekerja.

Aku akhirnya memutuskan pulang, hitung-hitung jadi hadiah wisuda untuk Ito. Rencananya, aku akan tiba sehari sebelum Natal dan langsung ke makam mama. Ikut ibadah perayaan Natal sekaligus syukuran wisuda Ito di tanggal 25 lalu langsung balik esok harinya. Aku tidak ingin berlama-lama di sana. Syukur-syukur kalau Ito mau kuajak tahun baruan di Medan.

Can’t wait to see you soon brother,” ketiknya disertai foto selfie di depan rumah.

Aku melihat beberapa gambar serta papan penunjuk nama pantai atau pulau tempat wisata di sepanjang perjalanan menuju rumah dari bandara. Sibolga merupakan pesisir yang membentang antara utara dan selatan, tidak heran jika tanah kelahiranku ini memiliki banyak pantai dan pulau yang memukau.

Hari belum terlalu siang saat aku tiba di rumah. Papa, Ito, Tante Yose, dan Yosafat sudah berdiri menyambutku di teras. Meski sedikit canggung, aku menyalam mereka. Kuserahkan juga kardus berisi Bika Ambon oleh-olehku.

“Kamu makan dulu ya mang, tante Yose sudah masak ayam pinadar untukmu,” ujar papa.

“Nanti aja pa,” balasku datar.

“Ito, berangkat yuk. Biar bisa lama-lama di sana” ajakku mencari celah menghindari kikuk yang kurasa.

“Daud mau langsung ke makam mama ya?” Tanya Tante Yose.

“Perlu ditemani? Di hari Ibu kemarin, kami sudah kesana sekalian bersih-bersih tapi…”

“Aku sama Ito aja.” Ucapku memotong Tante Yose.

Ito mengeluarkan sepeda motornya lalu kami berboncengan menuju makam mama.

Di sana, air mata tak bisa kubendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Duka beberapa tahun silam rasanya terulang lagi.

Ito sepertinya lebih tenang dariku, meski sesekali kudengar ia sesenggukan.

Kenangan tentang mama memenuhi pikiranku. Terlebih masa-masa pengobatannya. Gagal ginjal dengan risiko tinggi terkena serangan jantung membuat mama harus cuci darah, setidaknya satu kali setiap tiga minggu. Kami tidak tahu mengapa tensi mama bisa sampai di angka 160/100 mmHg di hari itu. Saat itu, Ito yang menemani papa membawa mama ke rumah sakit. Besoknya papa menelepon memintaku pulang, karena mama sudah berpulang.

Di pusara mama, selama beberapa waktu aku dan Ito duduk tanpa bicara.

“Bang, kita sudah boleh pulang? Aku ada kegiatan untuk persiapan ibadah nanti malam di gereja.” Tanya Ito menepuk pundakku.

Aku mengangguk sembari mengusap air mataku.

“Langsung mandi ya, biar segar.” Kata papa, saat aku dan Ito sampai di rumah.

Ito mengantarku ke kamar. Ruangan yang dulu kutempati itu tidak banyak berubah.

“Bang, sudah selesai mandi kan? Aku tunggu di meja makan ya.” Seru Ito mengetuk pintu.

Saat itu sudah hampir jam 3 sore, aku menghampiri Ito di meja makan. Kami sempat bercerita meski sebentar.

Bosan bermain gawai setelah ditinggal Ito, aku berjalan mengelilingi rumah. Setiap sudut rumah membawaku pada kenangan saat mama masih ada. Tak lupa aku menuju taman belakang. Aku melihat masih ada beberapa jenis tanaman herbal yang dulu dipakai untuk pengobatan mama di sana. Sepertinya papa menambahkan gazebo kayu di sudutnya. Aku berjalan kesana dan duduk bersandar di tiangnya.

“Mungkin bagimu terlalu cepat atau papa seharusnya tidak usah menikah lagi, tapi sudah lama papa menunggu kepulanganmu. Seperti kehilangan mama, papa juga sedih saat kamu meninggalkan rumah. Ia sering menanyai kamu pada Ito.” terangnya.

Aku masih terdiam mencerna kata-kata Tante Yose.

I am really sorry, Daud. Tante minta maaf untuk semua hal yang sulit tante jelaskan, terkhusus tentang pernikahan kami.”

I feel blessed through our wedding and I thank God for my new family.

Aku mendengar suara Tante Yose bergetar di pernyataannya yang terakhir.

Aku tidak bersuara sama sekali. Aku sibuk mempertanyakan banyak hal dalam hatiku.

Adakah berkat Tuhan hadir untukku? Should I thank God for all these, like she does?

Dulu, duka kematian mama masih menyesakkanku saat aku juga harus kembali kecewa dengan pernikahan papa. Lalu, di mana Tuhan saat ini semua terjadi?

“Oh iya ini sudah lewat jam 5, kamu ikut ibadah Malam Natal kan, mang? Ibadah memang mulai jam 8, tapi biasanya ramai, karena banyak anak rantau sepertimu yang hadir.” Tante Yose mengingatkanku.

Aku meringis, tidak nyaman mendengar panggilan Tante Yose. Di tempatku, kadang orang Batak Toba memanggil anak lelakinya amang atau mang.

Aku kembali ke kamar meninggalkan Tante Yose tanpa kata, namun di hati aku terus menimbangi yang ia sampaikan.

Kuputuskan untuk tidak ikut ibadah. Hati dan pikiranku masih kacau. Kususun pakaian yang kubawa tadi di lemari. Tidak sengaja aku melihat tumpukan file-file lamaku. Ada rapot, buku tahunan saat kuliah dan beberapa berkas penting lainnya.

Aku terdiam melihat surat katekisasiku saat SMA. Aku membaca ayat alkitab yang menjadi peneguhan sidiku.

“Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu,” (Yohanes 15:12).

Awalnya aku merasa ini hanya kebetulan atau karena aku lagi mellow. Namun aku coba membacanya kembali, merenungkan setiap kata demi kata.

Dulu saat peneguhan sidiku, papa dan mama membuat acara kecil-kecilan, mengundang beberapa kerabat. Ada juga penatua gereja yang sengaja diminta mama menjelaskan ayat peneguhan sidiku, katanya agar lebih kena di hati.

“Mengasihi, hal yang sering kita dengar bukan? Bentuk nyatanya juga banyak ya.” Penatua itu memulai penjelasannya.

Penuturannya ia lanjutkan dengan bercerita tentang penentuan ayat peneguhan sidi. Konon, pendeta akan berpuasa dan mendoakan si calon penerima sidi lalu membuka Alkitab dan menunjuk satu ayat dengan mata tertutup. Ayat yang ditunjuk akan menjadi ayat peneguhan sidi dari nama yang didoakan.

“Saat ini, kita belum tau bagaimana kehidupan Daud selanjutnya. Bisa jadi merantau, bertemu orang baru atau tetap tinggal di sini bersama orang-orang yang sudah dikenal. Ke depan, suasana dan mereka yang kamu temui bisa saja berganti, namun kasih-Nya bagimu tidak akan berubah. Ia mengasihimu dan dengan kasih-Nya itu juga, Daud diminta untuk selalu mengasihi ya nak,” tutupnya menepuk pundakku.

Aku memalingkan pandanganku ke luar jendela, berusaha menepis pikiranku. Hatiku berdebar tidak karuan. Aku lama termenung.

“Mengasihi sebagaimana aku dikasihi-Nya,” batinku mulai menyerah.

Aku mengingat kembali hari-hariku sejak kepergian mama. Aku mengakui saat itu aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri, hanya peduli pada lukaku sendiri. Aku lupa bahwa benar aku kehilangan mama tapi tidak dengan Tuhanku (Mazmur 27:10).

Perlahan, aku merasa Tuhan sedang menjelaskan kalut yang kurasa. Ia sepertinya menjawab aku yang meragukan penyertaan-Nya. Padahal, sebelum dan setelah kematian mama sekalipun, Tuhan tetap ada untukku. Kasihnya mengalir melalui orang-orang yang kutemui di perantauan bahkan lewat tante Yose dan Yosafat yang menemani papa dan Ito selama aku meninggalkan rumah.

Aku juga menyalahkan papa untuk semua hal yang terjadi bahkan tante Yose dan Yosafat. Aku alpa menyadari kalau papa juga berduka dan perlu dukungan. Harusnya aku belajar menerima keputusan papa dan tetap mengasihinya sebagaimana ia tetap ada bagiku. Terlebih dari itu karena Tuhan juga sudah dulu mengasihiku (1 Yohanes 4:19).

Dari depan, aku mendengar derit pintu, aku segera keluar kamar. Ternyata ada papa dan tante Yose yang akan berangkat ibadah.

“Eh, kamu ikut ibadah mang?” tanya tante Yose tersenyum kearahku.

Aku langsung memeluk papa dan tante Yose dalam diam dengan tubuh gemetaran. Kurasakan damai yang tidak bisa dideskripsikan saat di dekapan mereka.

Ahk, rasanya aku beruntung bisa memiliki sore tadi, suatu sore saat aku memutuskan pulang kampung.

Thank God, I found my way back home,” gumamku penuh syukur.

Soli Deo Gloria

Tuhan Buka Jalan, di Saat Tiada Jalan

Oleh Angel Latuheru, Ambon

Penderitaan menyadarkan manusia bahwa dirinya rapuh, oleh karena itu kita membutuhkan kehadiran sosok Ilahi. Ada suatu momen penderitaan yang mengubah caraku memaknai imanku. Kejadian ini berlangsung pada tahun 2019.

Di awal tahun itu, aku sedang menyelesaikan studi S-2 di universitas swasta di Jawa Tengah. Kampus mewajibkanku melunasi pembayaran uang kuliah paling lambat tanggal 7 Januari 2019. Namun, tak disangka-sangka, cobaan datang tanpa pemberitahuan lebih dulu. Tepat di tanggal 1 Januari 2019, ibuku dilarikan ke rumah sakit di tengah kondisi finansial keluarga yang sedang kacau balau. Untuk memenuhi kebutuhan bulanan saja sudah sulit, sekarang ditambah harus masuk rumah sakit.

Ibuku didiagnosis menderita pneumonia yang mengakibatkan batuk dan sesak napas. Setelah serangkaian pemeriksaan, paru-paru beliau harus segera ditangani menggunakan metode Thoracentesis, yakni penyedotan cairan yang menumpuk di dalam rongga pleura paru-paru.

Beberapa orang anggota keluarga mulai meneleponku. Mereka mengabari kondisi kesehatan ibu, sesekali juga menekankan bahwa biaya rumah sakit terlalu besar, sehingga aku harus mengambil cuti kuliah. Aku tahu betul bahwa tabungan orang tuaku telah terkuras habis. Semenjak ayah pensiun, uang tabungan banyak terkuras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai pendidikan anak-anak. Kalau saja orang tuaku memiliki tabungan saat itu, tentunya aku lebih memilih uang tersebut dipakai untuk kebutuhan berobat ibu dibandingkan kebutuhan kuliahku. Jika kuliah terhenti masih boleh dilanjutkan, tetapi kondisi kesehatan yang memburuk dapat berakhir kehilangan nyawa. “Pasrah” ialah satu-satunya kata yang terlintas dibenak saat itu.

“Jika Tuhan sudah menempatkanku di garis start, maka Tuhan pasti akan menyertai hingga titik finish,” gumamku di dalam hati.

Aku mengimani apa yang Paulus tuliskan dalam 1 Korintus 15:58: “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia”. Semua jerih lelah tidak akan luput dari pandangan Tuhan. Mungkin perjalanan hidup mempertemukanku dengan awan hitam, bahkan badai, tetapi aku beriman pada waktu-Nya badai akan berlalu dan awan hitam akan digantikan pelangi di langit yang cerah.

Hari-hari terasa sulit dijalani ketika mengetahui kondisi ibu yang sakit dan aku harus memahami bahwa kuliahku akan terhenti pada semester akhir. Padahal jika aku mengambil cuti kuliah, maka kedepannya orang tuaku harus mengeluarkan biaya kuliah yang lebih besar agar aku dapat menyelesaikan studi S-2.

Dalam kondisi yang sedang merenung di kamar kos berukuran 3×3, tiba-tiba saja aku menerima telepon dari ibuku, yang kuberi nama kontak sebagai “Ibu Negara”. Beliau berkata:

“Nona, kuliahnya bagaimana? Kapan harus bayar uang kuliah?”

“Sudah harus dibayar Ma, terakhir tanggal 7, tapi nanti kakak ambil cuti kuliah aja. Kan mama lagi sakit pasti butuh biaya yang banyak.”

Mendengar jawabanku, beliau terdiam sejenak dan berkata:

“Nona tidak boleh berhenti kuliah. Pokoknya mama akan usahakan untuk mengirim uang kuliah sebelum tanggal 7.”

Ketika beliau berkata seperti itu, terdengar suara lantang di sebelahnya berkata; “Dari mana mau dapat uang buat bayar kuliah, mau nyuri? Buat berobat aja ini kita ngga punya uang. Jangan maksain keadaan!”

Mendengar kalimat tersebut ibuku hanya terdiam. Setelah pembicaraan berakhir, tangisku tidak bisa lagi dibendung. Aku tidak dapat menyangka, ibuku tetap mengkhawatirkan pendidikan anaknya dibandingkan kondisi kesehatannya sendiri. Ibuku melakukan hal yang bertolak belakang dengan banyak orang saat itu. Ketika mayoritas anggota keluarga menghantarku ke tepian untuk mengorbankan pendidikanku, ibuku dalam sakit yang dideritanya tetap mempercayai bahwa Tuhan akan membantu tepat pada waktu-Nya dan aku tetap harus melanjutkan studiku.

Saat itu pelarianku hanyalah doa, dengan percaya bahwa “God’s plan is always the best plan”. Terpatri benar di dalam ingatan saat itu, firman yang kubaca sebelum berdoa ialah Yesaya 55: 6-13, di kemudian hari ayat ini sering aku pakai ketika melakukan pelayanan. “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.” (Yesaya 55:8) Dari ayat inilah keyakinan, kepercayaan, dan pengharapan itu kembali datang. Aku mulai mengerti bahwa seberat apapun penderitaan hidup yang sedang dialami, aku harus tetap setia untuk mempercayakan hidup ini kepada Tuhan.

Tanggal 5 Januari 2019, pukul 08.00 WIB aku berencana untuk pergi ke kampus menanyakan persyaratan untuk mengurus cuti kuliah. Aku bergegas pagi-pagi karena pada hari Sabtu kantor administrasi kampus hanya buka hingga pukul 12.00 WIB. Saat hendak berangkat sekitar jam 07.30 WIB yang artinya waktu Indonesia timur menunjukkan pukul 09.30 ibu meneleponku untuk memberitahukan bahwa beliau akan segera menjalani prosedur medis dan uang kuliahku sudah ditransfer. Ternyata seorang saudara dekat membantu secara diam-diam. Tanpa pikir panjang “orang baik” tersebut bersedia membantu menanggung biaya rumah sakit dan biaya kuliahku. Beliau membantu tanpa membicarakan kepada seorangpun tentang apa yang telah beliau lakukan.

Tiba-tiba saja dalam kesulitan yang sedang keluargaku hadapi, dan saat aku berpikir tidak ada lagi kemungkinan untuk mengikuti semester akhir, Tuhan menunjukkan kuasa tepat pada waktu-Nya. Iman ibuku menyelamatkannya dan masa depanku. Iman ibuku menyadarkan aku bahwa seberat apapun cobaan hidup yang dihadapi, pengharapan kepada Tuhan tidak boleh sirna.

Hampir tidak ada sepatah katapun yang dapat keluar dari mulutku, karena rasa syukur atas kebaikan Tuhan. Sedari saat itu hingga tahun 2022 ini, aku dan keluarga selalu mengingat bahwa kami pernah melalui awal tahun yang berat bersama Tuhan. Awal tahun yang memberi kami kekuatan iman untuk menghadapi penderitaan lainnya di kemudian hari.

Aku dan Seisi Rumahku Beribadah Kepada Tuhan

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

“Cuma 3,65? Kamu nggak bisa lebih dari itu? Kenapa harus ada nilai B?” Suara papi terdengar dingin.

Yosua menjawab papinya dengan menunduk diam.

“Bagaimana kalau ada yang tahu? Apa yang akan mereka pikirkan? Papi selalu membanggakan kamu itu akan lulus dengan nilai sempurna. Apa susahnya dapat IP 4.00?” Suara papi semakin meninggi.

Yosua semakin menundukkan kepalanya. Wajahnya pucat.

“Kamu selalu saja mengecewakan. Sudah sana, siap-siap untuk kelas Pemahaman Alkitab. Jangan sampai terlambat. Dan berpakaianlah rapi sedikit,” rasa kecewa pun tertuang dalam nada bicara papi.

Yosua melangkah perlahan menuju ke kamarnya.

“Apa salahku? Begitu pentingkah nilai itu? Kuliah kedokteran kan susah. Lagipula aku tidak ingin jadi dokter. Aku ingin jadi guru. Tetapi papi beranggapan tidak ada gunanya menjadi guru. Menjadi dokter menjaga nama baiknya,” gumam Yosua dalam hati. Dia membatin mengapa papinya begitu memaksa dia untuk meraih prestasi sempurna di bidang yang sejatinya bukanlah pilihan hatinya.

Meski begitu, Yosua tetap belajar untuk menghormati papinya. Dengan hati yang sendu, dia menyiapkan diri untuk ikut kelas PA.

“Mengapa baru datang sekarang? Sudah papi bilang jangan terlambat,” tegur papi sambil melihat jam tangannya. “Kamu tahu, untuk menjadi orang yang berhasil, kamu harus selalu tampil sempurna. Dulu orang tua papi juga mendidik papi dengan disiplin keras, sehingga papi bisa berhasil seperti sekarang. Kamu juga harus seperti itu,” lanjut papi dengan tegas.

“Maaf, papi,” jawab Yosua pelan. “Padahal masih ada 15 menit sebelum kelas dimulai,” gumamnya dalam hati.

“Konsentrasilah mendengar kelas hari ini. Minggu lalu, kamu sampai tidak bisa menjawab pertanyaan yang mudah itu. Memalukan sekali!” Suara papi terdengar kesal.

“Baik, papi. Akan kucoba,” jawab Yosua sambil melirik pada mami yang duduk di sebelahnya.

Mami tidak memperhatikan Yosua. Matanya fokus pada Alkitab yang sedang dia pegangi. Dia tampak tenggelam dalam bacaannya.

Percuma berharap pada mami. Dia tidak akan menolongku. Dia hanya sibuk dengan dirinya.

Setelah beberapa waktu setelah kelas PA pun dimulai, tiba-tiba Yosua mendengar namanya dipanggil.

“Yosua, senang melihatmu hari ini. Bagaimana pendapatmu tentang perikop yang kita baca hari ini?” tanya hamba Tuhan itu dengan antusias. Dia memajukan wajahnya ke depan layar menunggu jawaban Yosua.

Melalui pandangan matanya, papi memperingatkan Yosua untuk menjawab dengan benar.

“Tuhan telah menolak Saul menjadi raja karena ketidaktaatannya kepada Tuhan. Dan Tuhan telah memilih orang lain yaitu Daud, menjadi raja menggantikan Saul,” jawab Yosua dengan ragu. Semoga jawabanku tidak salah.

“Bagus sekali, Yosua. Pak Hartono, tentu senang sekali memiliki anak sepintar Yosua. Saya dengar dia kuliah kedokteran. Bapaknya dokter, anaknya juga. Luar biasa sekali, pak,” puji hamba Tuhan itu dengan tersenyum lebar.

Papi Yosua mengangguk-angguk dan tersenyum bangga.

Yosua hanya tersenyum tipis mendengar pujian itu. Andaikata hamba Tuhan itu tahu yang sebenarnya.

Malam itu, ketika Yosua berbaring di atas tempat tidurnya, dia membolak-balikkan tubuhnya dengan gelisah. Dia tahu dia lelah, tetapi dia tidak dapat memejamkan matanya. Selama beberapa bulan terakhir ini, Yosua hanya tidur selama 3-4 jam saja. Badannya terasa lelah dan sakit. Tetapi dia tidak pernah mengeluh kepada orang tuanya. Paling-paling mereka hanya akan menganggap aku mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab. Mereka tidak mengerti. Mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Tiba-tiba Yosua teringat akan sebuah botol obat yang dia temukan di lemari beberapa hari lalu. Dia mengeluarkan botol itu dari laci mejanya, dan dengan cepat dia menenggak 2 pil tidur sekaligus.

Yosua terlihat menjalani hari-harinya seperti biasa. Sibuk dengan kuliah dan kegiatan gereja. Orang tuanya selalu menekankan pentingnya untuk beribadah bersama-sama. Bahkan di ruang tamu, ada lukisan dinding yang bertuliskan ayat yang diambil dari Yosua 24:15b: Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan. Orang tuanya bahkan memberikan nama Yosua kepadanya karena terinspirasi oleh ayat itu.

Sepanjang ingatan Yosua, tiada hari yang dilewati tanpa kegiatan gereja meskipun masih dilakukan daring selama pandemi. Tanpa perlu jadwal, Yosua sudah menghafal semua kegiatan yang harus diikutinya. Kelas Pemahaman Alkitab, komsel keluarga, Persekutuan Doa, komsel remaja dimana Yosua adalah ketua remajanya, dan kelas Pemahaman Alkitab remaja. Setiap hari Sabtu, Yosua ikut kegiatan bakti sosial yang diketuai oleh maminya.Pada hari Minggu, karena gereja sudah mulai dapat dikunjungi, maka Yosua akan pergi beribadah bersama-sama kedua orang tuanya.

Pernah Yosua meminta izin untuk tidak ikut kelas Pemahaman Alkitab karena harus menyelesaikan tugas kuliah yang banyak. Papinya menjawab dengan ketus,”Salah kamu sendiri yang tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Papi juga sibuk. Tetapi bisa mengatur waktu untuk kerja dan gereja. Kamu juga seharusnya bisa. Kamu kan tidak lebih sibuk daripada papi. Apa kata orang kalau kamu tidak ikut? Jangan pernah coba merusak image baik keluarga kita!” Sejak itu, Yosua tidak pernah lagi meminta izin sekalipun dia merasa lelah atau tidak enak badan.

Yosua sering mendengar orang-orang memuji keluarganya. “Wah…hebat sekali. Tentu membanggakan memiliki anak yang kuliah kedokteran seperti Yosua. Satu-satunya keluarga dokter di gereja kita.”

“Keluarga teladan. Selalu ada di setiap kegiatan gereja. Tidak pernah absen sekalipun.”

“Sungguh keluarga harmonis. Tidak pernah bertengkar. Selalu akur setiap waktu. Mengagumkan sekali.”

Bahkan para hamba Tuhan di gereja juga ikut berkomentar. “Luar biasa keluarga Yosua itu. Itu baru namanya keluarga yang menyembah Tuhan. Setiap keluarga harus belajar dari keluarga Yosua.”

“Nama gereja kita mulai dikenal masyarakat sejak istrimu aktif dalam kegiatan bakti sosial. Banyak orang tertolong. Apalagi pak Hartono ikut memberikan pelayanan kesehatan gratis. Tanpa keluarga bapak, gereja kita tidak bisa seperti sekarang.”

Pujian-pujian itu tidak hanya dikatakan orang-orang di gereja, tetapi juga oleh teman-teman maupun kerabat orang tuanya. Bahkan sosial media mereka pun dibanjiri pujian seperti itu.

Apakah pentingnya pujian itu? Andai mereka tahu yang sebenarnya. Yosua tertawa sinis. Papi sendiri tidak pernah terlihat berdoa atau membaca Alkitab. Mami membaca Alkitab tetapi tidak mengerti apa-apa. Papi menyuruhnya maka dia harus ikuti. Segala sesuatu di rumah ini harus ikut perkataan papi. Tidak boleh ada yang membantah. Untuk apa hidup seperti ini? Semua orang mengatakan kami adalah keluarga Kristen yang menyembah Tuhan. Apakah orang yang hidupnya menyembah Tuhan itu seperti papi? Munafik. Apakah Tuhan juga seperti papi? Apakah Dia sungguh ada? Kalau Dia ada, mengapa Dia tidak menolongku? Kegelisahan itu kembali menghampiri Yosua. Dia meraih botol obat yang ada di mejanya, dan kali ini dia menelan lebih banyak pil lebih dari seharusnya.

***

Ruangan tunggu rumah sakit terasa dingin dan sunyi. Papi dan mami Yosua duduk di salah satu pojok. Bahu mereka merosot turun. Rasa tidak percaya terpancar di wajah keduanya. Kenyataan bahwa Yosua mencoba membunuh dirinya tidak pernah terbayang dalam benak keduanya.

“Selamat malam, pak dan bu Hartono.” Tiba-tiba terdengar suara yang menyapa keduanya.

Orang tersebut mengulurkan tangannya. “Saya mendengar apa yang terjadi. Saya ikut prihatin dengan kondisi Yosua.”

“Oh…pak Kristanto. Selamat malam,” jawab papi dengan kikuk. “Iya…kami…tidak menyangka sama sekali. Kami berpikir selama ini Yosua dalam keadaan baik. Dia mengikuti semua kegiatan dengan baik. Tidak pernah terpikir oleh kami. Kami…kami…tidak mengerti. Apa salah kami? Kami mengikuti kegiatan gereja setiap hari. Tidak pernah kami absen sekalipun. Kami bahkan tidak pergi berlibur. Kami memberikan persembahan. Kami sekeluarga beribadah kepada Tuhan. Mengapa ini terjadi pada kami?” keluh papi.

Penatua gereja yang dipanggil pak Kristanto itu menepuk-nepuk pundak papi. “Iya, semua ini terjadi di luar dugaan kita ya. Kita berpikir kita sudah melakukan yang terbaik bagi keluarga kita, bahkan juga telah menjadi contoh buat mereka. Tapi ternyata…apa yang kita pikir belum tentu seperti yang terlihat ya, pak.”

Papi terdiam sejenak. Wajahnya tampak serius. “Saya…saya tidak pernah berpikir seperti itu. Saya berpikir selama ini kami sudah setia beribadah kepada Tuhan. Tetapi…ya benar. Kalau dipikir-pikir, saya rasa saya belum contoh yang baik bagi Yosua. Saya…saya…bahkan jarang sekali berdoa dan membaca Alkitab. Mungkin yang saya lakukan selama ini hanyalah kegiatan saja. Saya…saya… tidak punya relasi dengan Tuhan.”

Pak Kristanto tersenyum hangat. “Selalu ada kesempatan untuk berubah. Tuhan selalu menunggu kita untuk bertobat.”

Papi menganggukkan kepalanya dengan perlahan. “Terima kasih, pak. Saya akan berbicara kepada Yosua. Saya perlu meminta maaf kepadanya. Saya sadar selama ini kami belum sungguh-sungguh beribadah kepada Tuhan. Kami akan mencoba mulai dari awal lagi.”

Tipe Teman yang Kita Semua Inginkan Hadir dalam Hidup [dan tips dari Alkitab]

Kisah-kisah pertemanan adalah kisah yang turut hadir dalam Alkitab.

Pada banyak kesempatan, kata ‘teman’ digunakan bersamaan dengan kata ‘saudara’ untuk menunjukkan kedekatan. Bahkan, Tuhan sendiri disebut sebagai teman bagi Abraham, Musa, Yakub, dan orang-orang yang mengikut-Nya (Mazmur 25:14 terjemahan ESV).

Kita semua ingin punya teman yang baik, dan kita pun sudah selayaknya dan seharusnya jadi teman yang baik pula.

Inilah 5 tokoh Alkitab yang dari mereka kita bisa belajar untuk menjadi kawan yang baik.


Artspace ini diterjemahkan dari YMI.Today dan didesain oleh @merrakisstart

Gak Adil! Memangnya Aku Penjaga Adikku?

Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta

Aku dilahirkan sebagai anak tengah dari lima bersaudara, pada tengah minggu, di tengah bulan, dan tengah tahun. Banyak orang berkata “wah anak tengah tulen, middle child syndrome pastinya.” Karena, anak pertama biasa lebih dominan dan anak terakhir sering dimanja, sedangkan kebanyakan dari anak tengah merasa terabaikan, akibat urut kelahirannya.

Tambahan pula, dengan sifatku yang cukup penurut, sejak masa remajaku, aku sering diberi tanggung jawab oleh kedua orang tua, untuk turut menjaga adik-adikku. Dan sesungguhnya, sempat terlintas di benakku, “apakah aku penting?

Salah satu buku cerita favoritku berjudul, My Sister’s Keeper, yang ditulis oleh Jodi Picoult. Novel tersebut menceritakan tentang dinamika kakak-beradik yang saling mengasihi. Namun, sang adik bergumul dengan kepahitan yang ia rasakan, terhadap kedua orang tua dan sang kakak, yang adalah penderita kanker darah. Pusat perhatian kedua orang tua tentu ada pada sang kakak yang sakit, sedangkan ada ekspektasi tak terucapkan bagi sang adik untuk menjadi donor berkelanjutan bagi kakaknya sendiri.

Ketika membaca buku tersebut, aku merasa dimengerti. Bahwa perasaan sakit hati terhadap seseorang, bukan berarti kita tidak mengasihi mereka. Karena aku sangat mengasihi keluargaku. Namun, dalam hati kecil, ternyata ada sebuah luka yang mengiang dan melontarkan pemberontakan, “apakah aku sekadar penjaga adik-adikku?”

Kain, Penjaga Habel

Kuingat suatu hari ketika aku sedang saat teduh, dan membaca Kejadian 4. Cerita tentang sepasang kakak-beradik, Kain dan Habel. Dalam keirian hati seorang Kain, ia membunuh Habel, adiknya sendiri—ini adalah kali pertama Firman menyatakan seorang manusia membunuh dengan darah dingin. Dan ketika Tuhan menghampiri Kain dan menanyakan keberadaan Habel, ia berkata, “aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” (ayat 9).

Ketika membaca kata-kata itu, hatiku tertegur. Bukankah ini pernyataan yang selama ini telah kuucapkan kepada Tuhan? Betapa miripnya keluhanku, dengan tanggapan Kain—dan pada saat itu juga, peringatan Tuhan kepada seorang Kain, menjadi peringatan bagiku: “dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya,” (ayat 7).

Seketika, aku memutuskan untuk segera menyelesaikan kekesalan yang selama ini kusimpan di hati kecilku ini.

Keadilan Tidak Berarti Sama

Setiap orang yang memiliki saudara, pasti pernah merasakan ketidakadilan. Sebuah contoh sederhana adalah ketika kedua anak berebutan mainan, dan orang tua harus melerai dan memihak. Bahkan ketika orang tua mengambil mainan tersebut, dan tidak ada satu dari mereka yang mendapatkannya, mudah bagi seorang anak, terutama yang merasa memiliki mainan tersebut, untuk berkata, “tidak adil! Itu punyaku!”

Dalam sebuah keluarga yang memiliki banyak anak, tentu sebagai orang tua tidak bisa memberlakukan anak-anaknya dengan seragam. Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda, dan sebagai orang tua, perlu kebijaksanaan untuk menanggapi seorang anak dengan cara yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan anak tersebut. Ada anak yang bawaannya penurut, dan ada yang bersifat lebih pemberontak. Setiap orang juga merasakan kasih dengan cara yang berbeda. Ada yang merasa dikasihi ketika diperhatikan, ada yang lebih membutuhkan pelukan, dan ada yang memerlukan perkataan pujian.

Hal ini baru kusadari ketika aku beranjak dewasa. Ternyata, selama ini, ketika orang tuaku mendidik aku dan saudara-saudaraku dengan cara yang berbeda, mereka bukan sedang memperlakukanku dengan tidak adil. Bukan karena mereka menganggapku tidak penting, atau karena mereka kurang mengasihiku. Sebagai orang tua, mereka terus berusaha untuk mengasihiku sebagaimana aku perlu dikasihi.

Alkitab Penuh Keluarga Disfungsional

Namun, harus kita akui, tidak ada orang tua yang sempurna di dunia ini. Karena memang, tidak ada orang yang sempurna (Roma 3:23). Firman Tuhan pun penuh dengan cerita tentang keluarga-keluarga disfungsional. Seperti kisah Abraham, Sarah dan Hagar (Kejadian 16), yang menyebabkan permusuhan bebuyutan antara Ishak dan Ismael. Persekongkolan Yakub dengan ibunya, Ribka, untuk menipu Ishak, ayahnya yang sudah rabun, untuk mencuri hak sulung Esau (Kejadian 27)—Alkitab mengajarkan betapa bobroknya manusia, sehingga sulit bagi kita untuk mengasihi orang-orang terdekat kita!

Namun, kita tidak boleh putus asa. Karena walaupun Firman mengungkapkan dengan sangat eksplisit kebobrokan kita, kita melihat bahwa Tuhan dapat menebus kesalahan-kesalahan kita, dan tetap bekerja melalui orang-orang yang tidak sempurna. Oleh salib Kristus, Tuhan telah “mempersatukan kedua pihak…merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, [agar kita dapat menjadi] kawan sewarga…dan anggota-anggota keluarga Allah,” (Efesus 2:14-19). Tuhan sendiri yang datang sebagai Penengah, Pelerai, Pendamai, agar kita dapat dipersatukan dalam keluarga-Nya.

Ketidakadilan Yang Dialami Yesus, Penjagaku

Tetapi apakah kita sepenuhnya menyadari harga yang dibayar oleh Yesus di kayu salib? Firman mengatakan bahwa Ia adalah yang sulung, yang pertama (Kolose 1:18). Satu-satunya Anak Allah (Yohanes 3:16) yang datang ke dunia, dan rela memberikan diri-Nya bagi umat manusia yang tidak mengenal, maupun menerima-Nya (Yohanes 1:9-10). Ia mengalami ketidakadilan yang terbesar, karena Yesus adalah satu-satunya yang tidak berdosa, namun menanggung segala penderitaan dan upah dosa setiap manusia (2 Korintus 5:21). Dan karena kasih dan pengorbanan-Nya, kita sekarang dapat dipanggil anak-anak Allah (Galatia 4:7).

Betapa besar kasih-Nya! Dan betapa berbeda dengan postur seorang Kain, ataupun diriku sendiri. Yesus sebagai Anak Tunggal meletakkan hak-hak-Nya, dan memberikannya kepada aku. Kepada kamu. Maukah kita sekarang mengikuti-Nya? Maukah kita belajar untuk meletakkan hak-hak kita, ke-aku-an yang begitu besar, dan berseru seperti seorang Paulus? “Aku telah disalib bersama Kristus, bukanlah aku lagi yang hidup, tetapi Kristus yang hidup dalam aku,” (Galatia 2:20).

“Alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mazmur 133:1).

Baca Juga:

Belajar dari 2 Sosok Perempuan yang Jadi Berkat bagi Bangsanya

Kita kerap berpikir kalau hanya orang pilihan saja yang bisa melakukan hal besar. Tapi, cara Tuhan memilih seseorang bukanlah berdasarkan standar manusia.