Posts

Aku Ditipu dan Kehilangan Uang, Tapi Tuhan Pelihara

Oleh Sheena
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Lost A Huge Sum Of Money, But God Looked After Me

Di awal 2021, aku harus keluar kerja di tengah pandemi karena papaku memintaku pulang untuk menolongnya mengurus masalah keluarga. Padahal saat itu aku sudah bekerja selama lima tahun dan baru saja naik jabatan dan mendapat kenaikan gaji.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana aku bisa mendapatkan pekerjaan baru dan kapan bisa kembali ke kota perantauanku, belum lagi ditambah bagaimana aku harus membayar semua tagihan. Namun, di titik itu aku harus memilih antara karier atau papaku. Meskipun berat, aku memutuskan untuk menaati papaku dan pulang ke kampung halaman.

Bulan-bulan setelahnya, masalah keluarga mulai terurai dan aku punya waktu untukku sendiri. Barulah aku mulai mencari-cari kerja secara online. Aku ingin pekerjaan yang menjanjikan dari segi gaji, tapi juga bisa dilakukan dari rumah supaya aku bisa menemani papaku. Jadi, ketika ada satu lowongan yang tugasnya adalah meningkatkan penjualan untuk sebuah lapak digital, aku pun berniat melamar ke situ. Tapi, sebelum mengirim semua berkasku, aku mencari tahu dulu tentang perusahaan ini. Semuanya tampak meyakinkan.

Namun… rupanya itu perusahaan bodong yang tujuan utamanya adalah menipu. Bukannya mendapat kerja, aku malah kehilangan uang dalam jumlah besar yang akhirnya membuatku berutang kepada teman-teman dekatku. Aku pun perlu menjelaskan kondisiku ini kepada mereka satu per satu.

Kesialan ini turut mengguncang relasiku dengan pacarku. Dialah yang pertama kali menolongku meminjamkan uang. Dia percaya aku bisa meraih kembali uangku yang hilang. Kami memang berusaha apa yang kami bisa–melapor ke polisi dan menceritakan semua detail kejadiannya. Bersyukurnya, meskipun aku merasa bersalah pada pacarku, kami mampu mendiskusikannya dengan kepala dingin dan menyerahkan prosesnya kepada Tuhan karena segala yang kami bisa telah kami lakukan.

Sembari proses penyelidikan berjalan, aku terjebak dalam depresi. Aku rasa aku bisa mengampuni semua orang yang terlibat dalam kejadian penipuan ini—para penipu, teman-teman yang menghilang saat aku susah, pembimbing rohaniku yang lebih peduli akan pacarku—tapi aku tak bisa mengampuni diriku sendiri.

Pikiran-pikiran negatif mulai memenuhi otakku—”Gak bakal ada orang yang mengasihiku lagi”; “Aku lebih baik mati bunuh diri supaya orang-orang di sekitarku bahagia”; “Aku gak berharga”. Aku tahu semua pikiran negatif ini tidak menolong, tapi aku tak tahu bagaimana menyingkirkannya.

Beberapa minggu sebelum retret gereja, aku meminta bantuan kepada gerejaku untuk menolongku mengatasi rasa depresiku. Sepuluh tahun lalu aku pernah mengikuti konseling untuk masalah lain, dan sekarang pun kutahu aku tak bisa menuntaskan masalahku sendirian. Semua kejadian getir ini mempengaruhi tak cuma diriku sendiri, tapi juga relasiku dan juga kinerjaku sebagai panitia dalam acara retret.

Dengan pertolongan konselor, aku mengenali pikiran-pikiran negatif ini datangnya dari Iblis, bapa segala dusta (Yohanes 8:44). Semua pikiran negatif membentuk “benteng” dalam pikiranku yang menghalangiku dari meraih pengampunan Allah. Aku harus merobohkan benteng itu dengan “menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus (2 Korintus 10:5). Artinya, aku belajar untuk menjadikan firman dan janji-Nya untuk melawan semua pikiran negatif. Ketika aku merasa khawatir atau tidak layak, Dia mengingatkanku bahwa Dia memegang tanganku, serta menolongku (Yesaya 41:13). Allah mengasihiku dan dengan setia berada di dekatku (Mazmur 117:2). Dia melihat pergumulanku, merasakannya, dan tetap menopangku (Mazmur 55:22).

Di akhir sesi konseling, aku mengikuti doa yang diucapkan konselorku untuk mengampuni diriku sendiri.

Perjalanan pemulihan ini berlanjut. Di sesi retret, aku diingatkan lagi bahwa aku tak dilupakan dan Allah besertaku apa pun situasiku. Saat aku membuka telingaku untuk mendengar-Nya, Dia membuka tangannya untuk memelukku kembali.

Suatu ketika, aku melewati toko bunga dan dalam pikiranku muncul gambar akan sebuah bunga yang ditutupi oleh semacam kubah. Gambaran itu mengingatkanku akan bagaimana Tuhan melindungiku melalui kasus penipuan ini. Tuhan mengirim teman-temanku untuk mengingatkanku, dan ketika yang terburuk terjadi, Dia memastikan aku tetap bisa keluar dari jeratan dosa itu.

Tuhan mengizinkanku untuk melihat bahwa uang bukanlah segalanya, bahkan ketika Dia menyediakanku uang yang cukup untuk membayar semua utangku dalam dua tahun.

Tuhan memberiku pemahaman baru akan ayat yang sudah sering kita baca, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11).

Dulu aku berpikir bahwa rencana yang Tuhan sudah siapkan buatku itu pasti termasuk karier dan arahan hidup, tapi sekarang Tuhan menunjukkanku bahwa “rancangan damai sejahtera” tidak berarti hidup berkelebihan dalam uang, tapi Dia akan memenuhi kita secara rohani dengan menarik kita mendekat pada-Nya supaya kita dapat sepenuhnya bergantung pada-Nya.

Meskipun aku berada dalam terowongan gelap, Dia ada di sana. Dia menggunakan momen-momen kegelapan untuk menenangkan dan menunjukkanku akan kesetiaan-Nya setiap waktu, meskipun hidupku terasa sangat kacau.

Hari ini aku dapat bersaksi akan kebaikan dan kasih-Nya buatku. Dia telah membuka pintu untukku kembali pada kota perantauanku dan memberiku pekerjaan yang memberiku lebih daripada apa yang kubutuhkan. Sekarang aku bisa menabung uang yang cukup supaya aku bisa melunasi semua utangku dalam dua tahun ke depan.

Kasih dan rezeki dari Tuhan datang padaku dalam berbagai cara:

  • Seorang temanku menolongku dari waktu ke waktu dengan memberiku pinjaman. Aku dapat melunasinya dalam lima tahun. Teman yang lain membelikanku makanan dan memberiku barang-barang yang menolongku untuk melewati masa-masa sulit.
  • Orang tuaku ikut menolong dengan cara-cara sederhana. Mereka memberiku hal-hal kecil meskipun aku tidak memintanya.
  • Pacarku tetap bersamaku meskipun kesalahan besar telah kubuat. Dia telah melamarku dan kami sedang mempersiapkan pernikahan kami.

Seiring aku menjumpai Tuhan dan meluangkan waktuku bersama-Nya, mengizinkan Dia untuk menunjukkan kebenaran kasih dan anugerah-Nya, aku telah belajar untuk lebih mendengar suara-Nya daripada suaraku sendiri atau bahkan suara Iblis.

Jika kamu saat ini sedang berada di dalam lembah kekelaman dan merasa tak ada seorang pun di sisimu, ketahuilah kamu tidak sendirian. Tuhan ada bersamamu, memedulikanmu. Kamu mungkin merasa tak berharga, tapi Dia mengatakan kamu berharga. Kamu merasa tak seorang pun mengertimu, tapi Dia mengerti.

Tuhan selalu menantimu untuk kembali pada-Nya tak peduli seberapa jauh kamu berlari. Raihlah kelegaan sejati dengan kembali berpaling pada-Nya.

Ketika Aku Menggenggam Terlalu Erat

Oleh Wira Perdana, Ambon

“Apa jadinya hidup tanpa kehadirannya?” Sanggupkah aku?” Mampukah aku?”

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang bermunculan di pikiranku ketika mendapat kabar bahwa Ayah pergi untuk selamanya pada 10 September 2021 yang lalu karena terpapar COVID-19. Sungguh sebuah kenyataan yang sulit diterima pada saat itu.
Dalam keheningan dini hari, aku hanya bisa menangis dan meratapi kenyataan di kamar kosan seorang diri. Hatiku remuk dan hancur. Tubuhku pun lemas tak berdaya.

Tidak berada di sampingnya saat akhir hidupnya adalah sebuah hal yang tidak pernah aku bayangkan dan terasa sungguh menyesakkan hati. Terlebih aku hanya bisa menyaksikan proses pemakaman secara virtual karena kondisi pandemi saat itu masih sangat mewabah. Aku hanya bisa pasrah, sebuah kesedihan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, hanya dapat diungkapkan dengan air mata.

Berbagai ungkapan dukacita datang dari sanak saudara, keluarga, juga para sahabat. Namun, sejujurnya ungkapan itu tak berdampak sama sekali padaku. Saat itulah kusadari bahwa aku begitu rapuh.

Seringkali aku menguatkan orang lain yang pernah mengalami hal serupa dengan cara memberikan kata-kata motivasi yang disertai ayat Alkitab. Namun, ketika aku yang mengalaminya, cara tersebut tidak dapat menguatkanku. Aku pikir aku kuat, tapi ternyata tidak. Dan hati kecilku bertanya, apa maksud dan rencana Tuhan bagiku dan keluargaku?

Rasa cemas dan khawatir selalu menghampiriku, terutama di awal kepergian ayah. Bagaimana hidupku selanjutnya tanpa adanya sosok ayah? Siapa yang akan menjadi tumpuan dan tulang punggung keluarga? Terlebih, siapa yang bisa menjadi problem solver ketika kelak kami punya masalah? Sungguh, kehilangan sosok ayah membuatku dan keluargaku seperti kehilangan arah.

Ayah ibarat sebuah pohon besar yang memberi kerindangan bukan hanya bagi keluarga kami, melainkan bagi seluruh keluarga besar. Ayah selalu mengupayakan segala yang terbaik bagi keluarganya, sekalipun terkadang dia melupakan kesenangannya sendiri. Dan menjelang akhir hidupnya, ayah masih menjadi sosok yang sama.

Kehadiran Ayah terkadang membuatku lupa arti kekurangan. Ayah selalu berusaha mencukupi dan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dan keinginanku serta keluarga. Bahkan hingga aku sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah, Ayah tetap ingin mengirim penghasilannya padaku sekalipun beliau juga sedang merantau bekerja di salah satu daerah pedalaman Papua, yang dari segala akses justru lebih sulit dari tempatku yang bekerja di perkotaan.

Beberapa hari setelah Ayah berpulang untuk selamanya, di tengah kondisi yang masih berduka aku mendapatkan pesan dari seorang sahabat di Yogyakarta, yang mengingatkanku bahwa kepergian Ayah memang bukan hal yang mudah, tetapi dapat menjadi kesempatan bagiku dan keluargaku untuk semakin mengalami kasih Bapa secara langsung tanpa melalu perantara seorang Ayah lagi.

Pesan tersebut kemudian menjadi titik balik bagiku yang di satu sisi menguatkanku, namun sekaligus menyadarkanku bahwa selama ini aku sangat bergantung pada sosok seorang Ayah. Aku lupa bahwa kehadiran seorang ayah adalah salah satu perpanjangan dan saluran dari kasih dan kebaikan Tuhan, bukan untuk menjadi pengganti-Nya. Kedukaanku yang terus berlarut terjadi karena selama ini aku terlalu mengandalkan dan memegang erat sosok seorang ayah melebihi Tuhan. Alhasil, ketika akhirnya ayah pergi, aku dilanda kecemasan yang luar biasa.

Setelah waktu-waktu yang panjang dan proses yang Tuhan izinkan, aku belajar menerima bahwa kehilangan sosok ayah tidak lagi menjadi momok yang menakutkan, justru menjadi sebuah kekuatan dan harapan yang terus aku imani bahwa Tuhan ingin menyalurkan kasih dan kebaikan-Nya secara langsung. Tugas ayah di dunia telah selesai, dan sekarang tugasku untuk melanjutkan kembali hidup dengan pertolongan Tuhan.

Bapa Surgawi ingin aku belajar bergantung dan melekatkan segala harapanku kepada-Nya, bukan melalui ciptaan-Nya. Ayah bukanlah milikku. Ayahku adalah milik-Nya yang dititipkan untuk sementara waktu, hingga pada waktu yang telah ditetapkan-Nya, ayah akan diambil kembali. Demikian pula dengan semua orang yang kita kasihi: orang tua, pasangan, sahabat, dan sosok lainnya, tidak ada yang abadi. Namun, kita membutuhkan sesama di dunia ini dan harus menghargai keberadaan mereka selagi masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Tuhan menciptakan sesama manusia untuk saling membantu dan membangun, terlebih untuk menjadi berkat bagi kemuliaan nama-Nya (Roma 14:8).

Kepergian ayah kini membuatku belajar untuk menghargai waktu bersama orang-orang terkasih yang masih Tuhan “titipkan” dalam hidupku, agar aku tidak menyesal di kemudian hari. Dan aku berharap, pengalamanku ini juga dapat menjadi kesaksian untuk menguatkan orang lain yang mengalami hal serupa atau kehilangan orang yang dikasihi.

Bagi kita yang pernah maupun sedang mengalami kehilangan orang terkasih, tak perlu cemas dan khawatir, karena pemeliharaan sesungguhnya berasal dari Tuhan sendiri. Percayalah, segala sesuatu diizinkan-Nya terjadi bagi kebaikan kita semua. Dan waktu-Nya adalah waktu yang terbaik.

“Demikian juga kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu” (Yohanes 16:22).

Ketika Aku Hidup di Keluarga yang Agak Laen

Oleh Baginda Hutapea, Jakarta
Gambar diambil dari screenshot 

“Kau itu sarjana hukum. Kenapa kau sia-siakan gelarmu itu, dengan menjalani pekerjaan yang nggak jelas, macam pelawak itu?”

Kira-kira begitulah penggalan kalimat yang diucapkan Pak Domu kepada Gabe, anak ketiganya, dalam film Ngeri-Ngeri Sedap yang baru-baru ini kutonton. Menurut Pak Domu—juga kebanyakan orang tua—seorang anak belum dianggap “bekerja” dan mapan kalau mereka tidak menjadi pegawai bank, dokter, ASN, dan sederet pekerjaan klasik lainnya. Pandangan ini tentu sangat menyebalkan bagi kita yang tidak berkarier di bidang-bidang itu. Kita mungkin menganggap pola pikir orang tua kita begitu kolot dan sempit, yang hanya mengenal kesuksesan dari profesi tertentu. Namun, sebenarnya mereka tidaklah salah. Generasi orang tua kita tidak mengalami masa muda seperti kita… dan sesungguhnya, mereka hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Lahir dan bertumbuh di dalam sebuah keluarga Batak, tentu film besutan sutradara Bene Dion Rajagukguk ini menjadi sangat relate bagiku pribadi. Meskipun sejak aku lahir, kami sekeluarga sudah hidup di Kota Jakarta, namun nilai-nilai budaya Batak itu tetap dipelihara oleh orang tuaku, terutama pada saat ompung masih hidup. Sebagai seorang anak laki-laki Batak, aku sepakat dengan masalah utama yang diangkat dalam film Ngeri-ngeri Sedap bahwa hubungan anak laki-laki Batak dengan ayahnya seringkali bermasalah dan tidak akur. Meskipun tentunya tidak terjadi di semua keluarga Batak, namun sebagian besar pasti setuju dengan kenyataan unik-pahit ini.

Aku dan papaku tinggal satu rumah, tapi hubungan kami tidak terlalu akrab. Kami jarang mengobrol, karena aku cukup segan kepada bapak yang dalam pandanganku suka marah-marah. Atau, mungkin pula karena ‘gengsi’ yang turut disuburkan oleh rumor yang bilang kalau anak lelaki ya memang lebih dekat dengan ibunya sendiri.

“Somarlapatan nauli, nadenggan patupaonmu, molo dung mate ahu.
Uju di ngolungkon ma nian, tupa ma bahen angka nadenggan.
Asa tarida sasude, holong ni rohami marnatua-tua i.”

Lirik lagu Uju di Ngolungkon di atas, jika diterjemahkan secara bebas, kira-kira mengatakan, “Tidak ada gunanya semua perbuatan kalian yang baik dan indah, jika aku (orang tua) sudah meninggal. Sebaiknya di saat aku (orang tua) masih hidup, lakukanlah segala yang terbaik, supaya terlihat semua rasa sayangmu kepada orang tuamu.”

Ketika mencoba menyelami lirik tersebut, sebagian dari kita mungkin memiliki stigma bahwa orang tua Batak itu sangatlah pamrih terhadap anak-anaknya dan sangat ingin diperhatikan/diurus oleh anak-anaknya pada masa tuanya. Segala materi yang mereka keluarkan dan kerja keras yang mereka lakukan untuk menyekolahkan dan membesarkan anak-anaknya seolah harus mendapat “balasan” yang senilai ketika nanti anak-anaknya sudah dewasa.

Bagi keluarga-keluarga yang berasal dari suku lain di luar Batak, tuntutan-tuntutan seperti ini mungkin terkesan yang unik dan tidak biasa. Agak laen, kalau kata orang Medan. Meski punya maksud positif, keunikan ini seringkali menjadi beban moral bagi para anak yang memicu perpecahan dan konflik dalam keluarga-keluarga Batak. Para bapak Batak yang cenderung merasa paling tahu yang terbaik turut andil dalam timbulnya akar pahit dan dendam bagi anak-anaknya, terutama anak laki-laki. Memang ada anak yang ketika dewasa akhirnya memahami sikap sang ayah seperti itu adalah demi kebaikannya dan rasa kesal atau marah muncul karena cara berkomunikasi mereka yang kurang baik, tetapi tak sedikit pula yang tetap merasa pahit.

Keunikan relasi bapak-anak dalam keluarga suku Batak ini sedikit-banyak mengingatkanku akan hubungan kita (manusia) dengan Tuhan. Seringkali, kita salah/gagal dalam menangkap maksud baik Tuhan yang Ia nyatakan di dalam hidup kita. Misalnya ketika kita menginginkan sesuatu. Kita menganggap keinginan kita adalah yang terbaik bagi kita, namun sesungguhnya, mungkin saja menurut Tuhan keinginan itu bukanlah yang terbaik bagi kita. Malahan, terkadang kita justru sering mengambil peran seperti seorang bapak Batak, yang seolah-olah tahu segala yang terbaik, dan memosisikan Tuhan sebagai seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Yang menjadi penyebabnya tentu adalah kekurangpekaan kita dalam mendengar suara Tuhan, yang lahir dari ketidakintiman hubungan pribadi kita dengan-Nya.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:8-9).

Sebagai seorang anak generasi Milenial dan Z, tentu kita tidak dapat memilih untuk dilahirkan di keluarga yang mana. Ketika kita harus lahir dan dibesarkan di dalam sebuah keluarga Batak, atau keluarga mana pun yang memiliki keunikan budaya tertentu, maukah kita tetap mengucap syukur kepada Tuhan dan menjadikan keunikan budaya tersebut sebagai sebuah warisan yang perlu dijaga dan dilestarikan? Sekalipun bagi kita, orang tua kita agak laen jika dibandingkan dengan orang tua teman-teman kita, yang mungkin dari luar terlihat sangat baik dan rukun keadaannya, maukah kita tetap bersyukur atas kehadiran mereka di dalam hidup kita?

Semenyebalkan apa pun orang tua kita di mata kita, dan setidak asyik apa pun cara mereka dalam menunjukkan cinta kasihnya kepada kita, maukah kita belajar untuk menghargai dan menyayangi mereka, selagi mereka masih ada?

“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” —Keluaran 20:12

Dalam Asuhan Dua Iman yang Berbeda, Ini Cara Pandangku Sekarang

Oleh Priliana, Jakarta

Waktu aku kecil, aku pernah hidup dalam asuhan dua iman yang berbeda.

Aku lahir di keluarga yang seluruh anggotanya Kristen, tetapi karena tidak ada yang mengasuhku, setiap hari dari pagi sampai sore aku dititipkan ke tetangga. ‘Ibu’, demikian aku memanggilnya.

Meski bukan mama kandung, ‘ibu’ mengasuhku dengan bertanggung jawab. Beliau memberiku makan, mengajariku belajar, hingga membelikanku banyak barang. Aku dianggapnya seperti anak kandungnya sendiri. Salah satu momen yang kuingat adalah aku diajaknya untuk merayakan hari besar agamanya. Ketupat, opor, tentu aku nikmati, namun yang paling berkesan adalah ketika aku melihat orang-orang dengan barisan teratur khusyuk berdoa.

“Wah, cantik sekali kamu pakai baju yang Ibu beli,” puji ibuku saat kami bersiap merayakan hari besarnya. Kami bergandengan tangan, berjalan menuju lapangan luas tempat orang-orang berkumpul sembari merencanakan nanti mau silaturahmi ke rumah mana saja.

Kedekatanku dengan ibu memberiku banyak pengetahuan tentang budaya mereka ketika merayakan hari besarnya. Ibu juga bukan orang yang tertutup. Ketika Natal dan Paskah, dia tidak enggan memberi kami selamat, bahkan pernah juga dia ikut menyaksikan penampilanku di perayaan Natal.

Sekarang saat aku telah dewasa, aku tidak lagi mengikuti ritual-ritual yang dilakukan ibuku sebab aku telah memilih untuk berakar dan bertumbuh dalam iman Kristenku. Namun, pengalaman hidup dalam asuhan dua iman berbeda itulah yang menolongku melihat dunia dari perspektif yang lebih luas.

1. Dunia kita adalah dunia yang heterogen

Dunia yang kita pijaki adalah dunia yang dihuni oleh beraneka ragam manusia, baik dari suku, ras, dan agama. Tak cuma perbedaan sosial, perbedaan latar belakang masing-masing keluarga juga membentuk kepribadian seseorang jadi unik.

Indonesia, misalnya. Negeri yang kita tinggali yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau juga punya segudang perbedaan. Masing-masing provinsi punya bahasa dan dialeknya, namun para founding fathers bersepakat untuk bersatu di bawah satu panji bernama “Indonesia”. Persatuan ini tidak meniadakan identitas masing-masing, melainkan dengan sadar mengerti bahwa untuk menjadi besar dan kuat, segala perbedaan itu harus dipandang sebagai sebuah kekayaan alih-alih pemecah belah.

Allah yang kita sembah juga mengasihi semua bangsa. Dalam kitab Yunus kita melihat bahwa Allah rindu agar bangsa yang tidak mengenal-Nya bisa mengenal-Nya sehingga mereka beroleh keselamatan. Kerinduan Allah ini selaras dengan panggilan-Nya juga bagi kita di masa kini, “Aku telah menentukan engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya engkau membawa keselamatan sampai ke ujung bumi” (Kis 13:47).

Dalam dunia heterogen, kita sebagai orang Kristen hadir untuk meneruskan kasih Tuhan pada siapa pun tanpa melihat atau menilai adanya perbedaan. Justru dalam perbedaan tersebutlah kita dipanggil untuk menjadi terang dan garam.

2. Wujud kesalehan iman Kristen diwujudkan dalam hidup berdampingan dengan sesama

Matius 5:16 menyebutkan sabda Yesus bahwa kita adalah “garam dan terang”. Ini bukan sembarang analogi. Menjadi garam berarti memberi rasa bagi seluruh masakan, dan menjadi terang berarti memberi cahaya untuk menerangi tempat yang gelap. Singkatnya, Yesus memanggil semua murid-murid-Nya untuk hidup berdampak.

Pada zaman ketika Yesus melayani di dunia, kekristenan belumlah terbentuk. Orang-orang Yahudi di bawah penjajahan Romawi cenderung hidup berkelompok dengan segolongannya dan menganggap golongan lain lebih rendah (contoh: orang Samaria yang dianggap najis karena kawin campur, pemungut cukai yang bekerja untuk Romawi dengan menjajah/memeras orang Yahudi, dll). Namun, justru dengan orang-orang inilah Yesus memberi diri-Nya hadir.

Dalam Yohanes 4:1-42, Yesus meminta air dan bercakap dengan perempuan Samaria, hingga perempuan Samaria tersebut menjadi percaya pada-Nya. Bahkan di ayat 40, Yesus tinggal selama 2 hari bersama orang-orang Samaria yang menjadi percaya kepada-Nya.

Yesus juga mengasihi pemungut cukai. Dalam Matius 9:11-13, Yesus memberikan pedoman untuk bergaul dengan pemungut cukai (orang yang belum percaya). Bahkan di ayat 12 Yesus berkata:

“Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”

Apa yang tertulis di Alkitab memberi penegasan pada kita yang hidup di zaman modern, bahwa ke dalam dunia yang beragam kita diutus untuk mengasihi. Untuk menunjukkan pada dunia bahwa Dialah Allah jika kita saling mengasihi (Yohanes 15:35).

***

Sekarang saat aku sudah besar dan mengenal iman Kristenku dengan lebih dalam, aku tidak lagi mengikuti aktivitas ibadah ibu, tetapi relasi kami yang erat layaknya saudara tidak merenggang sedikit pun. Hampir dua dekade telah berlalu sejak aku rutin diasuh oleh ibu. Sampai hari ini kami masih saling berkomunikasi dan bahkan sering bertemu. Tidak ada yang berubah selain fisik yang semakin tua.

Bekal firman Tuhan yang diajarkan orang tuaku sejak aku kecil, serta iman Kristen yang kuanut secara pribadi, meneguhkan posisiku bahwa sebagai seorang yang telah dikasihi Kristus, aku dimampukan untuk meneruskan kasih itu kepada orang lain, termasuk kepada yang berbeda keyakinan denganku.

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:34-35).

5 Cara Hidup dalam Keluarga Disfungsional

Oleh Jane Lim
Artikel asli dalam bahasa inggris : 5 Ways I Learned To Love My Dysfunctional Family

Keluargaku bisa dikatakan sebagai “Keluarga Kristen Harmonis”. Kami pergi ke gereja setiap hari Minggu, menghadiri persekutuan, dan ikut retret. Kami juga membaca Alkitab, bergabung dengan grup komsel, dan mengadakan sesi belajar Alkitab di rumah. Kami percaya bahwa keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersama.

Namun, selalu ada hal yang menyakitkan bagiku, yaitu melihat betapa banyak konflik dan ketegangan yang kami miliki di rumah. Sebagai seorang anak, aku selalu merasa tidak nyaman setiap kali melihat orang tuaku bertengkar hebat sebelum ke gereja, kemudian pertengkaran itu terhenti saat tiba di gereja. Lalu mereka pergi ke tempat masing-masing—ayah ke ruang ibadah dan ibu bergabung dengan paduan suara atau mengajar kelas, sementara aku ke kelas sekolah Minggu dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Entah bagaimana, secara tidak langsung aku mengerti bahwa aku harus memendam hal tersebut untuk diriku sendiri.

Aku pun tidak ingat bahwa aku pernah mendengar orang tuaku saling meminta maaf, apalagi untuk membahas masalah pertengkaran mereka setelahnya.

Ketika aku tumbuh dewasa dan menyadari betapa disfungsionalnya—tidak normal dan tidak sehat—interaksi semacam itu, semakin sulit bagiku hanya untuk berdiam diri dan tidak mengatakan apa-apa. Oleh karena itu, aku memilih berbicara. Tentu saja hal ini tidak disambut baik, mengingat bagaimana konsep hubungan orang tua dan anak dalam budaya kita.

Selama bertahun-tahun, aku terus belajar untuk menyerahkan keadaan ini kepada Tuhan. Aku pun diberkati karena dapat berteman dengan para pendeta yang peduli dan mentor-mentor yang bijaksana, dan mereka juga yang menemaniku melalui berbagai konflik yang kualami. Aku juga mengikuti terapi dengan seorang konselor Kristen, dan memiliki teman-teman yang mau melakukan yang terbaik untuk berada di sisiku. Secara pribadi, aku telah melakukan apa yang bisa kulakukan untuk belajar hidup dalam keluargaku yang tidak baik-baik saja.

Aku juga telah belajar untuk menyebut situasiku sebagai disfungsional, sesuatu yang tidak dapat aku lakukan sebelumnya. Hampir satu dekade yang lalu, aku bercerita pada seorang teman tentang bagaimana orang tuaku bertengkar dan bagaimana hal tersebut terlihat normal, sampai ketika dia dengan blak-blakan menjawab, “Uhm, itu tidak normal.”

Tanggapannya mengejutkanku, dan setelah itu, aku langsung merasa malu. Apa maksudnya keluargaku tidak normal? Apakah ini berarti kami disfungsional? Bagaimana bisa dia mengatakan itu? Betapa beraninya dia mengatakan itu? Orang tuanya bahkan bukan orang percaya — setidaknya keluargaku orang percaya. Bagaimana kami bisa ‘bermasalah’ jika kami orang Kristen?

Kalau dipikir-pikir, itu adalah momen pembelajaran yang penting bagiku. Walau temanku mungkin bisa mengatakan istilah yang lebih baik, tapi apa yang dia katakan itu benar. Tidak normal bagi keluarga untuk menjadi seperti ini. Dan menjadi orang Kristen tidak membebaskan kita dari masalah.

Tuhan dengan jelas menggambarkan visi-Nya tentang kehidupan keluarga dalam Efesus 5:2-6:4 — melibatkan penyerahan yang sama dan kasih yang rela berkorban, untuk mencerminkan hubungan antara Kristus dan gereja. Di keluargaku, sebagian besar konflik kami berasal dari ketidaksabaran dan keinginan kuat untuk “melakukan segala sesuatu dengan caraku” ( Yakobus 4:1 ). Yang terpenting, kedua bagian ini menyajikan kesimpulan yang sama—kita perlu tunduk kepada Tuhan.

Seiring waktu, aku telah melihat bagaimana teman-temanku juga berjuang dengan keluarga mereka sendiri dan memilih membawa keadaan disfungsional tersebut kepada Tuhan. Itu menggerakkanku untuk tetap setia pada imanku. Mereka mengajariku berulang kali bahwa kekacauan keluarga yang tampaknya permanen tidak menghapus kebenaran Alkitab dan apa yang telah Yesus lakukan di kayu salib. Tanggapan mereka mengingatkanku bahwa Tuhan terus bekerja dalam kita dan akan menyelesaikan pekerjaan-Nya sampai kita melihat-Nya lagi.

Aku juga belajar untuk mempertimbangkan kembali bagaimana kita menggunakan kata “normal’. Walaupun konflik adalah hal normal dan merupakan bagian dari kehidupan, konflik yang sering terjadi dan tidak terselesaikan tidak boleh diperlakukan sebagai hal yang normal.

Seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma 6: “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” (ay.1-2). Ini berarti bahwa meskipun kesulitan melawan dosa terus berlanjut, perjuangan juga harus terus berlanjut, dan kemenangan pasti ada karena perbuatan Yesus di kayu salib (11-14).

Lalu bagaimana kita bisa hidup dengan ketidaknormalan dan tetap sehat? Bagaimana kita menerimanya dan tidak mengabaikan dampak dan konsekuensinya dalam hidup kita?

1. Mengakui dan meratapi kehancuran dosa

Kita tahu konsekuensi dari dosa, tetapi hidup dalam dosa setiap hari bisa menjadi sangat berat. Mengakui dosa terus-menerus tidak berarti kita menyerahkan diri kepada kuasa dosa, sebaliknya itu berarti kita tidak lagi menganggap remeh dosa atau melakukan pembenaran bahwa dosa yang kita lakukan adalah ‘normal’.

Ketika aku berbicara dengan seorang teman tentang keluargaku, dia mengingatkanku betapa disfungsionalnya beberapa keluarga dalam Alkitab (misalnya, Abraham, Yakub, Daud), dan bagaimana Tuhan memelihara dan memakai mereka untuk memenuhi rencana-Nya. Kami juga membahas bagaimana kita harus merefleksikan peran kita dalam keluarga yang rusak: selain mengakui luka kita sendiri, kita juga perlu dengan rendah hati memeriksa keadaan hati kita dan mengakui bahwa kita telah menyakiti orang lain.

Bukan berarti kita dapat berpikir bahwa satu luka menghapuskan luka lainnya. Ini berarti bahwa “kita semua telah berbuat dosa” ( Roma 3:23 ), namun “… Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” ( Roma 5:8 ).

2. Kembalilah kepada Tuhan dan renungkan janji-Nya

Setiap kali konflik muncul dalam keluargaku, aku tergoda untuk melarikan diri dan bersembunyi, untuk tidak ikut campur kalau aku bisa. Tapi mengelak sebaik apa pun hanyalah jeda singkat. Aku menyadari bahwa aku dapat bersembunyi di guaku sendiri atau aku dapat memilih untuk bersembunyi di hadirat Tuhan ( Mazmur 32:7 ).

Bersembunyi di hadirat Tuhan berarti berpaling pada Firman-Nya dan menyalurkan seluruh kesedihan kita kepada-Nya, meletakkannya di kaki-Nya. Bersembunyi di dalam Tuhan tidak berakhir dengan tangisan dan ratapan (Mazmur 30), karena Dia “hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.” ( Mazmur 32:8 ).

Ketika sakit hati dan putus asa, aku sering mengingat kembali Ratapan 3 :

”Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu.”
Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku.
Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:

Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!
”Tuhan adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya. (ay.19-24).

3. Carilah pemulihan

Kita tahu bahwa kehidupan di bumi tidak pernah mulus, tetapi kita dapat (dan harus) berdoa dan berharap bahwa Tuhan akan membawa pertobatan, penyembuhan, dan pemulihan hubungan yang sempurna. Namun, kita juga perlu belajar untuk berdamai dengan kemungkinan bahwa pemulihan itu mungkin tak selalu selaras dengan yang kita dambakan.

Ada saat ketika aku berharap semua orang di keluargaku akan mencari bantuan konseling sehingga kami dapat menyelesaikan semua masalah kami, tetapi aku sadar bahwa keputusan tersebut adalah keputusan pribadi. Dulu aku merasa sangat putus asa, bahkan pahit akan penolakan keluargaku untuk mencari pertolongan konselor. Tetapi melalui sesi konselingku sendiri, dan para mentor yang mendengarkan, serta teman-teman yang mendoakanku, perlahan aku belajar menerima pilihan keluargaku dan mencintai mereka dengan kemampuan terbaikku. Ini berarti melayani mereka sebanyak yang aku bisa sambil menjaga batasan yang sehat, dan terus berdoa agar Tuhan menyembuhkan dan memulihkan mereka.

4. Tetapkan batasan yang sehat dan cari pemulihan untuk diri sendiri

Dalam budaya tempat aku tumbuh, konsep menciptakan ‘batasan’ dengan orang-orang atau konflik sangatlah asing, bahkan dianggap tidak berbakti. Tetapi dengan bantuan terapi, buku, dan literatur Kristen, aku telah belajar bahwa memberi batasan sebenarnya sehat.

Hal pertama yang aku pelajari adalah mengenali peranku dalam konflik. Ketika orang tuaku bertengkar, aku tahu bukan tanggung jawabku sepenuhnya untuk menengahi dan membantu mereka berdamai. Bagian yang sulit adalah mengatakan tidak, tetapi aku telah belajar melakukannya demi kesehatan mentalku. Sebaliknya, aku berdoa sebanyak yang aku bisa. Aku juga menghadiri sesi konseling secara teratur karena ini selalu menjadi jalan keluar yang bermanfaat bagiku dan merupakan kunci untuk perjalanan penyembuhanku.

5. Terus berusaha dalam doa

Lebih dari sekadar kata-kata yang kita ucapkan, doa ada dalam sikap hati kita—bagaimana kita mengarahkan pikiran dan emosi kita kepada Tuhan. Itu berarti, mengakui bahwa Dia mengasihi kita dan melihat serta mendengar segala sesuatu yang kita katakan dan tidak katakan. Dari sana, kita dapat mengingat bahwa Dia “yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita” ( Efesus 3:20 ).

Jangan menyerah mendoakan keluargamu, sebesar apapun kehancuran di dalamnya. Tuhan tidak hanya menyelamatkan kita untuk kehidupan yang akan datang, Dia terus menyelamatkan kita setiap hari (Mazmur 68:19) dan Dia telah memberi kita pengharapan hidup dalam Yesus (1 Petrus 1:3).

Kita adalah Buah dari Pohon Keluarga

Oleh Dhimas Anugrah

Kita tentu tidak asing dengan kalimat yang mengatakan “belajar itu bisa dari mana saja”. Tapi, pernahkah kita menyelidiki di mana tempat belajar pertama kali seorang manusia?

Setiap kita bertumbuh dari pembelajaran dalam keluarga. Secara mendasar, tiap insan belajar mengamati kehidupan sehari-hari dimulai dari rumah, dari lingkar terdekatnya, atau secara khusus: dari orangtua. Karena tiap rumah punya pola didik yang berbeda, tak heran jika kita amati orang-orang yang ada di komunitas, kita menjumpai beragam karakter. Seorang pemerhati sosial mengatakan: “setiap manusia adalah buah dari pohon keluarganya.”

Sebagai contoh, secara psikologis sikap orang tua yang terlalu keras pada anak dalam penerapan disiplin bisa memberikan pengaruh negatif terhadap kepribadiannya di kemudian hari. Anak cenderung bertumbuh menjadi pribadi yang terlalu khawatir, tidak percaya diri, berperilaku agresif atau terlalu malu dekat orang lain, sulit bersosialisasi, bahkan sulit mengendalikan diri. Ini bukan berarti tidak boleh mendisiplinkan anak, tetapi aturan dan batasannya perlu tetap proporsional. Hasil pendidikan di keluarga pun turut menyumbang dinamika pergaulan di antara manusia yang tidak jarang bersentuhan dengan kerumitan. Maka, tidak berlebihan jika Alkitab memandang peranan orangtua atau keluarga begitu penting.

Kitab Suci memberi perhatian penting pada keluarga. Sebagai contoh, di dalam Kitab 1 Raja-raja saja disebutkan ada 16 nama ibu dari raja yang berkuasa di Kerajaan Selatan, yaitu Zerua (ibu Yerobeam), Maakha (ibu Abiam), Azuba (ibu Yosafat), Atalya (ibu Ahazia), Zibya (ibu Yoas), Yoadan (ibu Amazia), Yekholya (ibu Uzia), Yerusa (ibu Yotam), Hebzhiba (ibu Manasye), Mesulemik (ibu Amon), Zedida (ibu Yosia), Mahamutal (ibu Yoahas), Nehusta (ibu Yoyakhin), dan Yehusta (ibu Zedekia). Raja Yosafat melakukan apa yang benar di hadapan Tuhan karena pengaruh ibunya, sementara Ahazia melakukan apa yang jahat karena pengaruh ibunya Atalya (2 Raja-raja 23:8).

Di dalam Perjanjian Baru disebutkan peran besar Lois dan Eunike bagi Timotius. Kedua wanita yang takut akan Tuhan ini memberikan teladan hidup dan didikan yang baik bagi anak rohani Paulus itu (2 Timotius 1:5; 3:15). Di dalam sejarah gereja, ada pula seorang ibu yang bernama Monica. Dia dikarunia putra yang jenius, tetapi hidup putranya itu hidup berkajang dalam dosa hingga akhirnya mengalami pertobatan. Anak itu bernama Agustinus, salah seorang teolog besar dalam sejarah gereja yang hingga kini pemikirannya dilestarikan oleh tradisi Katolik dan Protestan.

Orangtua sebagai Arsitek Peradaban

Contoh dari Alkitab dan sejarah tadi menguatkan anggapan bahwa peran orangtua begitu penting dalam perkembangan karakter seseorang, baik itu secara fisik, emosional, sosial, dan intelektual. Jika seorang arsitek ingin merancang sebuah bangunan, ia harus membuat fondasi dan struktur yang kukuh, sehingga bangunan yang ia rancang dapat berdiri tegak dan kuat selama mungkin. Jika fondasi dan strukturnya tidak kuat, maka bangunan tidak akan bertahan lama. Demikian pula perkembangan jiwa seseorang sejak ia kanak-kanak. Bila fondasi dan struktur jiwanya tidak solid, maka ia akan bertumbuh menjadi manusia berkepribadian tidak baik pula. Bisa saja itu terwujud dalam sikap yang sulit berhubungan dengan orang lain, tidak mengindahkan norma dan moral, dsb. Di sinilah pentingnya orangtua sebagai arsitek jiwa manusia. Yang tiba pada gilirannya, kumpulan manusia tersebut akan membentuk suatu peradaban.

Orangtua bertanggung jawab membentuk kepribadian anak dan mempengaruhi nilai-nilai, skill, sosialisasi, dan rasa aman mereka. Orangtua diundang menjadi panutan untuk dicontoh putra-putri mereka. Tentu, gereja memang bertugas mengajar anak-anak mengenai pengajaran dasar iman, tetapi tanggung jawab utama membangun dan membentuk anak-anak menjadi pribadi Kristen adalah orangtua mereka. Sebagai arsitek jiwa manusia dan peradaban, orangtua didorong untuk mengajar anak mereka mempunyai karakter Kristen, di mana Kristus menjadi yang utama dalam hidup mereka.

Tentu, tidak ada orangtua yang sempurna di dunia ini. Orangtua pun merupakan buah dari didikan orangtua mereka. Ada keluarga yang menjalankan fungsinya dengan baik, tetapi tidak sedikit keluarga yang kehilangan fungsinya bagi anak-anak mereka. Ini adalah realitas yang kita hadapi. Namun, ketika kini orangtua Kristen telah mengetahui betapa besarnya peran mereka bagi pertumbuhan anak-anak mereka, setiap orangtua diundang untuk mendidik anak-anaknya dalam kasih Kristus dan memperhatikan mereka sebagai pribadi yang utuh.

Keluarga adalah Pohon, Anak adalah Buahnya

Tidak bisa dipungkiri, keluarga laksana pohon dan anak adalah buah-buahnya. Ini karena di dalam keluarga anak-anak dibimbing serta diajar tentang nilai dan moral yang baik, yang jika itu terlaksana dengan baik, maka seorang anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang utuh. Sebaliknya, jika proses pembimbingan dalam keluarga tidak tercapai, maka seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak utuh. Dalam konteks Kristiani, ketidakutuhan ini dapat disebabkan antara lain: kurangnya kasih sayang orangtua terhadap anak, pengajaran firman Tuhan kepada anak yang minim, pengawasan orang tua yang kurang, dan absennya teladan yang baik dari orangtua.

Sebagai pusat pembentukan kehidupan rohani, dari keluargalah setiap orang mempelajari pola-pola hubungan akrab dengan orang lain, nilai-nilai, ide, dan perilaku sopan santun. Seperti pohon, keluarga merupakan tempat bernaung, yaitu tempat berteduh dan bertumbuh. Keluarga adalah bagian dari rencana Allah. Keluarga adalah bangunan dasar dari tata masyarakat yang kuat. Keluarga adalah tempat kita bisa merasakan cinta dan belajar mengasihi orang lain. Bagi kita yang mungkin berasal dari keluarga tidak ideal, kasih Kristus mendorong kita mengampuni orangtua kita dan berjuang menjadi pribadi yang lebih baik. Jika kita adalah orangtua Kristen, maka kita diundang untuk mendidik dan membesarkan putra-putri kita dalam kasih Kristus. Hidup terkadang terasa keras, dan setiap anak membutuhkan keluarga yang dapat menemani mereka menghadapi kerasnya dunia. Keluarga adalah tempat yang aman di mana kita bisa mendapatkan nasihat, dukungan, pelukan, dan, bila ada: setoples kacang mede.

Drama Skripsi dan Wajah-wajah yang Menopang

Oleh Alvianus Gama

“Alex!”, sahut mamaku dari arah kamarnya saat aku sedang bergegas menaiki tangga ke kamarku di lantai atas.

“Ya Ma, kenapa?”, jawabku pendek.

“Mama mau ngobrol dulu bentar”, jawab mama dengan muka yang terlihat serius.

Aku menoleh ke arahnya dengan penuh pertanyaan. Ada apa gerangan?

“Mama sama papa udah sebulan ini berdoa tiap malem buat kuliah kamu. Tapi setiap kali berdoa kok rasanya nggak damai ya, jadi mama mau nanya langsung aja ke kamu, sebenarnya kuliah kamu tuh gimana? Coba cerita dong…”, kata mamaku penuh harap.

Aku tertunduk diam. Ini adalah pertanyaan yang paling aku takutkan selama ini. Takut akan konsekuensi yang akan aku hadapi nanti.

Mamaku adalah seorang ahli hukum yang sukses dalam pekerjaannya. Ia seorang yang antusias dan penuh semangat, selalu memotivasi aku dan kakakku untuk maju dalam segala hal. Dalam kesibukannya bertemu dengan klien setiap hari, ia selalu bisa menyisihkan waktu untuk memperhatikan keluarga dan orang-orang yang dikasihinya. Sedangkan papaku adalah seorang yang berpendirian keras dan berkemauan kuat, yang mendidik anak-anaknya dengan caranya sendiri. Papa adalah sosok ayah yang selalu menemukan berbagai macam cara untuk memperbaiki peralatan rumah yang rusak, mulai dari meja yang patah kakinya, keran air yang bocor, hingga mobil yang mogok, atau motor yang rusak. Agaknya inilah yang membuatku lebih mudah untuk bercerita kepada mama untuk segala urusan, termasuk kuliahku. Cerita ke papa? Hmmm nanti dulu.

“Gimana Lex? Ayo cerita dong…”, ujar mamaku menantikan jawaban.

Aku menghela nafas panjang. Susah rasanya untuk membuka mulutku dan mulai cerita. Saat itu, aku seolah tak punya alasan lain untuk menghindar dari pertanyaannya selain menarik tangan mamaku dan mengajaknya ngobrol di kamarku. Di dalam kamar pun, aku tetap sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalaku dalam kata-kata. Di momen-momen sunyi yang menyiksa itu, tanpa aku bisa kuasai, air mata mengalir begitu saja. Aku lihat mama menatapku heran, menyaksikan anak laki-lakinya terisak sambil menunggu penjelasan.

”Kenapa kamu nak? Coba jujur aja, cerita ke mama, gimana sebenarnya?” ujarnya lembut sambil memegang tanganku erat.

Jantungku berdegup kencang. Aku berusaha menenangkan hati dan emosiku. Dengan nafas yang tak beraturan, aku mulai menceritakan pada mamaku bahwa sebenarnya sudah 2 tahun ini aku menelantarkan kuliahku. Selama ini aku berbohong pada mamaku terkait kuliahku.

Aku tertunduk malu dan berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan langsung mamaku. Perlahan aku bisa mendengar mamaku juga ikutan menangis. Ia tampak begitu terpukul dan nggak percaya kalau anak yang selama ini dia banggakan, yang punya IPK bagus dan di atas rata-rata teman kuliahnya, anak yang nyaris nggak pernah punya masalah, tiba-tiba membawa kabar yang tak pernah ia sangka-sangka, seperti mendengar suara geledek di siang bolong.

Sejak 2 tahun yang lalu, aku sebetulnya sudah masuk dalam semester akhir dari kuliahku dan menurut hitungan waktu, aku seharusnya sudah menyelesaikan skripsiku di paruh kedua tahun 2020. Tapi pada kenyataannya, alih-alih membereskan skripsi, untuk sekadar memilih topik dan menentukan judul pun belum aku lakukan. Sudah hampir 4 semester ini aku nggak bayar uang kuliahku. Parahnya lagi, kalau ditanya terkait uang kuliah, aku selalu menemukan cara untuk berbohong bahwa aku sudah membayarnya, padahal belum aku bayar dan ngga ada satu pun terkait skripsiku yang aku kerjakan. Entah kenapa, untuk urusan skripsi ini, aku ngerasa nggak bisa, aku frustasi. Aku merasa stuck di program studi yang aku pilih ini. Semua ini terasa mudah aku lakoni karena situasi pandemi Covid-19 yang memaksa semua perkuliahan dan tugas akhir dilakukan secara daring, sehingga tidak ada kecurigaan sedikitpun dari mamaku karena aku tidak perlu lagi pergi ke kampus, hanya diam di kamar seolah-olah sedang mengikuti perkuliahan secara daring.

Sebenarnya, jauh di lubuk hatiku terdalam, aku sangat menyukai pelajaran bahasa lebih daripada program studi Akuntansi yang aku ambil sekarang. Bahkan dalam masa-masa awal perkuliahan, aku sudah membayangkan untuk menjadi ahli bahasa, bertemu, bernegosiasi dan berbincang-bincang dengan banyak orang. Dalam hati, aku pun bertekad untuk pindah jurusan ke program studi bahasa dan memulai dari awal. Setidaknya itu yang ada dalam pikiranku untuk aku lakukan ke depan.

Dan kalau aku ingat lagi, beberapa bulan sebelum mengikuti tes masuk perguruan tinggi, aku pernah mengikuti tes minat dan bakat untuk mengetahui program studi mana yang cocok buatku dan menurut hasil tes, aku cocok untuk masuk program studi Akuntansi karena aku terbukti jago dengan angka-angka. Entah kenapa, setelah 4 tahun aku jalani perkuliahan ini, aku benar-benar merasa telah salah memilih program studi. Bukan ini yang aku sukai. Bukan ini Tuhan.

“Selama ini mama pikir kalau kamu sedang nyelesain skripsi, karena kamu yang bilang gitu kan ke mama!” ujar mamaku melanjutkan. Hatiku hancur melihatnya. Aku terdiam membisu. Ia merasa gagal menjadi orangtua. Mama yang selama ini tegar dan bersemangat, saat itu kulihat menutupi mukanya dan berulang kali menyatakan ketidakpercayaannya akan berita yang ia terima. Ia mencoba membujukku untuk tetap meneruskan studiku karena sudah kepalang tanggung, tinggal menyelesaikan skripsi saja, tapi aku bersikukuh dengan keinginanku untuk pindah jurusan. Kami pun bersitegang mengenai masalah ini dan sore itu berlalu tanpa ada jalan keluar. Kami menyudahi pembicaraan tanpa ada keputusan apa-apa. Sore yang dingin.

Tanpa kusangka, keesokan sorenya, aku dikejutkan dengan berita yang aku terima. Tanpa sepengetahuanku, setelah berdiskusi dan meminta saran dari beberapa anggota keluarga, mamaku memberanikan diri untuk datang ke kampus dan berkonsultasi dengan ketua program studi. Ia mencoba untuk mengajukan permohonan agar skripsiku dapat diberi perpanjangan waktu. Mengetahui hal ini, tentu saja membuatku mengamuk. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa diatur ini dan itu. Aku merasa seolah-olah mamaku tidak mendengar sama sekali keluhanku selama 2 tahun ini. Aku sudah bilang aku nggak sanggup, tapi kenapa tetap memaksakan keinginan ini?

Mama mencoba meyakinkan aku kalau Tuhan yang kasih jalan untuk aku mendapat perpanjangan waktu, artinya Tuhan akan membantuku untuk menyelesaikannya. Di sisi yang lain, aku jadi bertanya-tanya, bukankah itu artinya Tuhan tidak mendengar doaku buat pindah program studi? Apa Tuhan pun nggak melihat kalau aku nggak sanggup? Aku speechless.

Keesokan harinya, mama kembali mendatangi kamarku untuk menanyakan keadaanku. Ia khawatir dengan reaksiku kemarin setelah aku meluapkan kekesalan dan amarah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Namun ia tetap bersikukuh dengan pendiriannya agar aku dapat menyelesaikan kuliahku saat ini. Ia mengingatkanku akan semua perjuangan yang sudah aku lakukan, mulai dari awal perkuliahan hingga kerja praktek. Ia memintaku untuk belajar menjadi orang yang bertanggung jawab dan menyelesaikan apa yang sudah aku mulai.

Ada satu kalimat yang hingga saat ini aku ingat, yang berkata bahwa kalau Tuhan sudah menolongku hingga sejauh ini, Tuhan juga akan menolong menyelesaikan perjalanan ini. Agaknya Tuhan mulai melembutkan hatiku saat itu. Amarahku mereda dan aku mulai mencoba untuk melihat masalah yang kuhadapi dari sisi lain. Aku sadar aku begitu egois dan ingin menang sendiri. Aku pun tahu mama bukan orangtua yang memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Ia orang yang fair, berani mengakui kesalahannya dan selalu berterus terang kepada anak-anaknya.

Yang lebih membuatku semakin menyadari bahwa Tuhan mendengar doa dan usaha mamaku adalah ketika aku diberitahu bahwa pihak Fakultas akan berusaha sebisa mungkin agar aku bisa kembali mendapat kesempatan menyelesaikan skripsi yang sudah tertunda selama 2 tahun. Yang membuat terheran-heran, semua urusan itu bisa diselesaikan hanya dalam satu hari saja, padahal selama 2 tahun statusku tanpa kabar itu aku yakin akan berakhir dengan keputusan DO dari kampus.

Saat ini aku merasa senang dan bersemangat. Walaupun papa dan kakakku tidak mengutarakan perasaan mereka, tapi mereka menunjukkan sikap menopang. Tiap orang tampaknya ingin berbuat sesuatu untuk menyemangatiku, dengan cara mereka sendiri. Aku merasa didukung dan ini semakin membesarkan hatiku. Setiap babak baru dalam perjalanan hidup kita berisi tanda tanya dan ketidakpastian. Kita jadi ragu-ragu dan takut. Pada saat seperti ini aku ingat pemazmur yang berbisik meminta topangan dari Tuhan,”Topanglah aku sesuai dengan janji-Mu…” (Mazmur 119:16).

Saat tulisan ini dibuat, pihak fakultas memberiku 3 bulan waktu perpanjangan agar aku bisa menyelesaikan skripsiku. Berita baiknya lagi, aku bisa mendapat pembimbing skripsi yang aku idolakan selama ini, dosen yang sangat menolong dan memotivasi aku untuk menyelesaikan skripsiku. Aku merasa seperti seorang pendosa yang mendapat anugerah pengampunan yang besar dari Tuhan. Aku tahu ini memang saat-saat yang berat dan penuh perjuangan, tapi aku siap memulai kembali dan aku tahu Tuhan akan menyanggupkan aku. Mungkin perjuanganku dalam menyelesaikan skripsi ini hanya 3 bulan saja, tapi perjalanan hidupku masih puluhan tahun ke depan. Akan jadi apa aku nanti? Apa rencana Tuhan dengan hidupku?

Saat aku bingung, bimbang, dan takut, aku teringat wajah-wajah yang menopang aku. Wajah mama, wajah papa, wajah kakakku dan orang-orang yang mengasihiku. Aku semakin mantap. Terima kasih Tuhan untuk mereka. Terima kasih Tuhan untuk kasihmu.

“TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya” –Mazmur 37:23-24.

Pahit Manis Sebuah Keluarga

Beberapa dari kita mungkin merasa bahasan tentang keluarga itu terasa manis, sementara yang lain mungkin menganggap keluarga adalah kepahitan.

Apa pun ‘rasa’ keluargamu, ketahuilah kalau kita punya kasih dan harapan yang tak pernah habis di dalam Yesus. Apa pun kemustahilan yang kamu dan keluargamu hadapi, Yesus hadir tepat di sisimu dan tiada yang mustahil buat Dia.

Hari ini bukan peringatan hari keluarga, tetapi keluarga adalah berkat yang harus kita sadari dan syukuri setiap hari. Doakanlah keluargamu, apa pun keadaan mereka. Mohonkanlah maaf atas kesalahanku dan ampunilah juga mereka apabila ada rasa sakit yang mereka torehkan di hatimu.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI dengan judul “What Makes Family” dan dibuat oleh @susannelowillustration

Aku: si “Ketidaksengajaan” yang Hadir dalam Keluarga

Oleh Priliana

Aku lahir sebagai anak bungsu dengan kedua saudara yang usianya cukup jauh di atasku. Antara aku dan kakak pertamaku laki-laki, terpaut 10 tahun, sedangkan dengan kakak perempuanku, terpaut 7 tahun. Aku pernah bertanya pada orang tuaku, kenapa aku lahir dengan rentang usia yang cukup jauh dari saudara-saudaraku? Lalu mamaku menjawab, “Iya, kamu itu gak sengaja jadi.”

Entah apa yang kurasakan saat jawaban tersebut terlontar dari orang tuaku. Mereka menjawab sambil tertawa, mungkin mereka bergurau. Aku pun ikut tertawa, tapi juga bertanya-tanya, sungguhkah itu jawaban mereka? Tapi aku tetap merespons jawaban mamaku, “Ah.. Justru kalian beruntung ada aku di keluarga ini. Kalau gak ada aku, pasti keluarga ini sepi, gak ramai.” Dan mereka semakin tertawa.

Interaksi itu kumaknai dengan keterbukaan. Ternyata orang tuaku jujur menjawab pertanyaanku dan aku bersyukur atas itu, dan lebih bersyukur karena sesungguhnya mereka senang atas kehadiranku yang tidak sengaja ini. Ya, aku adalah ketidaksengajaan yang membawa sukacita, pikirku saat itu.

Tapi, ternyata aku tidak selalu membawa sukacita dalam keluargaku.

Ketika SD aku mulai dibandingkan dengan kedua saudaraku mengenai nilai rapor dan prestasiku di sekolah. Kedua saudaraku memang selalu memiliki nilai rapor di atas rata-rata, selalu dapat peringkat kelas, belum lagi prestasi lomba dan keahlian lainnya. Di tengah ekonomi kami yang sulit, kedua saudaraku sungguh seperti air yang mengalir di tengah gurun pasir.

Tetapi, dibanding-bandingkan bukanlah hal yang menyenangkan, justru menjengkelkan.
Aku paham maksud orang tuaku membandingkan kami agar aku mengikuti hal-hal baik dari saudaraku, tapi tetap saja aku jengah.

Setiap perbandingan itu seakan-akan berteriak: “Mereka saja bisa, masa kamu nggak bisa?”

Rasanya ingin kujawab: “Kalau mereka bisa, kenapa harus aku?”

Tentu keinginanku menjawab seperti itu bukanlah hal baik. Kalimat itu hanya tersimpan dalam hati.

Walaupun kesal dibandingkan terus, aku tetap berusaha memberikan yang terbaik di bidang pendidikan. Sampai waktu membuktikan usahaku. Aku yang belum pernah dapat juara semasa SD, berhasil meraih peringkat ketika kelas 1 SMP. Pertama kalinya, dan aku peringkat 3, mengalahkan teman SD ku yang sedari dulu selalu jadi juara kelas.

Aku senang. Aku semakin senang melihat betapa terkejut dan senangnya orang tuaku mendengar hal itu, bahkan orang tuaku langsung mengajakku makan es krim favoritku setelah pulang ambil rapor. Sejak saat itu, aku berusaha mempertahankan peringkatku dan bersyukur hingga SMA tetap memiliki peringkat dan nilai yang cukup baik.

Tapi perbandingan itu tidak kunjung selesai.

Habis membandingkan perihal pendidikan dengan kedua saudaraku, terbitlah membandingkan perihal zaman.

“Zaman kamu sekarang enak, dek. Sekolah negeri udah ga bayaran. Dulu saudara-saudaramu harus bayar. Untung dapat beasiswa, jadi dapat potongan. Makanya, belajar lah yang giat. Lihat abang dan kakakmu.”

“Dulu abang dan kakakmu harus bantu mama dagang sebelum berangkat sekolah. Bawa es batu subuh-subuh ke kantin pakai sepeda, cuci banyak piring setelah masak, angkat air, baru berangkat sekolah. Kamu bangun tidur cuma melakukan persiapan untuk sekolah, lalu berangkat. Enak, toh, dek.”

Huft.. Tidak cukup perbandingan dari orang tua, abangku juga melakukan hal yang sama.
“Enak jadi lo. Dulu gue harus bangun subuh-subuh, angkat air, beresin rumah, bantu dagang sebelum pergi sekolah. Pulang sekolah juga masih harus bantu mama dagang sampai malam. Lo di rumah aja, main-main.”

Hal-hal itu tidak sekali dua kali diungkit. Entah mengapa zaman saja dibandingkan.

Lalu aku harus bagaimana? Rasanya ingin bilang kalimat ini ke abangku:

“Ya siapa suruh lahir duluan. Itu sih DL, Derita Lo.” Tapi lagi-lagi itu hanya tersimpan dalam hati.

Hingga aku sudah merasa sangat jengah. Dan ketika perbandingan itu dilontarkan lagi oleh orang tuaku, aku memberi respon:

“Untuk apa membandingkan zaman kalian dulu dengan zamanku? Toh kita nggak bisa pilih mau hidup di zaman yang seperti apa. Untuk apa juga membandingkanku dengan abang dan kakak? Kita punya bakat masing-masing. Kalau mereka ahli di bidang akademis, apa salah kalau keahlianku di bidang non akademis?”

Dan orang tuaku terdiam. Entah karena terkejut atas sikapku atau memikirkan ucapanku.

Tapi aku lega setelah mengucapkannya. Keluh kesah yang kupendam akhirnya meluap. Entah apakah kejujuranku tersebut dapat mereka terima dengan baik atau tidak, tapi aku selalu mengingat ayat Alkitab yang berbunyi:

“Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya” (Amsal 2:7).

Aku percaya bahwa keterbukaan adalah awal pemulihan, baik untuk hubunganku dengan keluarga, untuk hatiku, dan mungkin untuk hati keluargaku juga. Keterbukaan menjadi kunci utama untuk mempertahankan hubungan yang harmonis dan membangun. Dan setiap anggota keluarga memiliki hak untuk berterus terang mengenai perasaannya.

Bagiku, keluarga adalah wadah utama dan pertama bagi seseorang untuk bertumbuh menjadi pribadi yang terbuka karena dalam keluarga kita tidak perlu menutupi siapa diri kita sesungguhnya.

Selama menjadi anak, aku tetap berusaha mengutamakan rasa hormatku, seperti yang Alkitab bilang:

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi” (Efesus 6:1-3).

Bagaimanapun, orang tuaku adalah orang pertama yang merawatku sejak aku dalam kandungan. Pasti rasanya tidak mudah merawat seorang anak. Mamaku pernah berkata bahwa ketika memiliki anak, seluruh hidupnya berubah. Jam tidur yang berubah dan tidak teratur, waktu pribadi yang terbatas, dan lainnya. Begitupun dengan seorang ayah. Bertambahnya anggota keluarga pasti bertambah pula kebutuhan finansial untuk sang anak, dan lainnya.

Ayat Alkitab dan hal-hal di atas menjadi pengingat bagiku untuk tetap menghormati orang tuaku. Selama aku hidup, aku tahu mereka berusaha memberikan yang terbaik bagiku, bagi masa depanku.

Tapi orang tua tetaplah manusia biasa yang dapat membuat kesalahan, baik mereka sadari atau tidak. Karena itu, aku memilih terbuka mengenai perasaanku pada orang tuaku. Aku mau hubunganku dan keluarga dilandasi dengan keterbukaan dan kepedulian untuk mau membangun satu sama lainnya.

Ketika aku berterus terang tentang perasaanku— ketidaksukaanku atas perbandingan yang mereka lakukan, aku melihat bahwa sikap orang tuaku mulai berubah. Mereka mulai memberi apresiasi terhadap hal apapun yang yang dapat kulakukan, memberi semangat ketika aku gagal mengikuti ujian masuk universitas negeri, dan berusaha untuk tidak lagi membandingkanku dengan kedua saudaraku.

Aku bersyukur atas itu. Aku tahu bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya (Roma 8:28).

Ya, aku mau keluargaku bertumbuh dalam kasih-Nya dan berlandaskan kasih-Nya.

Kita tidak bisa memilih lahir dari keluarga seperti apa, tapi kita bisa membentuk pandangan kita terhadap keluarga.

Bagaimanapun hubungan dalam suatu keluarga, Tuhan tetaplah kepalanya. Dia tidak pernah secara asal menaruh kita dalam suatu keluarga. Dia selalu memiliki tujuan ketika menempatkan kita di mana pun.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11).