Posts

Ketika Aku Hidup di Keluarga yang Agak Laen

Oleh Baginda Hutapea, Jakarta
Gambar diambil dari screenshot 

“Kau itu sarjana hukum. Kenapa kau sia-siakan gelarmu itu, dengan menjalani pekerjaan yang nggak jelas, macam pelawak itu?”

Kira-kira begitulah penggalan kalimat yang diucapkan Pak Domu kepada Gabe, anak ketiganya, dalam film Ngeri-Ngeri Sedap yang baru-baru ini kutonton. Menurut Pak Domu—juga kebanyakan orang tua—seorang anak belum dianggap “bekerja” dan mapan kalau mereka tidak menjadi pegawai bank, dokter, ASN, dan sederet pekerjaan klasik lainnya. Pandangan ini tentu sangat menyebalkan bagi kita yang tidak berkarier di bidang-bidang itu. Kita mungkin menganggap pola pikir orang tua kita begitu kolot dan sempit, yang hanya mengenal kesuksesan dari profesi tertentu. Namun, sebenarnya mereka tidaklah salah. Generasi orang tua kita tidak mengalami masa muda seperti kita… dan sesungguhnya, mereka hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Lahir dan bertumbuh di dalam sebuah keluarga Batak, tentu film besutan sutradara Bene Dion Rajagukguk ini menjadi sangat relate bagiku pribadi. Meskipun sejak aku lahir, kami sekeluarga sudah hidup di Kota Jakarta, namun nilai-nilai budaya Batak itu tetap dipelihara oleh orang tuaku, terutama pada saat ompung masih hidup. Sebagai seorang anak laki-laki Batak, aku sepakat dengan masalah utama yang diangkat dalam film Ngeri-ngeri Sedap bahwa hubungan anak laki-laki Batak dengan ayahnya seringkali bermasalah dan tidak akur. Meskipun tentunya tidak terjadi di semua keluarga Batak, namun sebagian besar pasti setuju dengan kenyataan unik-pahit ini.

Aku dan papaku tinggal satu rumah, tapi hubungan kami tidak terlalu akrab. Kami jarang mengobrol, karena aku cukup segan kepada bapak yang dalam pandanganku suka marah-marah. Atau, mungkin pula karena ‘gengsi’ yang turut disuburkan oleh rumor yang bilang kalau anak lelaki ya memang lebih dekat dengan ibunya sendiri.

“Somarlapatan nauli, nadenggan patupaonmu, molo dung mate ahu.
Uju di ngolungkon ma nian, tupa ma bahen angka nadenggan.
Asa tarida sasude, holong ni rohami marnatua-tua i.”

Lirik lagu Uju di Ngolungkon di atas, jika diterjemahkan secara bebas, kira-kira mengatakan, “Tidak ada gunanya semua perbuatan kalian yang baik dan indah, jika aku (orang tua) sudah meninggal. Sebaiknya di saat aku (orang tua) masih hidup, lakukanlah segala yang terbaik, supaya terlihat semua rasa sayangmu kepada orang tuamu.”

Ketika mencoba menyelami lirik tersebut, sebagian dari kita mungkin memiliki stigma bahwa orang tua Batak itu sangatlah pamrih terhadap anak-anaknya dan sangat ingin diperhatikan/diurus oleh anak-anaknya pada masa tuanya. Segala materi yang mereka keluarkan dan kerja keras yang mereka lakukan untuk menyekolahkan dan membesarkan anak-anaknya seolah harus mendapat “balasan” yang senilai ketika nanti anak-anaknya sudah dewasa.

Bagi keluarga-keluarga yang berasal dari suku lain di luar Batak, tuntutan-tuntutan seperti ini mungkin terkesan yang unik dan tidak biasa. Agak laen, kalau kata orang Medan. Meski punya maksud positif, keunikan ini seringkali menjadi beban moral bagi para anak yang memicu perpecahan dan konflik dalam keluarga-keluarga Batak. Para bapak Batak yang cenderung merasa paling tahu yang terbaik turut andil dalam timbulnya akar pahit dan dendam bagi anak-anaknya, terutama anak laki-laki. Memang ada anak yang ketika dewasa akhirnya memahami sikap sang ayah seperti itu adalah demi kebaikannya dan rasa kesal atau marah muncul karena cara berkomunikasi mereka yang kurang baik, tetapi tak sedikit pula yang tetap merasa pahit.

Keunikan relasi bapak-anak dalam keluarga suku Batak ini sedikit-banyak mengingatkanku akan hubungan kita (manusia) dengan Tuhan. Seringkali, kita salah/gagal dalam menangkap maksud baik Tuhan yang Ia nyatakan di dalam hidup kita. Misalnya ketika kita menginginkan sesuatu. Kita menganggap keinginan kita adalah yang terbaik bagi kita, namun sesungguhnya, mungkin saja menurut Tuhan keinginan itu bukanlah yang terbaik bagi kita. Malahan, terkadang kita justru sering mengambil peran seperti seorang bapak Batak, yang seolah-olah tahu segala yang terbaik, dan memosisikan Tuhan sebagai seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Yang menjadi penyebabnya tentu adalah kekurangpekaan kita dalam mendengar suara Tuhan, yang lahir dari ketidakintiman hubungan pribadi kita dengan-Nya.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:8-9).

Sebagai seorang anak generasi Milenial dan Z, tentu kita tidak dapat memilih untuk dilahirkan di keluarga yang mana. Ketika kita harus lahir dan dibesarkan di dalam sebuah keluarga Batak, atau keluarga mana pun yang memiliki keunikan budaya tertentu, maukah kita tetap mengucap syukur kepada Tuhan dan menjadikan keunikan budaya tersebut sebagai sebuah warisan yang perlu dijaga dan dilestarikan? Sekalipun bagi kita, orang tua kita agak laen jika dibandingkan dengan orang tua teman-teman kita, yang mungkin dari luar terlihat sangat baik dan rukun keadaannya, maukah kita tetap bersyukur atas kehadiran mereka di dalam hidup kita?

Semenyebalkan apa pun orang tua kita di mata kita, dan setidak asyik apa pun cara mereka dalam menunjukkan cinta kasihnya kepada kita, maukah kita belajar untuk menghargai dan menyayangi mereka, selagi mereka masih ada?

“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” —Keluaran 20:12