Prasangka—”Parasite” yang Menghinggapi Kita Semua
Oleh Glen Wong, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Prejudice—The Parasite That Plagues Us All
Gambar diambil dari: Official trailer
Piala Oscar 2020 membuktikan bahwa orang Asia tak cuma sukses sebagai dokter, pengacara, insinyur, atau ahli matematika. Parasite, film dari Korea Selatan besutan Boon Joon Ho menorehkan sejarah sebagai film terbaik non bahasa Inggris yang memenangkan empat kategori sekaligus: Best Picture, Best Director, Best International Feature Film, dan Best Writing. Media-media mengomentari bahwa Boon Joon Ho tak cuma membuat film, tetapi membuka jalan bagi film-film Asia untuk mendapatkan pengakuan internasional.
Parasite adalah film bergenre dark comedy yang berfokus pada kehidupan Kim, keluarga dari kalangan ekonomi bawah dan Park, keluarga dari kalangan elit. Ketika anak lelaki Kim, Ki Woo, mendapatkan pekerjaan sebagai guru les bahasa Inggris untuk Da Hye (anak perempuan Park), keluarga Kim mencari kesempatan untuk masuk lebih dalam ke kehidupan keluarga Park. Penonton Parasite diajak menaiki roller-coaster, dari adegan gembira ke adegan menegangkan seiring kebohongan keluarga Kim hampir terbongkar karena hal yang tak terduga.
Sebagai seorang lulusan Sosiologi dari Universitas Yonsei di Seoul, Boon Joon Ho mengemas Parasite sebagai film yang menunjukkan kesenjangan sosial antara kelas ekonomi dalam masyarakat Korea Selatan. Dengan memfokuskan pada stereotipe negatif pada kelas bawah dan kelas elit, Parasite menegaskan ketimpangan sosial yang secara nyata hadir dalam kehidupan masyarakat hari ini.
Seiring aku menonton interaksi antara keluarga Kim dan Park, aku jadi merenungkan bagaimana sikap dan pandanganku terhadap mereka yang kurang beruntung secara finansial. Apakah aku memandang orang-orang dari kelas sosial ekonomi berbeda dengan negatif? Apakah aku tidak mau tahu dengan perjuangan orang miskin memenuhi kebutuhan hidup mereka? Apakah aku punya prasangka terhadap orang miskin?
Inilah tiga prasangka terhadap orang miskin dalam film Parasite yang mendorongku untuk menyelidiki hidupku lebih dalam:
1. Orang miskin itu “jahat”
Penipuan jadi motif utama yang disorot dalam film ini—yang menggambarkan seolah orang miskin pasti melakukannya untuk menyambung hidup. Stereotipenya: orang miskin pasti penjahat atau penipu.
Aku teringat momen ketika keluarga dan temanku menasihatiku untuk tidak meninggalkan benda-benda berharga di hotel, atau ketika mereka bilang “jangan pergi ke luar di atas jam 10 malam” karena bisa saja aku diincar oleh jambret atau begal.
Namun, Alkitab memberitahu kita bahwa dosa menipu itu tidak mengenal kelas sosial ekonomi, tetapi persoalan hati. Yeremia 17:9 berkata, “Betap liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”
Menelisik hidupku sendiri, ada momen-momen ketika aku menipu untuk mendapatkan apa yang kumau. Ketika aku masih sekolah, kelompok band sekolahku menang kompetisi karena kami memvoting kelompok kami sendiri. Tindakan menipu, bahkan dalam bentuk yang sederhana sekalipun mengingatkanku untuk berhenti berprasangka dan mulai menyadari dosa dalam diriku sendiri terlebih dulu sebelum aku menunjuk pada orang lain.
2. Orang miskin itu “kotor”
Ada beberapa adegan dalam Parasite ketika keluarga Park berkomentar: orang miskin “gampang sakit”, atau “bau”. Park bahkan bilang kalau dia tidak naik kereta api karena itu.
Seperti Park, kadang aku pun merasa bersalah karena berpikir demikian terhadap orang “miskin”. Aku pernah mengunjungi satu daerah di dekat gerejaku yang memiliki angka kemiskinan paling tinggi dan banyak dihuni orang-orang dengan gangguan mental. Karena aku punya sakit eksim yang cukup parah, aku takut kalau bakteri dan kutu dari mereka akan pindah menempel di bajuku dan mulai menginfeksi kulitku. Hingga akhirnya aku berinteraksi dengan orang-orang di sana, Tuhan menolongku untuk melihat mereka terlepas dari kondisi fisik mereka karena di mata Tuhan semua manusia diciptakan setara.
Kita perlu mengakui bahwa kita semua adalah pendosa dan kotor di hadapan Allah, dan tidak seorang pun dari antara kita yang berbeda. Namun, Allah mengasihi kita dengan kasih yang besar. Sebagai respons atas kasih-Nya, kiranya kita senantiasa membaharui pikiran kita (Roma 12:2) supaya saat kita melihat orang lain, kita melihat mereka seperti Tuhan melihat kita.
3. Orang miskin itu “urakan”
Lewat film Parasite, keluarga Kim sering mengucapkan sumpah serapah dan melakukan tindakan tidak disiplin. Di salah satu adegan, keluarga Kim masuk ke rumah Park untuk mabuk-mabukan, memecahkan botol bir, dan mengotori seisi ruangan. Adegan ini seolah menegaskan sterotipe bahwa orang “miskin” itu urakan (bertingkah laku seenaknya).
Tapi, Alkitab memberitahu kita bahwa bukan apa yang terlihat dari luar yang penting. Kenyataannya, kita semua pendosa yang kotor dan buruk dalam cara kita berpikir, dan tidak ada seorang pun yang dapat hidup benar tanpa pertolongan Roh Kudus. Rasul Paulus menyebutkan dalam Galatia 5:16 bahwa orang yang hidup oleh Roh tidak akan mengikuti keinginan daging.
Meskipun mudah untuk menyerah pada keinginan daging tak peduli seberapa keras upaya kita berjuang, marilah kita memilih untuk melangkap bersama Roh Kudus supaya hidup kita mencerminkan kemuliaan Tuhan.
Obat bagi prasangka kita
Film Parasite diakhiri dengan catatan yang menegurku betapa kesenjangan kelas sosial itu nyata. Aku berpikir: adakah harapan bagi orang-orang seperti mereka? Apakah kita mengizinkan prasangka-prasangka dalam diri kita menjadi parasit yang pelan-pelan melahap belas kasih dan kemanusiaan kita?
Aku berpikir bagaimana Injil membentuk kita sebagai orang Kristen untuk melihat diri kita dan orang lain terlepas dari status sosial kita. Mengetahui siapa diri kita dapat menyingkirkan prasangka yang kita sematkan pada orang lain, dan menolong kita pula untuk menghargai orang lain sebagai sesama manusia yang diciptakan segambar dengan Allah. Sebagai orang percaya kita harus bersedia beriteraksi dan melayani mereka yang miskin, membagikan pada mereka Kabar Baik tentang Kristus yang tak cuma berisi tentang keselamatan setelah kematian, tetapi juga damai sejahtera yang diberikan-Nya.
Mungkin tindakannya sederhana, tapi langkah sederhana ini mungkin bisa mengentaskan rantai parasit yang menjerat kita.
Dalam Peliknya Masalah Kemiskinan, Kita Bisa Berbuat Apa?
Masih jelas tergambar dalam pikiranku kondisi pemukiman di kolong jembatan di daerah Ancol, Jakarta Utara yang kukunjungi sebulan lalu. Mayoritas warganya bekerja sebagai pemulung. Rumah-rumah mereka didirikan seadanya, bukan tergolong rumah yang sehat. Anak-anak berkerumun dan mengenakan pakaian yang lusuh berdebu. Apakah mereka sekolah? Kebanyakan tidak. Apakah mereka mendapatkan akses kesehatan? Tidak juga.