Posts

Adakah Tempat Bagi-Nya?

Hari ke-4 | 7 Hari Renungan Persiapan Natal, “Lebih dari Sekadar Perayaan”

Baca: Lukas 2:1-7

2:1 Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia.

2:2 Inilah pendaftaran yang pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria.

2:3 Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri, masing-masing di kotanya sendiri.

2:4 Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem, –karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud–

2:5 supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya, yang sedang mengandung.

2:6 Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin,

2:7 dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

 

Aku masih ingat peran pertamaku di drama Natal Sekolah Minggu di gerejaku: menjadi pemilik penginapan yang memberikan tempat untuk menginap bagi “Yusuf dan Maria”. Menurut naskah drama yang aku dapat, aku diminta menyatakan bahwa tidak ada lagi tempat di penginapanku karena sudah penuh oleh tamu lain. Tempat yang tersisa hanyalah kandang domba di belakang penginapanku. Karena tidak ada pilihan lain, “Yusuf” menyetujui untuk bermalam di kandang domba tersebut. Kemudian lahirlah bayi Yesus yang dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan.

Pada saat itu, aku tidak menganggap peran maupun dialogku bermakna banyak. Tapi ketika aku dewasa, kalimat penolakan terhadap Maria dan Yusuf oleh para pemilik penginapan menjadi sebuah pertanyaan: “Mungkinkah juga tidak ada tempat bagi Yesus di dalam hatiku?”

Kelahiran yang Sepi

Dua ribu tahun yang lalu, seorang laki-laki bernama Yusuf bersama tunangannya yang kontroversial bernama Maria meninggalkan tempat tinggal mereka di Nazaret, menuju Betlehem untuk mengikuti sensus yang ditetapkan Kekaisaran Romawi. Sebenarnya Maria tidak perlu mengikuti Yusuf, toh mereka belum menikah secara resmi. Namun ada satu kondisi yang mungkin membuat Maria harus pergi mengikuti Yusuf ke Betlehem: ia sedang hamil, tapi di luar nikah.

Dalam tradisi Yahudi di masa itu (bahkan mungkin hingga saat ini) kehamilan di luar pernikahan resmi sangat kontroversial. Bukan mustahil seluruh Nazaret gempar mendengar kabar tersebut dan semua orang membicarakan pasangan itu. Dalam kondisi yang mungkin ditolak dan digosipkan oleh seisi kota, Yusuf dan Maria berjalan sejauh 80 mil menuju Betlehem, kota kelahiran Daud.

Sesampainya di Betlehem, mereka berusaha mencari tempat bernaung di rumah penginapan. Mungkin Yusuf tidak lagi memiliki sanak saudara yang dapat mereka tumpangi, atau mungkin Yusuf terlalu takut (dan malu) apabila sanak saudaranya tahu bahwa ia membawa tunangannya yang sedang hamil. Entahlah. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, seluruh tempat penginapan penuh karena semua orang juga sedang mengikuti sensus. Terlebih lagi, telah tiba saatnya bagi Maria untuk melahirkan. Aku tidak bisa membayangkan apa yang ada di pikiran Yusuf. Bingung, cemas, takut, dan semangat bercampur aduk menjadi satu.

Pasangan muda yang kontroversial itu terpaksa membiarkan anak mereka dilahirkan dalam kondisi yang menyedihkan: hanya dibungkus dengan secarik kain bekas dan diletakan di dalam tempat pakan hewan ternak. Maria, yang menerima berita kehamilannya dari seorang malaikat, melahirkan bayinya di kandang domba, terpisah dari keluarganya, jauh dari kampung asalnya, dan ditolak oleh para pemilik penginapan. Juruselamat yang agung dan mulia lahir dalam kesepian dan kesunyian, ditolak oleh orang-orang yang akan diselamatkan-Nya. Karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

Adakah Tempat Bagi-Nya?

Di dunia yang penuh dengan tuntutan dan daya tarik, terlalu banyak hal yang dapat mengisi hati dan hidup kita. Keluarga, pekerjaan atau studi, pasangan, kegiatan organisasi, atau bahkan pelayanan silih berganti menuntut perhatian, waktu, pikiran, dan tenaga kita. Hal-hal yang ‘baik’ terkadang mengalihkan seluruh keberadaan kita dari hal yang seharusnya mendapat tempat terbaik dan teristimewa dalam hidup kita: Tuhan Yesus sendiri. Sama seperti para pemilik penginapan, mungkin kita berkata kepada Tuhan Yesus, “Tunggulah, Tuhan, aku sedang sibuk dan tidak bisa diganggu,” atau, “Hatiku sedang penuh dengan pergumulan dan masalah, aku sedang tidak punya waktu untuk memikirkan-Mu,” atau bahkan, “Maaf Tuhan, tapi tidak ada tempat bagi-Mu dalam hidupku.”

Sadar ataupun tidak, ada kalanya kita menolak kelahiran dan kehadiran Tuhan Yesus dalam hidup kita. Terkadang kita tidak melihat signifikansi kehadiran-Nya bagi kita; Ia hanya bayi yang lahir dengan dibungkus kain bekas dan dibaringkan dalam tempat pakan hewan ternak. Kita lupa, bahwa Sang Bayi yang lahir dalam segala kerendahan itu juga adalah Sang Juruselamat yang mati di atas kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita, Sang Raja yang akan datang dalam kemuliaan untuk menggenapkan Kerajaan-Nya di dunia.

Tuhan Yesus layak dan seharusnya mendapat tempat terbaik dan teristimewa dan hidup kita. Sang Pencipta Semesta datang sendiri ke dunia, mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Lebih dari itu, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di atas kayu salib (Filipi 2:7-8). Semua dilakukan-Nya karena kasih-Nya yang begitu besar bagi kamu dan aku.

Karena itu, Natal harusnya menjadi momen di mana kita kembali mengosongkan hati dan hidup kita untuk memberi tempat terbaik bagi-Nya, Tuhan Yesus Kristus, Juruselamat dan Penebus. Di Natal tahun ini, aku mengajak kita untuk menyelidiki hati kita dan kembali bertanya pada diri kita sendiri: adakah tempat bagi-Nya?

Soli Deo Gloria.

Adakah tempat bagi-Nya, yang menanggung dosamu?
Yesus t’lah ketuk hatimu; sambutlah Penebusmu!

(“Adakah Tempat Bagi-Nya”, Nyanyikanlah Kidung
Baru No. 203)

Pertanyaan refleksi:

1. Apa arti kelahiran Tuhan Yesus bagi dirimu secara pribadi?

2. Sudahkah kamu memberikan tempat terbaik dalam hati dan hidupmu kepada Sang Juruselamat?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Lidya Corry lahir, besar, dan tinggal di Jakarta.| Meyakini panggilan hidup di bidang hak asasi manusia, Lidya memutuskan mengabdikan diri sebagai abdi negara. Lidya berjumpa dengan Kristus di masa SMA, dan kemudian memutuskan untuk hidup bagi Dia dan melayani-Nya lewat pelayanan mahasiswa dan pelayanan mimbar. Untuk mengisi waktu senggang, Lidya suka membaca buku rohani, menulis blog, dan streaming youtube. Terkadang Lidya membagikan pengalaman menikmati hidup bersama Tuhan di blog pribadinya, lidcorr.wordpress.com.