Posts

Seandainya Tuhan Yesus Gak Pernah Dilahirkan…

Kisah Natal sering jadi kisah yang terasa biasa saja, atau bahkan bagi sebagian orang terasa tidak masuk akal. Tetapi, inilah peristiwa yang amat penting, yang menjadikan iman Kristen berbeda dari lainnya.

Allah yang telah menciptakan kita, tidak meninggalkan kita di dalam keputusasaan kita. Dia mengasihi kita dan Dia datang untuk memberikan kita pengharapan. Alkitab berkata bahwa “Firman itu telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14). Yohanes menggunakan sebutan “Firman” untuk bayi kecil yang menjadi pengharapan bagi seisi dunia, dan sebutan itu adalah sebutan yang sarat makna!

Artspace ini didesain oleh Patricia Renata (@ptrx.renata)

Bukan Natal Biasa

Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta

Ketika aku menyalaminya, dan kita saling bertatapan, air pun mengalir dari matanya. Aku tak mengerti apa yang ia rasakan, atau apa yang ia mau ungkapkan. Aku bahkan tidak mengetahui namanya. Tetapi hatiku turut sedih ketika melihat oma tersebut tak berdaya, duduk di kursi roda, dan di mulutnya dipasangkan selang. Aku tidak kenal padanya, dan mungkin setelah aku pulang dari tempat ini, aku tidak akan ketemu si oma lagi.

Beberapa waktu lalu, aku dipercaya untuk membawakan firman pada perayaan Natal yang kantorku selenggarakan dengan suatu panti jompo.

Apa yang dapat aku bagikan, Tuhan? Aku berdoa. Aku hanya 25 tahun, mungkin pengalaman hidup juga tidak seberapa. Apalagi dibandingkan dengan orang-orang tua di sana. Siapakah aku? Ah, tetapi lagi-lagi aku diingatkan, kesempatan untuk membagikan firman Tuhan adalah suatu karunia. Bukan karena kehebatan ataupun pengalamanku, melainkan kekekalan firman Tuhan itu sendiri.

Tetapi apa yang dapat kubagikan kepada oma opa di sana? Ah, tentunya Injil. Kabar baik Kristus adalah pengharapan di setiap masa. Untuk anak muda maupun yang tua.

Walaupun dunia selalu menjunjung tinggi hal-hal yang fana, mencari cara untuk mempreservasi diri, mempertahankan kecantikan dan kekuatan—Alkitab mengajarkan bahwa, “keindahan orang tua ialah uban,” (Amsal 20:29). Tuhan tidak pernah merendahkan manusia karena usianya, maupun ketidakberdayaannya. Ketika Sara tertawa karena ia mendengar perkataan Tuhan kepada Abraham, bahwa ia akan mengandung anak di hari tuanya, Tuhan tetap bekerja. Tuhan tidak bergantung pada kekuatan manusia. Ia tidak memandang rupa.

Tetapi Tuhan memandang manusia berharga, hanya karena dari awal penciptaan, Sang Pencipta membuat kita “segambar dan serupa dengan-Nya,” (Kejadian 1:27).

Namun, yang kita ketahui, walaupun manusia telah diciptakan segambar dan serupa dengan Tuhan, kita telah jatuh dalam dosa dan mencemarkan gambaran sempurna Allah. Ketika Adam dan Hawa melanggar perintah Tuhan, kekacauan mulai datang pada dunia. Dosa membuat hubungan antara manusia menjadi renggang: Adam dan Hawa saling menuduh dan menyakiti (Kejadian 3).

Kita pun pasti pernah disakiti dan menyakiti, maupun secara sengaja atau tidak sengaja. Tapi apa yang kita perbuat terhadap manusia lainnya tidak sebanding dengan apa yang kita perbuat terhadap Allah. Karena setiap kali kita menyakiti manusia lainnya, kita telah berdosa terhadap gambaran Allah, dan berdosa terhadap Allah sendiri.

Ketika manusia jatuh dalam dosa pertama kalinya, di Taman Eden, datanglah kematian. Dosa telah merusak hubungan manusia dengan Sang Pencipta, dan manusia telah mendatangkan pada dirinya murka Allah. Mungkin hal ini yang membuat kematian menjadi hal yang begitu menyeramkan. Mungkin hal ini yang membuat orang mencari segala macam cara untuk mempreservasi diri. Karena sesungguhnya, ia mengetahui bahwa suatu hari ia harus menghadapi murka Allah.

Akan tetapi, Alkitab tidak berhenti pada kabar buruk ini. Karena pada hari Natal, lahirlah Sang Juruselamat. Karena manusia tidak dapat menebus dosa dirinya terhadap Allah yang Maha Agung, maka Tuhan harus menghampiri kita.

Pada hari Natal, Anak Tunggal Allah Bapa, yaitu Yesus Kristus, telah lahir di dunia ini, agar Ia dapat menunjukkan kepada kita kasih-Nya yang tidak berkesudahan, pengampunan yang sempurna, dan kehidupan yang benar di hadapan Allah. Ketika Yesus datang, Ia merestorasi gambaran Allah yang telah dirusak oleh dosa.

Dan ketika Yesus datang, Ia datang sebagai bayi di palungan, bukan sebagai raja yang bugar di istana yang mewah. Karena Tuhan tidak pernah pandang rupa maupun kekuatan tubuh kita, kehebatan pencapaian kita.

“Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.” 1 Korintus 1:27-29

Debu Yang Dibuat Berharga

“Sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu,” (Kejadian 3:19)—banyak orang berkata bahwa ketika orang bertambah usia, ia akan kembali seperti anak kecil lagi. Dan di mata dunia, mereka menjadi merepotkan, menyusahkan. Banyak yang bahkan tidak ingin berurusan dengan orang tua lagi, apalagi yang sudah sakit-sakitan. Dan mereka diterlantarkan di panti jompo. Itulah kisah sang oma yang aku jumpai pada hari itu.

Namun, alangkah bahagianya bahwa Yesus pun berkata, “biarlah anak-anak itu datang kepada-Ku, orang-orang seperti itulah yang empunya kerajaan sorga,” (Matius 19:14). Alangkah bahagianya mereka dapat kembali seperti anak-anak, yang tak pernah Tuhan tolak, melainkan adalah kesukaan hati-Nya. Alangkah bahagianya, mereka dapat kembali menikmati Tuhan seperti anak-anak.

Bahkan Tuhan sendiri, Pencipta segala semesta, tak takut untuk mengambil rupa seorang Anak, yang lahir di palungan. Itulah cerita Natal: bukan sebuah dongeng, melainkan kebenaran kasih Allah yang begitu besar untuk umat manusia (Yohanes 3:16).

Walaupun aku sedih ketika melihat sang oma ditinggalkan keluarganya di panti jompo tersebut, aku tau ada Satu yang tidak pernah meninggalkannya. Tuhan tetap bersama oma. Dan Tuhan mengasihi oma sama seperti Tuhan mengasihi aku. Aku memberikannya senyuman, bibirnya pun ikut bergerak, dan genggamannya semakin erat. Aku tak mengerti apa yang ia rasakan, atau apa yang ia mau ungkapkan. Aku bahkan tidak mengetahui namanya. Tapi Tuhan mengenalnya dan memanggilnya berharga.

Baca Juga:

Misteri Orang-orang Majus: Siapa, Dari Mana, Berapa, Kapan, dan Mengapa?

Kita tidak asing dengan orang-orang Majus yang sering disebutkan jelang Natal. Namun, tahukah kita akan fakta-fakta tentang mereka?

Mengapa Kita Perlu Bersyukur atas Peristiwa Natal?

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Menjelang Natal, tak jarang aku mendengar khotbah-khotbah diwartakan dari atas mimbar, “Kita harus bersyukur atas peristiwa Natal.” Sejenak aku berpikir, mengapa kita perlu bersyukur atas Natal? Adakah hal istimewa yang sungguh menjadikan Natal sebagai peristiwa yang patut disyukuri?

Dulu, ketika aku masih kecil, jelas Natal adalah peristiwa yang patut disyukuri. Bagaimana tidak, selama Natal, sekolahku libur, acara di gereja meriah, dan tak jarang aku pun mendapat kado.

Namun, sungguhkah Natal patut disyukuri karena ia adalah masa yang memberi banyak hadiah dan libur?

Pertanyaan itu mendorongku untuk merenung lebih dalam.

Natal adalah peristiwa tentang Sang Putra Allah yang turun ke dunia, mengambil rupa sebagai manusia, dan mati disalib bagi manusia. Seberapa pentingkah manusia, hingga Allah yang Mahatinggi turun ke dunia, bahkan turunnya pun mengambil rupa seorang manusia?

Jawaban sederhananya: manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. Namun, jawaban ini mungkin terkesan terlalu simpel. Aku yakin rekan-rekan pembaca sudah tahu jawaban itu. Jadi, aku ingin mengajak kita menjelajah lebih dalam.

Alkitab menggambarkan hidup manusia dan dunia di sekitarnya telah dipenuhi berbagai kejahatan, penderitaan, amoralitas, dan segala macam penyimpangan.

Kok bisa ini terjadi?

Kejadian 3 punya jawabannya. Peristiwa kejatuhan manusia dalam dosa mengakibatkan seluruh keturunan Adam dan Hawa mewarisi dosa. Tidak ada satu pun dari kita yang tak mewarisi dosa, sebagaimana yang Paulus tuliskan, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa (Roma 5:12).

Upah dosa ialah maut (Kejadian 2:17; Roma 3:23). Maut berarti terpisah dari Allah.

Dosa, selain merusak relasi manusia dengan Allah, juga merusak relasi manusia dengan sesamanya, pun itu berimbas pada alam. Lihatlah, alam menjadi rusak karena perbuatan manusia.

Karakter manusia jadi dipenuhi kejahatan, kecemaran, dan kerusakan. Kehidupan pun menjadi penuh penderitaan.

Namun, itu bukanlah kisah buruk yang tiada berakhir. Melalui momen Natal, kita diingatkan bahwa dalam anugerah-Nya, Allah berjanji akan memulihkan keadaan manusia yang telah berdosa melalui Sang Penebus yang akan lahir dari keturunan Hawa (Kejadian 3:15).

Inilah inti Natal yang sebenarnya. Natal adalah tentang Kristus, tentang kedatangan-Nya ke dunia yang membawa pemulihan, kedamaian, dan janji akan keselamatan bagi kita.

Jadi, ketika kita sudah tahu apa yang menjadi inti Natal, bagaimana seharusnya kita merayakan Natal tahun ini?

Apakah kita merayakan Natal dengan pesta pora dan hura-hura? Atau, apakah kita menyibukkan diri dengan segudang agenda kegiatan untuk kumpul-kumpul? Jika itu yang kita lakukan, maka Natal bagi kita tidaklah lebih dari sepaket acara hiburan atau selebrasi yang rutin kita laksanakan jelang akhir tahun.

Terlepas dari padatnya agenda kita menyambut Natal, adalah baik jika kita mengambil waktu sejenak. Jika selama ini ada di antara kita yang hanya hidup sebagai orang Kristen rata-rata, yang merasa ke gereja saja sudah cukup, maka sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengikuti Dia dengan sungguh-sungguh.

Jika ada di antara kita yang merasa sudah menjadi Kristen yang saleh, maka sekarang adalah waktu yang tepat untuk memeriksa hati, apakah dalam kesalehan yang kita lakukan, kita melekat erat dengan Kristus dan mengizinkan-Nya lahir dan memerintah dalam hati kita?

Yuk sekarang juga kita merenungkannya. Sebab, hanya di dalam Kristus kita beroleh keselamatan dan luput dari murka Allah. Selagi ada waktu, yuk kita mengambil keputusan yang baik sekarang.

Bawalah diri kita masuk ke dalam iman yang membawa kepada kasih Allah yang sejati.

Natal adalah kisah tentang kasih Allah yang mengasihi dunia ini, tentang Allah yang mengorbankan Putra-Nya yang tunggal untuk mengalami maut agar kita memperoleh keselamatan.

Selamat memasuki masa-masa Natal.

Baca Juga:

Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Harus Kudoakan

Ketika banyak hal berkecamuk dalam pikiranku, sulit rasanya untuk berdoa.

GitaKaMu: Hadiah Paling Berharga

loop-919837_1920
Lagu ini lahir dari perenunganku pribadi. Setiap Natal tiba, aku sering sekali sibuk dengan berbagai kegiatan (mengisi acara di gereja, mengatur jadwal kumpul & tukar kado dengan sahabat, liburan bersama keluarga, dsb). Dalam semua kesibukan itu, makna Natal yang sesungguhnya kerap jadi terabaikan. Ada kesenangan sesaat, tetapi sebenarnya jauh di lubuk hati, aku tidak benar-benar merenungkan dan merasakan Natal yang sesungguhnya.

Sejak awal November, aku mulai banyak berdoa dan meminta Tuhan menyingkapkan arti Natal sesungguhnya. Aku rindu agar tahun ini aku bisa lebih memahami arti Natal yang sejati. Aku ingin lebih menghayati mengapa setiap tahun aku merayakan Natal. Inilah hasil perenunganku yang dituangkan lewat lagu.

Selamat Natal, kawan! Semoga kita semua bisa kembali memaknai Natal sebagaimana yang seharusnya. Tuhan Yesus memberkati! =)

 

Hadiah Paling Berharga
Kezia Christianty

Ketika dunia dalam gelap
Bapa di Surga pun berduka
Ketika dunia menuju maut kekal
Bapa di Surga pun rindu menyelamatkan
Karena itu lahirlah Yesus ke dunia

Kelahiran-Mu, Yesus,
menerangi dunia
Kelahiran-Mu, Yesus,
memberi harapan baru
Kelahiran-Mu, Yesus,
menyelamatkan hidupku

Yesus
KAU-lah hadiah paling berharga
di dalam hidupku

Seri Lukisan Natal: Sebuah Tempat Bersalin yang Sederhana

lukisan-natal-warungsatekamu-bayi-yesus

Karena Sang Bayi, penduduk dunia serentak mendaftarkan diri
Demi terlahir Mesias di Betlehem, kota Daud yang terpuji
Yusuf dan Maria pun pergi dengan rela hati
Tak ada kamar, palungan pun jadi

Sang Bayi Kudus, Yesus namanya
Relakah kamu juga hidup bagi Dia, apa pun risikonya?

Baca: Lukas 2:1-7

Pelukis: @galihsuseno
Tahun: 2015
Bahan: Acrylic on Canvas
Ukuran: 120 x 160 cm

Mengapa Natal Tidak Masuk Akal

Penulis: Leslie Koh
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Why Christmas Doesn’t Make Sense

Why-Christmas-Does-Not-Make-Sense

Sebenarnya, tidak banyak unsur Natal yang masuk akal. Serius! Coba pikirkan baik-baik beberapa hal berikut ini:

1. Allah menjadi … manusia.

Mengapa Allah sampai mau menjadi manusia? Mengapa Pribadi yang memiliki kuasa mutlak atas semesta mau hidup sebagai makhluk fana yang lemah dan serba terbatas? Mengapa Dia sampai rela merendahkan diri untuk menjadi sama seperti kita?

Namun, tepat seperti itulah yang dilakukan Yesus Kristus ketika Dia turun ke bumi. Sekalipun Dia adalah Allah, Dia memilih untuk dilahirkan sebagai bayi yang tidak berdaya, menjalani masa-masa remaja yang tidak mudah, mempelajari usaha ayahnya sebagai seorang tukang kayu (ini setelah Dia sendiri menciptakan alam semesta), dan berusaha meyakinkan orang-orang sebangsanya bahwa Dia adalah Juruselamat mereka, dan Juruselamat seluruh dunia. Mengapa Dia harus melakukan tindakan yang tidak masuk akal semacam itu? Mengapa tidak membereskan semuanya dari sorga saja?, tidak perlu turun ke bumi sebagai manusia?

Jawabannya kupikir ada dalam satu kata: Kasih. Untuk menyelamatkan dan menebus manusia dari hukuman yang layak kita terima, Yesus harus menjadi seorang manusia. Hanya dengan hidup sebagai manusia dan mati sebagai manusia, pengurbanan Yesus dapat mewakili manusia, sehingga setiap orang yang percaya kepada-Nya dapat diselamatkan dari kematian kekal. Ini berarti bahwa Yesus harus rela merendahkan diri-Nya untuk sementara waktu, terlahir dan menjalani hidup sebagai manusia yang fana. Dan, Dia benar-benar melakukannya, karena Dia mengasihi kita. Itulah cerita Natal. Tidak masuk akal—namun, cinta sejati memang tidak pernah masuk akal.

2. Anak Allah dilahirkan … di dalam sebuah palungan

Jika seorang pangeran akan dilahirkan pada hari ini (sama halnya pada abad pertama), di mana menurutmu ia akan dilahirkan? Sambutan seperti apa yang akan ia dapatkan? Sudah pasti di rumah sakit terbaik, diliput media, disambut segenap warga kerajaan yang dipimpin ayahnya. Ingatkah kamu dengan kelahiran Pangeran George di Kerajaan Inggris? Putra dari Pangeran William dan Putri Kate itu mendapatkan perhatian publik yang luar biasa! Kerumunan massa berdiri di luar rumah sakit, berharap dapat melihat sekilas bayi kerajaan itu.

Namun, Yesus dilahirkan di dalam palungan kotor dan disambut oleh kawanan ternak. Tidak ada kerumunan massa yang mengagumi-Nya, tidak ada sambutan yang meriah bagi-Nya. Yang pertama-tama berkunjung adalah para gembala sederhana. Situasinya mungkin bisa disamakan dengan seorang pangeran yang dilahirkan di garasi kotor, penuh dengan mobil-mobil yang sedang dalam proses perbaikan, dan beberapa tukang reparasi menjenguknya sebentar setelah jam kerja mereka usai. Yang kita bicarakan di sini adalah kelahiran Anak Allah. Sungguh mengherankan bahwa Allah sendiri merelakan Putra-Nya yang tunggal dilahirkan di dalam kondisi yang sangat sederhana.

Mengapa? Karena, sebagaimana catatan Alkitab, Yesus adalah Raja yang lemah lembut dan rendah hati, yang memasuki Yerusalem bukan dengan kereta kencana, tetapi mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban muda (Matius 21:5). Yesus tidak menghabiskan hidup-Nya untuk melobi para tokoh masyarakat dan memamerkan wibawa-Nya di depan warga sebagaimana layaknya sikap yang biasa ditunjukkan para penguasa. Dia bergaul dengan orang-orang yang miskin, yang status sosialnya rendah, dan yang terburuk di antara manusia berdosa. Dia adalah Juruselamat yang rela memberi diri dan Raja yang melayani, Pribadi yang datang “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:45).

Jelas ini bukan gambaran sosok Anak Allah yang akan dibayangkan kebanyakan orang. Seorang raja besar yang mau merendahkan diri untuk datang dalam situasi yang serba kurang, dan lebih tertarik berinteraksi dengan orang-orang biasa daripada orang-orang yang punya pengaruh dalam masyarakat? Sungguh tidak masuk akal.

3. Yesus lahir ke dalam dunia … untuk mati.

Perhatikanlah wajah para orangtua ketika memandangi bayi mereka yang baru lahir. Umumnya kita akan melihat wajah-wajah yang penuh dengan rasa bangga, sukacita, dan harapan agar si kecil panjang umur dan hidup makmur. Satu hal yang jelas tidak diinginkan oleh orangtua mana pun adalah melihat anaknya meninggal. Namun, ketika Allah melihat Putra-Nya dilahirkan di dalam palungan pada saat Natal, Dia tahu bahwa bayi ini dilahirkan dengan tujuan untuk mati pada suatu hari nanti, dengan cara yang sangat mengerikan.

Bayangkanlah bagaimana Yesus menjalani hari-hari-Nya sebagai seorang anak yang tumbuh besar, mempelajari keahlian pertukangan ayahnya, kemudian mulai memilih dan melatih para murid. Bila kebanyakan orang memiliki harapan untuk masa depan yang cerah dan bahagia, masa depan yang menanti-Nya adalah kematian di usia muda, penghinaan dan penderitaan di kayu salib. Namun, Yesus sendiri tidak pernah ragu dengan tujuan hidup-Nya (Markus 8:31); Dia bahkan mengingatkan para murid-Nya tentang apa yang sudah pasti akan menimpa-Nya.

Hari ini kita merayakan Natal dengan penuh kegembiraan dan sukacita. Namun, sesungguhnya peristiwa Natal yang terjadi di sudut kota Betlehem hari itu adalah peristiwa yang manis sekaligus pahit! Sesuatu yang ironis, bukan? Membuat kita bertanya-tanya apa yang sebenarnya kita rayakan pada hari Natal. Peristiwa kelahiran yang menakjubkan 2000 tahun silam itu akan membawa kita melihat sebuah peristiwa kematian yang tidak kalah menakjubkannya 30 tahun kemudian. Meski demikian, ada alasan yang baik bagi kita untuk bersukacita di hari Natal …. (Teruslah membaca.)

4. Untuk kesalahan yang kita perbuat, kita mendapat … keselamatan.

Mudah saja mengingat apa sebenarnya Natal itu: Yesus, Sang Anak Allah telah lahir, supaya kita dapat diselamatkan. Namun, kita mungkin sering melupakan satu hal yang penting: kita sebenarnya tidak layak diselamatkan. Kita bukanlah korban kejahatan yang tidak bersalah, menanti kematian tanpa daya, dan menantikan datangnya seorang penyelamat. Kita adalah orang-orang yang bersalah, layak menerima dan telah divonis hukuman mati. Tidak ada alasan yang cukup baik untuk meluputkan kita dari hukuman itu.

Namun, Allah mengaruniakan Anak-Nya ke dalam dunia untuk menyelamatkan kita. Dalam skenario film, mungkin ini seperti mengirimkan seorang pahlawan hebat, yang mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan sekelompok pembunuh yang telah divonis mati padahal para pembunuh itu masih saja merasa tidak melakukan kesalahan. Sekarang bayangkanlah, ayah dari sang pahlawan, setelah mengorbankan putranya bagi para penjahat itu, memberi mereka tawaran untuk menjadi anaknya, supaya mereka juga dapat menikmati segala harta yang dimilikinya.

Sebuah skenario yang tidak masuk akal. Namun, itulah yang terjadi. Allah memilih untuk memberikan keselamatan bagi kita yang sebenarnya tidak layak menerimanya. Dan, bukan hanya itu, Dia kemudian memberikan kita kesempatan luar biasa untuk menjadi anak-anak-Nya (Efesus 2:4-6). Jelas sekali betapa tidak masuk akalnya Natal itu.

5. Natal merayakan kelahiran Yesus … dan kitalah yang mendapat hadiah.

Setiap bulan Desember, kita mengadakan berbagai acara istimewa untuk merayakan kelahiran Yesus—lalu kita saling bertukar hadiah. Kalau dipikir-pikir, itu agak aneh, bukan? Kelahiran siapa yang sebenarnya sedang kita rayakan?

Ironisnya, hadiah terbesar yang diberikan bukanlah hadiah untuk Yesus yang kelahiran-Nya kita rayakan, tetapi justru hadiah dari Dia untuk kita. Hadiah apakah itu? Hadiah keselamatan yang sungguh menakjubkan: Kita dibebaskan dari hukuman kematian kekal yang selayaknya kita terima, diampuni dari segala kesalahan kita, dan dikaruniakan kehidupan kekal bersama Yesus. Itulah yang dihadiahkan kepada kita pada hari kelahiran-Nya. Hadiah yang diberikan-Nya dengan penuh sukacita.

Ya, Natal memang tidak masuk akal … dan kita bersyukur untuk itu!

Seri Lukisan Natal: Sebuah Nubuat yang Ditepati

lukisan-natal-warungsatekamu-orang-majus

Karena Sang Bayi, para majus jauh-jauh mencari
Penguasa istimewa, Raja orang Yahudi
Dari Timur, terang bintang terus mereka ikuti
Rindu mempersembahkan harta dan segenap hati

Sang Bayi Kudus, Yesus namanya
Rindukah kamu juga mempersembahkan hidupmu kepada-Nya?

Baca: Matius 2:1-12

Pelukis: @galihsuseno
Tahun: 2015
Bahan: Acrylic on Canvas
Ukuran: 120 x 160 cm

Seri Lukisan Natal: Sebuah Janji yang Diwujudkan

lukisan-natal-warungsatekamu-simeon

Karena Sang Bayi, Simeon tekun menanti
Terang keselamatan bagi segenap bangsa di bumi
Seumur hidupnya tertuju kepada Mesias, Yang Diurapi
Sebab ia tahu pasti, Allah selalu menepati janji

Sang Bayi Kudus, Yesus namanya
Akankah kamu juga bertekun dalam pengharapanmu kepada-Nya?

Baca: Lukas 2:22-35

Pelukis: @galihsuseno
Tahun: 2015
Bahan: Acrylic on Canvas
Ukuran: 120 x 160 cm

Seri Lukisan Natal: Sebuah Kabar yang Luar Biasa

lukisan-natal-warungsatekamu-gembala

Karena Sang Bayi, gembala mendengar surga bernyanyi
Memuji Sumber Damai Sejahtera yang turun ke bumi
Bergegas mereka berangkat ingin berjumpa Sang Bayi
Turut bawa kabar suka dan pujian bagi Allah yang Mahatinggi

Sang Bayi Kudus, Yesus namanya
Inginkah kamu berjumpa dengan-Nya dan bersuka karena-Nya?

Baca: Lukas 2:8-21

Pelukis: @galihsuseno
Tahun: 2015
Bahan: Acrylic on Canvas
Ukuran: 120 x 160 cm