Penulis: Leslie Koh
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: What If Christianity Was A Lie?

Bertahun-tahun silam, seorang temanku pernah berkata, “Keberadaan Tuhan itu tergantung pada iman kita.”
Pada saat itu aku berpikir, wah, masuk akal. Ini pemikiran orang cerdas.
Pernyataan itu memang ada benarnya. Tampaknya sangat logis: jika suatu hari aku memilih untuk tidak lagi mempercayai Tuhan, tidak akan ada lagi yang namanya Tuhan dalam hidupku. Dia akan segera lenyap. Kehidupan akan berjalan seperti biasa. Bahkan, aku mungkin akan bertanya: Apa bedanya hidup dengan atau tanpa Tuhan? (Jangan protes dulu sebelum selesai membaca).
Meski aku telah lama menjadi orang Kristen—aku dibesarkan dan dididik sebagai orang Kristen—harus kuakui bahwa adakalanya sejumlah pertanyaan mengusik hatiku: Bagaimana jika ternyata kekristenan adalah sebuah kebohongan? Bagaimana jika semua yang aku percayai ternyata terbukti tidak benar? Bagaimana jika ternyata Allah atau Yesus sesungguhnya tidak ada dan selama ini aku telah mempercayai omong kosong belaka? Bagaimana hal itu akan memengaruhi hidupku? Apa yang harus aku lakukan?
Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku mulai berpikir bagaimana caranya menguji imanku sendiri. Perlu kutegaskan bahwa aku tidak lantas mencari sesama orang Kristen untuk memperdebatkan konsep-konsep teologis atau berusaha mencari tahu kebenaran iman Kristen—itu di luar kemampuanku! Yang aku lakukan adalah mencoba melihat apakah aku bisa meyakinkan diriku sendiri untuk melepas imanku.
Pada dasarnya aku bertanya pada diriku sendiri: Bagaimana aku bisa memastikan bahwa kekristenan telah membohongiku? Apa kerugiannya jika aku tidak lagi mempercayai Yesus?
1. Aku harus membuktikan bahwa Yesus adalah seorang pembohong
Mengapa? Karena Yesus terang-terangan berkata, Dialah satu-satunya jalan kepada Allah—jalan, dan kebenaran, dan hidup—dan setiap orang yang percaya kepada-Nya akan mendapatkan hidup yang kekal (Yohanes 14:6; 3:16). Dia tidak menyatakan diri sebagai seorang guru atau pemimpin agama yang hebat, tetapi sebagai Anak Allah. Dengan sangat jelas Dia berkata bahwa setiap orang yang tidak percaya kepada-Nya akan binasa.
Jika apa yang dikatakan Yesus itu benar, aku akan sangat bodoh untuk tidak mempercayainya. Sama seperti sedang mengabaikan seseorang yang menasihatiku untuk tidak melompat dari atas gedung karena adanya hukum gravitasi. Jika aku memutuskan untuk tidak mempercayai Yesus, aku harus bisa membuktikan bahwa pernyataan-Nya itu adalah sebuah kebohongan, sesuatu yang benar-benar menyesatkan. Tidak heran C.S. Lewis, seorang penulis terkenal, berkata bahwa Yesus bisa jadi adalah seorang pembohong, seorang yang gila, atau benar-benar Sang Anak Allah.
Tampaknya mudah—kita cukup menganggap Yesus sedang berbohong—namun faktanya, ada banyak saksi mata yang mendengar dan melihat sendiri berbagai klaim dan tindakan Yesus, termasuk orang-orang yang tidak percaya, para pemimpin Yahudi, penguasa Romawi, dan beberapa tokoh yang menentang-Nya. Tidak hanya itu, orang-orang yang mendengar-Nya memahami dengan jelas perkataan dan tindakan-Nya yang sangat konsisten, bahkan musuh-musuh-Nya memberi tanggapan yang sangat serius—begitu seriusnya sehingga mereka mau Dia dihukum mati.
Dengan kata lain, aku perlu mencari penjelasan untuk semua tanda dan mukjizat yang tercatat dilakukan Yesus, juga memastikan kebenaran catatan para saksi mata yang pernah melihat mukjizat itu—termasuk yang mengatakan bahwa Yesus bangkit dari kematian. Aku juga harus bertanya, mengapa ada begitu banyak orang yang sangat yakin dengan apa yang dikatakan dan diperbuat Yesus hingga mereka rela mati demi iman mereka. Apakah mereka telah melakukan kesalahan besar? Ataukah Yesus memang sedemikian meyakinkan sehingga musuh-musuh-Nya pun memberi tanggapan yang sangat serius?
2. Aku harus membuktikan bahwa Alkitab itu keliru
Aku bisa berusaha menjawab semua pertanyaanku tanpa menghiraukan Alkitab sedikit pun. Aku juga bisa mengabaikan semua ajaran Kristen yang didasarkan pada apa kata Alkitab tentang Yesus.
Namun, ada banyak catatan Alkitab yang sudah terbukti akurat dalam sejarah (meski ada juga yang masih mempertanyakannya). Catatan tentang para raja, tokoh-tokoh penting, dan peristiwa-peristiwa besar yang ada dalam Alkitab, juga diteguhkan oleh sumber-sumber non-Kristen. Tentu saja aku masih bisa berdalih bahwa hanya sebagian Alkitab yang bisa dipercaya atau akurat.
Masalah lainnya adalah pesan Alkitab yang begitu konsisten tentang Yesus. Dari kitab Kejadian hingga Wahyu, terdapat berbagai nubuatan tentang kedatangan Yesus dan laporan tentang apa yang terjadi ribuan tahun kemudian, sampai pada detail-detail terkecil, seperti di kota mana Dia akan dilahirkan. Dan yang mengejutkan, semua nubuatan itu digenapi.
Data-data tersebut bisa saja dianggap khayalan belaka bila Alkitab dikarang oleh seorang penulis cerita yang berusaha meyakinkan atau membingungkan para pembacanya. Namun, karena pada faktanya Alkitab ditulis oleh sekitar 40 orang dalam rentang waktu 1500 tahun, mau tidak mau kita harus bertanya, bagaimana bisa semua penulis itu begitu menyatu dan konsisten dalam pesan dan deskripsi mereka tentang Allah? Bila orang-orang ini berusaha membuat sebuah kebohongan besar tentu akan ada hal-hal yang sangat berlawanan dalam tulisan mereka, namun mengapa kontradiksi itu tidak bisa ditemukan?
Jika benar kekristenan adalah sebuah kebohongan, bagaimana bisa semua penulis ini—yang terdiri dari beragam orang, mulai dari para nabi, raja-raja, hingga para nelayan, dan hidup dalam generasi yang berbeda ratusan tahun—entah bagaimana berkonspirasi untuk memproduksi sebuah cerita yang konsisten?
3. Aku harus menganggap semua pengalamanku tidak penting
Jujur saja, aku tidak pernah secara pribadi melihat sebuah mukjizat yang dramatis atau penglihatan tentang Yesus. Namun, aku telah berulang kali mengalami kehadiran-Nya dalam hidupku. Aku telah melihat contoh-contoh spesifik dari pemeliharaan dan berkat-Nya dalam keluarga dan pekerjaanku. Bila kekristenan itu palsu, artinya semua yang telah kualami itu tidaklah nyata. Aku bisa saja menganggap beberapa kejadian luar biasa yang kualami itu sebagai kebetulan belaka, namun beberapa kejadian terlalu luar biasa untuk disebut sebuah kebetulan.
Aku harus mengabaikan penghiburan yang diberikan Tuhan di dalam momen-momen yang paling gelap dan menyedihkan. Anggap saja itu sekadar kehangatan aneh yang datang entah dari mana. Namun, karena aku adalah orang yang sangat menggunakan logika—bahkan bisa dibilang skeptis—aku sendiri akan sulit menerima penjelasan semacam itu. Apakah aku telah begitu hebatnya dikelabui atau telah berusaha meyakinkan diriku sendiri tentang sesuatu yang tidak nyata? Apakah aku telah menggunakan logika di semua aspek hidupku kecuali imanku?
Semua pengalaman pribadi yang membangun hubunganku dengan Yesus ini harus kuabaikan jika aku mau meyakinkan diriku bahwa kekristenan itu tidak benar. Bagi sebagian orang, iman Kristen berarti mempercayai seorang Sahabat yang tak terlihat, dan itulah yang aku alami. Aku telah mendengar suara Yesus, berbicara kepada-Nya (dan mendengar jawaban-Nya), juga menikmati penyertaan dan penghiburan-Nya. Akankah sekarang aku bisa berpura-pura bahwa hubungan ini sepenuhnya hanyalah produk imajinasiku?
Aku juga harus mencari alasan lain di balik perubahan hidup yang begitu besar (dan lebih baik) dari orang-orang yang aku kenal. Seorang gangster kejam kini menjadi pendeta yang penuh kepedulian terhadap sesama. Seorang tante menyebalkan kini menjadi seorang tante yang penuh kasih sayang. Seorang teman yang kasar kini menjadi sangat sangat santun. Mereka semua berubah setelah percaya kepada Yesus. Tentu saja orang bisa berubah karena niat mereka sendiri atau keinginan kuat untuk memulai lembaran baru. Tetapi, jika Yesus bukanlah Pribadi seperti yang dikatakan-Nya, sulit untuk memahami mengapa orang-orang ini bisa terdorong untuk berubah saat mengenal-Nya.
Tetapi, Kristus itu terlalu nyata …
Sebagian orang mungkin menganggap kekristenan sebagai salah satu agama dan menggambarkannya seperti sebuah kruk/penyangga untuk orang lemah. Sebagian orang lainnya mungkin menganggap kekristenan sebagai sebuah keyakinan pribadi atau cara hidup yang bisa membuat pandangan hidup seseorang menjadi lebih positif, tetapi tidak ada bukti atau dasar yang kuat bahwa yang diyakini itu benar-benar nyata. Menurut mereka, keberadaan Tuhan itu tergantung dari apa yang kita percayai.
Namun, setelah mempertanyakan imanku sendiri, aku akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa iman Kristen—setidaknya bagiku—memiliki dasar yang dapat dipercaya, baik menurut Alkitab maupun apa yang kualami secara pribadi. Aku percaya dengan apa yang tertulis di dalam Alkitab, karena aku menilai yang kubaca itu benar, logis, dan faktual. Selain itu, aku juga mengingat semua yang telah aku alami secara pribadi. Dengan kata lain, aku percaya dengan segenap pikiran dan hatiku.
Bagiku, itu berarti bahwa keberadaan Tuhan tidaklah bergantung pada imanku. Entah aku memilih untuk mengikuti Dia atau tidak, Tuhan itu sungguh ada. Meminjam kembali contoh tentang hukum gravitasi di awal tulisanku, aku “percaya” pada hukum gravitasi bukan karena aku telah melihat akibat yang ditimbulkannya jika aku melompat dari atas sebuah gedung. Seandainya suatu hari aku memutuskan untuk menganggap hukum gravitasi sebagai sebuah kebohongan pun, pilihanku tidak akan mengubah kenyataan bahwa hukum gravitasi itu benar adanya dan mempengaruhi hidupku—bisa dipastikan aku akan jatuh jika nekat melompat dari atas gedung. Sama halnya dengan itu, aku sudah melihat cukup banyak bukti tentang keberadaan Yesus, sehingga aku yakin bahwa Yesus sungguh ada, dan keberadaan-Nya tidak bergantung pada keputusanku untuk mempercayai atau mengikuti Dia.
Bagaimana jika kekristenan adalah sebuah kebohongan? Apakah keberadaan Allah itu tergantung pada iman kita? Kamu bisa mencoba memberikan alasan-alasan untuk untuk membuktikannya, namun kupikir aku tidak akan pernah bisa mempercayainya. Yesus itu terlalu nyata untukku.
“Jika keliru, kekristenan itu sama sekali tidak penting, dan jika benar, kekristenan itu luar biasa pentingnya. Namun, kekristenan itu tidak mungkin hanya setengah penting.”—C. S. Lewis