Posts

Hal yang Kulupakan Ketika Aku Asyik Menggunakan Instagram Story

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Sekitar setahun lalu, Instagram menciptakan inovasi baru yang sangat digemari oleh para penggunanya hingga saat ini: Instagram Story—yang sering disingkat menjadi Instastory ataupun Snapgram. Melalui fitur ini, kepada followers-nya, seseorang bisa membagikan gambar dan video yang dapat diedit terlebih dahulu secara real-time atau dalam waktu yang hampir bersamaan saat peristiwa tersebut terjadi.

Awalnya, seperti kebanyakan teman-temanku, aku menikmati fitur Instastory dengan cukup aktif. Setiap harinya aku bisa mengunggah 1-5 konten pada Instastoryku. Namun, sampai di satu titik, aku memutuskan untuk berhenti menggunakan fitur ini hingga waktu yang tidak ditentukan. Alasan aku berhenti menggunakan Instastory bukanlah karena fitur ini salah. Akan tetapi, aku berhenti karena kelemahanku sendiri, yang mungkin juga merupakan kelemahan bagi banyak orang, yaitu self-esteem, atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai “harga diri”.

Jika ditilik lebih dalam, melalui bacaan dari Wikipedia maupun beberapa jurnal psikologi yang pernah kubaca, pada dasarnya self-esteem berarti bagaimana seseorang menilai harga dirinya sendiri.

Dalam pergumulanku pribadi, aku merasa bahwa Instastory telah merusak caraku menilai harga diriku sendiri.

Aku cenderung menempatkan dan mencari harga diriku melalui pengakuan-pengakuan dan pandangan dari orang lain. Ketika zaman beralih menjadi digital, cara yang paling mudah dan efektif untuk ‘menghitung’ harga diriku adalah melalui media sosial. Instastory memberiku kesempatan untuk meliput kehidupanku secara real-time. Para followers-ku bisa mengetahui apa yang sedang aku kerjakan, apa yang sedang aku makan, apa yang sedang aku rasakan, dan banyak hal lainnya melalui tiap-tiap gambar atau video yang kuunggah.

Inilah hal yang menurutku membuat Instastory lebih berbahaya daripada media sosial lainnya seperti Path, Facebook, ataupun Twitter. Melalui visual dan audio yang disajikan secara real-time, tanpa sadar aku telah menjadikan Instastory sebagai sarana untukku memamerkan kehidupanku kepada orang lain. Aku bisa menunjukkan betapa menyenangkannya aktivitas yang kulakukan, betapa enak dan mahalnya makanan yang aku makan, betapa sibuk dan kerennya pekerjaanku, dan banyak hal lainnya.

Tanpa kusadari, aku berjuang untuk melihat diriku terlihat lebih berharga dengan memamerkan kehidupan yang kujalani. Aku jadi sangat tergoda untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain tentang betapa kerennya dan menyenangkannya hidupku. Bahkan, seringkali, tanpa kusadari aku ingin supaya orang lain iri melihat diriku dan kehidupanku.

Sebenarnya, bukanlah hal yang salah untuk mencari dan menemukan harga diri. Dalam pandangan dunia, self-esteem adalah hal yang penting karena hal ini akan mendorong manusia termotivasi untuk menjalani hidupnya. Bahkan, Abraham Maslow, seorang psikolog yang juga teoritikus menempatkan self-esteem atau harga diri sebagai peringkat kedua dalam piramida kebutuhan psikologis manusia.

Jadi, sebenarnya tidak ada yang salah dengan self-esteem selama kita mencarinya di tempat yang benar. Namun, sayangnya adalah dunia kita saat ini telah kehilangan tempat mencari self-esteem yang benar.

Dalam pergumulanku saat itu, aku membaca sebuah artikel berjudul “Find Your Self-esteem in Someone Else” yang ditulis oleh Jon Bloom. Kutipannya adalah sebagai berikut:

Sekitar pergantian abad ke-20, teori tentang “self-esteem” muncul di bidang psikologi, dan pada tahun 1960 teori ini diterima oleh budaya Barat dan dianggap sebagai salah satu akar utama dari kesehatan mental. Tetapi sesungguhnya teori ini tidak mengatasi masalah mendasar, yaitu keterpisahan dari Allah. Setelah lebih dari 50 tahun mencoba menerapkan teori ini sebagai obat untuk penyakit kita akan identitas, kita mendapati bahwa diri kita hanya semakin terisolasi dan hubungan kita dalam komunitas dan masyarakat hanya menjadi lebih retak. Semua ini terjadi karena kita kita mencari harga diri kita di tempat yang salah dan untuk alasan yang salah.

Perjuanganku untuk menaikkan nilai harga diriku melalui pengakuan dan penghargaan dari orang lain melalui media sosial sesungguhnya berasal dari keterpisahanku dengan Allah. Sadar atau tidak sadar, seringkali aku merasa tidak ada seorangpun yang bisa ataupun mau mengapresiasi, menghargai, mengasihi, dan mengakui diriku kalau aku tidak tampil menawan di hadapan orang lain. Hal ini jelas tidaklah benar. Alkitab dengan jelas mengatakan:

“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu” (Yesaya 43:4).

“Bukankah burung pipit dijual lima ekor dua duit? Sungguhpun demikian tidak seekorpun dari padanya yang dilupakan Allah, bahkan rambut kepalamupun terhitung semuanya. Karena itu jangan takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit” (Lukas 12:6-7).

Firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa diriku begitu berharga di hadapan-Nya. Aku diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, sang pencipta alam semesta. Bahkan, kejatuhan manusia ke dalam dosa tidak sedikitpun menghilangkan kasih-Nya kepadaku dan juga kepada seluruh umat manusia. Kita tetap dipandang-Nya berharga, begitu berharga hingga Allah sendiri melalui Yesus Kristus datang ke dunia, mati di kayu salib dan bangkit untuk menebus dosa-dosa kita.

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8).

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).

Mungkin bagi beberapa orang, ayat-ayat di atas terasa seperti hapalan di luar kepala. Namun, ayat tersebut adalah bukti nyata bahwa kasih-Nya kepada kita telah dinyatakan di atas kayu salib. Darah-Nya yang tercurah sudah membuktikan betapa berharganya aku dan kamu di hadapan Allah.

Harga diriku tidak ditentukan dari seberapa banyak likes atau comment yang aku dapatkan di tiap-tiap gambar atau story yang kuunggah. Harga diriku dan harga dirimu begitu mahal, seharga darah yang telah Yesus curahkan untuk menebus dosa-dosa kita.

Pada akhirnya, aku sadar bahwa ketika aku menggunakan Instastory dan media sosial lainnya, seharusnya aku tidak mencari harga diriku di sana. Harga diriku tidak ditemukan pada media sosial. Harga diriku yang sesungguhnya hanya kutemukan pada salib Kristus.

“Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1 Petrus 1:18-19).

Baca Juga:

Ketika Keraguan akan Imanku Membawaku Pada Yesus

Aku dilahirkan di keluarga bukan Kristen yang cukup taat beribadah. Bahkan, kedua orangtuaku pernah menyekolahkanku di sebuah sekolah yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Namun, sampai di satu titik, aku mulai meragukan iman yang kupercayai yang pada akhirnya menuntunku kepada Yesus.

Di Balik Potret Bahagia di Media Sosial

Oleh M. Tiong, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 你真如朋友圈上那样快乐吗?

Tatkala jariku asyik menjelajah Facebook atau media sosial lainnya, terkadang aku merasa iri terhadap teman-temanku. Ada yang mengunggah foto-foto liburan, barang-barang yang baru dibeli, juga makanan-makanan enak yang mereka nikmati. Berdasarkan apa yang kulihat dari foto-foto itu, aku pikir hidup mereka tampak amat berbahagia. Kemudian, aku membandingkannya dengan diriku sendiri: Mengapa hidupku begitu membosankan?

Suatu hari, seorang temanku yang biasanya sering mengunggah foto-foto bagus memberitahuku kalau sebenarnya dia sedang stres. Katanya, hidupnya itu kurang berarti. Mendengar cerita darinya, aku mulai menyadari bahwa orang-orang yang kupikir hidupnya enak itu ternyata tidak lebih berbahagia dari aku.Ini membuatku bertanya-tanya: “Apakah orang-orang memang benar-benar bahagia seperti foto-foto yang mereka tampilkan di media sosial?”

Mengapa kita merasa seolah hidup kita tidak pernah bahagia? Alkitab mencatat bahwa manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya; kita selalu menginginkan sesuatu yang lebih. “Dunia orang mati dan kebinasaan tak akan puas, demikianlah mata manusia tak akan puas” (Amsal 27:20). Raja Salomo, seorang yang kaya raya dan penulis kitab Pengkhotbah mengerti keadaan ini. Dia berkata, “Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari” (Pengkhotbah 2:11).

Lantas, mengapa kita selalu tidak pernah puas? Mungkin itu karena segala sesuatu yang kita miliki tidak dapat benar-benar mengisi kekosongan hati kita. Walaupun kita berupaya mengumpulkan kekayaan, cinta, kemasyhuran, ataupun rasa kagum dari orang lain, semua hal itu tidak akan pernah membawa kita kepada kepuasan yang sejati.

Mengejar prestasi, kesuksesan, dan pengakuan itu tidak sepenuhnya salah. Namun, yang terlebih penting adalah menyadari bahwa semuanya itu bukanlah yang menentukan nilai diri kita. Semuanya itu bersifat sementara, tidak kekal.

Kepuasan nilai diri dan makna hidup kita yang sejati harus datang dari Allah sendiri. Hanya Allah saja, yang menciptakan kita, yang mampu memberi kita yang adalah ciptaan-Nya suatu kepuasan. Hanya Allah sajalah yang benar-benar mengerti apa yang kita butuhkan.

Jadi, janganlah iri hati dengan apa yang orang lain miliki. Amsal 14:30 mengatakan, “Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang.” Lalu, Mazmur 16:11 juga mengatakan, “Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa.”

Aku mengucap syukur kepada Tuhan karena Dia mengingatkanku kembali tentang hal-hal yang seharusnya menjadi fokus hidupku—kebutuhan orang-orang di sekitarku, menaati kehendak-Nya, dan menghidupi hidup yang menyenangkan-Nya. Aku berdoa supaya hidup kita tidak hanya berkutat tentang seberapa sering kita bepergian, seberapa banyak uang yang kita keluarkan untuk membeli makanan ataupun berbelanja. Biarlah hidup kita dapat berfokus hanya kepada Allah.

Semoga kita semua bisa menemukan dan membagikan sukacita yang sejati dari Tuhan. Dan semoga kita juga bisa menjadi pengikut Kristus yang rindu menyenangkan Allah.

Baca Juga:

5 Alasan Kamu Perlu Bertobat Lagi dan Lagi

Apakah pertobatan itu? Apakah orang-orang Kristen perlu bertobat? Kapan terakhir kali kamu bertobat?

Jangan Cuma… Tapi Juga…

Jangan-cuma-01

Jangan-cuma-02

Jangan-cuma-03

Jangan-cuma-04

Jangan-cuma-05

Jangan-cuma-06

Jangan-cuma-07

Jangan-cuma-08

Terlalu sibuk untuk menjadi kekinian dan ngikutin tren dapat mengalihkan kita dari tujuan hidup kita yang sejati, yaitu memuliakan Tuhan melalui segala yang kita kerjakan. Apakah yang sekarang lebih banyak menyita waktumu?

3 Tanda Aku Menggunakan Ponsel dengan Berlebihan

3-tanda-aku-menggunakan-ponsel-dengan-berlebihan

Oleh Olivia Ow, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Signs of My Handphone Addiction

Nomophobia (no-mobile-phobia): Rasa takut akan kehilangan kontak dengan ponsel.

Mungkin inilah yang aku alami. Aku suka menonton video-video Youtube dan konten-konten media sosial di ponselku, dan aku bisa menghabiskan semalam penuh dan semua waktu luangku hanya bersama ponselku itu.

Aku sangat sering menggunakan ponsel (juga untuk bekerja). Begitu seringnya sampai-sampai aku merasa amat panik ketika aku tidak dapat menemukan ponselku yang sedang dalam mode “silent”. Jari kakiku juga turut menjadi korban ketika aku tidak sengaja tersandung saat sedang terburu-buru mencari charger untuk ponselku yang baterainya sedang sekarat.

Namun, selain kedua hal di atas, ada 3 tanda lain yang muncul dalam hidupku sebagai akibat dari penggunaan ponsel yang berlebihan.

1. Aku jadi suka membandingkan

Kamu mungkin bisa memahaminya kalau kamu sering menggunakan media sosial. Ketika mengecek konten-konten di media sosial dan menemukan barang-barang bagus terbaru yang dimiliki oleh teman-teman kita, sebuah pikiran ini mungkin melintas di benak kita: “Wow, dia punya banyak sepatu bagus. Kalau saja aku lebih kaya, aku yakin aku bisa mendapatkan yang lebih bagus dari dia.” Ini menunjukkan ketidakpuasan dalam hati kita. Dan itu bahkan bisa membuat kita rela tidak makan agar kita dapat menabung untuk membeli barang-barang yang kita inginkan, sehingga kita bisa memamerkannya kepada orang lain.

Namun sikap membanding-bandingkan ini dapat membuat kita menjadi iri hati. Kita mungkin juga mengalami kepahitan atau mengasihani diri sendiri. Amsal 14:30 berkata: “Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang.” Berhentilah membanding-bandingkan dan ingatlah bahwa nilai diri kita tidaklah ditentukan oleh apa yang kita pakai atau apa yang kita miliki (atau yang tidak kita miliki). Kita berharga di mata Tuhan sebagaimana adanya diri kita.

2. Aku membuang-buang waktu

Waktu itu berharga, kita semua tahu itu. Tapi kalau boleh jujur: kita menghabiskan begitu banyak waktu bersama ponsel kita. Setiap 30 detik, kita mengecek akun media sosial kita untuk melihat apakah ada update baru. Seringkali, aku tergoda untuk browsing internet di ponselku daripada menyediakan waktu bersama Tuhan. Sejujurnya, aku menikmati mencari berita-berita tentang orang-orang yang tak pernah kutemui seumur hidupku atau menonton video atau iklan yang tidak memberikanku apa-apa—dan aku tahu aku bukanlah satu-satunya orang yang melakukan ini semua.

Namun Alkitab mengingatkan kita untuk memperhatikan dengan saksama bagaimana kita hidup, dan menggunakan waktu yang ada sebaik-baiknya, karena hari-hari ini adalah jahat (Efesus 5:15-16). Marilah gunakan waktu kita yang berharga untuk sesuatu yang bernilai lebih besar. Ada sebuah kalimat terkenal dari C. T. Studd yang mengingatkanku, “Kita hanya hidup satu kali, dan itu akan segera berlalu; hanya apa yang kita lakukan bagi Kristus yang akan bertahan selamanya.” Aku tidak tahu sampai kapan aku hidup, dan aku sadar bahwa hidupku adalah milik Yesus. Sejak saat itu aku memutuskan, daripada terus-menerus browsing internet di ponselku, aku akan menyisihkan waktu untuk berdoa bagi para anggota kelompok kecilku.

3. Aku menjauh dari komunitas

Ada beberapa Youtubers yang aku ikuti, sampai ke titik di mana aku merasa seperti mengenal mereka dengan dekat. Aku menjadi bahagia ketika mereka bahagia, seperti saat mereka mengumumkan bahwa mereka akan menikah. Sebaliknya, aku juga merasa sedih saat mereka merasa sedih.

Mudah bagi kita untuk masuk ke dunia media sosial dan berhenti berinteraksi dengan orang-orang secara langsung karena kita pikir kita cukup berinteraksi di dunia maya. Mudah bagi kita untuk kehilangan keinginan untuk bertemu orang-orang secara langsung, karena kita lebih suka melihat mereka di dunia maya. Bagaimanapun, aku tidak harus berhadapan dengan konflik antar-individu jika aku tidak terhubung langsung dengan mereka, kan?

Namun, berdasarkan pengamatanku akan diriku sendiri dan orang lain, aku menemukan bahwa salah satu keburukan dari menggunakan ponsel dengan berlebihan adalah berkurangnya kemampuan kita untuk berelasi dengan orang lain secara sehat. Kita menjadi kesulitan dalam bercakap-cakap. Kita jadi kurang bisa memberikan perhatian yang panjang, dan kita juga cenderung kurang mampu mendengarkan orang lain dan memberikan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan mereka.

Seorang teman pernah mengeluh kepadaku karena dia begitu sulit memimpin sebuah acara di persekutuan pemuda gerejaku karena para pemuda itu sibuk mengecek ponsel mereka dan tidak memperhatikan instruksi yang diberikan. Dan ketika tiba waktunya untuk masuk ke dalam kelompok kecil untuk berdiskusi, mereka tidak mengikuti karena mereka masih terpaku dengan ponsel mereka dan tidak memperhatikan. Bukankah itu menyedihkan?

Hidup ini dimaksudkan untuk kita hidupi, bukan untuk kita tonton. Jadi marilah hidupi hidup kita daripada menonton kehidupan orang lain.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengajarku Melalui Anakku yang Cacat Mental

Sharon Putri. Dia adalah anak bungsu dari tiga orang bersaudara yang sangat aku kasihi. Tidak pernah terlintas di benakku bahwa Sharon ternyata mengidap kelainan mental. Tapi, darinyalah aku belajar bagaimana seharusnya aku mengasihi dengan tulus.

Persahabatan di Era Digital: Erat di Dunia Maya, Renggang di Dunia Nyata

Persahabatan-Era-Digital-Erat-di-Dunia-Maya-Renggang-di-Dunia-Nyata

Oleh Michelle O.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Friendship in Our Fast-Paced Society

Jika seandainya ada nominasi untuk kategori “teman terburuk”, mungkin akulah yang akan jadi pemenangnya. Seringkali aku terlalu asyik dalam bekerja hingga aku lupa kalau aku masih memiliki teman. Jari-jariku selalu sibuk membalas tiap-tiap pesan ataupun e-mail yang berkaitan dengan pekerjaan. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sendiri hingga tidak lagi mempedulikan keberadaan teman-temanku. Padahal merekalah orang-orang yang selalu bersamaku bahkan dalam keadaan sukar sekalipun.

Sebenarnya, aku tahu bagaimana rasanya hidup tanpa memiliki teman. Ketika duduk di bangku SMA dulu aku menghabiskan waktuku tanpa pernah memiliki teman akrab. Tatkala aku pindah ke luar negeri, ke dalam sebuah budaya yang sepenuhnya baru, hari-hari kulewatkan dalam kesendirian. Pagi hari kuhabiskan dengan meminum teh seorang diri, kemudian ketika tiba waktunya makan siang, dengan segera aku akan menghabiskan makananku. Setelahnya, aku pergi ke perpustakaan dan menghabiskan waktu-waktuku bersama buku-buku.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai menemukan teman-teman yang mewarnai kehidupanku. Ketika salah satu dari kami diwisuda, kami datang dan turut merayakan kelulusannya. Selain itu, ketika liburan musim panas tiba, kami menghabiskan waktu-waktu itu untuk pergi liburan bersama. Teman-temanku adalah teman yang setia, baik, dan penuh perhatian. Merekalah yang membuatku mampu mengecap rasa manis di tengah pahitnya kehidupan.

Bagaimana dengan kamu? Menurutmu, teman seperti apakah kamu? Apakah kamu hanya sekadar teman di Facebook yang mencurahkan perhatianmu lewat tombol “Like” di tiap-tiap postingan temanmu tapi tidak pernah menemui mereka secara langsung? Apakah kamu seorang yang amat sibuk dengan kehidupanmu sendiri hingga tak memiliki waktu untuk sekadar meluangkannya bersama teman-temanmu? Atau, apakah kamu tipe orang yang membutuhkan waktu tiga hari hanya untuk membalas pesan singkat dari temanmu? “Hei, maaf ya, aku sibuk banget. Keluargaku juga sedang berkunjung ke sini dan aku terus dikejar oleh deadline pekerjaan.”

Di tengah dunia yang bergerak amat cepat ini, banyak dari kita cenderung malas untuk menjaga relasi yang erat dan personal dengan teman-teman kita. Kita lebih memilih untuk mengecek Facebook atau menggeser timeline Instagram untuk melihat siapa saja yang makan di restoran populer, mengomentari pakaian yang dipakai orang lain, selera musik, ataupun cara mereka berdandan. Kita lupa bahwa teman-teman kita itu bukanlah sekadar status-status ataupun foto-foto yang terpampang di Facebook dan Instagram. Di balik keeksisan mereka di media sosial, bisa saja mereka merindukan seseorang meneleponnya, menanyakan kabarnya, atau mungkin mengundang untuk makan bersama.

Kita dirancang untuk hidup berteman; Alkitab mengatakan, “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!” (Pengkhotbah 4:9-10). Ayat ini mengingatkanku akan seorang Pribadi yang jauh lebih dekat bahkan daripada saudara kita sendiri—Dialah Yesus.

Teman-teman kita di dunia bisa saja tidak setia, tetapi persahabatan dengan Yesus adalah persahabatan yang kekal dan memberkati kita. Kita bisa mengandalkan Dia sebagai penasihat, penghibur, penyembuh, dan penyedia kebutuhan kita. Dia juga berjanji untuk senantiasa bersama kita. “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau” (Ulangan 31:6).

Persahabatan dengan Yesus membuat kita dapat menyerahkan segala kekhawatiran kita kepada-Nya karena Dia peduli kepada kita (1 Petrus 5:7). Teman-teman kita di dunia bisa saja melukai hati kita, tapi kita dapat selalu bersandar kepada Tuhan yang mampu memulihkan hati kita, membalut luka-luka kita (Mazmur 147:3), dan menampung setiap tetes air mata kita dalam kirbat-Nya (Mazmur 56:9).

Bagaikan sekelompok sahabat yang dapat berkumpul dan berbagi mimpi serta harapan satu dengan lainnya, begitu pula persahabatan kita dengan Yesus. Kita dapat membawa tiap harapan kita kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Ia dapat memberikan apa yang diinginkan hati kita apabila kita bergembira karena-Nya (Mazmur 37:4).

Yesus tidak menjamin bahwa hidup bersama-Nya akan selalu indah, tapi kita bisa bersandar pada janji-Nya bahwa Dia akan selalu ada bersama kita sekalipun badai kehidupan menerpa. Seorang penulis dan pembicara dari Amerika yang bernama Gregg Levoy pernah berkata, “Yesus menjanjikan suatu hal kepada tiap pengikut-Nya, yaitu: ada sukacita tanpa batas dan keberanian dari rasa takut untuk menghadapi setiap masalah”

Jadi, ingatlah. Ketika kamu merasa kesepian dan berbeban berat, panggillah Yesus. Yesus adalah sahabat kita yang amat setia.

Baca Juga:

Ketika Instagram Menjadi Candu Bagiku

Akun Instagramku telah diretas. Aku tidak dapat lagi mengontrol foto-foto apa yang diunggah karena aku telah kehilangan kendali atas akun Instagramku. Peristiwa ini kemudian menyadarkanku yang selama ini telah menjadikan Instagram sebagai candu bagiku.

Ketika Instagram Menjadi Candu Bagiku

ketika-instagram-menjadi-candu-bagiku

Oleh Amy Ji, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Day My Instagram Account Was Stolen

Beberapa hari yang lalu, ketika aku baru saja terbangun, beberapa pesan muncul di layar ponselku dan memberitahuku bahwa akun Instagram pribadiku telah diretas.

Sepertinya, setelah aku tertidur kemarin malam, seseorang tak dikenal mencoba meretas akun pribadiku, kemudian dia mengunggah beberapa foto menggunakan namaku. Aku pun menjadi panik tatkala melihat linimasa Instagramku dipenuhi dengan foto-foto aneh dan iklan-iklan dalam bahasa yang tidak kumengerti. Hanya dalam satu malam, aku telah kehilangan identitas yang telah kubangun selama bertahun-tahun lewat akun Instagram.

Aku tidak dapat lagi mengontrol foto-foto apa yang diunggah karena aku telah kehilangan kendali atas akun Instagramku. Si peretas telah mengubah pengaturan Instagramku dari akun yang bersifat pribadi menjadi publik, sehingga setiap orang dapat melihat setiap foto yang telah aku unggah.

Aku mencoba segala cara yang aku tahu. Aku coba untuk melapor ke Instagram bahwa akunku telah diretas. Sementara aku berusaha memulihkan akun itu, teman-temanku mulai memperingatkanku bahwa akunku telah diretas. Mereka mengirimkan aku screenshot dari tampilan akunku, lalu aku pun menjadi semakin khawatir. Di dalam rumah, aku berjalan mondar-mandir sambil bergumam, “Apa yang harus aku lakukan?”

Melihat reaksiku yang kebingungan, suamiku melontarkan sebuah pertanyaan yang membuatku tersentak. “Apa yang membuatmu sangat gelisah? Itu kan hanya akun Instagram,” katanya.

Aku menjawab pertanyaannya dengan nada tinggi, “Itu bukan sekadar akun Instagram!” Bagiku, akun Instagramku adalah sebuah harta karun yang menyimpan banyak kenangan dari berbagai peristiwa istimewa. Di dalam akun ini ada foto-foto pernikahan kami. Aku takut kalau aku tidak akan pernah bisa mendapatkan akun itu kembali, dan saat itu juga aku merasa diselimuti oleh perasaan kehilangan.

Namun, aku menyadari bahwa ucapan suamiku itu ada benarnya. Aku hanya kehilangan sebuah akun Instagram. Mengapa aku bisa sampai merasa begitu frustrasi dan kecewa?

Aku mencoba tenang dan melewatkan seharian itu tanpa mengakses Instagram, kemudian aku menemukan jawaban dari pertanyaanku. Akun Instagramku sangat berarti karena di sanalah aku meletakkan identitasku. Koleksi-koleksi foto yang telah aku unggah itu kuanggap sebagai cerminan diriku, kehidupanku, dan juga keluargaku.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mengunggah foto-foto itu ke Instagramku, tapi aku terlalu banyak meluapkan energiku hanya untuk sekadar mempercantik akun itu. Aku memilah foto-foto mana yang bagus, menyuntingnya, dan melakukan segala cara supaya setiap foto yang kuunggah itu terlihat elok. Secara tidak kusadari, apa yang kuperbuat itu telah membentuk diriku.

Rasa kecewaku karena tidak dapat mengakses Instagram itu menunjukkan bahwa aku telah menghabiskan begitu banyak waktu yang pada akhirnya membuat aku begitu terobsesi akan citra diriku di dunia maya.

Peristiwa diretasnya akun Instagramku ini membukakan pandanganku bahwa begitu mudah aku mengalihkan diri dari perjalanan bersama Tuhan. Dengan mudah aku membuang-buang waktu, emosi, dan tenagaku hanya untuk sesuatu yang fana. Aku lebih khawatir akan identitasku di dunia maya daripada bersyukur atas pengorbanan Yesus di kayu salib.

Keesokan harinya, pengelola Instagram telah memulihkan akunku. Semua foto-foto aneh telah dihapus dan aku dapat mengakses kembali setiap foto yang telah aku unggah. Walaupun aku masih belum tahu bagaimana caranya akunku dapat diretas, peristiwa ini mengajariku untuk mengubah sikapku dalam menyikapi Instagram. Jika dulu aku meletakkan identitasku pada sebuah akun Instagram, sekarang aku hanya akan menganggap akun Instagram ini sebagai sekadar tempat untuk membagikan sukacita dan mengapresiasi rekan-rekanku lewat foto-foto yang diunggah.

Aku bersyukur karena akun Instagramku telah pulih, akan tetapi aku terlebih bersyukur karena hubunganku dengan Tuhan juga dipulihkan.

Baca Juga:

Apakah Media Sosial Membuat Kita Lebih Banyak Berdosa?

Saat membuka Facebook, perhatianku tertuju kepada dua buah video. Hanya dalam beberapa detik aku menyadari bahwa video itu menyajikan realitas zaman ini yang begitu ironi. Ada jutaan konten yang entah itu baik atau buruk tersebar di media sosial. Lantas, apakah media sosial membuat kita lebih banyak berdosa?