Sharing: Kekecewaan Apa yang Pernah Kamu Alami dan Bagaimana Tuhan Menolongmu Menghadapinya?
Kekecewaan apa yang pernah kamu alami dan bagaimana Tuhan menolongmu menghadapinya? Yuk sharingkan dalam kolom komentar berikut ini…
Kekecewaan apa yang pernah kamu alami dan bagaimana Tuhan menolongmu menghadapinya? Yuk sharingkan dalam kolom komentar berikut ini…
Oleh Kezia Lewis, Thailand
Artikel Asli dalam Bahasa Inggris: When Our Church Leaders Fail
Akhir-akhir ini, berita tentang kegagalan moral para pemimpin gereja semakin banyak terdengar. Kita mendengar para pendeta yang melakukan penipuan, menggelapkan uang gereja, atau terlibat di dalam skandal seputar pornografi atau hubungan tidak sehat di luar pernikahan.
Ketika kita mendengar berita-berita seperti itu, seringkali kita “menyalibkan” para pemimpin ini. Kalau kita ada di dalam gereja-gereja tempat mereka melayani, kita mungkin menyangkal mereka, atau mengkritik mereka di depan seluruh dunia. Kita terluka, dan reaksi alami kita adalah membalas luka tersebut. Seperti seorang teman pernah berkata, “Orang yang terluka akan melukai orang lain.” Karena para pemimpin ini telah jatuh dan mengecewakan kita, kita merasa benar untuk menghukum mereka atas rasa sakit yang telah mereka perbuat kepada kita.
Namun mungkin, ada cara-cara yang lebih baik untuk meresponi kekecewaan kita.
Tunjukkan Kasih kepada Mereka
“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34-35)
Ketika para pemimpin gereja jatuh, kita seharusnya menunjukkan kasih kepada mereka. Kita tidak membenarkan dosa-dosa mereka; kita juga tidak melindungi mereka dari konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka. Tapi kita tidak perlu menginjak-injak mereka, atau membuat mereka terlihat lebih buruk.
Bagaimana kita dapat mengaplikasikan hal ini? Dengan tidak menggosipi mereka. Kita dapat mulai dari rumah, dengan menunjukkan kasih persaudaraan kepada keluarga kita. Ketika hal-hal yang buruk seperti ini terjadi, kita cenderung untuk bergunjing dan ingin tahu lebih jauh tentang “kekurangan” para pemimpin gereja ini. Atau, mungkin kita berkumpul di dalam sebuah kelompok di dalam gereja atau komsel dan mengatakan bahwa kita ingin mendoakan mereka, namun akhirnya malah mengatakan hal-hal yang buruk tentang mereka.
Ketika kita melakukan hal buruk tersebut di depan anak-anak, sebenarnya kita seperti memberitahu mereka bahwa kita boleh-boleh saja menjelek-jelekkan saudara-saudara seiman kita. Kita menggambarkan mereka seperti penjahat yang selalu merencanakan malapetaka bagi gereja kita, seolah-olah mereka adalah monster. Kita melupakan hal-hal baik yang telah mereka lakukan dan hanya mengingat kesalahan-kesalahan mereka. Kita mengubur mereka hidup-hidup di dalam dosa-dosa mereka—dan lupa siapa diri mereka di dalam Tuhan.
Berdoa untuk Mereka
Para pemimpin gereja lebih mudah diserang secara spiritual karena mereka ada di garis depan. Sang musuh akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan mereka, karena dia tahu bahwa ketika dia dapat menghancurkan seorang pemimpin di dalam gereja Tuhan, dia dapat melemahkan orang-orang yang dipimpin sang pemimpin tersebut. Ketika seorang pemimpin gereja jatuh, kita bahkan dapat kehilangan saudara-saudari kita di dalam Kristus, yang meninggalkan Tuhan dan gereja-Nya secara total.
Jadi kita harus mendoakan para pemimpin gereja kita—selalu. Dan ketika mereka jatuh, kita seharusnya mendoakan mereka lebih lagi. Jangan biarkan sang musuh menang dan jangan masuk ke dalam taktiknya; jangan kita serahkan para pemimpin kita kepada sang musuh ketika mereka tersandung. Sebaliknya, kita dapat mengangkat mereka kembali kepada Yesus.
Para pendeta dan pemimpin gereja adalah sesama manusia sama seperti kita: mereka juga memiliki pergumulan-pergumulan di dalam hidup mereka, dan mereka juga menghadapi berbagai pencobaan sama seperti kita. Sama seperti keputusan-keputusan kita tidak menunjukkan siapa diri kita sesungguhnya, keputusan-keputusan yang buruk tidaklah menjadi identitas para pemimpin gereja kita—indetitas sejati kita ada di dalam Yesus. Benar, kita dapat membuat kesalahan dan dapat membuat keputusan-keputusan yang buruk, tapi kesalahan-kesalahan bisa jadi sebuah awal dari hubungan yang lebih erat dengan Yesus. Marilah berdoa agar kiranya hal itu yang terjadi bagi para pemimpin kita juga.
Ada di Samping Mereka
Ketika para pemimpin gereja kita jatuh, kita perlu hadir bagi mereka sebagai saudara-saudari yang juga pernah terjatuh. Ini adalah sebuah cara menunjukkan kasih bagi mereka. Kita dapat mendatangi mereka, berdoa bersama mereka, dan menolong mereka untuk pulih dari segala kekacauan sehingga mereka dapat bangkit kembali. Jangan menyingkirkan mereka dari hidup kita atau gereja kita, karena di saat-saat seperti ini, mereka membutuhkan Yesus lebih daripada segalanya.
Seorang teman pernah berkata kepadaku: “Suamimu bukanlah Tuhan. Dia akan membuat kekacauan dan dia akan menyakitimu, sama seperti kamu juga akan membuat kekacauan dan menyakitinya juga. Bagaimanapun juga, dia adalah manusia.” Nasihat ini telah memberikanku kekuatan untuk lebih berbelas kasih kepada suamiku, sama seperti dia yang juga telah berbelas kasih kepadaku. Hubungan kami bersama dengan Yesus membuat kami dan hubungan kami menjadi kuat; Yesus adalah satu-satunya Pribadi yang sempurna dan tidak bercela.
Aku percaya kita juga dapat mengaplikasikan hal ini bagi para pemimpin gereja kita. Mudah bagi kita untuk melihat mereka sebagai orang-orang yang tidak dapat jatuh dan orang-orang yang sempurna—kita tidak menyangka mereka dapat membuat kesalahan, dan kita lupa bahwa mereka bukan Tuhan. Kita lupa bahwa mereka adalah orang-orang yang cacat dan mereka akan membuat kesalahan, bagaimanapun juga mereka adalah manusia.
Maka ketika mereka membuat kesalahan, janganlah terkejut dan menahan-nahan kasih kita. Daripada lari dari mereka seakan mereka terlalu kotor, hampirilah mereka dan angkatlah mereka kepada Yesus. Lihatlah diri kita sendiri dan ingatlah bahwa kita juga tidak lebih bersih, namun Yesus mau berkorban bagi kita.
Yesus mengasihi para pemimpin gereja kita bahkan ketika mereka jatuh; Dia akan mengampuni mereka dan ada untuk mereka di masa-masa tergelap dalam hidup mereka. Kita juga dapat melakukan hal yang sama.
Karena Perubahan Ini, Doa-Doaku Begitu Cepat Dijawab Tuhan
“Dalam berdoa tidak jarang kita menyatakan undangan kepada Tuhan untuk datang dan berkarya dalam hidup kita. … Belakangan sebuah kesadaran menyentakku. Di balik kalimat yang tampaknya penuh kerendahan hati dan penyerahan diri itu, aku sedang menempatkan Tuhan pada posisi pembantu, bukan pemilik hidupku.”
Bagaimana Claudya mengubah doa-doanya? Temukan kesaksiannya di dalam artikel ini.
Oleh Amy J.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why I Hated The Youth Ministry
Setelah 6 tahun ada di Sekolah Minggu, aku merasa sudah tidak cocok lagi di sana. Menyanyi dengan bergaya yang aneh-aneh. Panggung boneka cerita Alkitab. Bahkan hadiah permen untuk menghafalkan ayat Alkitab mingguan sudah tidak menarik lagi buatku yang telah beranjak remaja.
Di sisi lain, komisi pemuda terlihat menarik. Beberapa kali, mereka datang untuk memimpin puji-pujian di kelas kami. Lagu-lagu yang mereka nyanyikan sangat hidup dan bersemangat; mereka berpakaian rapi dan bernyanyi dengan penuh semangat. Singkat kata, aku menganggap mereka sangat keren.
Namun ketika akhirnya aku cukup dewasa untuk bergabung dengan mereka, aku hanya butuh waktu 3 minggu untuk sampai pada sebuah kesimpulan: Aku membenci komisi pemuda.
Di minggu pertama, gadis-gadis yang duduk di belakangku saling “membisikkan” komentar-komentar yang merendahkan tentang gaya berpakaian dan gaya rambutku yang tomboi. Di minggu kedua, teman baikku punya pacar dan mengabaikanku. Di minggu ketiga, aku tidak sengaja mendengar beberapa pembina pemuda berdiskusi tentang bagaimana “menghadapi” diriku yang “hiperaktif”. Menurut mereka, aku “tidak cocok” di komisi pemuda. Aku terlalu berisik dan mengganggu untuk mereka.
Jadi aku pergi meninggalkan mereka semua.
Beberapa bulan kemudian, aku kehabisan alasan untuk tidak datang ke kebaktian pemuda. Daripada mendengar ocehan ibuku, aku mulai mengunjungi kebaktian di gereja-gereja lain yang waktunya mirip-mirip dengan gerejaku. Setidaknya aku tidak berbohong ketika aku mengatakan kepadanya bahwa aku pergi ke gereja. Dan aku berharap bahwa pada akhirnya aku menemukan satu gereja yang cocok denganku—di mana aku akan dikasihi dan diterima sebagaimana adanya diriku.
Hal ini berlangsung selama sekitar satu setengah tahun. Mengunjungi gereja baru, menemukan teman-teman baru, menemukan masalah-masalah—siklus ini seakan terus berulang. Siklus ini tidak hanya membuat aku lelah, tapi juga mempengaruhi imanku kepada Tuhan. Apa yang tadinya terasa baru dan menarik kemudian menjadi melelahkan—sampai kepada sebuah titik di mana aku mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan imanku sepenuhnya.
Di saat inilah, ketika aku merasa ada di persimpangan, seorang pembina pemuda dari gereja asalku mengundangku untuk mengikuti sebuah kamp kepemimpinan Kristen. Dia telah mendengar dari seorang temanku tentang pergumulanku dalam perjalanan imanku dan penolakanku untuk kembali ke komunitas pemuda, maka dia tidak memaksaku. Yang dia lakukan adalah meyakinkanku bahwa kamp ini adalah kamp “eksternal” dan “interdenominasi”; hanya dua atau tiga orang lainnya dari gereja asalku yang mengikutinya. Awalnya aku menolak undangannya, namun kemudian aku memutuskan untuk mendaftarkan diriku setelah aku tahu bahwa beberapa teman-teman sekolahku juga mengikuti kamp itu.
Sejujurnya, aku tidak ingat lagi khotbah-khotbah yang disampaikan atau permainan-permainan yang dimainkan, namun ada satu sesi yang memberikan kesan yang begitu mendalam bagiku.
Pada malam kedua, ketika kami memasuki ruangan ibadah, kami terkejut ketika melihat panggung yang kosong dan banyak alat musik telah lenyap. Setelah menyanyi tiga lagu dengan hanya diiringi sebuah gitar, kami diminta untuk tetap diam, dan membayangkan bahwa kami ada sendirian di dalam ruangan itu bersama dengan Tuhan, dan membaca apapun ayat Alkitab yang ada di pikiran.
Ini membuat banyak dari kami menjadi bingung. Pertama, menyanyikan lagu-lagu dengan hanya diiringi sebuah gitar adalah sebuah hal yang tidak biasa kami lakukan. Selain itu, karena kami ada di sebuah tempat yang jauh dari kebisingan perkotaan, suasana menjadi sangat hening sampai-sampai kami dapat mendengar suara jarum yang jatuh. Keheningan ini membuatku tidak nyaman, dan setiap menit yang berlalu menjadi seakan satu jam.
Setelah sekitar setengah jam mencoba untuk tidak tertidur, angka “27” dan “4” tiba-tiba muncul di pikiranku. Aku tidak tahu kitab apa yang harus kubuka, jadi aku buka saja kitab Mazmur—tepat di tengah-tengah Alkitab.
Ini adalah ayat yang aku baca:
Satu hal telah kuminta kepada TUHAN,
itulah yang kuingini:
diam di rumah TUHAN seumur hidupku,
menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya.
(Mazmur 27:4)
Ketika aku membaca kata-kata itu, aku langsung merasa tertegur. Apa sebenarnya yang menjadi alasanku pergi ke gereja? Siapa yang aku ingin lihat? Siapa yang aku sembah? Apa yang sebenarnya aku cari?
Tanpa kusadari, air mata mulai menggenangi mataku. Aku langsung berdiri dan menghampiri pintu. Di luar, aku duduk dan menangis dengan lepas.
Malam itu, melalui kata-kata di dalam Mazmur 27:4, Tuhan membukakan kepadaku bahwa apa yang menjadi alasanku dahulu untuk menghadiri kebaktian pemuda adalah salah. Tidak peduli berapa banyak kebaktian pemuda yang berbeda yang aku kunjungi dan tidak peduli berapa banyak gereja yang aku coba, aku tidak akan pernah menemukan komunitas pemuda yang “sempurna”.
Pada malam yang sama, aku mengakui keegoisanku dan kesombonganku kepada pembina grupku di kamp tersebut. Aku juga meminta pengampunan Tuhan—untuk kepahitan yang aku miliki terhadap mereka yang mengkritik atau mengabaikanku. Seketika itu juga, aku merasa tenang dan damai bersama dengan Tuhan; itu adalah rasa damai yang sudah lama sekali aku tidak rasakan.
Momen tersebut mengajarkanku bahwa gereja ada bukan untuk melayani apa yang menjadi keinginanku. Jemaat mula-mula berkumpul untuk berdoa, memuji Tuhan, dan belajar firman Tuhan. Kita juga dipanggil untuk melakukan hal yang sama, sehingga kita bisa mengenal Tuhan dengan lebih baik, menyembah Dia, dan memberitakan tentang Dia.
Seminggu kemudian, aku kembali ke gereja asalku dan mulai melayani sebagai seorang pemimpin kelompok kecil di komisi pemuda. Aku sudah melayani di sana selama 15 tahun hingga sekarang … dan masih terus kulakukan.
Pergumulanku sebagai Seorang Kristen-Generasi-Kedua
Kesaksian dari seorang “Kristen-generasi-kedua” yang merasa semua hal yang berbau kekristenan sudah terlalu biasa dan membuatnya mati rasa. Namun sebuah lagu mengubahkan pandangannya dan membuatnya menyadari hak istimewa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya. Temukan kesaksian lengkapnya di dalam artikel ini.
Senin, 15 Juni 2015
121:1 Nyanyian ziarah. Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?
121:2 Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.
121:3 Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap.
121:4 Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.
121:5 Tuhanlah Penjagamu, Tuhanlah naunganmu di sebelah tangan kananmu.
121:6 Matahari tidak menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam.
121:7 TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu.
121:8 TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya.
Dikutip dari Alkitab Terjemahan Baru Indonesia (c) LAI 1974
Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi. —Mazmur 121:2
Di sebuah taman dekat rumah kami, ada jalan setapak yang suka saya lalui. Di sepanjang salah satu bagiannya, bisa terlihat pemandangan yang sangat indah berupa batuan pasir merah di Garden of the Gods (Taman Para Dewa) dengan latar belakang Puncak Pikes yang megah setinggi 4,300 m. Namun, sesekali saya berjalan melintasi bagian taman itu dengan pikiran yang penuh dengan masalah sembari tertunduk memandangi jalan setapak yang lebar itu. Jika tak ada orang lain di situ, adakalanya saya berhenti dan berseru kepada diri sendiri, “David, lihat ke atas!”
Sekumpulan mazmur yang dikenal sebagai “Nyanyian Ziarah” (Mzm. 120–134) biasa dinyanyikan oleh umat Israel ketika mereka menempuh perjalanan naik ke Yerusalem untuk menghadiri tiga hari raya tahunan di sana. Mazmur 121 dimulai dengan, “Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?” (ay.1). Jawabannya, “Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi” (ay.2). Pencipta kita bukanlah Allah yang jauh dan tidak acuh, melainkan Sahabat yang selalu menyertai kita, selalu mengetahui segala keadaan kita (ay.3-7), membimbing dan menjaga sepanjang perjalanan hidup kita “dari sekarang sampai selama-lamanya” (ay.8).
Di sepanjang jalan hidup kita, alangkah perlunya kita tetap memusatkan pandangan kita kepada Allah, sumber pertolongan kita. Ketika kita merasa kewalahan dan putus asa, sudah sepantasnya kita berseru kepada diri sendiri, “Lihat ke atas!” —David McCasland
Aku memandang-Mu, ya Bapa, karena Engkaulah satu-satunya yang sanggup menolongku. Terima kasih untuk sukacita dan ujian dalam hidupku saat ini. Aku bersyukur aku tak pernah berjalan sendiri.
Arahkanlah pandanganmu kepada Allah, sumber pertolonganmu.
Bacaan Alkitab Setahun: Nehemia 1–3; Kisah Para Rasul 2:1-21
Senin, 2 Maret 2015
4:1 Ketika Sanbalat mendengar, bahwa kami sedang membangun kembali tembok, bangkitlah amarahnya dan ia sangat sakit hati. Ia mengolok-olokkan orang Yahudi
4:2 dan berkata di hadapan saudara-saudaranya dan tentara Samaria: "Apa gerangan yang dilakukan orang-orang Yahudi yang lemah ini? Apakah mereka memperkokoh sesuatu? Apakah mereka hendak membawa persembahan? Apakah mereka akan selesai dalam sehari? Apakah mereka akan menghidupkan kembali batu-batu dari timbunan puing yang sudah terbakar habis seperti ini?"
4:3 Lalu berkatalah Tobia, orang Amon itu, yang ada di dekatnya: "Sekalipun mereka membangun kembali, kalau seekor anjing hutan meloncat dan menyentuhnya, robohlah tembok batu mereka."
4:4 Ya, Allah kami, dengarlah bagaimana kami dihina. Balikkanlah cercaan mereka menimpa kepala mereka sendiri dan serahkanlah mereka menjadi jarahan di tanah tempat tawanan.
4:5 Jangan Kaututupi kesalahan mereka, dan dosa mereka jangan Kauhapus dari hadapan-Mu, karena mereka menyakiti hati-Mu dengan sikap mereka terhadap orang-orang yang sedang membangun.
4:6 Tetapi kami terus membangun tembok sampai setengah tinggi dan sampai ujung-ujungnya bertemu, karena seluruh bangsa bekerja dengan segenap hati.
4:7 Ketika Sanbalat dan Tobia serta orang Arab dan orang Amon dan orang Asdod mendengar, bahwa pekerjaan perbaikan tembok Yerusalem maju dan bahwa lobang-lobang tembok mulai tertutup, maka sangat marahlah mereka.
4:8 Mereka semua mengadakan persepakatan bersama untuk memerangi Yerusalem dan mengadakan kekacauan di sana.
4:9 Tetapi kami berdoa kepada Allah kami, dan mengadakan penjagaan terhadap mereka siang dan malam karena sikap mereka.
4:10 Berkatalah orang Yehuda: "Kekuatan para pengangkat sudah merosot dan puing masih sangat banyak. Tak sanggup kami membangun kembali tembok ini."
Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: . . . mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah. —Yesaya 40:31
Petinju legendaris Muhammad Ali memakai sejumlah taktik di atas ring untuk mengalahkan lawan; salah satunya dengan ejekan. Dalam pertarungan melawan George Foreman di tahun 1974, Ali mencecar Foreman, “Ayo, pukul lebih keras! Tunjukkan padaku, George. Tinjumu tak berasa. Kupikir kau lebih kejam dari itu.” Foreman pun bertinju dengan marah, sehingga tenaganya terbuang dan kepercayaan dirinya melemah.
Itu adalah taktik lama. Dengan mengejek upaya Nehemia dalam membangun kembali tembok Yerusalem yang runtuh itu sebagai membangun taman bermain bagi anjing hutan (Neh. 4:3), Tobia mencoba melemahkan para pekerja dengan kata-kata beracun yang mematahkan semangat. Goliat berusaha melemahkan Daud dengan menghina senjata sederhananya, yaitu umban dan batu (1Sam. 17:41-44).
Sebuah perkataan yang mematahkan semangat bisa menjadi sebuah senjata yang mematikan. Nehemia tidak mau tunduk pada ejekan Tobia, sama seperti Daud menolak ejekan keji dari Goliat. Dengan memusatkan perhatian kepada Allah dan pertolongan-Nya, dan bukan pada keadaan yang mematahkan semangat, baik Daud maupun Nehemia berhasil mencapai kemenangan.
Ejekan dapat datang dari siapa saja, termasuk dari orang yang dekat dengan kita. Menanggapi mereka dengan negatif hanya akan menguras energi kita. Namun, Allah menguatkan kita melalui janji-Nya: Dia tidak akan meninggalkan kita (Mzm. 9:11; Ibr. 13:5) dan Dia mengundang kita untuk bergantung pada pertolongan-Nya (Ibr. 4:16). —Lawrence Darmani
Tuhan, betapa mudahnya aku membiarkan kata-kata yang mematahkan semangat menguras energi dan sukacitaku. Tolong aku untuk menolak apa pun yang mematahkan semangat dalam hidupku dan mempercayakan penghiburan dan kekuatan kepada-Mu.
Jika kamu berada dalam sebuah terowongan gelap yang memudarkan semangat, teruslah berjalan menuju ke arah Terang.
Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 26-27; Markus 8:1-21
Photo credit: Insight Imaging: John A Ryan Photography / Foter / CC BY-NC-SA
Oleh: Helen Maria Veronica
Pernahkah kamu kecewa sama Tuhan? Aku pernah.
Aku kecewa karena aku merasa diciptakan Tuhan sebagai seorang yang bodoh. Nilai-nilaiku di sekolah sejak kelas 1 SD selalu banyak merahnya. Sempat mencoba les, tetapi sia-sia, nilaiku tetap saja jelek. Sampai-sampai, guruku sendiri pun menyebutku sebagai anak yang bodoh. Sakit rasanya dicap sebagai orang bodoh. Aku jadi mudah patah semangat, lebih sering mengeluh karena merasa diriku tidak bisa apa-apa. Mungkin karena putus asa membayariku les tanpa hasil, orangtuaku memutuskan agar aku berhenti saja. Jadi, aku mulai belajar sendiri di rumah dengan dibantu mama.
Melihat teman-teman yang punya ranking di kelas, aku sering merasa iri. Mengapa Tuhan ciptakan mereka pintar dan aku bodoh? Diam-diam aku suka mengamati teman-temanku yang pintar. Betapa aku ingin menjadi seperti mereka. Aku perhatikan kebiasaan mereka, gerak-gerik mereka, untuk aku tirukan. Ketika aku mendengar teman yang pintar suka makan banyak protein seperti ikan dan telur, aku pun ikut suka makan ikan dan telur supaya pintar seperti mereka. Ketika aku melihat teman yang pintar mengelap keringat di keningnya dengan gaya tertentu (dan ia bilang bahwa cara itu bisa membuat pikiran lebih encer), aku pun sering menirukannya. Ada sisi positifnya, karena aku yang tadinya malas jadi mulai rajin belajar, yang tadinya pilih-pilih makanan jadi suka makan banyak makanan berprotein. Nilaiku mulai membaik meski masih naik turun tak jelas. Namun, sekalipun lebih sering belajar, tetap saja aku masih merasa bodoh. Sepertinya sia-sia berusaha, karena aku merasa memang aku ini diciptakan sebagai orang bodoh. Mau apa lagi?
Lalu, suatu saat aku mendengar kesaksian yang mengatakan bahwa membaca Alkitab tiap hari dapat membuat orang menjadi pintar dan berhikmat. Wow, tentu saja aku mau mencobanya. Aku pun mendisiplin diri untuk membaca Alkitab. Meski hanya berawal dari rasa penasaran, Tuhan memakai waktu-waktu pembacaan Alkitab itu untuk menyapaku secara pribadi. Dia berfirman dalam Matius 11:28: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Tuhan sungguh tahu bahwa menjalani hidup di dunia ini tidaklah mudah, termasuk untuk seorang anak muda seperti aku. Apalagi dengan tekanan dari orang-orang di sekelilingku yang menganggap aku bodoh. Tuhan memberiku undangan untuk datang kepada-Nya. Aku tidak perlu menanggung semua beban hidup ini sendirian.
Tuhan juga meluruskan pikiranku tentang apa yang sebenarnya disebut sebagai orang bodoh. Amsal 1:7 berkata “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang yang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Tidak ada yang diciptakan Tuhan sebagai orang bodoh. Semua orang diberi-Nya kemampuan untuk belajar. Orang bodoh adalah orang yang “menghina hikmat dan didikan” alias tidak mau belajar atau tidak merasa butuh diajar. Sebaliknya, orang yang takut akan Tuhan menyadari keterbatasannya dan bersedia dituntun Tuhan untuk belajar hal-hal baru. Ayat Alkitab ini sangat menguatkanku dan terus aku ingat dalam menghadapi tiap masalah dalam pelajaran.
Aku mulai menyadari bahwa selama ini pikiranku terlalu penuh dengan keluhan dan sakit hati pada Tuhan dan orang-orang di sekitarku. Aku jadi tidak bisa melihat kebaikan Tuhan dan kesempatan-kesempatan belajar yang Dia sediakan. Ketika aku membaca Alkitab secara teratur, Tuhan menolongku untuk melihat masalah-masalahku dari sudut pandang-Nya. Dengan pikiran yang diperbarui itu, aku pun bisa belajar tanpa beban, yakin bahwa Tuhan punya rencana bagi hidupku yang indah pada waktu-Nya. Aku jadi semangat belajar, tahu bahwa Tuhan sesungguhnya tidak pernah menciptakanku sebagai orang bodoh. Percaya atau tidak, sejak saat itu aku mulai sering dapat ranking, bahkan pernah meraih juara umum di sekolahku.
Salah satu kata motivasi yang pernah kudengar adalah: “terimalah apa yang tidak bisa kamu ubah, dan ubahlah apa yang tidak bisa kamu terima“. Adakalanya kita kecewa karena hal-hal yang memang tidak bisa kita ubah. Misalnya saja, bagaimana orang lain memahami dan memperlakukan kita. Menghadapi hal-hal semacam itu, kita dapat bersandar pada janji Tuhan bahwa Dia dapat bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan, membentuk kita makin serupa Kristus. Namun, adakalanya juga, kekecewaan kita muncul dari hal-hal yang sebenarnya bisa dan perlu kita ubah. Misalnya saja: pola pikir kita yang keliru, kebiasaan-kebiasaan buruk kita, pengetahuan atau keterampilan kita yang kurang. Betapa kita perlu terus-menerus ditolong Firman Tuhan, agar kita tidak cepat menjadi kecewa dan menyalahkan Tuhan. Betapa kita perlu terus-menerus diajar Firman Tuhan, agar kita dapat memiliki sudut pandang yang tepat dalam menghadapi masalah-masalah kita.
Firman Tuhan telah menolongku dari pemikiran yang keliru tentang Tuhan dan tentang diriku sendiri. Dan itu mengubah hidupku. Bagaimana Firman Tuhan telah menolongmu dan mengubah hidupmu?
Oleh: Stephen Iskandar
Kecewa kepada Tuhan. Kita tahu pernyataan ini secara logika tidak valid, sebab Tuhan adalah pribadi yang tidak pernah gagal dan sempurna. Namun tidak dipungkiri, cetusan ini kerap muncul dalam hati kita, terutama ketika apa yang kita alami tidak seperti yang kita harapkan.
Kita kecewa ketika sepertinya Tuhan membiarkan mimpi kita sirna. Dia diam saja ketika kita mengambil keputusan-keputusan yang keliru. Tidak ada malaikat yang diutus memberitahu kita ketika kita salah berharap. Kita kecewa ketika keinginan-keinginan kita tidak terpenuhi, doa-doa kita tak kunjung dijawab, orang-orang yang mempersulit hidup kita malah hidup berlimpah materi; dan tak habis mengerti mengapa Tuhan yang Mahakuasa sepertinya tidak berbuat apa-apa melihat kita mengalami semua itu.
Kita tidak sendirian. Alkitab mencatat sejumlah orang yang pernah “kecewa” kepada Tuhan. Yunus kecewa karena Tuhan mengampuni orang-orang jahat yang bertobat (Yunus 4:1-2). Habakuk kecewa karena Tuhan tidak menjawab dan tidak menolong meski ia sudah berdoa sekian lama (Habakuk 1:2-3). Naomi kecewa karena Tuhan mengizinkan hal-hal buruk menimpa hidupnya (Rut 1:20-21). Seorang muda yang kaya kecewa karena setelah berusaha keras menaati segala perintah Tuhan, ia justru diminta meninggalkan semua hartanya (Markus 10:20-22).
Peristiwa yang “menyakitkan” akan selalu dan terus ada. Dunia memang sakit! Mungkinkah kita bebas dari rasa kecewa? Dapatkah kita menanggapi peristiwa-peristiwa yang Tuhan izinkan kita alami dengan penuh ucapan syukur?
Saya teringat sebuah lagu dari film animasi tentang Yusuf (Joseph King of Dreams). Liriknya berkata:
You know better than I, You know the way.
I’ve let go the need to know why, for You know better than I
[Kau tahu yang lebih baik, Kau tahu jalannya.
Aku tak harus tahu mengapa, karena Kau tahu yang lebih baik]
Lirik lagu ini saya pikir menyimpulkan dengan baik apa yang mungkin dirasakan oleh Yusuf. Dijual oleh kakak sendiri di usia 17 tahun, hidup sebagai budak di negeri orang, difitnah dan dijebloskan dalam penjara, jelas bukan hal-hal yang mudah untuk dilalui. Mimpi-mimpi masa mudanya yang begitu indah, hancur berantakan. Menariknya, Alkitab tidak mencatat ungkapan kekecewaan Yusuf. Mungkin sekali ia bertanya-tanya apa rencana Tuhan melalui tahun-tahun yang penuh ketidakpastian. Namun, daripada kecewa dan menjauh dari Tuhan, Yusuf rupanya memilih untuk mendekat, terus taat dan bergantung kepada Tuhan (Kejadian 39:9; 40:8). Ia percaya akan pengaturan Tuhan, meski setelah tigabelas tahun berlalu, barulah Yusuf mengerti bahwa semua yang ia alami diizinkan Tuhan untuk memelihara keluarga dan bangsanya (Kejadian 45:5-8).
Bicara tentang “kecewa” mau tidak mau membawa kita bicara tentang “apa yang kita percayai” di dasar hati. Tentang Tuhan. Tentang diri kita. Tentang kehidupan. Di balik kemarahan dan kekecewaan Yunus, ada ketidakpercayaan terhadap bijaksana tidaknya keputusan Tuhan. Sebab itu kepada Yunus, Tuhan balik bertanya, “Layakkah engkau marah?” (Yunus 4:4). Di balik pertanyaan Yohanes Pembaptis tentang siapa Yesus, ada keraguan terhadap kuasa Sang Mesias. Kepadanya, Tuhan mengingatkan: “Berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku.”
Sebagai manusia, kita hanya bisa melihat apa yang ada di depan mata, dan seringkali apa yang kita lihat membuat kita kecewa. Namun, apa yang kita percayai tentang pribadi dan karya Tuhan akan memampukan kita melihat melampaui apa yang ada di depan mata. Memampukan kita bersyukur dalam hari-hari yang paling sulit. Memampukan kita menghadapi hal-hal di luar ekspektasi kita dengan pikiran yang jernih. Kita tidak menjadi kecewa kepada Tuhan dan lari menjauh dari-Nya, tetapi justru makin mendekat dan bergantung kepada-Nya.
He knows better than us.
Oleh: Ovit Samuel Purba
Mungkin kamu ingat ada lirik lagu yang pernah cukup populer:
“Buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya…”
Memang andai hidup ini tak pernah mengenal susah, alangkah nyamannya. Namun, bukankah dalam kenyataan, tidak ada manusia yang bebas dari permasalahan? Dan, masalah selalu menimbulkan perasaan tidak enak, perasaan tidak terima.
Tiap kali aku menghadapi masalah, aku diingatkan dengan berbagai kejadian yang dicatat dalam Alkitab. Bukan hanya aku dan orang-orang pada zaman sekarang saja yang punya banyak masalah. Kehidupan para tokoh dalam Alkitab pada ribuan tahun lalu pun sudah sarat dengan masalah. Ada yang persembahannya tidak diterima Tuhan. Ada yang kehilangan hikmat dari Tuhan. Ada yang ditegur Tuhan dengan keras karena bersungut-sungut. Ada yang mendengarkan Firman Tuhan hingga tertidur, lalu jatuh dan mati. Macam-macam. Mulai dari masalah yang ringan hingga yang berat. Menjadi umat pilihan Tuhan atau murid-murid Tuhan Yesus tidak lantas membuat hidup mereka berjalan mulus.
Namun, dari sekian masalah yang pernah menghampiri hidupku, aku berani bilang bahwa susah itu banyak gunanya. Mengapa? Karena melalui masalah demi masalah itu, aku dibentuk makin serupa Kristus. Imanku diteguhkan melihat jalan keluar yang selalu Tuhan sediakan pada waktu-Nya. Pikiran ini tidak serta-merta muncul begitu saja. Awalnya aku banyak tidak terima dengan hal-hal tidak enak yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidupku. Tapi Tuhan terus memprosesku hingga perlahan aku mulai bisa melihat kebaikan Tuhan di balik masalah-masalahku.
Tidak selalu aku memahami apa yang Tuhan mau. Sering aku berpikir solusiku adalah yang paling masuk akal. Tapi aku bersyukur boleh mengalami proses Tuhan ini. Menurutku, proses pembentukan Tuhan ini sangat penting dan mengubahkan hidup. Aku bahkan mulai merasa ini adalah proses yang menyenangkan, karena aku tahu aku sedang dibentuk menjadi pribadi yang lebih baik. Agar tidak lupa dengan pelajaran-pelajaran yang Tuhan berikan, aku pun mulai mendisiplin diri untuk menuliskannya. Catatan-catatan ini menolongku untuk tetap berpikir jernih dan berharap kepada Tuhan ketika aku menghadapi masalah yang lain.
Bersama Tuhan, susah itu banyak gunanya. So, friends, ketika masalah melanda, jangan menjauh dari-Nya. Kekecewaan muncul saat kita menjauh dari Tuhan. Mendekatlah. Ketidakmengertian kita adalah kesempatan untuk makin mengenal Tuhan dan bertumbuh dalam iman kita kepada-Nya. Bukankah iman adalah dasar bagi kita untuk memiliki pengharapan? Jika kita sudah memahami segala sesuatu, mungkin kita tak akan lagi berharap kepada Tuhan.
Jumat, 20 September 2013
Baca: Kisah Para Rasul 8:4-8,26-35
Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau. —Ibrani 13:5
Seorang ilmuwan yang sangat cakap dalam bidangnya memutuskan untuk bekerja di sebuah restoran cepat saji ketika ia harus mundur dari pekerjaannya karena adanya suatu perkembangan teknologi yang membuat tenaganya tidak lagi dibutuhkan. Suatu malam, seusai kegiatan pendalaman Alkitab yang kami ikuti, ia menceritakan bahwa keadaan tersebut memang menyulitkan, tetapi sekaligus menyadarkan dirinya. Ia berkata, “Ada satu hal baik yang dapat kulihat, yaitu anak-anak muda di tempat aku bekerja sekarang kelihatannya sangat tertarik dengan imanku.” Seorang anggota kelompok kami menanggapi, “Aku mengagumimu karena kerendahan hatimu. Aku yakin imanmu yang telah membuatmu dapat bersikap demikian.”
Seperti halnya kenalan saya ini, Filipus mungkin bertanya-tanya mengapa Allah menariknya dari tugas pelayanan di Samaria (Kis 8:4-8) untuk kemudian membawanya ke tengah-tengah padang gurun (ay.26). Namun Filipus kemudian bertemu dengan seseorang asal Etiopia yang membutuhkan bantuannya untuk memahami Kitab Suci (ay.27-35). Kini ia pun dapat mengerti mengapa ia ditempatkan di sana.
Ketika Yesus berjanji bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita (Mat. 28:20; Ibr. 13:5), Dia bermaksud mengatakan bahwa Dia akan senantiasa menyertai kita di masa senang maupun sulit. Tugas kita di masa-masa sulit dalam hidup ini adalah bekerja atau melayani dengan mengingat bahwa kita melakukannya untuk Allah, lalu menyaksikan bagaimana Allah bekerja menggenapi segala maksud-Nya.
Carilah Allah di tengah kesulitan Anda dan temukanlah apa yang sedang dikerjakan-Nya di dalam dan melalui Anda di sana. —RKK
Kekecewaan itu bagian dari rencana-Nya,
Tak ada hal baik yang tak diberikan-Nya;
Dari penolakan yang dialami kita menerima
Harta kasih-Nya yang tak terkira limpahnya. —Young
Apa yang lebih baik daripada jawaban Allah? Percaya kepada Allah yang baik dan maksud-Nya yang terbaik.