Posts

Berhadapan dengan Ekspektasi Orang Tua

Oleh Olivia E.H, Jakarta

Ketika kecil, aku suka menghibur diri dengan berbagai kisah mitologi Yunani di perpustakaan sekolah. Salah satu yang paling berkesan buatku adalah dongeng tentang Persephone dan Hades. Begini ceritanya: 

Persephone dikenal sebagai dewi musim semi, dia adalah putri dari Demeter, dewi pertanian. Dalam narasi mitologi paling mainstream dan klasik, dewa Hades selaku penguasa dunia bawah jatuh cinta pada kecantikan Persephone. Tanpa seizin Demeter, Hades menculik Persephone dan membawanya tinggal bersama di dunia bawah. 

Demeter sangat sedih dan marah karena kehilangan putrinya. Dia mencari Persephone ke seluruh dunia, tetapi tidak berhasil menemukannya. Karena kesedihannya, tanah-tanah menjadi tandus dan tak ada tumbuhan yang hidup. 

Melihat kesengsaraan yang timbul di bumi akibat kesedihan Demeter, akhirnya Hades mengizinkan Persephone kembali ke bumi selama setengah tahun yang melambangkan musim semi dan panen. 

Dongeng tentang Persephone di masa sekarang pun dimaknai ulang oleh beberapa seniman visual. Persephone tidak semata digambarkan sebagai damsel in distress alias korban pasif yang tiba-tiba saja diculik, tetapi dia dilihat sebagai sosok wanita yang berdaya dan bisa mengambil keputusannya sendiri. 

Dalam tafsiran para kreator modern, Demeter dianggap menaruh berbagai harapan dan idealismenya pada Persephone hingga sang putri pun muak dan memilih hidup di dunia bawah bersama Hades. Tapi, kok bisa ya? Bagaimana mungkin sosok dewi yang merepresentasikan musim semi bisa bahagia di antara orang mati?

Demeter yang berekspektasi tinggi berharap Persephone akan jadi “duplikat” dirinya. Ketika akhirnya Persephone hilang, Demeter sedih dan marah hingga nyaris membunuh satu bumi dengan tidak mau menumbuhkan apa pun.

***

Seru rasanya ya membahas cerita dongeng kuno. Tapi, di tulisan ini aku mau mengajakmu untuk melihat, memahami, dan bagaimana kita bisa menanggapi orang tua yang seringkali memaksakan ekspektasinya kepada anak-anak mereka. 

Aku lahir di keluarga yang bisa kukatakan banyak masalah. Suatu ketika saat aku SMP, aku akan pergi ke mall untuk jalan-jalan sekaligus photobox bareng teman sekelas. Rencana sudah matang dibuat, namun ketika aku akan berangkat, orang tuaku bertengkar di rumah. Di usia ketika aku mencari validasi diri, disuguhkan pemandangan keributan membuatku ingin cepat kabur. Kakakku yang tahu aku akan pergi main bersama teman, ikut mengomel: “Rumah lagi begini, kamu bisa jalan-jalan sama temen?! Batalin!” 

Kakakku yang usianya enam tahun di atasku punya harapan padaku untuk mengikuti jejak langkahnya menjadi “penjaga” keluarga. Padahal, aku lebih ingin menjadi “pengelana.” 

Di kesempatan berbeda, aku mulai belajar untuk mencernah ekspektasi-ekspektasi lain. Orang tuaku berharap aku jadi anak yang tidak menyusahkan, atau melipur kekecewaan mereka akan pernikahannya. Kakakku sering berkata betapa ia bahagia dengan kehadiranku sebagai adik, karena ia berharap mendapat teman setim untuk menghadapi orang tua. 

Seiring berjalannya waktu, ekspektasi bergulir. Ketika aku bekerja kantoran, orang tuaku menganggapnya tidak keren karena tidak jadi pengusaha. Ketika aku merintis usaha sendiri, dibanding-bandingkan terus hasilnya dengan gaji orang kantoran. Selain urusan kerja, orang tuaku juga menuntutku untuk rajin dan aktif di gereja yang harus sealiran dengannya. Bahkan urusan selera makan dan hobi olahraga pun aku dipaksa untuk sama seperti mereka.

Ekspektasi-ekspektasi yang menuntut itu mendorongku bertemu dengan konselor. Di satu sesi konselingku, dia berkata, “Kebahagiaan keluargamu bukan tanggung jawabmu. Kamu tahu itu, kan? Kebahagiaan sejati seseorang yang sudah dewasa seharusnya lahir dari dalam dirinya sendiri, bukan karena perbuatan atau sikap orang di luar dirinya, bahkan meskipun itu anak sendiri.”

Aku melihat sikap orang tuaku dalam mengasuh anak-anak mereka sebagai pola asuh yang tidak baik, atau mungkin bisa dikategorikan sebagai pola pengasuhan toksik. Dalam pola asuh ini, orang tua seringkali menggunakan kekuasaan, kontrol, dan manipulasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan. Mereka mungkin memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap anak, sehingga mengabaikan kebutuhan dan perasaan anak, serta seringkali memberikan hukuman fisik atau verbal yang tidak pantas.

Dalam pengasuhan toksik, orang tua seringkali tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Mereka mungkin mengharapkan anak untuk selalu memenuhi harapan dan standar mereka, tanpa memperhatikan keunikan dan potensi anak itu sendiri. Akibatnya, seorang anak bisa merasa tidak berharga, tidak dihargai, dan kurang percaya diri. Bahkan perasaan negatif ini bisa bertahan hingga remaja dan dewasa.

Namun, bukan berarti orang tua tidak boleh berekspektasi terhadap anaknya. Memiliki ekspektasi atau harapan terhadap sosok yang kita kasihi adalah natur manusia yang wajar. Ekspektasi yang realistis dan sehat justru jadi bagian penting dalam perkembangan anak dan untuk mewujudkannya diperlukan cara-cara yang suportif. 

Literatur Kristen melalui Alkitab memberiku role model ibu-anak yang lebih positif dan empowering, bahkan meskipun tanpa ikatan darah. Dua tokoh ini tidaklah asing buat kita, mereka adalah Rut dan Naomi. 

Rut adalah menantu Naomi. Setelah kematian suami dan anak-anak Naomi, Rut memilih tetap setia pada ibu mertuanya dan menganggapnya seperti ibu kandungnya sendiri. Kasih sayang yang tulus dari ibu mertualah yang membuat Rut bertahan. Berdua, mereka pergi bersama menuju petualangan terbesar dalam hidup. 

Di kitab Rut pasal 1 ayat 16-17, Rut berkata kepada Naomi: “Jangan desak aku untuk meninggalkan engkau dan untuk berbalik dari padamu; sebab ke mana engkau pergi, ke situ aku akan pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ aku akan bermalam. Bangsamu adalah bangsaku dan Allahmu adalah Allahku. Di mana engkau mati, di situ aku akan mati dan di situ aku akan dikuburkan. Demikianlah TUHAN kiranya berbuat kepadaku, dan demikianlah ditambahnya, jikalau bukan hanya maut yang memisahkan aku dan engkau.”

Loyalitas, rasa hormat, dan kasih sayang Rut terhadap Naomi, merupakan teladan yang baik untuk relasi antara ibu dan anak. Hubungan mereka mencerminkan kehangatan, kasih sayang, dan komitmen yang ada dalam relasi ibu dan anak secara natural, tanpa paksaan. Naomi berekspektasi Rut akan meninggalkannya saja dan memulai hidup baru. Rut ternyata berekspektasi untuk ikut Naomi mudik. Naomi pun mau mengubah rancangan hidupnya dengan menyertakan Rut di dalamnya.

Dalam zaman sekarang, kita sering kali melihat kepahitan dalam relasi, terutama antara mertua dan menantu. Namun, kisah Rut dan Naomi mengajarkan kepada kita tentang pentingnya memiliki hubungan yang penuh kasih dan saling menghormati, meski ada saling ekspektasi di dalamnya.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa relasi keluarga adalah tentang saling mendukung dan mengasihi, meski satu sama lain punya ekspektasi yang berbeda. Dengan saling menghormati ekspektasi satu sama lain, kita dapat membangun hubungan yang kuat dan manis seperti Rut dan Naomi.

***

Tapi tapi tapi… Demeter & Persephone ‘kan mitologi Yunani kuno, dan Rut & Naomi adalah kisah sejarah Yahudi ribuan tahun lalu! Apa kabar dong buatku yang masih sering keselek karena sulit menelan ekspektasi orang tua hari ini?

We have to give agency to ourselves. 

Frase “giving agency to ourselves” berarti memberikan kekuatan atau otoritas kepada diri kita sendiri. Dalam konteks psikologi, ini berarti bahwa kita mengakui dan menggunakan kekuatan kita sendiri untuk membuat keputusan, menentukan pilihan, dan mengendalikan arah hidup secara mandiri. Jadi, memberikan agency kepada diri kita sendiri berarti mengambil alih kendali atas hidup kita dan bertindak sesuai dengan keinginan, tujuan, dan nilai-nilai kita.

Namun, meskipun kita punya pilihan bebas untuk menentukan hidup kita sendiri, ingatlah bahwa identitas kita yang sejati ada di dalam Kristus. Dialah yang telah menebus kita dari dosa-dosa, sehingga ketika dunia mengatakan dan mendorong kita untuk menjadi diri sendiri sebebas-bebasnya sesuai dengan keinginan hati kita, meminjam kutipan dari Gregg Morse, kita bisa tanamkan pemahaman ini: 

Don’t just be yourself. Be something greater. Be the version of you that Jesus died to create. 

Jangan sekadar jadi dirimu sendiri, tetapi lebih dari itu. Jadilah dirimu yang ingin diciptakan Kristus lewat kematian-Nya. 

Identitas kita di dalam Kristus memampukan kita menjadi anak-anak yang bijaksana, yang ketika menyuarakan isi hati kita tetap bertindak menghormati orang tua sebagai sosok yang mengasihi kita. Pengasuhan toksik yang mungkin kita alami bisa jadi adalah buah dari buruknya pengasuhan generasi di atas orang tua kita. Bagi kita yang telah mengenal firman dan juga diberkati dengan zaman di mana ilmu parenting dengan mudahnya tersedia, kelak saat kita menjadi orang tua, kita dapat belajar banyak untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama seperti generasi di atas kita. 

Jadi, ketika keluarga menyodorkan ekspektasi pada kita, tak perlu seketika emosi atau marah-marah. Sodorkan balik ekspektasi kita untuk mereka, lalu jalanin proses saling berinteraksi dengan sehat. Dan, yang tampak klise tetapi penting adalah doakan orang tua kita. Bukan semata-mata agar mereka berubah, tetapi agar baik kita dan mereka dikaruniakan hikmat dan kebijaksanaan untuk menimbang apa yang paling baik, untuk tetap mengutamakan kasih sebagai pengikat relasi. Jika ekspektasi itu berlandaskan kasih dan kita pun mengasihi mereka, pastilah akan ada solusi untuk menemukan jalan tengahnya.

Selamat menimbang dan mengunyah ekspektasi dari orang tua yang masuk sehari-hari dengan lebih berhikmat!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kala Doa dan Harapan Tak Selalu Sejalan

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Aku ingin begini.. aku ingin begitu.. ingin ini ingin itu banyak sekali..
Semua semua semua dapat dikabulkan, dapat dikabulkan dengan kantong ajaib ..

Anak-anak 90’an pasti tidak asing dengan lirik lagu dari film kartu Doraemon. Jika dulu kita cuma dengar dan nikmati saja iramanya, saat kita dewasa mungkin kita menyadari bahwa lirik lagu tersebut benar-benar mengungkapkan naluri manusia yang memiliki berbagai keinginan dan berusaha mewujudkannya dengan berbagai cara. Rumus yang umum kita kenal ialah bila keinginan dikabulkan, tentu akan dapat membuat hati merasa gembira.

Tapi, apakah punya keinginan itu salah? Tentulah tidak. Mengingini sesuatu adahal hal yang baik. Bahkan, Tuhan Yesus pun berkata dalam sabda-Nya, “Mintalah maka kamu akan diberi” (Matius 7:7). Perkataan ini tentu sangat menggembirakan bagi kita. Bagaimana tidak, Tuhan berjanji akan memberikan apa yang kita minta! Atas dasar janji inilah, orang-orang percaya mulai menaikan permohonannya pada Tuhan; bahkan ada juga yang mengadakan doa beberapa hari, agar permohonannya dapat dikabulkan. Ada pula berdoa yang disertai berpuasa, seperti yang dilakukan Daud Ketika memohon anaknya agar tetap hidup (2 Samuel 12:16).

Pada perikop itu diceritakan Daud ditegur oleh Natan atas dosanya berzinah dan membunuh. Daud tidak akan mati, tetapi dia menerima konsekuensi dari dosanya berupa anak yang dikandung dari perbuatan zinahnya akan mati (ayat 14). Daud tidak ingin anak itu mati sehingga dia berdoa puasa memohon agar nyawa sang anak tidak dicabut, namun pada hari ketujuh sang anak itu mati (ayat 18).

Kisah Daud di sini dan janji Kristus terkesan seperti berkontradiksi.. Demikian pula dengan Yesus sendiri, yang memohon agar cawan dilalukan dari pada-Nya (Matius 26:39), dengan arti, sisi manusiawi Yesus mengalami ketakutan yang luar biasa menjelang penyaliban. Namun, pada akhirnya, baik pada Daud maupun Yesus, permohonan tersebut tidak dikabulkan oleh Allah Bapa. Ada pula pengalaman dari Rasul Paulus, yang meminta pada Tuhan agar dapat ‘mengusir roh jahat’ yang sering mengganggunya, namun Tuhan tidak mengabulkannya (2 Korintus 12:7-9).

Doa-doa yang tak dijawab ini mungkin membuat kita meragukan janji Tuhan dan merasa tak perlu berdoa meminta, namun pada Matius 6:8 tertulis janji yang lain bahwa Tuhan mengetahui apa yang kita perlukan, lebih dari diri kita sendiri. Terkadang, kita tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan kita yang sebenarnya. Lebih tepatnya, kita tidak tahu mengenai diri kita sendiri secara sempurna; hanya Tuhanlah yang mengetahuinya, sebab DIA pencipta kita.

Anggapan bahwa kita sendirilah yang paling tahu akan membuat kita sulit menerima jawaban Tuhan. Hal ini juga terjadi pada diriku. Sejujurnya, aku sempat marah pada Tuhan atas jawaban doa yang tidak sesuai dengan keinginanku. Waktu itu, aku berdoa agar aku dapat pergi ke luar negeri, untuk studi banding bersama dengan teman-teman sepelayanan. Namun karena pandemi, keberangkatan kami pun dibatalkan.

Rasa kecewa menyelimutiku. Kegiatan kerohanian seperti berdoa, saat teduh, membaca Alkitab, serasa membosankan dan muak untuk dilakukan. Namun kisah Daud dan Paulus sungguh menyadarkanku, bahwa bukan akulah yang mengendalikan apa yang aku inginkan. Semuanya karena Tuhan mengerti apa yang menjadi kebutuhan utamaku, lebih dari pada diriku sendiri. Mungkin, ada hal yang lebih utama dan penting dari kegiatan studi banding tersebut untuk aku kerjakan.

Sungguh menyedihkan dan menyakitkan bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan dan dambakan; apalagi kita telah berdoa (bahkan berpuasa) demi pergumulan kita tersebut. Bila perasaan sedih dan kecewa ini tidak diselesaikan maka dapat mengakibatkan iman kita menjadi lemah. Dan pada akhirnya, kita akan menjadi negative thinking dengan Tuhan dan Firman-Nya. Bila hal ini pun tidak dapat diselesaikan, maka akan sulit untuk membangun hubungan yang erat dengan Tuhan.

Selama 3 tahun aku bergumul dan berusaha untuk berdamai dengan kehendak Tuhan, serta berusaha untuk membaharui pikiran dan pengenalanku akan Tuhan dan rencana-Nya dalam hidupku. Di tengah-tengah pergumulanku, aku dikuatkan melalui komunitas-komunitas rohani yang aku ikuti, baik di dalam maupun luar gereja.

Salah satu statement yang cukup menguatkanku adalah “Desire and Happiness cannot lives together” . Memang ada perasaan gembira ketika sebuah keinginan kita dikabulkan atau dijawab sesuai dengan harapan kita. Namun, aku belajar dari kisah raja Salomo, di mana dia hidup untuk melakukan segala keinginannya, bahkan sesuai harapannya, pada akhirnya jatuh pada kesia-siaan (Pengkhotbah 1-3).

Aku menyadari bahwa dengan tidak dikabulkannya keinginanku, Tuhan sedang membawaku untuk menikmati proses lain yang membawaku menikmati persekutuan yang lebih erat dengan-Nya. Dari kecewa aku belajar untuk menerima. Dari menerima, aku pun belajar untuk percaya. Mungkin saja jika segala yang kuinginkan terkabul segera, bisa saja aku jatuh ke dalam kesia-siaan dan kehampaan.

Aku bersyukur, pengalaman-pengalaman ini menolongku memetik hal-hal baik. Yakni di antaranya:

1. Tuhan adalah Sang Pencipta, dan kita adalah ciptaan-Nya. Kita tidak bisa, bahkan tidak berhak mengatur Tuhan dengan dalil dan ‘proposal’ yang dibuat dengan doa. Permohonan kita yang dikabulkan, adalah bagian dari rencana-Nya, bukan karena kehebatan doa kita.

2. Tuhan lebih tahu apa yang kita butuhkan, bahkan di saat kita tidak sadar/tidak tahu akan kebutuhan kita. Bila itu tidak atau belum dikabulkan, tidak perlu kecewa berlarut-larut, dan kita berusaha untuk lebih mengenal kebutuhan diri kita sendiri—yang dituntun Roh Kudus tentunya. Hal ini dapat dilakukan dengan berdiskusi di komunitas kita, ataupun pergi ke konselor/mentor yang kita percayai.

3. Belajar untuk menguatkan hati, bahwa apa yang diperbuat Tuhan selalu baik, sekalipun kita tidak memahami dimana letak baiknya. Aku belajar dari nabi Yeremia mengenai hal ini. Ada banyak sekali ayat-ayat di kitab Ratapan yang telah menolongku waktu itu, sampai sekarang.

Kiranya Roh Kudus selalu memberikan semangat dan kekuatan dalam hati kita dalam menghadapi hal yang tidak kita harapkan dan inginkan. Amin.

Hidup Kekristenan Itu Seperti Lari Estafet, Bukan Lari Cepat

Oleh Philip Roa

Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Christian Life is a Marathon not a Sprint

Gerejaku selalu mengawali setiap tahun dengan berdoa dan berpuasa. Inilah momen yang dinantikan oleh sebagian besar jemaat. Kami saling bertanya tentang apa pokok doa yang ingin didoakan. Salah satu topik yang paling sering kudengar adalah keinginan untuk punya relasi yang lebih intim dengan Tuhan. 

Tapi, bagaimana caranya kita lebih mendekat pada Tuhan dengan cara yang lebih konsisten? Bukan sekadar konsep “new year, new me” yang biasanya menguap setelah sebulan atau bahkan seminggu.

Jawabannya adalah bagaimana kita membangun suatu kebiasaan. Ketika kita menetapkan tujuan, kita sering membayangkan hasil akhirnya tanpa berpikir bagaimana membangun langkah-langkah kecil dan pondasi supaya bisa mencapai ke sana. Kadang tanpa kita sadari, kita mencari jalan pintas yang lebih cepat. Namun, jika tujuan kita adalah ingin mendekat pada Tuhan, maka ini bukanlah tentang hasil akhir semata. Ini adalah tentang relasi, perjalanan sepanjang hidup yang harus kita jalani dengan tekun setiap harinya. 

Ada satu kutipan yang cukup terkenal, “Kehidupan rohani itu seperti lari estafet, bukan lari cepat.” 

Inilah beberapa pondasi dasar yang telah kudapat selama bertahun-tahun yang selalu kuingat setiap kali aku berpikir tentang bagaimana mendekat pada Tuhan:

Usahakan untuk selalu meluangkan waktu

Di zaman ketika orang-orang ingin kepuasan instan, cara kita mengharapkan pelayanan yang cepat dari restoran fast-food atau kedai kopi bisa saja mempengaruhi cara kita berelasi dengan Tuhan. Kita mungkin mendekati-Nya seperti kita meminta seorang barista menyajikan kopi kita dengan sempurna. 

Di awal perjalanan imanku, aku diajari bahwa Tuhan adalah kawan dan sumber berkat, yang membuatku berfokus pada apa yang bisa kudapat dari-Nya. Pola pikir ini mempengaruhi juga bagaimana aku bersaat teduh. Aku akan membaca ayat dan renungan secara cepat, lalu berdoa dengan kalimat pembuka “Tuhan terima kasih buat hari ini” dilanjutkan dengan daftar permintaan. 

Singkatnya, Tuhan bukanlah sosok yang aku rindukan untuk meluangkan waktu bersama. Dia hanya kuhampiri untuk memenuhi kebutuhanku. 

Dengan pertolongan pembimbing rohani beberapa tahun setelahnya, aku pun punya pemahaman yang lebih baik tentang relasi bersama Tuhan dan betapa pentingnya meluangkan waktu bersama-Nya. Seperti relasi dengan manusia yang kita upayakan, relasi dengan Tuhan pun perlu dipelihara secara sadar dengan berusaha dan meluangkan waktu. 

Dalam Yohanes 1:1-3, Yesus yang adalah Allah pun meluangkan waktu bersama Bapa Surgawi. Injil mencatat banyak peristiwa ketika Yesus secara sengaja menarik diri dari kerumunan untuk menyendiri bersama Allah (Matius 14:23, Markus 1:35, Lukas 6:12). 

Lebih dari sekadar meluangkan waktu, Yesus menunjukkan pada kita bagaimana Dia meluangkan waktu lewat doa (Matius 6:9-13; 26:36-44). Apa yang menjadikan doa Yesus berbeda adalah Dia memprioritaskan kehendak Bapa di atas segalanya. 

Seperti Yesus, kita pun harus meluangkan waktu bersama Bapa supaya kita dapat mengenal hati-Nya, supaya kita memprioritaskan agenda-Nya (Yohanes 4:34). 

Aku selalu ingat apa yang pembimbing rohaniku bagikan beberapa tahun lalu: “Jika sesuatu penting buatmu, kamu tidak mencari waktu, tapi kamu menciptakan waktu buatnya.” Pemahaman ini mengubah pandanganku tentang saat teduh bersama Tuhan dan menolongku untuk memutuskannya menjadi aktivitas pertamaku di pagi hari. Tuhan layak kita utamakan, dan aku tak dapat memberi-Nya perhatian, penyembahan, dan pengabdian, jika yang kupersembahkan hanyalah sisa-sisa waktuku saja. 

Seiring aku mempelajari Alkitab, aku belajar untuk berusaha lebih mengerti konteks dari suatu ayat dan mengerti bagaimana orang-orang dalam Alkitab memahami Allah. Dari sinilah aku melihat bahwa Tuhan itu adil dan kudus, juga murah hati dan berbelas kasih. Semakin aku mengerti siapa Tuhan, semakin aku termotivasi untuk memprioritaskan Dia di hidupku. 

Merenungkan ayat atau bacaan

Yosua 1:8 memberitahu kita untuk merenungkan firman Tuhan supaya kita bertindak hati-hati dan mengalami berkat dari ketaatan. Untuk merenungkan, membutuhkan waktu yang disiapkan secara khusus dan kesiapan mental supaya kita bisa berpikir lebih dalam tentang apa yang kita baca.

Merenungkan firman Tuhan mungkin tak masuk prioritas ketika segala sesuatu telah menyita perhatian kita. Hal yang bisa menolong adalah menciptakan waktu-waktu luang dari waktu-waktu jeda atau kosong di dalam keseharian. Semisal, saat aku sedang naik angkutan umum ke tempat kerja atau saat jam istirahat aku merenungkan apa yang kubaca di pagi harinya. Aku juga mencoba menemukan tempat heningku sendiri. Aku mematikan notifikasi HP, atau kadang aku membawa Alkitab untuk membaca ulang perikop dan menelaah kembali kata-kata kunci yang kutemukan menarik. 

Tapi, bagaimana jika kamu adalah orang yang tidak bisa diam dan pikiranmu suka melayang ke mana-mana? Aku tahu beberapa orang yang seketika saja melamun saat badannya menempel di kasur. 

Sejauh ini aku merasakan bahwa berseru pada Allah (tentu di tempat yang tersembunyi) menolongku untuk berfokus. Ketika kusadari pikiranku mulai melantur, aku akan berseru pada Tuhan. Aku akan menceritakan bagaimana hari-hariku, atau apa yang membebaniku, yang sedang aku gumulkan, atau apa pun yang melayang di pikiranku. Hal yang sama juga kulakukan saat membaca Alkitab. Membaca dengan bersuara menolongku lebih konsentrasi. 

Satu bacaan yang kurenungkan terambil dari Matius 28:18-20 yang juga jadi perikop kunci buat gerejaku. Aku melihat bagaimana Yesus memberikan otoritas pada ayat 18 sebelum Dia memberikan perintah di ayat 19 dan 20. Penting buat para murid-Nya untuk mengerti bahwa otoritas untuk mengajar datang dari Kristus supaya mereka sadar bahwa inilah perintah, bukan sekadar saran. 

Seiring aku merenungkan implikasi dari perintah ini, aku memahami bahwa sebagai orang Kristen tugasku bukan sekadar datang ibadah di gereja. Tapi sebagai murid Kristus yang aktif, tugasku adalah membawa orang-orang datang pada-Nya. Dan, jika aku harus mengajar orang lain untuk taat, maka aku perlu memahami sendiri apa artinya menjadi taat. 

Pada akhirnya, Yesuslah yang memberikan misi kepada para murid sebagai sebuah kelompok di mana mereka melakukan misi ini bersama-sama. Aku pun dipanggil untuk melakukaan ini bersama dengan saudara saudariku dalam Kristus. 

Apa yang Alkitab katakan

Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku”

Mudah untuk menggambarkan keintiman bersama Tuhan sebagai sekadar meluangkan waktu bersama-Nya dan merenungkan firman-Nya, padahal ada yang kita lupakan: ketaatan. Alkitab mengatakan bahwa menjadi kawan sekerja Allah (tentunya ini relasi yang akrab) berarti kita menaati dan mengikut Dia (Yohanes 15:13-15).

Kaitan antara ketaatan dengan keintiman selalu mengingatkanku akan kisah Abraham, Musa, dan Maria. Ketika Abraham menaati panggilan Allah untuk pergi dari kampung halamannya, dia melihat bagaimana Allah melindungi dan mencukupi dia. Allah memberkati Abraham dengan memberinya Ishak di usia senjanya. Setelah Musa menaati panggilan Allah untuk memimpin Israel keluar dari Mesir, dia menyaksikan pekerjaan Allah melalui tulah, laut Teberau terbelah, dan berkat-berkat lainnya selama masa pengembaraan. Maria pun menaati Allah ketika dia dipanggil untuk menjadi ibu dari Yesus. Melalui Maria, nubuatan Perjanjian Lama pun tergenapi. 

Dari ketaatan ketiga tokoh itu, mereka diberkati dan merasakan kebaikan Tuhan buat diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitar mereka. 

Dalam kehidupan pribadiku, aku mengalami sendiri bagaimana keintiman dengan Tuhan melibatkan juga upayaku untuk melatih iman. Aku menaati Tuhan dengan mengambil langkah yang Dia tetapkan buatku dan mempercayai-Nya untuk mewujudkan segala sesuatu pada waktu-Nya. 

Dari perenunganku di Matius 18:18-20, aku bisa melihat bagaimana sulitnya memuridkan orang lain. Itu butuh pengorbanan besar. Aku perlu mengorbankan waktu-waktuku dalam setiap minggunya untuk menjangkau orang lain daripada cuma berdiam di kamar bermain gim atau membaca buku. 

Tapi, aku juga tahu bahwa membaca dan merenungkan firman Tuhan akan jadi sia-sia jika aku tidak taat. 

Jadi, aku pun menerima panggilan menjadi ketua komsel. Meskipun perjalananku tidak selalu lancar, 12 tahun ke belakang sungguh memuaskan, bagaimana aku, seorang lelaki muda mengenal dan mengasihi Allah. Menjadi seorang pemimpin juga menolongku untuk bertumbuh sebagai pengikut Kristus. Itu memotivasiku untuk bertanggung jawab atas kepemimpinanku dan anggota kelompokku. Aku telah melihat akan pentingnya tergabung dalam komunitas karena itulah yang akan menghibur, menegur, dan menguatkan satu sama lain. 

Menjadi intim dengan Tuhan bukanlah sekadar resolusi atau pokok doa ketika orang-orang bertanya apa yang jadi target rohaniku. Keintiman itu bisa diraih jika kita mengejarnya secara aktif. Meskipun terasa berat untuk keluar dari zona nyaman, mengenal Tuhan dengan dalam sungguhlah berkat dan hadiah yang indah.

Tentang Keinginan Kita dan Jawaban Tunggu

Oleh Hilary Charletsip
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Won’t God Give Me What I Want?

Lima menit.

Hanya dalam lima menit, aku bisa memesan segelas kopi, mendapatkannya, lalu mencium aromanya yang harum, dan menyeruput macchiato caramel yang enak itu.

Dalam lima menit juga, aku dapat mencari sebuah barang secara online, menambahkannya ke keranjang, membayarnya, dan menerimanya esok hari.

Kalau aku ingin menonton acara favoritku? Tinggal buka Netflix.

Kita tentunya punya banyak keinginan, tak cuma tentang barang fisik yang dapat dibeli. Keinginan kita juga berkaitan pada hal-hal yang tak berwujud yang kita capai dalam hidup— harapan, impian, dan permohonan doa kita kepada Bapa yang baik

Aku ingin menikah.
Aku ingin liburan.
Aku ingin…. Ini itu banyak sekali.

Kalau aku sendiri, sejujurnya aku hanya ingin satu hal karena ini yang terus menerus dikatakan orang buatku. Apakah aku siap duduk di belakang meja selama 40 jam seminggu sampai 30 tahun ke depan? Sama sekali tidak. Tapi, itulah yang akan dilakukan oleh seorang mahasiswa yang baru lulus.

Di tahun terakhir kuliahku, aku magang di sebuah perusahaan yang menawariku pekerjaan full-time, lengkap dengan fasilitas tunjangan. Aku bahkan tidak perlu wawancara. Tapi, lewat obrolan dengan orang-orang dewasa, doa, dan sedikit rasa ragu, aku tahu aku tidak akan cocok bekerja di situ seterusnya. Kutolak tawaran itu tanpa punya rencana cadangan, tapi aku percaya Tuhan akan menolongku.

Namun, berbulan-bulan setelah aku menolak tawaran kerja itu, hatiku merasa aku salah ambil keputusan. Semakin aku berdoa supaya dapat pekerjaan tetap, semakin aku tahu kalau usahaku belum akan membuahkan hasil dalam waktu dekat. Satu lamaran mengarahkanku ke lamaran lainnya tanpa proses wawancara, sementara perusahaan yang aku dambakan malah tidak pernah meresponsku.

Pergumulanku mencari pekerjaan tetap pun berlangsung selama empat setengah tahun. Ada banyak wawancara dan penolakan, air mata, dan saat-saat di mana aku menjadi sangat frustasi dengan setiap prosesnya. Terkadang aku mencoba bertindak sendiri, lelah mempercayai Tuhan. Setiap hari aku gelisah, kurang tidur, terburu-buru, dan cemas.

Melalui empat setengah tahun yang berat itu aku sadar bahwa terkadang Tuhan memakai tiap masa untuk menguatkan kita… untuk mempersiapkan kita menghadapi apa yang akan terjadi nantinya.

Kita ingin pekerjaan itu, tapi kita tidak punya keterampilan yang sesuai untuk mencapai apa yang Tuhan ingin kita lakukan di posisi itu. Jika memang posisi itu yang Tuhan kehendaki, Tuhan pasti akan mengizinkan kita diproses lebih dulu supaya kita memiliki kualitas dan keterampilan yang sesuai. Inilah yang terjadi selama empat setengah tahun bekerja secara kontrak. Tuhan membentukku, memperlengkapiku, dan mengenalkanku kepada orang-orang yang membawa pengaruh baik di hidupku, yang akhirnya membawaku pada posisiku sekarang ini. Tuhan tidak sedang meninggalkanku, tapi Dia sedang membawaku keluar dari zona nyaman untuk menjadikanku kompeten sesuai dengan rencana-Nya.

Masa-masa bekerja selama berjam-jam sembari dituntut juga untuk multi-tasking mengajariku tentang prioritas dan ketekunan—tetap melakukan apa yang jadi tugasku sampai selesai. Tugas untuk melakukan presentasi di grup networking—yang meskipun mengintimidasi—membantuku mengembangkan keterampilan berbicara di depan umum yang sekarang kulakukan setiap minggu dalam pekerjaanku.

Jika Tuhan seketika saja memberikan apa yang kita inginkan, mungkin kita tidak pernah menikmati proses yang menjadikan kita lebih unggul. Atau, mungkin juga kita tidak siap melaksanakan apa yang jadi kehendak-Nya.

Selama menjalani pekerjaan kontrak, Kolose 3:23 menjadi ayat yang kupegang teguh:

“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Tidak masalah di mana aku berada atau apa yang kulakukan—entah aku menikmatinya atau tidak—aku tidak menganggap pekerjaanku hanya sebagai bekerja untuk orang-orang di sekitarku. Aku menganggapnya bekerja untuk Tuhan dan bersinar untuk-Nya. Pola pikir ini membantuku menumbuhkan kesabaran.

Ketika aku frustasi, aku ingat bahwa Tuhan selalu punya alasan tentang mengapa Dia mengizinkanku berada pada suatu waktu dan tempat. Entah apa yang kulakukan adalah untuk waktu singkat, atau waktu lama, aku akan berusaha bekerja dengan baik dan membayangkan Tuhan berada tepat di tempat kerja bersamaku. Kita mungkin tidak mengerti alasannya sekarang, tapi Mazmur 37:7-9 berkata: “Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia;… jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan. Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri.”

Jika kamu sedang berdoa dan menanti, janganlah patah semangat. Tuhan akan mengubah masa gersang menjadi musim yang berbuah. Itu mungkin bukan masa depan yang kita impikan atau bayangkan, tetapi marilah kita beriman dan percaya pada waktu Tuhan dan rencana-Nya.

Jika kita belum mendapat kerja, belum menemukan pasangan, atau tidak bisa pergi liburan—apa pun itu, itu karena Tuhan sangat mengasihi kita. Dia terlalu mengasihi kita untuk memberikan sesuatu yang belum siap kita terima. Dia terlalu mencintai kita untuk memberikan sesuatu yang belum bisa kita tangani. Dia terlalu mengasihi kita untuk mengizinkan kita menetap, atau menyimpang dari jalan yang telah Dia tetapkan untuk kita masing-masing. Mungkin rasanya berbeda, mungkin tidak nyaman, tetapi bagaimana pun, apa yang Tuhan sediakan bagi kita itu adalah baik.

Menunggu akan yang terbaik dari Tuhan mungkin tidak sesingkat dan senyaman menunggu pesanan kopi kita disajikan dalam lima menit. Tapi, bukankah menunggu akan tetap jadi menyenangkan jika kita bisa sembari menghirup aromanya, dan mengamat-amati barista memproses kopinya sampai tersaji sempurna?

Jadi Orang Kristen, Tapi Ambisius… Memangnya Boleh?

Oleh Andrew Laird
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is It Okay For A Christian To Be Ambitious?

Ambisi.

Inilah kata yang menimbulkan diskusi di kalangan orang Kristen. Kita sering mengartikan ‘ambisi’ sebagai sifat yang ‘menghalalkan segala cara’, ‘tusuk lawanmu dari belakang’, terkhusus kalau kita bicara soal pekerjaan. Kita pasti tidak asing dengan sosok teman atau kenalan yang berwatak keras dan mati-matian demi mewujudkan apa yang mereka mau. Atau mungkin, kita pernah jadi orang seperti itu!

Tapi.. kalau kebalikan dari ambisius, bukannya itu juga tidak baik? Bayangkan kamu tidak punya gairah, semangat, tujuan. Hidup cuma sekadar hidup. Cara seperti ini juga rasanya bukan pilihan yang baik.

Jadi… apakah ada tempat bagi ambisi dalam hidup Kristen? Jika ada, seperti apa bentuknya? Dan kalau kita tidak punya ambisi, apakah itu sama buruknya seperti prinsip ambisius yang ‘menghalalkan segala cara’?

Syukurlah, Alkitab tidak meninggalkan kita sendirian dalam menggumuli pertanyaan ini.

Ada dua tipe ambisi

Pada tingkatan yang paling dasar, ambisi berarti berjuang keras untuk meraih sesuatu. Masalah muncul ketika pengejaran itu semata-mata hanya untuk tujuan dan kepuasan kita. Jenis ambisi ini seringkali mewujud ke dalam bentuk manipulasi dan menyerang siapa pun yang menghalangi keinginan kita (Yakobus 3:16).

Inilah tipe ambisi yang disebut Alkitab sebagai “ambisi egois”, dan ini sudah jelas salah bagi orang Kristen. Contohnya, dalam surat Rasul Paulus untuk jemaat Filipi, dia berbicara tentang beberapa orang yang mengotbahkan Kristus karena “ambisi yang mementingkan diri sendiri” (Filipi 1:17). Paulus tidak terkesan dengan motivasi mereka. Betul, mungkin mereka mengabarkan Kristus, tetapi mereka mengutamakan kepentingan pribadi, “…dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara” (ayat 17). Mereka ingin pujian manusia (mereka iri karena Paulus mendapatkannya), jadi rasa egoislah yang menggerakkan mereka.

Kemudian, di surat yang sama, Paulus mendorong pembacanya agar tidak membiarkan diri digerakkan oleh ‘ambisi egois’, tetapi mengejar kerendahan hati (Filipi 2:3).

Tetapi…semua ini tidak berarti ambisi itu salah. Jika ada satu orang dalam Alkitab yang sungguh ambisius, dialah Rasul Paulus! Ambisinya terlihat jelas ketika dia bicara tentang mengejar relasi yang lebih dalam dengan Kristus, menekankan dan berusaha keras untuk mengejar apa yang di depan (Filipi 3:12,13) untuk memperoleh ‘hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (Filipi 3:14). Ini bukanlah bahasa yang dituturkan oleh seorang dengan ambisi yang rendah! Kita bisa melihat semangat yang sama dalam surat-surat Paulus lainnya di mana dia mengupayakan segala cara memberitakan Injil, berapa pun harga yang harus dia bayar.

Mengejar ambisi yang benar

Jenis ambisi yang kita lihat dalam Paulus mungkin paling tepat kita sebut sebagai ‘ambisi yang saleh’. Tidak seperti ambisi egois, inilah jenis ambisi yang digerakkan atas kepentingan orang lain, dan juga Tuhan. Inilah ambisi yang rendah hati; dengan semangat bekerja keras untuk meraih sesuatu, tapi demi kepentingan orang lain, bukan diri sendiri. Mungkin inilah Paulus mengontraskan ambisi yang egois dalam Filipi 2:3 dengan kerendahan hati. Amy Dimarcangelo, seorang penulis menulis begini di artikelnya:

“Bagaimana aku bisa tahu kalau ambisiku itu ambisi yang benar dan saleh?” Tidak ada yang salah dengan berambisi, “selama keinginan dan tekad itu dibungkus dalam kemuliaan Tuhan, bukan kita sendiri.”

Apa artinya ini semua bagi orang Kristen di ladang pelayanannya masing-masing? Kita boleh berambisi…demi orang lain! Bekerja keras, belajar hal baru, mendengar podcast, membaca buku–lakukan semua itu bukan cuma untuk diri sendiri, tapi agar kita dapat meningkatkan kualitas diri untuk melayani Tuhan lewat pekerjaan kita, agar orang lain turut diberkati.

Cara pikir ini mungkin terkesan radikal, terkhusus apabila sebelumnya kita hanya berpikir melakukan semuanya hanya demi kepentingan kita sendiri.

Namun, Allah dalam hikmat-Nya yang besar memberi kita hasrat (juga kemampuan, talenta, dan pengetahuan) yang menjadi sukacita kita untuk menggunakannya demi kepentingan orang lain. Allah bukan pembunuh sukacita; Dia rindu kita bersukacita tetapi sukacita terbesar hanya kita temukan ketika kita menggunakan apa yang kita punya bagi orang lain, bukan diri sendiri. Mengapa Yesus mati di kayu salib (tindakan kasih terbesar dari ambisi yang tidak egois)? “Yang tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia” (Ibrani 12:2). Inilah yang terdengar aneh, tetapi paradoks yang paling indah dalam iman Kristen—dalam memberi kita menemukan kepuasan dan sukacita.

Penting untuk kita ingat bahwa motivasi kita selalu campur aduk. Memang, tugas yang sama yang dapat dilakukan untuk kebaikan orang lain mungkin juga dilakukan karena mementingkan diri sendiri (perhatikan contoh yang diberikan Paulus tentang mereka yang mengkhotbahkan Kristus, “karena ambisi yang mementingkan diri”!).

Adalah baik jika kita waspada dan bertanya pada diri sendiri dari waktu ke waktu. “Apa yang menggerakkanku? Egoisme atau bukan? Tapi, hanya karena motivasi kita seringkali bercampur aduk dan tidak murni, ini tidak berarti kita tidak boleh memiliki ambisi.. melainkan berdoalah dengan tekun agar Tuhan menolongmu mengembangkan ambisimu menjadi sesuatu yang berfokus pada orang lain, bukan cuma diri sendiri.

Hindari hidup yang tidak berambisi

Tapi… bagaimana dengan pertanyaan final ini: Kalau aku gak punya ambisi, apakah itu seburuk orang yang punya prinsip ambisi ‘menghalalkan segala cara’?

Seringnya sih iya. Tapi kita butuh klarifikasi yang lebih penting. Apa yang orang lain lihat sebagai ‘kurang berambisi’ bisa jadi juga bentuk kepuasan atas apa yang Tuhan telah berikan dan tempatkan kita selama ini. Jika kita punya kepuasan seperti itu, puji Tuhan! Tapi, itu tidak berarti kita harus kekurangan ambisi. Kepuasan dan ambisi bisa (dan harus) berjalan bersandingan. Dalam kepuasanmu kamu bisa tetap berambisi untuk orang-orang di sekitarmu. Lihat apa yang jadi kebutuhan mereka dan lakukan sesuatu untuk mendukung mereka.

Namun, kekurangan ambisi dalam konteks Alkitab dapat juga dideskripsikan sebagai kemalasan. Si pemalas dalam Amsal sering dijadikan contoh cara hidup yang tidak patut kita tiru (Amsal 6:9; 13:4, 15:19, 26:15). Tak ada hal yang memuliakan Tuhan dari menyia-nyiakan kemampuan yang telah Dia berikan kepada kita, yang seharusnya bisa kita gunakan buat orang lain.

Di artikel yang sama, Amy Dimarcangelo juga menulis: “Orang yang pasif, yang menghindari berusaha sendiri karena mereka ‘percaya Tuhan’ mungkin terdengar rohani, tapi bisa jadi itu hanya dalih dari kemalasan dan kurang tanggung jawab. Mempercayai Tuhan untuk hasil panen yang baik tidak akan berarti apa pun kalau kamu tidak mau menyirami dan merawat benihmu.”

Maka jadilah ambisius bagi Allah! Pakai karunia, kemampuan, talenta, dan kesempatan yang Dia berikan padamu. Lalu, dengan cara kreatif dan bersemangat, gunakan itu semua untuk kebaikan orang lain dan kemuliaan-Nya.

Jika Semuanya Mudah Kuraih

Oleh Jesica Rundupadang

Beberapa minggu terakhir ini, aku kadang berbicara dengan diriku sendiri. Aku kembali memikirkan segala sesuatu yang telah lewat. Aku berandai-andai… “Jika saja…”

“Jika saja, aku betul-betul mempergunakan waktu yang ada sebaik mungkin.”

“Jika saja, aku aku tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang terbuka lebar.”

“Tapi, jika saja aku tidak melewati proses ini.”

Ada begitu banyak pertanyaan di dalam benakku, tapi aku bersyukur dapat memikirkan hal ini bahkan di saat-saat aku juga senantiasa menanti dan berharap. Begitu banyak momen yang telah terlewat dan aku semakin hari semakin menaruh pengharapanku pada Kristus Yesus.

Jika seandainya saja aku langsung bisa mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan setelah lulus kuliah. Aku berpikir jika semua berjalan mudah, kemungkinan besar aku akan sombong dengan membangga-banggakan diriku sendiri. Aku merasa aku dapat mencapai apa yang kumau. Karena jujur saja, setelah lulus SMP dan ingin masuk ke SMA favorit di kotaku, aku diterima dan yang tidak lulus terpaksa harus pergi mendaftar ke sekolah lain. Selepas itu, aku mendaftar di salah satu perguruan tinggi negeri, dan aku pun diterima jalur SBMPTN. Aku memudahkan segala hal, mengatakan dalam hati bahwa aku bisa mencapai semuanya bahkan tanpa usaha yang keras sekalipun.

Namun, kurasa Tuhan menegurku lewat proses yang kujalani saat ini. Aku yang awalnya berpikir mencari pekerjaan adalah hal yang mudah, semudah setiap penerimaan yang kudapat, ternyata tidak. Setelah lewat 1 tahun lebih, aku baru mendapatkan pekerjaan sebagai tenaga kontrak di sebuah instansi pemerintah dan pernah hampir menjadi karyawan pada sebuah perusahaan di Kalimantan, namun karena aku bersikeras tidak mau melanjutkan akhirnya aku pulang ke kotaku.

Dalam benakku, aku harus bisa mencari pekerjaan tanpa bantuan orang lain. Aku harus mandiri. Saat itulah, rekrutmen CPNS terbuka dan aku belajar dengan sungguh dan lolos hingga tahap SKB, meskipun rencana Tuhan berbeda dengan yang kuingini.

Sedih ada. Tapi diberi kesempatan sejauh itu, aku sangat bersyukur.

Di hari-hari penantian dan juga mencari pekerjaan, aku kembali mengenang masa-masa yang lampau. Jika saja Tuhan selalu meloloskanku untuk memenuhi keinginanku, aku tidak akan paham akan rasanya berjuang dengan sebaik mungkin, aku tidak akan paham akan rasanya penolakan, aku tidak akan paham akan rasanya kekecewaan. Karena dari rasa-rasa pahit inilah aku belajar untuk lebih berusaha dan sungguh menaruh pengharapan hanya kepada Yesus.

Meskipun saat ini aku belum mengerti akan sesuatu di balik ini semua. Satu yang kupercaya, tangan Tuhan yang membawaku sejauh ini, tidak akan meninggalkanku. Bahkan saat rasa khawatir mulai datang, ada bisikan dalam hatiku… “Tenang, semua indah pada waktu-Nya.”

Di tengah-tengah penantianku, aku tetap menyuarakan kepada kalian semua yang mungkin ada dalam masalah yang sama untuk terus berpegang teguh pada Tuhan. Aku juga ingin membagikan ayat firman yang tetap menguatkan, kiranya ini pun dapat menguatkan kalian.

Di balik setiap air matamu, Tuhan terus memprosesmu. Mungkin sekarang kamu hanya seekor ulat, besok akan jadi kupu-kupu. Setiap orang punya proses berbeda. Berhenti membandingkan dirimu dengan pencapaian orang lain.

Matius 6:26: “Lihatlah burung di udara. Mereka tidak menanam, tidak menuai, dan tidak juga mengumpulkan hasil tanamannya di dalam lumbung. Meskipun begitu Bapamu yang di surga memelihara mereka! Bukankah kalian jauh lebih berharga daripada burung?”

Mengapa Kita Tidak Pernah Mendapatkan Apa yang Kita Inginkan

mengapa-kita-tidak-pernah-mendapatkan-apa-yang-kita-inginkan

Oleh Charles Christian

Sewaktu kecil, aku adalah penggemar kisah Donal Bebek. Aku suka membaca kisah jenaka dari berbagai karakter yang ada di dalamnya, seperti Paman Gober yang serakah dan kikir, Roker Bebek yang merupakan rival abadinya, Donal Bebek yang malas, dan ketiga keponakannya. Tapi selain dari kejenakaannya, aku juga menyukai fakta bahwa banyak cerita yang dekat dengan penggambaran kehidupan sehari-hari.

Salah satu kisah favoritku adalah kisah tentang persaingan antara Paman Gober dan Roker Bebek, dua bebek terkaya di dunia. Suatu kali, mereka bersaing untuk mengukuhkan diri sebagai “bebek terkaya”, dan mereka berdua mulai membeli perusahaan-perusahaan saingan mereka. Pada akhirnya, Roker berhasil memiliki semua perusahaan Gober—dan begitu juga sebaliknya, Gober memiliki semua perusahaan Roker. Namun ketika tiba saatnya bagi mereka untuk pindah ke kantor baru mereka, mereka sama sekali tidak senang. Berlawanan dengan apa yang awalnya mereka yakini, memiliki kepunyaan saingan mereka tidaklah membawa mereka kebahagiaan.

Ketika itu terjadi, ketiga keponakan Donal menanyakan pertanyaan ini ketika mereka sedang mendiskusikan fenomena yang menyedihkan ini—sebuah pertanyaan yang aku masih ingat sampai hari ini: “Bagaimana kau bisa memiliki yang kau inginkan jika kau hanya inginkan semua yang tak kau miliki?”

Masuk akal, kan? Seperti Gober dan Roker, kita seringkali menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki. Dan mungkin itulah sebabnya mengapa kita tidak pernah bahagia, tidak peduli seberapa banyak yang kita dapatkan. Hari ini aku mungkin mendapatkan apa yang aku inginkan kemarin, tapi ketika aku mendapatkannya, aku tidak lagi menginginkannya, karena aku menginginkan hal yang lain atau hal yang lebih. Jika demikian, aku takkan pernah mendapatkan apa yang aku inginkan karena keinginan itu senantiasa berubah dan bertambah.

Beberapa waktu yang lalu, aku menemukan sebuah kesaksian dari seorang dokter bedah kecantikan asal Singapura yang kaya dan ternama bernama Dr. Richard Teo. Dalam sebuah sharing dengan sekelompok siswa pada tahun 2012, dia mengakui bagaimana dia sebelumnya begitu terobsesi oleh uang. (Dia kemudian meninggal karena kanker paru-paru pada usia 40).

Berikut adalah kutipan dari apa yang dia katakan:

“Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan menjadi sukses, dengan menjadi kaya—benar-benar tidak ada yang salah. Satu-satunya masalah adalah, aku pikir kebanyakan kita, seperti diriku, tidak mampu menyikapi [kesuksesan dan kekayaan itu] dengan baik. Mengapa aku mengatakan itu? Karena ketika aku mulai mengumpulkan, semakin banyak yang kumiliki, semakin banyak yang kuinginkan. Semakin banyak aku mengingini, semakin aku menjadi terobsesi. Aku begitu terobsesi [akan uang] sampai-sampai tidak ada hal lain yang berarti bagiku. Pasien-pasien hanyalah menjadi sumber pemasukan, dan aku mencoba untuk memeras setiap sen dari para pasien tersebut.”

Salomo, salah satu raja terkaya dalam Alkitab, juga mengutarakan hal yang sama beribu tahun yang lalu: “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia.” (Pengkhotbah 5:10).

Jadi bagaimana kita dapat berhenti mengejar “hal-hal yang lebih”? Jika barang dan uang yang kita miliki tidak dapat memberikan kita kepuasan yang sejati, lalu apa yang dapat? Mazmur 37:4 berkata, “Bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu.”

Bergembira karena Tuhan berarti menjadi puas di dalam Dia; Dia yang adalah sumber sukacita kita. Praktisnya, menjadi puas di dalam Tuhan berarti kita menemukan jati diri kita di dalam Dia dan mensyukuri segala hal yang telah Tuhan berikan kepada kita—setiap berkat besar dan kecil (dan bahkan berkat-berkat yang tidak kita sadari saat ini) di dalam hidup kita.

Sebuah pepatah mengatakan, “Ketika Tuhan adalah satu-satunya yang kamu miliki, kamu akan menyadari bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang kamu butuhkan.” Jika kita memiliki Tuhan, kita dapat merasa puas dan lengkap bahkan ketika kita kehilangan semua harta duniawi kita. Daud menuliskan ini dalam Mazmur 23:1, “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.”

Ini tidak berarti kita harus menjauh dari semua hal-hal materi dalam dunia ini. Hal-hal materi tersebut juga berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sehari-hari. Namun ketika kita belajar untuk bergembira karena Tuhan, hati kita akan dimurnikan dan keinginan kita akan diubahkan. Kita tidak lagi menginginkan hal-hal yang duniawi sebesar keinginan kita untuk mendapatkan harta surgawi. Kita mulai menginginkan apa yang Tuhan inginkan di dalam hati-Nya.

Aku belajar untuk tidak mendekap erat-erat apa yang kumiliki di dunia ini. Aku belajar untuk membagikan apa yang kumiliki dengan orang lain—karena itu menyenangkan Tuhan. Dengan anugerah-Nya, aku juga belajar untuk mensyukuri setiap berkat yang Tuhan berikan dalam hidupku, tidak peduli seberapa kecilpun itu.

Misionaris Jim Elliot pernah berkata, “Bukanlah orang bodoh apabila seseorang menyerahkan apa yang tidak dapat disimpannya demi mendapatkan apa yang tidak mungkin bisa hilang atau diambil daripadanya.” Pada akhirnya, ketika kita meninggal, kita takkan dapat membawa harta duniawi kita bersama dengan kita. Namun, jika kita memiliki Tuhan saat ini, dan percaya kepada-Nya, kita akan beroleh hidup yang kekal bersama dengan-Nya (Yohanes 3:16), dan tidak akan ada yang dapat memisahkan kita dari Dia (Roma 8:39). Jadi, marilah kita temukan kepuasan sejati kita di dalam Tuhan dan merindukan hal-hal yang bersifat kekal.

Kiranya kita terhibur ketika mengetahui bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang kita butuhkan.

Baca Juga:

7 Langkah Menuju Kehidupan Kristen yang Sukses

Dapatkah kita menghidupi kehidupan yang “sukses” dalam iman kita? Berikut adalah beberapa cara yang Tuhan tunjukkan kepadaku tentang kehidupan Kristen yang “sukses”.