Posts

Merayakan Duka

Oleh Triska Zagoto, Medan

Penghujung bulan Oktober lalu hadir dengan kisah duka yang menyisakan pilu, dan kuyakin di bulan yang sama di tahun depan pun memori kehilangan ini akan mengurai air mata. Ada dua ibadah penghiburan yang kuhadiri dalam rentang waktu kurang dari 24 jam. Sebagai orang yang memiliki pengalaman dukakehilangan seorang yang dikasihi sebelas tahun yang lalu, ternyata perasaan yang sulit dipahami dan tak dapat dijelaskan akan kehilangan itu masih ada… atau mungkin akan terus ada.

Ada perasaan campur aduk antara kehilangan dan belajar menerimanya. Belajar menerima kehilangan itu membutuhkan proses bertahun-tahun, atau mungkin berpuluh-puluh tahun. Nicholas Wolterstorff, seorang teolog dan filsuf, dalam bukunya Ratapan Bagi Putra (judul asli: Lament for a Son), buku tipis yang berisi catatan harian beliau setelah kehilangan putranya Erick, mengatakan, Memang itulah yang seharusnya terjadi, apabila ia bernilai untuk dicintai, maka ia pun bernilai menerima rasa duka kita. Kedukaan merupakan kesaksian kehidupan tentang nilai seseorang yang dikasihi. Nilai itu akan terus ada. Sepenggal kalimat ini menyadarkanku bahwa kedukaan adalah momen untuk mengingat dan mengenang mereka yang pernah Tuhan hadirkan di hidup kita.

Menerima Kehilangan sebagai Bagian dari Hidup

Seorang pendeta dalam khotbahnya pernah mengatakan bahwa kehidupan kita ini bersifat transisi. Seperti halnya halte, stasiun, pelabuhan, dan bandara adalah tempat perhentian untuk kita menuju suatu tempat. Ya, kita akan menuju ke suatu tempat! Namun kita tahu bahwa dalam masa-masa transisi ini kita akan menjumpai kehilangan demi kehilangan, mengurai air mata demi air mata, menemui pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, penuh pergulatan iman, pun pergumulan lain-lain. Tuhan menghargai setiap pengalaman-pengalaman itu, dan di sana pulalah Ia hadir dengan segala penghiburan-Nya.

Philip Yancey, dalam salah satu bukunya, mengatakan di Surga sana, ada Pribadi Allah yang memiliki bekas-bekas luka, yang karena itu Dia sangat memahami semua rasa yang mungkin ada saat penderitaan itu dialami oleh manusia. Di dalam proses menerima kehilangan tahun demi tahun, aku semakin belajar bahwa Allah yang kita sembah itu bukan saja Allah dari orang-orang yang menderita, tetapi Allah yang juga menderita. Maka kita pun mengerti bahwa Allah memberi dan menyediakan ruang yang luas untuk kita berkeluh kesah dan berduka.

Allah yang Hadir Bersama

Namun, mengetahui dan menyadari kebenaran ini tidak membuat kedukaan bisa kita jalani dengan instan. Tentu saja hari-hari setelah kehilangan itu masih terasa berat,. membentangkan satu realita yang sulit diterima yaitu tentang hal yang tidak akan pernah terulang lagi. Tentang tidak akan pernah ada lagi suara, canda, tawa, nasihat, pelukan, dan kehadiran mereka yang kita kasihi. Semuanya akan menjadi kenangan yang akan sering menyapa di waktu-waktu sendirian dan mungkin pertanyaan “Mengapa, Tuhan?” akan dengan lantang kita teriakkan di malam-malam gelap. Namun, Allah yang turut merasakan penderitaan kita itu adalah Allah yang bersetia, setiap hari, setiap waktu. Seperti pemazmur dalam doanya: “Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku.” (Mazmur 119:50). Di dalam kerapuhan itu, Allah hadir bersama kita selangkah demi selangkah.

Penghiburan Kita

Menerima realita bahwa hidup saat ini bersifat transisi, adalah hal yang penting untuk direnungkan ke mana kita sedang menuju. Menerima bahwa kematian dapat menyambut siapa saja, termasuk kita, adalah realita yang menyadarkan bahwa kita ini rapuh, kita ini fana. Namun, dalam Alkitab kita menemukan ternyata kematian itu bukanlah akhir. Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” (Yohanes 11:25-26). Inilah pengharapan kekal yang kita miliki, sebagai orang percaya kita akan dibangkitkan sama seperti Yesus telah bangkit dan akan bersama-sama dengan Dia di Surga. Inilah penghiburan yang tak dapat ditawarkan oleh dunia. Inilah penghiburan yang menguatkan hati dan memantapkan langkah-langkah kita untuk menjalani hari-hari sampai waktu kita tiba.

Di dalam pengalaman duka yang kualami, Tuhan memberiku kesempatan-kesempatan untuk merayakannya. Entah dalam ketakutan, pun keindahan ketika aku boleh menyaksikan rahmat-Nya merengkuhku yang kian hari menumbuhkan iman dan pengenalanku akan Dia. Memberi ruang bebas yang tak terbatas untuk siapapun boleh datang pada-Nya adalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa Tuhan menghargai setiap kegelisahan, kepedihan, ketakutan, dan air mata kita.

Selamat merayakan duka untuk siapapun yang tengah kehilangan atau bagi kamu yang sedang belajar menerimanya.

“Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: ‘Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini. ‘ ‘Sungguh,’ kata Roh, ‘supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” (Wahyu 14:13).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Pada Akhirnya, Adalah Kehilangan yang Menjadikan Kami Berubah

Oleh Serminya Karlen Patoding, Minahasa

Perpisahan dengan orang yang kita kasihi adalah satu hal yang sangat menyakitkan, apalagi ketika orang yang kita kasihi meninggal dunia. Itulah yang aku rasakan ketika aku kehilangan sosok ayahku.

Sekarang aku telah menjadi seorang mahasiswa semester akhir, dan aku kehilangan ayahku pada tahun 2014, waktu aku masih kelas 1 SMP. Kejadian sembilan tahun lalu itu mungkin dianggap sebagian orang sudah cukup lama, jadi kepedihan karena kehilangan perlahan sudah berkurang atau bahkan sudah tidak sakit hati lagi. Tetapi, yang aku rasakan tidaklah begitu. Pada waktu ayah baru meninggal mungkin aku tidak terlalu merasakan sakit hati, karena, yah namanya juga masih anak-anak yang pemikirannya belum terbuka.

Aku justru merasakan sakit hati paling dalam ketika aku sudah memasuki bangku kuliah. Aku merasa pemikiranku sudah mulai terbuka. Aku mengingat kembali apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Sebelum kehilangan ayah, keluarga kami hidup berkecukupan, apapun kebutuhan kami terpenuhi.

Tetapi, kehidupan keluarga kami berubah drastis setelahnya. Di situlah aku mulai berpikir kenapa Tuhan melakukan itu kepada keluarga kami? Kenapa Tuhan mengambil ayah kami? Padahal ibu tidak bekerja, kami 9 orang bersaudara dan anak pertama waktu itu masih SMA dan anak terakhir masih 3 tahun.

Bisa dibayangkan bagaimana ibu kami akan menghidupi kami 9 orang? Bagaimana dia akan membiayai sekolah kami? Dan bagaimana kebutuhan-kebutuhan lain kami akan terpenuhi?

Nah, singkat cerita, tahun demi tahun berlalu .Tak terasa kami melalui itu semua dan mulai berdamai dengan keadaan. Ternyata, berkat Tuhan datang dari segala arah dan memberi kami kecukupan sampai saat ini. Meskipun banyak pergumulan yang kami hadapi dalam keluarga, tetapi di sisi lain ada satu hal yang lebih besar yang terjadi dalam kehidupan keluarga kami. Sebelumnya kami bisa dikatakan cukup jauh dari Tuhan, bahkan ayah jarang menginjakan kaki di gereja dan saudaraku yang lain juga jarang ke gereja. Namun, setelah kehilangan ayah, ibu sudah sering ke gereja, saudara-saudaraku juga, dan kami semua perlahan mulai kenal dengan dunia pelayanan.

Ibu juga sudah sering mengajarkan kami untuk terus berdoa dan berpengharapan kepada Tuhan. Membaca Alkitab, menyanyi memuji Tuhan sebelum tidur, dan menyelesaikan suatu permasalahan berdasarkan firman Tuhan.

Waktu demi waktu berlalu dan sekarang ibuku sudah memberi diri untuk dipakai Tuhan dalam pelayanan di gereja. Kakak juga memberi diri untuk dipakai Tuhan dan sekarang mengambil studi Teologi, juga ada adikku yang terus belajar dan memberi diri dalam pelayanan di gereja. Aku juga bersyukur meskipun kuliahku bukan jurusan Teologi, tetapi dapat diperkenalkan dengan dunia pelayanan kampus.

Dari sisi tersebut aku belajar bahwa ternyata di balik kehilangan seorang yang kami sangat kasihi bukanlah semata-mata suatu musibah, tetapi ada satu hal yang begitu luar biasa terjadi dalam kehidupan keluarga kami. Ada pengharapan yang besar bagi kami. Tuhan mengubahkan hidup kami dan memanggil kami menjadi pelayan-Nya di tempat yang sudah di tentukan-Nya. Melalui pertolongan Tuhan, kami yang pada awalnya merasa tidak terima akan apa yang terjadi pada keluarga kami justru mengimani bahwa penyertaan Tuhan senantiasa ada atas kami. Dia terus setia dan hadir dalam setiap langkah kehidupan kami.

Kehilangan membuat kita bergantung pada Tuhan dan menantikan karya Tuhan dalam kehidupan kita. Tapi di atas semua penderitaan, pergumulan, kesedihan dan kehilangan yang kita alami Tuhan berjanji bahwa Dia ambil kendali.

“Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).

Hal yang akan terjadi pada kehidupan kita di hari esok bagaikan teka-teki yang tidak bisa ditebak oleh manusia. Karena itu, iman bahwa Tuhan menyertai kita memberi dorongan kepada untuk kita terus memberikan yang terbaik bagi orang lain, bagi diri kita sendiri dan terlebih bagi Tuhan.

Saat kehilangan kita boleh bersedih, kita boleh menangis, dan awalnya memang tidaklah mudah bagi kita untuk menerima. Namun dalam kesedihan dan keterpurukan kita marilah kita coba untuk memberi ruang kepada Tuhan untuk mengisi kekosongan hati kita.

Catatan Kecilku Saat Berduka: Ada Pengharapan dari-Nya

Oleh Jefferson

Natal identik dengan perayaan, sukacita, dan reuni bersama kerabat dan teman, tetapi Natal yang baru berlalu terasa berbeda untukku dan keluarga. Tepat satu minggu sebelum Natal, nenekku meninggal dunia. Aku yang sedang pulang liburan kuliah langsung membatalkan semua janjiku untuk menjalani proses kedukaan bersama keluarga.

Perasaanku campur aduk. Aku bingung bagaimana harus menanggapi kepergian nenek. Di satu sisi, aku selalu menemui beliau setiap kali aku pulang dan sebelum aku berangkat kembali Singapura. Di sisi lain, aku merasa tidak dekat dengan beliau karena jarak yang membatasi interaksi kami selama sembilan tahun terakhir.

Seperti yang biasa kulakukan untuk setiap peristiwa kehidupan yang signifikan, aku menulis jurnal sebagai doa kepada Tuhan sembari memproses setiap kejadian dan perasaan yang kualami bersama-Nya. Aku belakangan tahu manfaat di balik memusatkan diri kepada Allah selama berduka. Prakata buku On Death (“Tentang Maut”) karangan Tim Keller mengutip Samuel Johnson, “maut cenderung memusatkan pikiran dengan luar biasa.” Selama masa berduka kita cenderung merenungkan hal-hal yang tak biasa kita pikirkan seperti kehidupan dari yang berpulang, memori-memori bersamanya, dan apa yang terjadi setelah kematian. Dalam periode seperti inilah iman kita diuji. Oleh karena itu, kita yang mengaku percaya kepada Kristus harus mengarahkan diri untuk berduka dalam Tuhan. Dan dalam Firman-Nya kutemukan cara berduka yang menangkap dengan baik perasaanku yang campur aduk:

“Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia. Ini kami katakan kepadamu dengan firman Tuhan: kita yang hidup, yang masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang telah meninggal. Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini” [1 Tes. 4:13–18].

Berdukacita Menurut Alkitab: Tindakan yang Paradoksal

Tim Keller mengamati bahwa klausa terakhir dalam ayat 13 adalah negatif ganda (“jangan” dan “tidak”), jadi dalam konotasi positif Paulus sedang mengajarkan jemaat Tesalonika untuk berdukacita sebagai orang-orang yang mempunyai pengharapan. Tetapi bukankah frasa ini, berdukacita dalam pengharapan, terdengar kontradiktif? Bagaimana dua hal yang bertolak belakang, kesedihan dan pengharapan, dapat kita hidupi secara bersamaan? Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami konteks surat 1 Tesalonika terlebih dahulu.

Tema utama kitab ini adalah kedatangan Yesus Kristus yang kedua (1:10; 2:19–20; 3:13; 4:13–18; 5:1–11, 23–24). Jemaat Tesalonika tampaknya tak memahami hal ini dengan benar sehingga ada beberapa isu berkaitan yang Paulus bahas dalam suratnya, termasuk tentang kebangkitan orang mati dalam perikop ini. Ada jemaat yang menganggap bahwa anggota gereja yang saat itu telah meninggal akan melewatkan kedatangan kedua Kristus sehingga mereka “berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (ay. 13).

Paulus tidak menyalahkan jemaat Tesalonika karena ia memang tidak sempat mengajarkan hal ini ketika ia melayani di sana (3:10, bdk. 2:15, 17; Kis. 17:5–10). Ia malahan mendorong mereka untuk berdukacita, tetapi dalam pengharapan yang tidak dunia miliki. Maka Paulus mengajak kita untuk menyeimbangkan dua ekstrim, duka dan pengharapan, sehingga kita dapat melihat dua sudut dari tanggapan Kristiani terhadap kepergian orang yang berpulang.

Di satu sisi, kita patut berdukacita karena itu memang adalah respons yang pantas ketika seseorang meninggal. Aku mungkin terdengar bodoh karena menuliskan hal yang sudah jelas, namun ada banyak orang Kristen yang mencoba melangkahi dukacita lalu menderita di kemudian hari karena tidak memproses kepergian orang yang berpulang dengan benar. Kita tahu ada pengharapan kebangkitan orang mati (yang akan dibahas di paragraf berikutnya), namun Paulus di suratnya yang lain juga mengajarkan kita untuk berduka bersama mereka yang sedang berduka (Rom. 12:15). Kekayaan catatan Alkitab tentang orang-orang yang berduka (e.g., Ul. 34:8; 2 Sam. 12:15–23; Ay. 1:13–21) turut mendorongku untuk berani merangkul kedukaan. Firman Tuhan menyediakan ruang bagi yang berduka dan meragukan kehadiran-Nya di tengah duka, bahkan Ayub tidak mempertanyakan Tuhan hanya pada dua pasal pertama dan terakhir kitabnya! Kamu dapat membaca bagian-bagian Alkitab lain yang mencatat pengalaman dukacita umat Allah, tapi aku ingin mengakhiri paragraf ini dengan air mata Tuhan Yesus sendiri (Yoh. 11:35). Mengapa Yesus meratapi kematian Lazarus ketika Ia tahu Ia akan membangkitkannya sesaat kemudian? Tim Keller mengamati, “Karena itu adalah respons yang benar terhadap kejahatan dan ketidakwajaran maut.”

Di sisi lain, kita menyandarkan kedukaan kita pada pengharapan “bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia” (ay. 14) dan “mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit” (ay. 16). Dengan kata lain, kita perlu mengingat pengharapan akan kebangkitan dari maut. Ketika Paulus mengajarkan kita untuk tidak berdukacita seperti mereka yang tak memiliki pengharapan di ayat 13, ia sedang menunjukkan keunikan iman Kristen yang berharap pada kebangkitan tubuh dan kehidupan kekal setelah kematian. Sambil memproses perasaanku, mengikuti setiap proses kedukaan, dan merenungkan Natal, aku jadi lebih menghargai kata-kata Tuhan Yesus dalam Yohanes 10:10, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Ia pertama kali datang untuk mati dan bangkit agar kita dapat percaya dengan yakin bahwa Ia akan membangkitkan kita pada kedatangan-Nya yang kedua. Adakah pengharapan lain yang lebih kuat, hebat, dan mulia dibandingkan dengan yang Yesus Kristus berikan kepada manusia? Maka Ia memampukan kita untuk berdukacita dalam pengharapan.

Berdukacita untuk Mereka yang Mengaku Tidak Percaya Kepada Kristus

Namun bagaimana praktik berdukacita dalam pengharapan ini diterapkan kalau orang yang berpulang tidak percaya kepada Kristus, apalagi ayat 14 dengan spesifik mencatat “mereka yang telah meninggal dalam Yesus”? Jika Kekristenan adalah satu-satunya iman yang sejati dan benar, bukankah mereka yang tak percaya kepada Yesus tidak “akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia”? Bagaimana aku dapat berduka dalam pengharapan-Nya untuk nenekku yang sampai akhir hidupnya kelihatannya tidak percaya kepada Yesus?

Karena hal ini tidak dijelaskan oleh Alkitab dengan eksplisit, kita perlu menerapkan hikmat dari Allah untuk mencapai kesimpulan yang selaras Firman-Nya. Dua sumber terpercaya, Got Questions dan Desiring God, mengarahkanku kepada doa Abraham:

“Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil? [Kejadian 18:25].

Dalam ayat ini, Abraham memohon kepada Tuhan untuk tidak menghancurkan Sodom dan Gomora asalkan ada orang benar di sana. Perhatikan bahwa ia tidak melandaskan doanya pada kebajikan penduduk-penduduk Sodom dan Gomora. Abraham justru memohon atas dasar identitas Allah sendiri sebagai “Hakim segenap bumi” yang “menghukum dengan adil”.

Dari sumber-sumber di atas, aku belajar dua hal tentang bagaimana berduka bagi mereka yang tampaknya tidak percaya kepada Kristus. Pertama, urusan ke mana yang berpulang pergi adalah antara dia dengan Tuhan. Aku tidak dapat bilang dengan pasti bahwa nenekku tidak percaya dengan Tuhan sampai akhir, walaupun kelihatannya begitu. Mungkin saja Ia secara ajaib menemui nenekku di detik-detik akhirnya dan membawanya percaya pada-Nya. Yang pasti, kami yang percaya pada Kristus telah membagikan Injil kepada nenekku bahkan hingga di ranjang perawatannya. Percaya atau tidaknya nenekku adalah urusannya dengan Tuhan, bukan kami. Yang kedua, mengutip John Piper, “yang perlu kita ingat adalah Tuhan adil, baik, dan tidak melakukan apapun yang tidak akan kita setujui pada akhirnya.” Standar kebenaran, kebaikan, dan kebajikan adalah Tuhan Yesus, bukan kita. Ketika ada orang yang mengaku tidak percaya berpulang, kita dapat turut berduka baginya sambil berharap bahwa penghakiman Allah baginya adalah adil dan benar. Pada titik ini makna kedatangan pertama Yesus Kristus di momen Natal menjadi semakin berarti. Roma 8:32 terngiang dalam benak, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?”

Doa Dukaku dalam Pengharapan Natal

Tulisan ini adalah rangkuman perenungan yang kucatat dalam jurnalku pada hari kematian nenekku. Maka kurasa tepat untuk mengakhirinya dengan doaku hari itu kepada Allah:

Bapa di dalam surga, aku mengucap syukur atas segala karunia dan berkat yang telah Kau bagikan lewat nenek sehingga bahkan asisten rumah tangga kami pun meneteskan air mata atas kehilangannya. Aku berdoa dan berharap Engkau sempat menyatakan diri-Mu sendiri kepadanya di momen-momen terakhirnya di bumi dan membawanya kembali ke hadirat-Mu sehingga aku dapat bertemu dengannya lagi bersama-Mu di masa yang akan datang. Tetapi aku bukan Engkau, aku hanya dapat beriman bahwa Engkau telah melaksanakan apa yang Engkau kehendaki. Aku menyerahkan diriku sendiri dan semua anggota-anggota keluargaku ke dalam tangan-Mu, mengetahui bahwa bahkan kematian pun adalah salah satu berkat-Mu bagi kami. Beri aku kekuatan untuk mendampingi orangtuaku selama masa berkabung ini, biarlah Roh-Mu terus beserta dengan kami dan menghibur kami dalam kasih Anak-Mu bagi kami. Dan biarlah peristiwa ini menjadi alat-Mu untuk menjangkau kerabat-kerabatku yang belum percaya kepada-Mu. Sebab tak ada dukacita dalam pengharapan lain di dunia selain yang Injil-Mu beritakan.

Di dalam nama-Mu, Anak, dan Roh Kudus aku berduka, berharap, dan telah berdoa, amin.

Ketika Aku Menggenggam Terlalu Erat

Oleh Wira Perdana, Ambon

“Apa jadinya hidup tanpa kehadirannya?” Sanggupkah aku?” Mampukah aku?”

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang bermunculan di pikiranku ketika mendapat kabar bahwa Ayah pergi untuk selamanya pada 10 September 2021 yang lalu karena terpapar COVID-19. Sungguh sebuah kenyataan yang sulit diterima pada saat itu.
Dalam keheningan dini hari, aku hanya bisa menangis dan meratapi kenyataan di kamar kosan seorang diri. Hatiku remuk dan hancur. Tubuhku pun lemas tak berdaya.

Tidak berada di sampingnya saat akhir hidupnya adalah sebuah hal yang tidak pernah aku bayangkan dan terasa sungguh menyesakkan hati. Terlebih aku hanya bisa menyaksikan proses pemakaman secara virtual karena kondisi pandemi saat itu masih sangat mewabah. Aku hanya bisa pasrah, sebuah kesedihan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, hanya dapat diungkapkan dengan air mata.

Berbagai ungkapan dukacita datang dari sanak saudara, keluarga, juga para sahabat. Namun, sejujurnya ungkapan itu tak berdampak sama sekali padaku. Saat itulah kusadari bahwa aku begitu rapuh.

Seringkali aku menguatkan orang lain yang pernah mengalami hal serupa dengan cara memberikan kata-kata motivasi yang disertai ayat Alkitab. Namun, ketika aku yang mengalaminya, cara tersebut tidak dapat menguatkanku. Aku pikir aku kuat, tapi ternyata tidak. Dan hati kecilku bertanya, apa maksud dan rencana Tuhan bagiku dan keluargaku?

Rasa cemas dan khawatir selalu menghampiriku, terutama di awal kepergian ayah. Bagaimana hidupku selanjutnya tanpa adanya sosok ayah? Siapa yang akan menjadi tumpuan dan tulang punggung keluarga? Terlebih, siapa yang bisa menjadi problem solver ketika kelak kami punya masalah? Sungguh, kehilangan sosok ayah membuatku dan keluargaku seperti kehilangan arah.

Ayah ibarat sebuah pohon besar yang memberi kerindangan bukan hanya bagi keluarga kami, melainkan bagi seluruh keluarga besar. Ayah selalu mengupayakan segala yang terbaik bagi keluarganya, sekalipun terkadang dia melupakan kesenangannya sendiri. Dan menjelang akhir hidupnya, ayah masih menjadi sosok yang sama.

Kehadiran Ayah terkadang membuatku lupa arti kekurangan. Ayah selalu berusaha mencukupi dan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dan keinginanku serta keluarga. Bahkan hingga aku sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah, Ayah tetap ingin mengirim penghasilannya padaku sekalipun beliau juga sedang merantau bekerja di salah satu daerah pedalaman Papua, yang dari segala akses justru lebih sulit dari tempatku yang bekerja di perkotaan.

Beberapa hari setelah Ayah berpulang untuk selamanya, di tengah kondisi yang masih berduka aku mendapatkan pesan dari seorang sahabat di Yogyakarta, yang mengingatkanku bahwa kepergian Ayah memang bukan hal yang mudah, tetapi dapat menjadi kesempatan bagiku dan keluargaku untuk semakin mengalami kasih Bapa secara langsung tanpa melalu perantara seorang Ayah lagi.

Pesan tersebut kemudian menjadi titik balik bagiku yang di satu sisi menguatkanku, namun sekaligus menyadarkanku bahwa selama ini aku sangat bergantung pada sosok seorang Ayah. Aku lupa bahwa kehadiran seorang ayah adalah salah satu perpanjangan dan saluran dari kasih dan kebaikan Tuhan, bukan untuk menjadi pengganti-Nya. Kedukaanku yang terus berlarut terjadi karena selama ini aku terlalu mengandalkan dan memegang erat sosok seorang ayah melebihi Tuhan. Alhasil, ketika akhirnya ayah pergi, aku dilanda kecemasan yang luar biasa.

Setelah waktu-waktu yang panjang dan proses yang Tuhan izinkan, aku belajar menerima bahwa kehilangan sosok ayah tidak lagi menjadi momok yang menakutkan, justru menjadi sebuah kekuatan dan harapan yang terus aku imani bahwa Tuhan ingin menyalurkan kasih dan kebaikan-Nya secara langsung. Tugas ayah di dunia telah selesai, dan sekarang tugasku untuk melanjutkan kembali hidup dengan pertolongan Tuhan.

Bapa Surgawi ingin aku belajar bergantung dan melekatkan segala harapanku kepada-Nya, bukan melalui ciptaan-Nya. Ayah bukanlah milikku. Ayahku adalah milik-Nya yang dititipkan untuk sementara waktu, hingga pada waktu yang telah ditetapkan-Nya, ayah akan diambil kembali. Demikian pula dengan semua orang yang kita kasihi: orang tua, pasangan, sahabat, dan sosok lainnya, tidak ada yang abadi. Namun, kita membutuhkan sesama di dunia ini dan harus menghargai keberadaan mereka selagi masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Tuhan menciptakan sesama manusia untuk saling membantu dan membangun, terlebih untuk menjadi berkat bagi kemuliaan nama-Nya (Roma 14:8).

Kepergian ayah kini membuatku belajar untuk menghargai waktu bersama orang-orang terkasih yang masih Tuhan “titipkan” dalam hidupku, agar aku tidak menyesal di kemudian hari. Dan aku berharap, pengalamanku ini juga dapat menjadi kesaksian untuk menguatkan orang lain yang mengalami hal serupa atau kehilangan orang yang dikasihi.

Bagi kita yang pernah maupun sedang mengalami kehilangan orang terkasih, tak perlu cemas dan khawatir, karena pemeliharaan sesungguhnya berasal dari Tuhan sendiri. Percayalah, segala sesuatu diizinkan-Nya terjadi bagi kebaikan kita semua. Dan waktu-Nya adalah waktu yang terbaik.

“Demikian juga kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu” (Yohanes 16:22).

Belajar Dari Rasa Kehilangan

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Berita duka, karangan bunga, serta ucapan belasungkawa memenuhi media sosialku dalam dua bulan terakhir ini. Aku mendapati beberapa kenalan juga telah kehilangan anggota keluarganya. Mungkin di antara para pembaca, ada juga yang mengalami kehilangan yang sama akibat pandemi ini.

Bulan Juni yang lalu, aku kehilangan seorang kakak rohani sekaligus rekan sepelayanan di gerejaku. Aku merasa sangat kehilangan. Kami memiliki beberapa momen kebersamaan dalam melayani Tuhan. Dan aku merasa kehilangan sosok seorang pemimpin yang telah menjadi teladan, baik dalam sikap maupun jerih payahnya.

Berita duka terus berdatangan. Beberapa hamba Tuhan yang aku hormati dan kagumi juga dipanggil Tuhan. Rasa kehilangan tersebut tidak hanya memberikan kesedihan mendalam namun membuatku merasa seperti “kehilangan pegangan” dalam melayani Tuhan. Kerohanianku seakan-akan “bergantung” kepada kepedulian yang mereka tunjukkan seperti mendoakanku, memberikan kutipan-kutipan kalimat maupun khotbah yang memberkati, melalui kisah hidup mereka serta semangat melayani yang memberikan inspirasi. Kehadiran mereka dalam hidupku telah membuatku semakin giat untuk mengenal dan menyembah Tuhan.

Rasa kehilangan yang kualami memang terasa wajar. Namun, ketika aku berlarut di dalamnya, firman Tuhan menegur sikap hatiku. Kisah raja Yoas dan imam Yoyada (2 Raja-Raja 12) mengingatkanku untuk tidak meneladani cara hidup raja Yoas yang mengikuti Tuhan hanya selama imam Yoyada hidup (2 Raja 12:2). Iman raja Yoas bergantung kepada imam Yoyada, sehingga ketika imam Yoyada meninggal, Raja Yoas pun berbalik dari Tuhan dan menyembah berhala (2 Tawarikh 24:18).

Melalui peristiwa kehilangan ini, Tuhan ingin mengajarkan kepadaku, dan kepada kita semua, bahwa iman kita tidak boleh bergantung kepada manusia, tetapi hanya kepada Tuhan saja. Mungkin masa pandemi yang sedang berlangsung ini dapat menjadi masa pengujian iman untuk melihat kepada siapa kita telah bergantung, kepada manusia atau Allah.

Pertanyaannya, setelah kita kehilangan orang yang kita kasihi, akankah kita tetap bersungguh-sungguh mengasihi Tuhan, ataukah hati kita menjadi tawar dan memilih menyembah “berhala” seperti raja Yoas?

Kiranya kita memilih untuk tetap setia mengasihi Tuhan, sekalipun kita telah kehilangan orang yang kita kasihi.

Sedih, kecewa, marah, ataupun tawar hati, adalah perasaan wajar yang dapat dialami semasa kehilangan. Akan tetapi bila kita terus tenggelam dalam perasaan-perasaan tersebut, kita akan kehilangan banyak waktu untuk mengasihi Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama. Rasul Paulus memberi peringatan agar kita mempergunakan waktu yang ada dengan bijaksana, dengan demikian kita dapat mengerti akan kehendak Tuhan dan menyelesaikannya (Efesus 5:15-17). Mari kita gunakan waktu hidup yang singkat ini untuk terus melakukan kehendak Tuhan, bukan melakukan kehendak dan kesenangan diri sendiri.

Tidak dapat dipungkiri, setelah kehilangan orang yang dikasihi, kita akan menjalankan pelayanan dan hari-hari kita dengan situasi yang berbeda. Kita perlu berdamai dengan situasi dan hati kita di masa kehilangan ini. Mari kita terus menguatkan hati di hadapan Tuhan, mengandalkan-Nya dan berjalan bersama-Nya setiap hari. Ketika kita terus berjalan bersama-Nya, kita pun akan dikuatkan oleh Roh Kudus untuk melakukan kehendak Tuhan.

Kepada kita yang masih diberikan kesempatan untuk hidup, kita percaya masih ada tanggung jawab dan pekerjaan baik yang perlu kita selesaikan sebelum waktu kita sendiri tiba nanti. Adakalanya kita merasa seolah-olah kekuatan kita untuk melangkah hilang akibat kesedihan kehilangan “teladan hidup yang nyata”, tetapi marilah kita kembali bersemangat bangkit untuk melakukan kehendak Tuhan. Dan kita pun dapat meneruskan teladan baik yang telah kita alami dalam hidup dan pelayanan kita.

Melalui tulisan ini, aku ingin menyampaikan ucapan belasungkawa dan rasa sepenanggungan untuk teman-teman yang telah kehilangan orang yang dikasihi. Kiranya kasih dan penghiburan dari Roh Kudus menyertai kita semua, sampai selama-lamanya. Amin.

Baca Juga:

Ketika Penampilan Tidak Good-Looking, Bagaimana Bisa Meraih Bahagia?

Aku teringat omongan orang yang berkata kalau penampilan fisik yang menarik bisa membuat hidup jadi sukses. Tapi, penampilan fisikku jauh dari menarik.

Tuhanlah Sumber Kekuatan, Sebuah Surat Dariku yang Pernah Kehilangan

Oleh Nia Andrei, Sampit

Saudara-saudariku yang terkasih dalam Tuhan Yesus, sekitar satu bulan yang lalu aku menuliskan kesaksian yang berjudul “Dia yang Kukasihi, Dia yang Berpulang Lebih Dulu”. Di tulisan itu aku menceritakan momen-momen ketika Tuhan akhirnya memanggil pulang suamiku. Dan di tulisan ini, aku ingin bercerita kembali tentang kebaikan Tuhan, terkhusus setelah kehilangan berat yang kulalui.

Sebelum dan setelah menikah, aku dan suamiku melayani bersama-sama di gereja. Dia melayani sebagai pemain musik, sedangkan aku sebagai singer. Sempat beberapa kali kami mendapatkan jadwal pelayanan bersama. Sungguh suatu sukacita bisa melayani Tuhan dan jemaat-Nya di gereja. Walaupun saat itu kondisi suamiku telah sakit, dan dalam beberapa minggu sekali dia harus bolak-balik ke rumah sakit untuk transfusi darah. Namun, dia tetap semangat untuk pelayanan musik di gereja.

Singkat cerita, ketika Tuhan akhirnya memanggilnya pulang, aku kembali mengingat pesan-pesan berharga yang pernah dia sampaikan kepadaku. “Jangan hidup dalam kekhawatiran, ada Tuhan yang pelihara.” Dia juga memintaku untuk jadi wanita yang kuat, bijak, dan mandiri. Aku tidak perlu menangis karena dia baik-baik saja. Aku sangat percaya bahwa sekarang dia baik-baik saja bersama Bapa di surga, sudah sehat dan tidak lagi merasakan penderitaan di dunia. Pesan-pesan itulah yang selalu kuingat sampai saat ini. Sampai pada saat kehilangan itu terjadi, aku tetap berkomitmen memberikan hidupku untuk melayani Tuhan walaupun tidak lagi bersama-sama dengan suamiku.

Aku melakukan aktivitasku seperti biasa: bekerja dan melayani di gereja. Aku minta kekuatan dari Tuhan sebab aku hanyalah manusia yang terbatas. Aku menyadari bahwa kematian itu pasti akan kita alami, namun di balik itu, aku menyadari pula bahwa kehidupan ini berharga bagi Tuhan. Kita bisa menjalani hari demi hari karena kasih dan penyertaan Tuhan. Kita percaya bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan kita tidak lepas dari campur tangan Tuhan.

Mungkin akan ada saatnya ketika kita tiba di satu titik, kita menyadari bahwa hari-hari yang kita jalani tanpa lagi ditemani oleh orang-orang yang kita cintai. Namun, karena kita punya iman kepada Yesus, kita mampu untuk melalui rasa kesepian dan kesendirian.

Berlarut-larut dalam rasa kehilangan, mungkin bagi sebagian kita itu membuat kita tidak lagi bersemangat, tidak nafsu makan, dan tidak berdaya. Namun, aku percaya bahwa Tuhan Yesus mengatakan dalam Yohanes 14:16-17 bahwa Dia menjanjikan Penghibur, Penolong, dan memberikan kita damai sejahtera untuk menjalani hari-hari di hidup kita. Tuhan Yesus juga mengingatkan dalam Yesaya 46:4 bahwa “sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu, Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.”

Dalam satu buku yang kubaca berjudul Dear God-Season One karya Vonny Evelyn Jingga, terdapat ilustrasi percakapan seperti ini:

God : Kau kecewa pada-Ku karena semuanya Ku-ambil darimu?
Me : Tidak, Tuhan. Segala sesuatu boleh Kau ambil dariku. Asal jangan Kau tinggalkan aku.
God : Aku tahu sesungguhnya Aku tidak mengambil semuanya darimu. Ada satu yang Ku-tinggalkan untukmu.
Me : Apakah itu, Tuhan?
God : Hati-Ku.

Aku percaya, melalui tulisanku ini Tuhan hendak menunjukkan bahwa Dia berkuasa penuh dalam hidup kita, tetapi Dia juga ingin menyatakan kemuliaan-Nya di hidup kita. Dia ingin hidup kita menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kita. Meskipun kita mengalami kehilangan yang pedih, kita bisa mempercayai hati-Nya.

Kiranya kehidupan kita sehari-hari dapat berdampak positif dan bisa menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kita.

Tuhan Yesus memberkati kita semua.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Bagaimana Usia 20-an Mengajariku Cara Pandang Baru untuk Menjalin Relasi

Di usia 20-an kita bukan lagi remaja. Relasi dengan orang-orang di sekitar kita perlu dibina dengan cara yang benar.

Allah Bekerja dalam Kehilangan Kita

Oleh Daniel Alexander Oktavianus, Bekasi

Tidak ada orang yang ingin merasakan kehilangan. Bahkan, banyak yang berpikir bahwa kehilangan akan menghasilkan rasa sakit dan tidak perlulah menjadi bagian hidup manusia. Namun, tidak bisa kita pungkiri, semua orang pasti akan merasakan kehilangan.

Aku pun pernah kehilangan, dan yang terbaru terjadi dua bulan lalu. Aku kehilangan bapakku di saat aku sebagai anak tertua tidak bisa melakukan apa-apa untuk keluargaku.

Singkat cerita, bapak tidak tinggal bersama kami karena beliau dan mama bertengkar sejak lama, bahkan hampir bercerai hingga akhirnya berpisah rumah cukup jauh. Kami tinggal di Bekasi sementara bapak tinggal bersama saudaranya di Siantar, Sumatera Utara.

Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk menyatukan mereka kembali. Mereka berdua sudah terlanjur terlalu membenci. Aku hanya bisa mendoakan mereka, karena setiap usahaku untuk menyatukan mereka, selalu gagal.

Lalu, ketika bapak dalam kondisi sakit parah, aku pun terbang ke Siantar, merawatnya sampai bapak meninggal di sebelahku. Yang aku pikirkan saat bapak pergi hanya satu, “Aku hanya orang yang gagal, yang gak bisa menyatukan keluarga.” Rasa kehilangan bercampur dengan perasaan gagal. Beberapa jam aku merenung, dan yang ada hanyalah perasaan terintimidasi.

Sampai pada akhirnya, ada satu kalimat terlintas dalam pikiranku, “Mungkin Tuhan ingin ini terjadi agar ada pengampunan dalam keluarga.”

Kalimat inilah yang membebaskanku dari perasaan bersalahku.

Bagaimana bisa?

Semenjak hari itu, sampai sekarang, aku melihat sendiri bagaimana peristiwa dukacita itu menjadi momen pemulihan bagi keluargaku. Mama membuka pintu hatinya dan mengampuni bapak, bahkan malah semakin merindukan kehadran bapak. Pengampunan turun atas keluarga kami.

Dukacita dan kehilangan, perisitwa yang agaknya kelam, namun Tuhan pakai untuk mendatangkan kebaikan. Dari kejadian ini, aku samkin yakin satu hal, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan (Roma 8:28).

Kadang, kita sering melihat momen hidup yang tidak mengenakkan sebagai sebuah hal yang harus dihindari.

Namun, kenyataannya, tidaklah selalu demikian.

Kita diizinkan tidak jadian dengan wanita yang kita suka bukan karena Tuhan tidak ingin kita senang, tapi karena Tuhan tidak ingin kita bersedih karena salah pilih orang.

Kita diizinkan gagal masuk sekolah yang kita inginkan, bukan karena Tuhan tidak ingin kita masuk ke sekolah yang terbaik, tapi karena mungkin Tuhan ingin mempertemukan kita dengan orang yang bisa mengubah atau menolong kita di sekolah lain.

Tuhan mengizinkan orang tua kita berpulang lebih dahulu kepada-Nya bukan karena Tuhan ingin kita kesempian, tapi Dia ingin kita bergantung kepada-Nya.

Segala sesuatu yang Tuhan lakukan senantiasa untuk kebaikan kita. Bahkan, sekalipun hal itu buruk di mata kita, Tuhan selalu menyajikan kebaikan di dalamnya.

Yohanes 3:16 berkata, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Tuhan tidak hanya menyelamatkan kita dari kebinasaan dan membawa kita ke hidup kekal, Tuhan sendiri pun merasakan kehilangan. Bapa di surga kehilangan Anak-Nya yang tunggal demi membawa keselamatan bagi kita semua.

Kehilangan tidaklah selalu buruk. Dikecewakan tidaklah selalu buruk. Disakiti tidaklah selalu buruk. Yang membuat itu semua buruk adalah respons kita yang menolak untuk menerima peristiwa tersebut dan kita enggan meletakkan kepercayaan kita kepada Tuhan.

Namun, menerima kehilangan dan beragam peristiwa buruk bukanlah proses yang mudah. Bisa jadi itu adalah proses bertahun-tahun yang melibatkan kemelut emosi dan derai air mata. Kiranya kita tidak tawar hati dan sama-sama berkenan untuk belajar bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. Selalu ada maksud Tuhan dalam setiap momen hidup kita, bahkan dalam kehilangan kita sekalipun.

Baca Juga:

Kini dan Nanti, Penyertaan-Nya Tetap Ada

Kegagalan yang terjadi bukan selalu berarti Tuhant idak merestui rencana kita. Izinkanlah diri kita untuk percaya akan kebaikan dan penyertaan Tuhan meskipun lewat hal pahit sekalipun.

Surat untukmu Yang Sedang Berduka

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Untukmu yang berduka,

Aku ingat ketika ayahku meninggal dunia satu setengah tahun lalu. Rasa pedihnya masih bisa kurasakan hingga saat ini. Kehilangan orang yang kita kasihi, apalagi secara tiba-tiba, tentu bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Hari demi hari berlalu, namun menanggung beban kesedihan tidak terasa lebih mudah. Rasanya seperti berjalan dalam lembah kelam yang penuh dengan duri. Hari depan seperti gelap gulita, sementara kaki kita terus menginjak duri demi duri. Berdarah, berlinang air mata. Beribu ragu dan pertanyaan berputar dalam kepala:

“Tuhan, di mana Engkau saat ini?”
“Tuhan, apakah Engkau mendengar tangisan kami?”
“Tuhan, mengapa Engkau biarkan hal ini terjadi?”
“Tuhan, mengapa harus kami yang mengalami malapetaka ini?”
“Tuhan, benarkah Engkau mengasihi kami?”
“Tuhan, mengapa Engkau seolah diam saja?”

Tapi, seperti jalan buntu, tidak ada jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Yang ada hanya keheningan yang panjang. Dan, tanpa kita sadari, air mata mengalir dan doa-doa tertahan dalam mulut kita. Dengan langkah gontai dan terpaksa, kita terus berjalan dalam lembah kelam yang penuh duri tanpa tahu kapan perjalanan ini akan berakhir.

Untukmu yang berduka,

Aku juga pernah berjalan di sana. Walau tentu lembah kelam kita berbeda, tapi aku pernah menikmati hidup bersama air mata. Perasaan kehilangan adalah perasaan terburuk yang kurasa tidak seharusnya dirasakan oleh siapapun di muka bumi. Namun, kejatuhan manusia, kejatuhan kita ke dalam dosa membuat kita harus mengalami kematian, perpisahan, kehilangan, kesedihan, dan air mata. Begitu mengerikan dosa itu, hingga karenanya, bukan hanya kita saja tetapi semua orang di seluruh dunia harus turut merasakan perasaan kehilangan dan duka. Begitu mengerikan dosa itu, hingga Allah harus mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus Kristus, mati di kayu salib untuk menebus dosa dan mengalahkan maut. Namun, karena kematian dan kebangkitan-Nya, kini kita punya harapan akan adanya suatu masa di mana tiada lagi duka dan air mata.

“Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: ‘Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah bagi mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu’” (Wahyu 21:3-4).

Untukmu yang berduka,

Lembah kekelaman ini memang masih harus kita jalani. Tapi aku ingat, pada satu titik dalam perjalanan di lembah kekelamanku, aku menyadari bahwa Tuhan ada di sisiku, Dia berjalan bersamaku. Pernah satu kali aku menangis dalam perjalanan pulang dari kantorku, dan hujan tiba-tiba turun. Aku merasa Tuhan seolah menangis bersamaku. Dalam butiran-butiran hujan itu, aku merasakan penghiburan dari-Nya. Aku seperti mendengar suara Tuhan lembut berkata, “Berdukalah, tapi ingatlah Aku turut berduka bersamamu. Menangislah, tapi ingatlah Aku ikut menangis bersamamu.” Dalam keheningan, Tuhan berjalan bersamaku, melewati lembah yang kelam dan berduri.

Ada sebuah lagu yang liriknya mengingatkanku akan penyertaan Tuhan:

Does Jesus care when I’ve said “good bye” to the dearest on earth to me,
And my sad heart aches, till it nearby breaks,
Is it ought to Him? Does He see?

O yes, He cares, I know He cares,
His heart is touched with my grief;
When the days are weary,
The long night dreary,
I know my Savior cares.

(Does Jesus Care, Frank E. Graeff (1860-1919))

Adakah Yesus peduli, ketika kuucapkan “selamat tinggal” kepada yang kukasihi di dunia,
Dan hatiku begitu terluka, hingga hampir hancur
Apakah itu berarti bagi-Nya? Apakah Ia melihatnya?
Oh ya, Ia peduli, aku tahu Ia peduli
Hati-Nya tersentuh oleh kesedihanku yang mendalam
Ketika siang terasa melelahkan, dan malam terasa suram
Aku tahu Juruselamatku peduli.

(Terjemahan bebas)

Untukmu yang berduka,

Perjalanan masih panjang. Kesedihan yang dalam masih harus kita hadapi. Tapi, Tuhan hadir dalam setiap tetesan air mata yang jatuh dan dalam tiap doa yang kita naikkan. Tiada tempat lain, hanya di dalam-Nya penghiburan yang sejati bisa kita temukan. Satu setengah tahun hidup bersama air mata mengajarkanku bahwa berjalan bersama-Nya adalah perjalanan terbaik, walaupun harus melewati lembah kelam yang berduri. Hanya Tuhanlah perlindungan dan kekuatan, kota benteng kita yang teguh. Di dalam Dia, kita takkan goyah.

“Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya” (Mazmur 46:2-4).

Kiranya Tuhan menyinari kita dengan wajahNya dan memberi kita kasih karunia.

Dariku, yang berduka untukmu.

Baca Juga:

3 Respons untuk Menyikapi Musibah

Sebagai orang Kristen, ada tiga hal yang perlu kita pikirkan sebelum memposting sesuatu di media sosial sebagai wujud respons kita terhadap suatu musibah.

Di Saat Aku Berdukacita, Tuhan Menghiburku

Oleh Wisud Yohana Sianturi, Sidikalang

Aku telah kehilangan kedua orangtuaku. Ayahku dipanggil Tuhan lebih dulu. Ketika hari itu tiba, aku marah dan kecewa. Aku menyalahkan semuanya, orang-orang di sekitarku, keadaanku, bahkan juga Tuhan.

Sewaktu ayahku masih hidup, hubungan kami kurang begitu baik. Karena banyak hal, aku berusaha menjaga jarak dengannya. Hingga ketika Ayah mengalami sakit keras, dia berkata kepadaku, “Nang [nak], pasti kau merasa kalau aku tidak peduli kepadamu, cuek sama kamu. Tapi bapak sayang samamu, nang.” Hari itu aku menangis di depan Ayah. Ketika dia akhirnya meninggal dunia, aku menyesal karena merasa dulu tidak menjadi anak yang baik.

Selepas kepergian Ayah, aku menjauhi Tuhan. Aku sering mengabaikan pertemuan ibadah di gereja dan juga tidak mau berdoa lagi. Ketika ibuku tahu tentang hal ini, dia menegurku. Katanya, Tuhan itu tidak pernah berbuat buruk. Tuhan selalu berlaku baik. Apa pun itu pasti untuk kebaikan. Aku menangis mendengar teguran dari ibuku, dan setelahnya aku pelan-pelan belajar untuk kembali berdoa.

Beberapa bulan berselang, ibuku masuk rumah sakit dan harus dipindahkan ke rumah sakit lain yang lebih memadai. Ketika kabar itu datang, hari sudah malam dan aku tidak tahu harus berbuat apa karena kami tidak tinggal di satu kota yang sama. Perasaanku tak karuan dan aku ketakutan. Dalam keadaan itulah aku berdoa dan membaca Alkitab sambil menangis. Aku berkata pada Tuhan kalau aku belum siap jika harus kehilangan Ibu. Jika ibuku pergi meninggalkanku, maka aku akan menyerah dengan mengakhiri hidupku juga.

Keesokan harinya, aku dikabari bahwa Ibu terkena stroke dan dilarikan ke ICU. Setelah kuliah usai, aku bergegas menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat. Ibuku sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di dekat telinganya, aku berbisik, “Mak, jangan tinggalkan aku. Aku gak siap mamak tinggalkan sendirian.” Aku melihat ibuku meneteskan air mata.

Singkat cerita, melalui serangkaian proses perawatan itu ibuku bisa bertahan dan tetap bersamaku selama hampir setahun sampai aku diwisuda. Hari-hari yang dulu kulalui bersama Ibu adalah hari yang berat. Namun, dalam kondisi seperti itu justru aku merasa kalau itu adalah masa-masa di mana aku dekat Tuhan. Masa-masa di mana aku benar-benar membutuhkan Tuhan. Hanya Tuhan tempatku mengadu, sampai akhirnya Ibu kembali masuk rumah sakit dan Tuhan memanggilnya.

Dalam dukacitaku, Tuhan menghiburku

Sejujurnya, aku rasa aku tidak sanggup menerima kenyataan kalau aku sudah tidak lagi punya orangtua. Ketika Ibu meninggal, aku sempat berpikir untuk berhenti membaca firman Tuhan dan tidak mau berdoa lagi. Ada rasa marah dan kecewa pada Tuhan hingga aku ingin meninggalkan-Nya selama beberapa waktu. Tapi, di sisi lain hatiku, aku sadar bahwa hanya Tuhan sajalah satu-satunya yang kumiliki. Dialah penciptaku, yang tahu betul akan diriku lebih daripada aku sendiri. Aku pun teringat pesan ibuku dulu ketika aku berusaha menjauhi Tuhan setelah kepergian Ayah. Tuhan itu selalu baik dan apa pun yang terjadi adalah untuk mendatangkan kebaikan.

Selama seminggu aku diliputi rasa duka. Hingga suatu ketika aku bertanya-tanya dalam hati, “Apa sih yang Tuhan akan katakan mengenai keadaanku saat ini?” Aku pun membaca renungan yang ada di tabletku. Isi renungan hari itu diambil dari Yohanes 14 yang terdiri dari beberapa ayat. Ada satu ayat yang membuatku menangis.

“Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu” (Yohanes 14:18).

Melalui ayat ini, aku merasa Tuhan benar-benar menghiburku. Aku berusaha menjauh dari-Nya, tapi Dia tidak pernah meninggalkanku sendirian. Kuakui, ketika kedua orangtuaku masih hidup, aku sangat mengandalkan mereka. Bersama mereka, aku merasa aman dan kuletakkan harapanku pada mereka. Tapi, ketika mereka pergi, barulah aku sadar bahwa manusia itu terbatas dan tumpuan harapan terbesar yang seharusnya menjadi satu-satunya andalanku adalah Tuhan Yesus sendiri.

Kedua orangtuaku telah pergi dari sisiku, tetapi Tuhan selalu ada buatku. Entah bagaimana pun keadaanku, di mana pun aku berada, Dia selalu bersamaku.

Aku berdoa, kiranya kesaksianku ini boleh memberi kekuatan untuk teman-teman yang membacanya.

“Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh” (Mazmur 139:2).

Baca Juga:

Tuhan, Lakukanlah Kepadaku Apa Pun

Hampir tidak pernah kita berdoa “Tuhan, berikanlah kepadaku apa pun juga. Kegelapan, terang, penghiburan, penderitaan… apa pun juga… dan aku tetap akan memuji-Mu!” Wow, doa ini mungkin terdengar ngeri buatku, tapi di sinilah aku belajar untuk memahami kembali bagaimana seharusnya aku berdoa.