Posts

Mati dan Bangkit Setiap Hari

Oleh Jefferson, Singapura.

Tema WarungSaTeKaMu bulan ini adalah “Memelihara Tubuh Kristus”. Cakupan tema ini termasuk luas, tapi dalam tulisan ini aku ingin membahas satu aspek dari kehidupan komunal Kristen yang menurutku jarang disentuh, yaitu kebangkitan rohani (revival). Aku pernah membagikan perenunganku terhadap topik ini sebelumnya dalam rapat panitia acara penyambutan pemuda/i baru di gerejaku yang acaranya kebetulan berpuncak pada Kebaktian Kebangkitan Rohani (KKR). Bertepatan dengan peringatan satu tahun setelah KKR itu dilaksanakan, aku ingin meninjau kembali pemikiranku saat itu dan melihat bagaimana pandanganku terhadap kebangkitan rohani mungkin telah berubah.

Mari kita mulai dengan menilik satu perikop di surat Efesus yang menjadi fokus pembahasan kita.

Sebuah Doa untuk Gereja yang “Sangat Baik” Kondisinya

Aku [Paulus] berdoa supaya Ia [Allah Bapa], menurut kekayaan kemuliaan-Nya, meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, 19dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.”

Efesus ‭3:16-19‬‬‬ TB

Karena aku baru mengetahui bahwa aku akan membagikan renungan hanya beberapa jam sebelum rapat berlangsung, aku tidak mempelajari latar belakang perikop dan surat Efesus dengan saksama. Sebaliknya, dengan tergesa-gesa aku membaca bagian-bagian sebelumnya dan dengan keliru menyimpulkan terjadinya konflik antara jemaat Yahudi dengan non-Yahudi di Efesus. Aku menafsirkan demikian dari penjelasan Paulus tentang pengalaman pertobatan setiap orang percaya oleh kasih karunia melalui iman (2:1-10), kesatuan semua orang percaya dari segala suku, abad, dan tempat di bawah Kristus (2:11-22), dan misteri Injil (yaitu lewat kematian dan kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus juga menebus kaum non-Yahudi; 3:1-13).

Namun, setelah membaca surat Efesus dengan teliti, aku menemukan bahwa tidak ada konflik sama sekali antara jemaat Efesus yang Yahudi dan non-Yahudi. Malahan, ketika biasanya surat rasul ditulis untuk menjawab isu-isu tertentu (contohnya 1 dan 2 Korintus), jemaat Efesus adalah satu dari sedikit yang tidak mempunyai permasalahan sama sekali. Fakta ini membingungkanku. Mengapa Paulus mendoakan terjadinya kebangkitan rohani di antara suatu jemaat yang kondisinya sangat baik? Sebelum kembali ke pertanyaan itu dan menjelaskan mengapa aku menyebut doa di atas sebagai doa untuk kebangkitan rohani, mari kita pahami dulu alur perikop ini.

Menanggapi kebenaran-kebenaran luhur dalam bagian-bagian sebelumnya, Paulus memulai doanya di ayat 16 dengan meminta kepada Allah Bapa supaya Roh Kudus dalam hati (“batin”) setiap anggota jemaat Efesus (“kamu” di sini dalam bahasa Yunani bersifat jamak) menguatkan dan meneguhkan mereka dengan kuasa-Nya seturut dengan anugerah-Nya (“kekayaan kemuliaan-Nya”). Apa tujuan dari permohonan ini? Supaya Kristus sang Anak tinggal di dalam hati mereka lewat iman yang dimampukan oleh Roh, sehingga mereka dapat berakar dan berdasar di dalam kasih-Nya (ayat 17). Permintaan itu tidak berhenti di sana. Paulus lalu berdoa supaya melalui peristiwa-peristiwa ini jemaat Efesus dimampukan untuk bersama-sama memahami “betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus” yang “melampaui segala pengetahuan” itu, yang memimpin mereka untuk “dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah” (ayat 18-19). Dengan kata lain, Paulus berdoa supaya jemaat Efesus dapat semakin mengenal Tuhan dan Juruselamat mereka yang mulia sebagaimana mestinya secara pribadi dan intim sehingga kepenuhan Allah nyata dalam kehidupan mereka. Perikop ini adalah sebuah permohonan kepada Tuhan agar serangkaian sebab akibat terjadi di antara jemaat Efesus, satu permintaan dibangun di atas yang lain.

Yang menarik dari bagian ini adalah jenis kata kerja yang dipakai Paulus dalam setiap permohonannya (“meneguhkan”, “diam”, “memahami”, “mengenal”, “dipenuhi”), yaitu aorist. Dalam bahasa Yunani, jenis kata kerja ini menandakan suatu tindakan yang dimulai pada suatu titik di masa lalu dan berlanjut ke masa depan tanpa adanya titik akhir. Untuk suatu gereja dalam kondisi baik (dalam artian mereka tidak memiliki masalah genting yang perlu dibahas oleh pemimpin gereja setingkat rasul dalam surat mereka), mengapa Paulus mendoakan dengan penuh semangat dan tanpa malu-malu supaya hal-hal besar tersebut terjadi terus-menerus di antara jemaat Efesus?

Sebuah Doa Terbesar untuk Kebangkitan Rohani

Kurasa Paulus ingin mengingatkan mereka tentang bahaya dari kelonggaran rohani. Kita dapat menelusuri jejak maksud ini dalam bagian-bagian berikutnya. Sebagai contoh, tepat setelah perikop ini, Paulus menasihati jemaat Efesus untuk “hidup sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu” (4:1). Mengapa Paulus terkesan begitu serius dan mendesak? Karena kalau mereka tidak hidup sebagai orang-orang yang berpadanan dengan panggilan mereka, orang-orang percaya di Efesus bisa dengan tanpa sadar mengikuti ajaran-ajaran palsu di sekitar mereka (4:14). Mungkin selama ini mereka bertumbuh dengan baik dan pesat sebagai murid-murid Kristus, tetapi kalau mereka tidak terus mengingatkan diri bahwa mereka sedang berada dalam peperangan rohani, mereka akan kalah. Paulus menggunakan gambaran yang sangat nyata dalam nasihat terakhir di surat Efesus untuk mendeskripsikan medan peperangan yang mereka hadapi: bukan musuh-musuh yang fisik, melainkan “melawan pemerintah-pemerintah,… penguasa- penguasa,… penghulu-penghulu dunia yang gelap ini,… roh-roh jahat di udara”‬ ‭(6:12‬).

Tetapi ”panggilan“ seperti apa yang telah diberikan kepada jemaat Efesus (dan setiap orang percaya) yang perlu dipadankan dalam kehidupan? Efesus 2 mengajarkan bahwa kita dipanggil untuk berharap kepada keselamatan yang diberikan dalam Kristus oleh kasih karunia melalui iman (ayat 1-10) dan untuk dipersatukan dengan orang percaya lainnya di dalam-Nya (ayat 11-22). Terlebih lagi, Tuhan Yesus dalam Amanat Agung-Nya (Mat. 28:18-20) memanggil kita untuk membawa orang lain kepada pengharapan yang sama yang kita miliki dalam Dia. Bagaimana caranya? Kita harus pertama-tama menjadi seperti Dia, dipenuhi oleh kasih dan kepenuhan-Nya. Bagaimana caranya? Dengan mengenal siapa Dia: Tuhan dan Juruselamat yang kemuliaan dan keagungan-Nya tidak dapat diukur standar manusia. Lagi, bagaimana caranya? Kristus harus tinggal di dalam kita dulu. Tetapi, oleh karena keberdosaan kita, secara natur kita adalah seteru Allah (Rm. 8:7). Untuk terakhir kalinya, jadi bagaimana caranya? Melalui pekerjaan Roh Kudus yang memampukan kita untuk percaya kepada Kristus. Bisa kamu lihat benang merahnya? Dalam Efesus 3:16-19, Paulus berdoa agar Tuhan terus-menerus membangkitkan kita dari kecenderungan kita kepada kematian rohani dan membukakan mata kita untuk mampu melihat Kristus sebagaimana mestinya: “sang Kepala dari segala yang ada” (1:22), yang telah bangkit dari antara orang mati dan sekarang duduk di sebelah kanan Allah Bapa di surga (1:20). Demikianlah kita mendapatkan sebuah doa terbesar untuk kebangkitan rohani yang kita juga dapat ucapkan sendiri.

Menghidupi Kebangkitan Rohani

Kehidupan Kristen adalah sebuah perjalanan ziarah penuh perjuangan untuk terus melihat dan mengenal Kristus dan kasih-Nya di tengah-tengah ombang-ambing “rupa-rupa angin pengajaran” dan “permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan”‬ ‭(Efesus 4:14‬). Karena kita masih hidup dalam dunia yang berdosa, secara alamiah kita akan cenderung berfokus pada berhala-berhala dunia, bukannya pada Yesus. Di sinilah kita melihat manfaat dari sarana-sarana kebangkitan rohani seperti KKR. Sarana-sarana tersebut layaknya defibrillator ilahi yang Tuhan gunakan untuk membangkitkan mereka yang selama ini tanpa sadar berjalan sebagai mayat hidup, baik yang belum percaya maupun yang sudah percaya kepada Kristus. Analogi ini juga menunjukkan bahwa kita yang hidup dalam dosa tidak dapat menghidupkan diri sendiri; kita hanya bisa beriman kepada Allah yang “menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus” (Efesus 2:5).

Dalam renunganku tahun lalu, aku melanjutkan dengan menjelaskan lebih lanjut tentang KKR, sebuah sarana kebangkitan rohani yang umumnya diselenggarakan gereja untuk peristiwa-peristiwa khusus seperti perayaan Natal dan Paskah. Kali ini, aku ingin menutup dengan sebuah aplikasi praktis yang kita bisa langsung jalankan: mengalami kebangkitan rohani setiap kali bangun pagi. Bagaimana caranya? Melalui disiplin-disiplin rohani mendasar iman Kristen, yaitu saat teduh dan doa.

Belakangan ini aku semakin menyadari betapa pentingnya momen ketika aku beranjak bangun dari kasur setiap pagi. Saat kita bangun pagi adalah momen kita paling rentan terhadap panah-panah api si jahat. Ketika kita belum sepenuhnya sadar, perasaan dan pikiran sudah dilanda dengan berbagai kegelisahan akan berbagai hal, baik pekerjaan yang harus kita kerjakan hari itu, kekhawatiran tentang masa depan, maupun masalah yang belum selesai di kantor/sekolah. Hari kita pun dimulai dengan kepungan tanpa ampun dan suara terompet yang menulikan telinga dari musuh tepat ketika fajar mulai menyingsing. Menghadapi situasi seperti ini, kita dihadapkan dengan dua pilihan: dibutakan oleh keegoisan diri yang dengan arogan berpikir bahwa alam semesta berputar di sekeliling kita, atau dengan tenang mendengarkan strategi perang dari sang Raja.

Dari ilustrasiku di atas, kita melihat pentingnya saat teduh dan doa dalam kebangkitan rohani kita sehari-hari. Alih-alih dibingungkan dan tergoda oleh daya tarik berhala-berhala dunia dan gambaran palsu Kristus yang hati kita yang berdosa ciptakan, Allah dalam kasih karunia-Nya membangkitkan kita yang mati dalam dosa dan memampukan kita untuk melihat Kristus sebagaimana mestinya sehingga kita dapat hidup dalam terang-Nya. Lewat saat teduh kita dimampukan untuk melihat keindahan Kristus yang tersembunyi dalam segala sesuatu dan memahami kehendak-Nya bagi kita untuk hari itu, sementara doa menjadi sarana komunikasi dengan Tuhan dalam menyatakan segala ketakutan kita dan menyerahkan diri untuk mematuhi kehendak-Nya. Disiplin-disiplin rohani ini ibarat rapat strategi sebelum perang (yang memberikan kita senjata tempur dalam bentuk pedang Roh) dan walkie-talkie yang terus menghubungkan kita dengan Panglima Tertinggi di tengah panasnya pertempuran.

Puji Tuhan, aku dimampukan untuk terus mempraktikkan kedua disiplin rohani ini sejak aku pindah ke Singapura. Tuhan terutama memakai kata-kata Charles Spurgeon, seorang pengkhotbah Inggris abad ke-19, untuk mendorongku terus berdisiplin: “Cara terbaik untuk hidup tanpa segala ketakutan terhadap kematian adalah dengan mati setiap pagi sebelum meninggalkan kamar tidur.” Karena diriku yang lama sudah mati dalam dosa, yang sekarang hidup di dalamku adalah Kristus, sang “Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Galatia 2:20). Sudah 5 tahun lebih sejak aku melakukan disiplin “mati” dan dibangkitkan dalam Kristus setiap pagi, dan walaupun tidak setiap hari aku berhasil benar-benar “mati”, kasih karunia Allah selalu cukup dalam memenangkan peperangan rohaniku setiap harinya. Ada banyak keputusan dan lompatan iman penting yang kurasa tidak akan kubuat kalau Kristus tidak benar-benar hidup di dalam aku sejak pagi hari, kalau Tuhan tidak mencelikkan mataku yang buta terlebih dahulu untuk melihat kemuliaan dan keindahan Yesus Kristus dalam segala hal.

Menghidupi Kebangkitan Rohani Bersama

Sebagai penutup, bisakah kamu menduga kaitan aplikasi praktis ini dengan “memelihara tubuh Kristus”? Kalau kamu belum sadar, Paulus dalam doanya tidak pernah meminta kepada Tuhan supaya kita memahami dalamnya kasih Kristus sendirian. Sebaliknya, Paulus memohon agar setiap kita dapat mengenal dan mengasihi Kristus “bersama-sama dengan segala orang kudus” (Efesus 3:18a). Kamu tidak bisa mengenal kemuliaan Kristus yang tak dapat diukur sendirian; kamu membutuhkan perspektif dan pengalaman orang lain untuk dapat melihat batasan lain dari lebarnya, panjangnya, tingginya, dan dalamnya kasih Kristus (Efesus 3:18b). Bertekunlah dalam kelompok pemuridan kalau kamu punya, dan kalau kamu belum punya, bergabung dan bertekunlah di sana.

Semoga perenunganku ini dapat membantumu melihat kebangkitan rohani dari perspektif yang lain dan mengaplikasikannya dalam kehidupanmu sehari-sehari. Aku berdoa supaya setiap kita terus bertumbuh “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Efesus 4:13).

Tuhan Yesus memberkati, Soli Deo gloria.

Baca Juga:

Ditelantarkan… Tapi Tidak Dilupakan

Kisah hidupku dimulai dengan ditelantarkan. Aku tidak tahu siapa kedua orang tuaku, pun mengapa aku dilahirkan. Tetapi, Tuhan merajut kisah hidupku.

Akankah Tuhan Memberiku Perkara yang Tidak Dapat Kutanggung?

Oleh Kezia Lewis
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Will God Give Me More Than I Can Bear?

“Tuhan tidak akan pernah memberimu perkara yang tidak dapat kamu tanggung. Tuhan hanya akan memberikan apa yang dapat kamu tangani.”

Dalam tahun-tahun awalku berjalan bersama Yesus, kalimat ini sangat menghiburku ketika aku menghadapi tantangan. Bahkan aku mulai membagikan pesan ini kepada teman-temanku yang sedang melewati masa-masa sulit.

Namun ketika aku kehilangan ibuku, aku meragukan kalimat itu. Tidak lama berselang, pamanku (saudara ibuku) tewas tertembak. Lalu, ayahku meninggal tiga hari setelah pernikahanku. Beberapa bulan kemudian, pamanku yang lain kehilangan kedua tangannya akibat sebuah kecelakaan yang mengerikan. Kalimat penguatan yang mulanya sangat berarti bagiku itu tiba-tiba kehilangan maknanya.

Bagaimana mungkin Tuhan mengizinkan hal-hal ini terjadi? Semua ini tidak masuk akal bagiku. Aku berpikir: Bukankah mereka berkata Tuhan tidak akan memberikan perkara yang tidak dapat kutanggung? Tetapi bukankah aku baru saja melewati batas dari apa yang dapat kutanggung?

Hal ini membuatku berpikir bukan saja tentang diriku, tapi juga orang-orang yang berada dalam kondisi yang lebih berat dariku. Maksudku, bagaimana caranya aku memberitahu seorang ibu yang baru saja kehilangan anaknya bahwa Tuhan tidak akan memberikan perkara yang tidak dapat dia tanggung? Atau memberitahu semua itu pada seorang suami yang harus menguburkan istri dan anak-anaknya? Atau pada seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya?

Bagaimana aku bisa mencocokkan kalimat penghiburan yang seringkali digunakan ini dengan pengalaman hidup yang mengenaskan? Apakah Tuhan benar-benar tidak akan memberikan perkara yang tidak dapat kita tanggung?

Untuk beberapa waktu, aku berusaha untuk tetap percaya bahwa Tuhan tidak akan melakukannya. Aku berpura-pura kuat. Tetapi tekanan yang kudapat membuatku sulit untuk menjaga keyakinanku; aku hampir tidak dapat bertahan.

Ya, Tuhan akan memberimu lebih dari apa yang dapat kamu tanggung

Setelah beberapa waktu, aku akhirnya memiliki keberanian untuk mengakui ini: Tuhan memang memberikan lebih dari apa yang dapat kita tanggung. Aku percaya bahwa Tuhan mengizinkan kita mengalami penderitaan begitu berat; penderitaan yang dapat ‘menghancurkan’ kita dan membuat hidup kita terasa hampa, dan juga kegagalan-kegagalan yang akan begitu mengguncang kita.

Lantas, jika begitu bagaimana kita dapat memaknai janji yang Tuhan berikan dalam 1 Korintus 10:13? Ayat itu dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan “tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu”. Pada saat itu aku menyadari hal ini: kata “dicobai” pada ayat ini mengacu pada dosa. Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai melampaui apa yang dapat kita tahan. Ayat yang seringkali dikutip dengan salah. Ayat ini tidak berbicara soal penderitaan.

Ketika kita berbicara soal penderitaan akibat suatu kondisi, aku percaya Tuhan akan memberikan lebih dari apa yang dapat kita dapat tanggung. Jika kita dapat menanggung semua perkara yang datang dalam hidup kita dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan benar-benar membutuhkan Tuhan. Jika kita dapat menanggung segala beban yang kita alami, maka kita tidak akan perlu mencari Tuhan; kita tidak akan mencari pertolongan-Nya, memohon kekuatan dari pada-Nya, dan memberi hati kita diteguhkan oleh-Nya.

Sampai kita mendapat anugerah dan kekuatan dari Yesus, kita tidak mungkin bisa menanggung semua perkara. Aku tahu hal ini karena aku pernah melewati situasi begitu berat yang membuatku hancur dan merasa hampa bahkan hingga aku tidak bisa menangis lagi. Rasa sakitnya tidak dapat kutahan; tertahan dalam hati dan leherku. Dalam masa-masa itu tidak ada yang berarti selain relasiku dengan-Nya.

Merasakan penderitaan itu baik

Lalu apakah artinya Tuhan itu jahat karena mengizinkan hal-hal buruk terjadi pada kita? Tentu tidak.

Justru pada kenyataannya, kurasa penderitaan itu baik untuk kita. Aku tidak berkata aku menyukainya—tidak sama sekali. Tapi meskipun penderitaan adalah kawan yang tidak menyenangkan, dia adalah seorang guru yang kompeten.

Penderitaan membantu kita melihat dengan jelas dan menolong kita untuk memahami apa yang benar-benar kita butuhkan. Penderitaan membuat kita mengetahui bahwa ada yang salah dalam hidup kita.

Aku pernah menonton sebuah film tentang seorang veteran perang yang tidak dapat merasakan bagian bawah tubuhnya. Pada suatu adegan, seorang siswa sukarelawan yang menolongnya membersihkan diri berkomentar bahwa terkadang dia berharap supaya tidak bisa merasakan sakit ketika dia berlatih sepak bola. Veteran perang itu lalu menjawabnya, “Tidak, kamu tidak menginginkan hal ini. Kamu tidak akan mau jika seandainya kamu bisa tidak merasakan sakit.”

Kurasa itulah bagian yang seringkali terlewat dalam pikiran kita. Kita ingin tidak bisa merasakan penderitaan, meyakini bahwa itulah yang terbaik untuk kita. Namun, rasa sakit bukanlah musuh kita. Rasa sakit justru menolong kita untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Penderitaan dapat menuntun kita ke arah yang benar—sebuah hidup yang berfokus dan bergantung pada Tuhan.

Aku tidak menganggap remeh hal-hal sulit yang harus kita hadapi dalam hidup kita. Percayalah, ada banyak masa dalam hidupku di mana aku berharap aku tidak perlu merasakan penderitaan. Meski begitu, aku harus berkata bahwa dalam hikmat Allah, Dia mengizinkannya terjadi untuk suatu tujuan.

Sekarang aku bisa lebih mengandalkan Allah untuk mendapat kekuatan, menyadari bahwa aku tidak akan bisa bertahan tanpa-Nya. Aku bisa belajar mengasihi orang-orang lebih lagi dan benar-benar memikirkan kesejahteraan mereka. Aku melihat kebodohan dari keinginan pribadiku yang egois dan menjadi semakin bijak dalam mengambil keputusan. Semua ini hanya sebagian kecil dari pelajaran yang Tuhan ajarkan padaku—pelajaran yang tidak akan bisa kupahami jika penderitaan tidak ikut terlibat di dalamnya.

Pada akhirnya, penderitaan adalah kenyataan yang harus selalu kita hadapi. Namun kita pastinya bisa mengandalkan Tuhan untuk menyertai kita dalam setiap langkah kita menghadapi penderitaan-penderitaan tersebut.

Baca Juga:

Disiplin Rohani: Butuh Perjuangan!

Kuakui sulit untuk konsisten melakukan saat teduh sebagai bagian dari latihan disiplin rohani. Aku bahkan pernah gelisah karenanya. Tapi, ada tiga cara yang bisa kita lakukan.

Pergumulanku Sebagai Seorang yang Disebut Munafik

pergumulanku-sebagai-seorang-munafik

Oleh Kezia Lewis, Thailand
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The World Calls Me A Hypocrite … Am I?

Suatu hari aku bertemu dengan seorang gadis di gereja yang telah membuatku terharu. Dia mengangkat tangannya saat menyembah Tuhan, dia menangis dan menyanyikan lagu-lagu dengan suara bergetar yang begitu jelas. Ketika berdoa, dia meminta kami untuk mendoakannya. Aku ingin memeluknya.

Namun kemudian aku mengetahui kisahnya.

Dia sedang menjalani sebuah hubungan dengan seorang laki-laki yang telah menikah—dan telah memiliki anak. Aku terkejut, dan mendidih dalam kemarahan. Sejak saat itu, hanya satu hal yang muncul di pikiranku setiap kali aku melihat dia— “Betapa munafiknya!” Aku harus menahan diriku untuk tidak mencelanya: Berhentilah berpura-pura. Tidak ada gunanya kamu datang ke gereja jika kamu menjalani hidup ganda seperti itu.

Aku merasa layak untuk marah karena aku melihat diriku sebagai “pembela” Tuhan. Tentu saja, aku pikir, Tuhan tidak setuju perempuan itu mencoret-coret nama-Nya dengan kepura-puraannya dan klaim-klaimnya tentang kebenaran yang dia lakukan.

Lalu Tuhan menjamah hatiku yang penuh kemarahan.

Dia menunjukkanku bahwa Dia tidak membutuhkan dan tidak menginginkan pembelaanku. Dia menginginkanku untuk mengasihi gadis itu, karena Dia tidak ingin gadis itu meninggalkan-Nya. Dia mengingatkanku bahwa Dia menerima gadis itu seperti Dia menerima diriku. Seutuhnya. Dia menunjukkanku bahwa dosa-dosa gadis itu tidaklah menjadi identitas dirinya, sama seperti dosa-dosaku tidaklah menjadi identitas diriku.

Aku pun tidak jauh berbeda

Dulu aku mengharapkan kesempurnaan dari semua yang menyatakan dirinya pengikut Yesus. Namun, ketika aku mulai berjalan bersama Yesus, aku menemukan bahwa kesempurnaan tidak akan terjadi dalam semalam. Aku pun bercela—dan sampai sekarang pun masih bercela. Aku membawa hal-hal dari kehidupan lamaku, termasuk kebiasaan-kebiasaan dan cara hidup yang perlu aku buang. Aku masih berjuang dengan kebercelaanku dan kelemahanku. Dan meskipun aku sekarang telah bertambah usia, hidupku masih saja berantakan setiap hari dan aku masih saja kembali kepada diriku yang lama bahkan setelah bertahun-tahun berjalan bersama Tuhan.

Salah satu dari banyak kelemahanku adalah bergosip, sebuah kebiasaan buruk yang telah mengikatku hampir seumur hidupku. Aku merasa bahwa jika aku tidak ikut ke dalam percakapan yang merendahkan seseorang, aku seperti orang yang terasing—atau bahkan lebih parah, aku menjadi “orang yang diasingkan”, dan menjadi orang yang digosipkan. Aku takut ditolak. Maka aku jatuh ke dalam rasa takutku dan ambil bagian dalam menjelek-jelekkan orang lain.

Bagaimanapun juga, setiap kali aku bergosip, rasa malu menghantuiku dari kepala sampai jari kaki ketika aku menyadari apa yang telah kulakukan. Mungkin diriku memang seperti ini—orang yang suka membeberkan rahasia—aku mengatakan kepada diriku. Mungkin aku salah ketika menyatakan diriku sebagai anak Allah, karena tentu saja aku tidak akan melakukan ini jika aku memang benar seorang anak Allah. Mungkin aku bukanlah anak yang benar dari Raja segala raja, karena aku telah membeberkan rahasia si ini dan si itu.

Hidup di dalam dunia yang telah jatuh dan di dalam tubuh yang bercela, aku merasakan ketegangan di antara sebuah kerinduan untuk menghidupi sebuah hidup yang kudus, dengan kedaginganku dan hidup lamaku. Setiap hari, aku membuat keputusan-keputusan yang berlawanan dengan citra Yesus; aku berdosa dan mencoreng nama-Nya. Dan ketika ini terjadi, aku mendengar dunia—dan bahkan diriku—menyebutku sebagai seorang munafik.

Apakah aku seorang munafik?

Aku berdoa, pergi ke gereja dengan rutin, menyanyikan lagu-lagu penyembahan, dan memuji Yesus. Lalu aku pulang dan berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kebenaran Allah, seakan-akan mengolok Dia. Aku menemukan diriku merangkak kembali ke dosa-dosaku. Aku merasa seperti seorang penjahat—seorang tokoh jahat yang berpura-pura menjadi seorang pahlawan, secara sadar menipu orang-orang tentang diriku yang asli.

Jadi, apakah aku seorang munafik? Jawabannya adalah ya, aku adalah seorang munafik. Tapi tidak seperti yang dunia ini pahami. Dunia melihat “kebaikanku” dan “kebenaran” yang kulakukan sebagai usahaku untuk menutupi diriku yang sebenarnya, agar aku terlihat baik di mata orang lain.

Namun kenyataannya, aku dibenarkan oleh darah Yesus, dan itulah sesungguhnya diriku; itulah diriku di mata-Nya. Namun seringkali aku melakukan hal-hal yang tidak benar karena lebih mudah untuk menjadi seorang yang busuk daripada seorang yang benar. Lebih mudah tinggal di dalam lumpur daripada berjuang keluar dari sana. Lebih mudah menjadi seperti semua orang lain, melakukan apa yang semua orang lain lakukan. Dunia telah membuat semuanya menjadi begitu mudah untuk menolak untuk taat kepada Tuhan. Pada akhirnya, aku menjadi seorang munafik karena aku tidak mau lagi ada di dalam lumpur.

Beberapa orang berhenti total dari menjadi orang Kristen karena mereka lelah menjadi orang-orang munafik. Seringkali, aku juga ingin menyerah dari pertempuran ini. Berhenti mengatakan pernyataan-pernyataan kebenaran, berhenti mencoba menarik diriku keluar dari lumpur.

Tapi Tuhan tidak membiarkanku—Dia selalu menarikku keluar. Yesus mengatakan bahwa aku adalah ciptaan yang baru: aku adalah anak-Nya; aku adalah seorang yang benar; aku adalah milik-Nya. Dia tidak akan membiarkanku pergi dan tidak akan membiarkanku tetap seperti ini.

“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Korintus 5:17)

“Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.” (Yohanes 1:12-13)

“Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: ‘ya Abba, ya Bapa!’” (Roma 8:15)

Menjadi seorang munafik bukanlah sebuah hal yang baik. Namun aku rasa Tuhan tidak ingin aku meninggalkan-Nya karena aku disebut sebagai seorang munafik. Sebaliknya, Dia menginginkanku untuk meninggalkan ketidakbenaranku—yang akan memakan waktu yang sangat lama, yang berarti aku akan terus menjadi seorang “munafik” untuk saat ini.

Aku adalah seorang yang kacau, seorang yang bercela. Menyerah kepada dosa-dosaku sangatlah mudah. Tapi Tuhan tidak akan berhenti untuk menyatakan bahwa aku adalah milik-Nya. Dia dengan tidak jemu-jemu memberitahuku tentang kasih-Nya, menunjukkanku bahwa aku memiliki seorang Bapa di surga yang begitu peduli kepadaku. Ketika aku membaca firman-Nya, firman itu melingkupiku dengan kedamaian, firman itu membuang rasa maluku akan dosa-dosaku, dan firman itu secara perlahan mengangkatku naik. Bagaimana mungkin aku tidak maju? Bagaimana mungkin aku menyerah dalam pertempuran ini? Bagaimana mungkin aku menyerah di tengah perlombaan yang Dia ingin aku lakukan, ketika Dia sendiri tidak pernah berhenti berlari untukku dan bersama denganku? Aku tidak boleh mencari kepuasan di dalam lumpur. Itu bukanlah apa yang Yesus inginkan untukku. Itu bukanlah apa yang Yesus lihat di dalam diriku.

“Bapa yang berdaulat, berkaryalah di dalam hidupku. Aku menginginkan apa yang Engkau inginkan untukku. Aku berdoa agar aku dapat bebas dari siklus yang merusak dari kesombongan dan rasa takut di dalam hidupku: bukalah topeng yang aku kenakan untuk mencoba menjadi orang lain. Topeng itu begitu sulit terlihat sampai-sampai aku hampir tidak sadar bahwa aku sedang memakainya. Cabutlah keinginanku untuk berbuat jahat di dalam segala bentuk di dalam hidupku. Aku berdoa agar aku hidup di dalam kesejatian dari kasih-Mu dan di dalam kebenaran dari firman-Mu. Aku adalah anak-Mu. Inilah diriku sesungguhnya. Tolonglah aku untuk berlaku selayaknya anak-Mu. Aku berdoa di dalam nama Dia yang telah mati untuk-Ku, Batu Karang Keselamatanku, Yesus Kristus. Amin.”

Baca Juga:

Ketika Pemimpin Gereja Kita Jatuh, Inilah yang Dapat Kita Lakukan

Akhir-akhir ini, berita tentang kegagalan moral para pemimpin gereja semakin banyak terdengar. Kita mendengar para pendeta yang melakukan penipuan, menggelapkan uang gereja, atau terlibat di dalam skandal seputar pornografi atau hubungan tidak sehat di luar pernikahan. Bagaimana seharusnya kita menyikapi ini semua? Di dalam artikel ini, Kezia membagikan 3 hal yang dapat kita lakukan.

Pengakuan Seorang Kristen Praktis

Penulis: Karen Kwek, Singapura
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Confessions of a Christian Life Hacker
Confessions-of-a-Christian-Life-Hacker

Suatu hari aku terkesan melihat seorang teman membuka sebungkus keripik, melipat bagian ujung bawah bungkusan itu lalu melipat bagian sampingnya hingga bungkusan itu dalam sekejap berubah menjadi wadah cemilan. Tidak ada alat khusus, hanya sedikit trik menggunakan bungkus keripik—sangat kreatif! Di hari lain aku mengagumi suamiku yang bisa membuat semua perangkat elektronik kami terhubung tanpa kabel, juga membuat semua layanan televisi, video, dan channel hiburan bisa diakses keluarga kami hanya dengan satu remote control. Hidup kini menjadi jauh lebih mudah!

Aku sangat suka dengan yang namanya “life-hack”—cara-cara kreatif dan jalan pintas pemecahan masalah yang dapat meningkatkan produktivitas. Dulu, cara-cara yang bisa sangat menghemat waktu tersebut biasanya merupakan ilmu praktis yang hanya diturunkan dari orangtua kepada anak, dari pelatih kepada muridnya. Kini, kita berterima kasih pada industri komputer yang telah memperbarui konsep lama ini dan membuatnya menjadi viral. Semua orang jadi bisa mengaksesnya.

Pada tahun 2004, jurnalis kolom teknologi, Danny O’Brien mempelajari proses kerja para ahli komputer yang punya produktivitas tinggi. Ia menemukan bahwa para ahli tersebut punya satu kesamaan, yaitu memiliki trik-trik tertentu yang dapat membuat pekerjaan programming mereka menjadi jauh lebih mudah dan cepat (mereka biasanya dikenal sebagai para “hackers”). Muncullah istilah “life hacks”. Dalam perkembangannya, orang mulai memakai istilah tersebut untuk menyebut setiap trik yang dapat menolong kita mengerjakan sesuatu lebih cepat, lebih baik, dan seringkali juga lebih ekonomis. Hari ini, dengan internet dan platform seperti YouTube, berbagai trik kreatif tersebut bisa dipelajari siapa saja dan di mana saja.

Jika ada cara yang lebih baik dan mudah, siapa yang tidak suka?

Mulai dari cara cepat menggunakan program komputer (misalnya dengan menekan satu tombol tertentu pada keyboard), cara pintar untuk mengupas dan memotong buah, hingga strategi berlibur dengan anggaran minimum, life hacks selalu menarik hatiku, setidaknya karena beberapa alasan berikut:

1. Life hacks memungkinkan aku bekerja lebih sedikit…. dan menikmati hidup lebih banyak. Aku tidak perlu bekerja terlalu keras untuk menyelesaikan hal-hal yang sulit, sehingga aku bisa punya waktu lebih banyak untuk bersantai dan menikmati hasil pekerjaanku.

2. Aku merasa cerdas ketika aku bisa memecahkan sendiri sebuah masalah dengan waktu yang jauh lebih singkat atau biaya yang lebih murah daripada yang seharusnya, tidak perlu minta bantuan ahli. Bisa dikatakan siapa saja kini bisa menjadi seorang “ahli” cukup dengan mempelajari artikel dan video tertentu yang tersedia di internet.

3. Aku senang mendapatkan kepuasan instan sebagaimana manusia pada umumnya. Manusia ingin mendapatkan berbagai hal dengan segera. Bisa mendapatkan apa yang kita inginkan dengan segera membuat kita merasa puas. Kita tidak suka menunggu, karena menunggu itu membuat kita stres dan khawatir. Perusahaan-perusahaan iklan dan para penjual seringkali memanfaatkan kecenderungan psikologis manusia ini dalam memasarkan produknya, misalnya dengan menyediakan layanan “on-demand”.

Menurutku, alasan-alasan semacam ini muncul karena dalam dunia modern, kita telah dimanjakan dengan beragam pilihan barang dan jasa. Banyak yang bersaing mendapatkan perhatian dan uang kita. Sebagai konsumen modern, kita ibarat raja yang biasa mendapatkan solusi cepat dan mudah. Kita membangun pola pikir yang “sepraktis mungkin”. Coba saja perhatikan seberapa sering kita gelisah ingin mendapatkan hasil—secepat mungkin?

Kita melihat versi “instan” hampir dalam segala sesuatu, mulai dari kopi sampai persetujuan kartu kredit. Para peneliti bioteknologi terus menemukan cara-cara pengembangbiakan tanaman dan hewan yang lebih cepat agar bisa dinikmati di piring saji dengan lebih cepat pula. Artikel dan berita dikemas sedemikian rupa agar orang bisa mendapatkan informasi yang maksimal meski hanya membacanya sepintas—berapa sering kita membaca judul seperti “5 Langkah Menjadi Kaya” atau “7 Rahasia Orang Sukses”? Tidak perlu susah-susah magang untuk belajar sesuatu, tidak perlu membaca seluruh isi buku panduan untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk terpenting—kita bahkan bisa membuat yang sudah praktis menjadi lebih praktis lagi.

Dapatkah kita menjalani kehidupan Kristen sepraktis mungkin?

Tidak hanya pekerjaan, kita akan sangat senang bila semua bidang kehidupan bisa dibuat “sepraktis mungkin”. Kecenderungan ini diamati oleh Danny O’Brien, “Bagi kebanyakan orang … kehidupan modern hanya berisi masalah yang luar biasa kompleks untuk diselesaikan. Tetapi, kita dapat membagi masalah itu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, kita dapat memikirkan beberapa trik untuk memudahkan penyelesaian masalah itu … Gagasan tentang ‘life hacks‘ sangat menarik karena mewakili harapan bahwa kita sebenarnya bisa menjalani hidup dengan lebih mudah, kita bisa menghadapi masalah-masalah yang ada tanpa harus memahami hidup ini secara menyeluruh.”

Tanpa disadari, banyak orang mengharapkan kehidupan bisa demikian. Dengan cara-cara penyelesaian masalah yang cepat, mungkin kita berharap bisa mengendalikan berbagai hal supaya hidup yang rumit ini tidak membuat kita pusing dan kewalahan. Jangan salah paham—aku juga suka menyelesaikan masalah dengan baik dan cepat, aku juga suka bila antrian di bank (atau di tempat lain) bisa lebih pendek. Namun, apakah kehidupan ini hanya sekadar sebuah masalah yang kompleks? Apakah mencari solusi-solusi praktis adalah cara terbaik kita untuk menjalani hidup? Ketika aku merenungkan tentang hal ini, aku menyadari bahwa Alkitab memberikan sebuah perspektif yang berbeda tentang kehidupan.

Hidup itu bukan tentang sebuah masalah, tetapi tentang sebuah hubungan

Salomo, raja besar yang bijaksana telah menghabiskan sepanjang hidupnya mempelajari tentang dunia ini. Dan sekalipun dianggap sangat berhikmat, ia menyimpulkan bahwa kehidupan ini tidak sepenuhnya bisa ia pahami. “Manusia tidak dapat menyelami segala pekerjaan Allah, yang dilakukan-Nya di bawah matahari. Bagaimanapun juga manusia berlelah-lelah mencarinya, ia tidak akan menyelaminya. Walaupun orang yang berhikmat mengatakan, bahwa ia mengetahuinya, namun ia tidak dapat menyelaminya.” (Pengkhotbah 8:17).

Raja Salomo tahu bahwa solusi-solusi praktis bukanlah jawaban terbaik bagi hidup ini—ia sendiri sudah mencoba semuanya! Ia sudah meneliti semua pengetahuan, menikmati semua kesenangan, bekerja keras, menambah harta, dan menjadi sangat kaya, namun tidak ada yang benar-benar memuaskan pencariannya tentang arti hidup ini. Hingga pada satu titik, ia menyadari bahwa segala sesuatu dalam hidup ini diciptakan oleh Allah, dan semua makhluk kelak harus mempertanggungjawabkan hidup mereka di hadapan-Nya. Artinya, kehidupan kita memiliki hubungan dengan Allah. “Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu,” Salomo menyimpulkan, “…takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang” (Pengkhotbah 12:1,13).

Dengan kekuatan kita sendiri sebagai manusia, kita tidak dapat menyenangkan Tuhan. Kita telah mengabaikan-Nya, tidak menaati-Nya, dan pantas untuk dihukum. Kabar baiknya adalah bahwa Allah telah memulihkan hubungan itu melalui karya penebusan Kristus yang telah mati tersalib untuk menyelamatkan kita. Kehidupan Kristen adalah hubungan yang dipulihkan, hubungan yang nyata dan akan bertahan selamanya. Dan, karena kehidupan Kristen adalah sebuah hubungan, tidak bisa dijalani dengan mengandalkan jalan pintas.

Bahkan, ada tujuan di balik kesulitan-kesulitan yang Allah izinkan kita hadapi—Dia mau membangun karakter kita melaluinya. Rasul Paulus menulis, “… kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, … dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan” (Roma 5:3-4). Firman Tuhan juga berkata, “Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia” (Mazmur 37:7), kita diminta mempercayai Tuhan untuk berkarya pada waktu-Nya. Namun, bagi kita yang menghendaki kepuasan instan, menunggu itu sangatlah menyiksa!

Menjadi murid Yesus yang setia sungguh membutuhkan kesabaran dan usaha—tidak ada mantra, tidak ada cara yang mudah.

Aku menyadari betapa mentalitas “sepraktis mungkin” tidak menolong dalam hubunganku dengan Tuhan. Betapa sering aku hanya sekadar mengucapkan terima kasih kepada Tuhan sebelum makan atau menyapa-Nya sebentar sebelum tidur, namun tidak pernah berusaha membangun kehidupan doa yang sehat dan teratur atau sikap yang dengan rendah hati bergantung pada Tuhan. Betapa sering aku lebih memilih membaca sebentar sepotong ayat Alkitab yang menenangkan hati daripada mempelajari seluruh perikopnya secara mendalam, karena merasa kedua cara itu sama-sama berarti aku sudah membaca firman Tuhan. Betapa sering aku membaca firman Tuhan, tetapi lalai menerapkannya dalam kehidupanku sehari-hari. Betapa sering sepulang gereja aku merasa berhak melakukan apa saja yang kusukai karena kewajiban menyembah Tuhan selama 1-2 jam sudah kuselesaikan. Ketika aku terjebak dalam mentalitas ingin hidup “sepraktis mungkin” semacam ini, ironisnya aku kemudian mengabaikan hubunganku dengan Tuhan dan tidak bisa menikmati kehadiran-Nya dalam hidupku.

Life Hack terbaik datang dari Tuhan sendiri

Benar bahwa tidak ada jalan pintas untuk bertumbuh sebagai murid Kristus. Namun, kupikir itu tidak berarti bahwa Tuhan tidak menghendaki kita hidup lebih baik dan efisien. Dia yang menciptakan kehidupan ini justru sangat peduli!

Sebab itulah, Allah sendiri menyediakan jalan keselamatan bagi kita di dalam Yesus Kristus. Dia tahu bahwa semua jalan yang ditempuh manusia hanya akan mendatangkan frustrasi dan tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah-masalah yang ada hingga ke akarnya.

Ketika aku memikirkan kecenderungan hatiku mencari berbagai life hack untuk menolongku keluar dari masalah, aku menyadari bahwa life hack terbaik, yang dapat menolongku dalam berbagai masalah hidup ini sesungguhnya adalah cara/jalan yang disediakan Tuhan sendiri.

Tidak hanya Kristus telah datang untuk menolong kita keluar dari masalah terbesar dalam hidup (dosa), Dia juga memperlengkapi kita dengan firman-Nya untuk menjalani hidup di dunia sekarang ini.

Sebab itu, sangat penting bagi kita untuk memperhatikan firman yang telah diberikan-Nya. Amsal 2:6-11 berkata bahwa “TUHANlah yang memberikan hikmat … dan memelihara jalan orang-orang-Nya yang setia. Dia tidak menjanjikan penyelesaian masalah yang mudah, namun hikmat-Nya dapat melindungi kita agar kita tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang akan kita sesali—”Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang.”

Aku masih akan belajar berbagai trik praktis yang bermanfaat dari situs-situs web favoritku, juga belajar memberdayakan potensi Google untuk membantu memudahkan pekerjaanku. Namun setiap kali melakukannya, aku tidak akan melupakan pelajaran dari Raja Salomo yang bijak, bahwa cara terbaik untuk menjalani hidup adalah dengan mempelajari dan melakukan firman Tuhan.

Lihat karya ruang seni kamu: Pengakuan Seorang Kristen Praktis

Berpacu Melawan Kuda

Penulis: Jeffrey Siauw

berpacu-melawan-kuda

Pendeta Eugene Peterson pernah menulis sebuah buku yang sangat menginspirasi saya, berjudul Run with the Horses, yang mengupas berbagai pelajaran dari kehidupan nabi Yeremia.

Sejak membaca buku itu, beberapa kali saya pernah merenungkan dan membagikan ayat berikut:

“Jika engkau telah berlari dengan orang berjalan kaki, dan engkau telah dilelahkan, bagaimanakah engkau hendak berpacu melawan kuda? Dan jika di negeri yang damai engkau tidak merasa tenteram, apakah yang akan engkau perbuat di hutan belukar sungai Yordan?” (Yeremia 12:5)

Ayat ini bahkan menghiasi dinding ruang kerja saya di perpustakaan.

Pesannya sederhana. Hidupmu yang sekarang mungkin hanya seperti berlari dengan orang berjalan kaki. Kalau begini saja engkau telah lelah, bagaimana engkau hendak berpacu melawan kuda? Apa yang kau hadapi sekarang mungkin bisa dibandingkan seperti “hidup di negeri yang damai”. Kalau begini saja engkau sudah tidak merasa tenteram, lalu apa yang akan engkau perbuat jika hidup di hutan belukar?

Ini adalah tanggapan Tuhan terhadap keluhan nabi Yeremia. Tanggapan yang juga relevan untuk keluhan-keluhan saya. Seolah-olah saya mendengar: “baru segini kesulitan yang engkau hadapi”, “baru segini pencobaan yang kau alami”, “baru segini tantanganmu melawan dosa”, “baru segini sakit yang harus kau tanggung”, “baru segini….” Tetapi nadanya mendorong dan bukan mengejek.

Hidup ini sulit. Betul. Hidup ini seperti berada di hutan belukar! Hidup ini seperti berpacu melawan kuda!

Tetapi, apakah kemudian kita mau menyerah? Kita punya beberapa pilihan:

Pertama, hidup dengan buruk. Artinya kita tidak lagi mau berjalan apalagi berlari melawan kehidupan. Kita menyerah. Kita ikut arus saja. Kita sia-siakan hidup kita dengan menyerah kepada berbagai macam hawa nafsu.

Kedua, hidup “ala kadar”nya. Artinya tidak usah terlalu susah-susah dan berjuang mati-matian. Nikmati saja hidup. Berjalan seperlunya tapi tidak usah berlari. Ke gereja, ya boleh. Hidup suci, ya sebisanya. Melayani, ya selama saya mau. Semua “ala kadar”nya saja.

Ketiga, hidup sebaik-baiknya. Memberi usaha terbaik yang kita bisa, sebagaimana yang diinginkan Tuhan. Berapa pun harganya. Berapa pun sulitnya. Tetapi, ini sama sekali tidak mudah, karena itu berarti kita siap hidup “di hutan belukar” dan “berpacu melawan kuda”.

Saya memilih yang ketiga. Walaupun seringkali saya juga sudah lelah dan merasa tidak tenteram… saya tetap mau memilih yang ketiga dan itu berarti juga mau untuk “berpacu melawan kuda”.

Bila kita mau menjalani kehidupan yang terbaik, bukan sekadar kehidupan yang mudah, kita tidak akan membiarkan hambatan-hambatan yang ada dalam hidup ini menghentikan langkah kita. Dalam anugerah Tuhan, mari terus melangkah maju, bahkan siap “berpacu melawan kuda”!

Ulasan Buku: The Christian Atheist

Oleh: Juni Liem

The-Christian-Atheist

Judul: The Christian Atheist, Percaya kepada Tuhan tetapi Hidup Seakan Dia Tidak Ada.
Penulis : Craig Groeschel
Tebal : 196 halaman
Edisi Indonesia diterbitkan oleh : Benaiah Books

Aku menyebut diriku Kristen, tapi aku hidup seperti seorang Ateis.” Sebuah kalimat yang sangat menarik perhatianku dan membuat aku akhirnya memutuskan untuk membeli buku karya Craig Groeschel ini. Aku sendiri bertobat ketika ketika masih menggunakan seragam putih-biru. Sejak saat itu, aku menyebut diriku seorang Kristen. Aku mulai ke gereja, ikut berbagai aktivitas pelayanan dan pembinaan rohani. Aku mulai berdoa dan membaca Alkitab. Well, tentu saja. Aku menyebut diri sebagai seorang Kristen, bukan? Lanjutan kalimat yang ditulis Groeschel “…tapi, aku hidup seperti seorang Ateis” membuat aku terdiam.

Buku ini bukanlah buku yang membahas tentang paham ateis dari sudut pandang kekristenan. Sang penulis sedang mengajak mereka yang mengaku dirinya Kristen untuk memeriksa kehidupan mereka, kalau-kalau mereka ternyata hidup tak ubahnya seperti seorang ateis. Sebab itulah, buku ini diberi sub judul: “Percaya kepada Tuhan, tetapi Hidup Seakan Dia Tidak Ada.”

Aku sangat suka dengan cara Craig menulis. Selain sederhana (terjemahan Indonesia-nya juga cukup baik lho…), Craig tidak malu-malu menceritakan kehidupannya, pergumulannya, serta kesalahan-kesalahan yang pernah ia perbuat. Kisah-kisah pribadi ini membuat apa yang ia jelaskan menjadi lebih kuat, bukan lagi sebatas teori.

Craig mengawali judul dari setiap bab (totalnya ada 12 bab) yang ada dalam bukunya dengan kalimat “Ketika Kau Percaya Kepada Tuhan Tapi….” Wah, benar-benar membuatku banyak mengintrospeksi diri. Ya, aku percaya kepada Tuhan, tapi apakah kehidupan rohaniku menunjukkan bahwa aku benar-benar percaya Tuhan? Aku percaya Tuhan itu ada, tapi seringkali aku ragu bahwa Dia adalah Tuhan yang adil. Aku percaya Tuhan itu mendengar doa, tapi adakalanya aku tidak percaya dengan kuasa doa. Aku percaya kepada Tuhan, tapi….ahh….masih banyak “tapi-tapi” yang lain.

Pada bagian penutup, Craig menulis: Pandangan Kristen Ateisku yang egois adalah Tuhan ada untukku, bukannya aku ada untuk-Nya. Pernyataan yang membuat segenap diriku serasa “diobok-obok”. Buku ini berhasil “memaksa” aku untuk merenungkan kembali apakah aku sudah hidup sesuai identitasku sebagai seorang Kristen.

Kalau kamu adalah orang yang rindu menjadi seorang Kristen yang otentik, dan siap “diobok-obok” hidupnya demi perubahan ke arah tersebut, pastikan kamu tidak melewatkan bacaan yang satu ini.

Selamat membaca dan selamat merenung 🙂 Mari kita sama-sama berjuang untuk menjadi orang Kristen yang sesungguhnya. Orang Kristen yang kehidupannya terbuka bagi orang-orang di sekelilingnya, sehingga mereka dapat secara nyata melihat Kristus yang bertakhta dalam hidup kita.

 
 
Tentang Penulis
Craig Groeschel adalah seorang pendiri dan gembala senior dari LifeChurch.tv, sebuah gereja dengan konsep yang sangat berbeda dari gereja pada umumnya. Mereka mengadakan lebih dari delapan puluh ibadah setiap minggu di empat belas lokasi, termasuk sebuah kampus online. Craig, istrinya Amy, dan keenam anak mereka tinggal di Edmond, Oklahoma di mana LifeChurch.tv dimulai tahun 1996. Craig adalah penulis dari beberapa buku.