Penulis: Markus Boone

Kita semua tentu mau masuk surga. Tetapi, beberapa hal mungkin terasa mengganjal ketika kita membaca Alkitab atau mendengar khotbah pendeta tentang surga. Misalnya, di surga nanti kegiatan kita nanti hanyalah menyanyi memuji Tuhan sepanjang hari. Sesuatu yang baik, tetapi tampaknya agak membosankan, apalagi jika menyanyi bukanlah hobi kita. Meski kita tetap berkata mau masuk surga, mungkin sekali kita tidak terlalu bersemangat juga untuk ke sana. Mari menyelidiki lebih jauh apa yang sebenarnya dikatakan Alkitab tentang surga.
1. Tidak ada laut di sana—benarkah?
Wah, berita buruk bagi para penggemar pantai, orang yang hobi berenang, memancing, snorkeling, atau menyelam. Wahyu 21:1 mengatakan bahwa kelak “laut pun tidak ada lagi”. Benarkah demikian?
Dalam kitab Kejadian, kita membaca bahwa Allah menciptakan langit dan bumi, dan laut termasuk di dalamnya (Kejadian 1:1-10). Mengapa saat memperbarui ciptaan-Nya, laut dianaktirikan? Mungkinkah kata “laut” dalam kitab Wahyu menggambarkan sesuatu yang lain? Bagi para pembaca abad pertama, kata “laut” sering digunakan sebagai simbol kekacauan dan kejahatan (bandingkan Yesaya 57:20)! Kemungkinan besar, ketiadaan laut di sini menunjukkan tidak adanya lagi kekacauan atau kejahatan yang bisa mengancam penghuni langit dan bumi yang baru!
Seandainya pun yang dimaksudkan bagian ini adalah laut secara harfiah, kita bisa yakin bahwa di surga nanti tetap akan ada perairan yang luas. Dalam bukunya yang mengupas penjelasan Alkitab tentang surga, Heaven, Randy Alcorn menuliskan pengamatannya,
“Alkitab memberitahu kita ada sungai yang mengalir melintasi jalan di kota utama (lihat Wahyu 22:1) … bumi yang baru bahkan bisa jadi memiliki banyak danau yang besar, terutama jika tidak ada laut untuk menampung aliran airnya. Artinya, danau-danau yang sangat besar itu dapat kita sebut sebagai laut air tawar.”
Bayangkanlah sebuah perairan luas yang penuh dengan kekayaan alam nan menakjubkan di dalamnya. Airnya segar dan kita bisa menikmatinya sepuas hati tanpa rasa takut. Tidak ada ombak ganas atau tsunami yang mematikan. Bayangkanlah sebuah dunia yang baru, tanpa kekacauan dan kejahatan. Jelas saya ingin ke tempat yang seperti itu!
2. Kita akan berhenti bekerja dan beristirahat selamanya di sana—benarkah?
Dalam Ibrani 4:10 kita membaca, “…barangsiapa telah masuk ke tempat perhentian-Nya, ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya…” Surga, tempat kediaman Allah, adalah sebuah tempat perhentian, tempat beristirahat. Istirahat itu menyenangkan. Di tengah kesibukan kita belajar atau bekerja, mungkin kita berharap bisa punya lebih banyak waktu beristirahat. Kalau bisa 5 hari kerja dan 2 hari libur dibalik menjadi 2 hari kerja dan 5 hari libur.
Tetapi, pernahkah kamu membayangkan jadi pengangguran, katakanlah selama 50 tahun? Setahun tanpa pekerjaan saja mungkin sudah membuat kita tersiksa. Beristirahat saja tanpa pekerjaan selama-lamanya? Mungkin kita bisa mati bosan… dan berhubung di surga kita tidak bisa mati, tampaknya kita akan bosan selama-lamanya di sana!
Masalahnya, kesimpulan yang demikian mengasumsikan pekerjaan sebagai bagian dari hukuman Tuhan kepada manusia yang berdosa—sebab itu, pekerjaan tidak akan ada lagi di surga. Asumsi ini jelas tidak alkitabiah karena Kejadian 1 dan 2 justru memberitahu kita bahwa sejak awal manusia diciptakan untuk bekerja! Manusia sudah diberi tugas untuk menguasai, memimpin, mengelola dunia ciptaan Allah, sebelum mereka jatuh di dalam dosa (Kejadian 1:26; 2:15). Bekerja bukanlah akibat dari dosa. Namun, dosa membuat pekerjaan manusia jadi penuh dengan “susah payah” (Kejadian 3:17). Dosa membuat pekerjaan tidak lagi memberi sukacita dan kepuasan bagi manusia.
Yesus berkata, Allah Bapa pun tidak berhenti bekerja (Yohanes 5:17). Bukankah pernyataan ini menunjukkan betapa pentingnya pekerjaan bagi Allah? Sebab itu, kita bisa yakin bahwa ketika Alkitab mengatakan surga adalah tempat perhentian dan istirahat, tidak berarti kita akan menjalani kehidupan yang pasif dan membosankan. Sebaliknya, kita akan menjumpai kondisi yang ideal untuk bekerja, untuk menjalankan semua yang dikehendaki Allah. Pekerjaan akan menjadi sukacita kita, bukan lagi beban yang membuat kita berkeluh kesah.
3. Kegiatan utama kita tiap hari hanyalah menyanyi untuk Tuhan—benarkah?
Menurut kitab Wahyu, siang dan malam para penghuni surga mempersembahkan puji-pujian kepada Tuhan (Wahyu 4:9; 5:9-14). Para pemusik dan anggota paduan suara mungkin senang mendengarnya, tetapi banyak orang lainnya mungkin malah jadi frustrasi bila itu adalah satu-satunya kegiatan kita di surga. Apakah pekerjaan lainnya kurang berarti sehingga kita tidak akan melakukannya lagi di surga?
Alkitab memberitahu kita bahwa di surga nanti kita tidak hanya akan hidup bersama Allah, tetapi juga bersama orang-orang yang sudah ditebus Kristus dari segala suku, bangsa, dan bahasa (Wahyu 7:9). Dan, bukankah kita diperintahkan untuk mengasihi Allah serta mengasihi sesama (Matius 22:37-40)? Jelas akan ada banyak aktivitas yang kita lakukan bersama-sama dengan orang lain untuk memuliakan Allah di surga!
Ada komunitas yang sangat dinamis dan menyenangkan di kota Allah kelak (Wahyu 21:24-26). Orang-orang yang telah ditebus Kristus akan bersama-sama menyembah Allah (Wahyu 5:13), makan dan minum bersama-Nya (Yesaya 25:6), dan memerintah bersama Kristus (Wahyu 22:5). Kita akan mempersembahkan musik dan pujian bagi Allah dengan sukacita, namun itu bukan satu-satunya hal yang akan kita lakukan untuk memuliakan-Nya dalam kekekalan.
4. Kita akan tinggal di langit, di antara awan-awan—benarkah?
Banyak di antara kita mungkin membayangkan surga ada di angkasa. Apalagi, dalam banyak film dan kisah dongeng diceritakan bahwa ketika orang meninggal dunia, rohnya akan terbang ke langit. Jadi, meski tidak tahu persis letaknya di mana dan tempatnya seperti apa, kita menganggap surga ada nun jauh di atas langit.
Menariknya, meski 1 Tesalonika 4:17 berkata bahwa umat Tuhan akan diangkat menyongsong Tuhan di angkasa, Alkitab tidak mengatakan bahwa kita akan tinggal selamanya di atas langit sana. Wahyu 21:1-3 justru dengan jelas memberitahu kita bahwa kediaman Allah akan ada di bumi! Kota yang kudus dari Allah akan turun menempati langit dan bumi yang baru, dan semua orang yang telah diselamatkan akan tinggal bersama-sama Tuhan di sana.
Konsep tentang surga yang ada di langit bukanlah pandangan yang dimiliki bangsa Yahudi sebagai surga yang akan ditempati manusia setelah dibangkitkan. Pemikiran tersebut lebih dekat dengan ajaran Plato yang menganggap dunia jasmani atau materi itu pada dasarnya jahat, dan suatu saat roh kita akan dilepaskan dari dunia jasmani yang jahat ini.
Alkitab sebaliknya memberitahu kita, ketika Allah menciptakan dunia ini, Allah menyebut segala yang dijadikan-Nya “sungguh amat baik” (Kejadian 1:31).
Pada bagian awal Alkitab kita melihat dunia yang sungguh amat baik itu dirusak oleh dosa, pada bagian akhir Alkitab kita melihat dunia kembali diperbarui dalam kemuliaan Allah. Tidak hanya roh kita akan menerima tubuh yang baru (1 Korintus 15), langit dan bumi tempat tinggal kita pun akan dijadikan baru (Wahyu 21-22) dan Allah akan berdiam di sana. Yesus memastikan orang-orang yang memperoleh hak untuk tinggal di dalamnya akan berbahagia (Wahyu 22:14).
Jika dalam dunia yang sudah rusak saja masih ada berbagai hal baik yang bisa nikmati, betapa lebih lagi dalam dunia yang sudah diperbarui sepenuhnya. Saya yakin, kita akan terkagum-kagum melihatnya kelak.
5. Kita tidak akan punya hal baru lagi untuk dipelajari, karena kita sudah sempurna—benarkah?
1 Korintus 13:12 dan Ibrani 12:23 mengatakan bahwa di surga kelak kita akan menjadi sempurna. Apakah itu berarti tidak akan ada lagi sesuatu yang baru untuk dipelajari? Bukankah ini kabar buruk bagi orang-orang yang suka belajar (life-long learner) dan suka tantangan (risk-taker)?
Pertama-tama, kita perlu meluruskan pemahaman kita terhadap kata “sempurna”. Kita tidak bisa menyamakannya dengan kesempurnaan Allah. Di surga nanti, kita akan tetap menjadi manusia, bukan Allah. Kita akan memahami berbagai hal dengan lebih baik, lebih jelas, tetapi tidak berarti kita akan menjadi makhluk yang mahatahu. Kita akan mencerminkan gambar dan rupa Allah secara penuh—tidak lagi menyimpang atau tergoda berbuat dosa—namun kita tidak akan pernah menggantikan Allah.
Yang kedua, kita perlu ingat bahwa karya Allah itu tidak terbatas untuk diselami. Bila impian Chairil Anwar untuk hidup 1000 tahun lagi dikabulkan pun, saya yakin ia tidak akan puas, karena 1000 tahun masih terlalu singkat untuk memahami betapa lebarnya, dan panjangnya, dan tingginya, dan dalamnya, kasih Kristus (Efesus 3:18). Kita sungguh memerlukan kekekalan untuk menjelajahi semua kebesaran karya Allah!
Untuk direnungkan lebih lanjut
Apa lagi mitos tentang surga yang pernah kamu lihat atau dengar? Bagikan dalam kolom komentar di bawah ini!