Posts

Kutemui Tuhan di Lorong Rumah Sakit

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Sudah 24 jam lebih Frans, adikku, tak sadarkan diri. Hantaman benda tumpul yang sangat keras ke kepalanya, membuat tengkoraknya retak. Hasil CT Scan semalam menunjukkan adanya penggumpalan darah di kepala yang membuat dirinya kehilangan kesadaran dan terus kejang-kejang. Tangan dan kakinya terpaksa diikat ke tempat tidur agar posisinya terjaga dan tangannya tak mencabuti peralatan medis yang dipasang di kepala juga badannya. Tak hanya itu, dari mata kanannya yang terluka dan bengkak, masih mengalir darah segar yang membasahi perban yang melindunginya. Hematoma. Istilah asing yang kubaca pada salah satu berkas pemeriksaan yang tergeletak di meja di ujung tempat tidurnya. Operasi adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan segera untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, dokter bedah saraf yang dijadwalkan untuk melakukan operasi pukul 08.00 belum tampak batang hidungnya di rumah sakit. Bahkan, sudah dua kali suster jaga di ICU/ICCU yang bolak-balik kutanyai memberi tahu perubahan jadwal operasi. 

“Pukul 10.00, Mbak!”

“Operasi dijadwalkan ulang pukul 12.00. Dokter masih melakukan operasi besar di rumah sakit yang lain.”

Sekarang sudah pukul 14.00. Pikiranku digelayuti perbincangan dengan dokter anestesi dan dokter jaga yang kutangkap ketika aku dipanggil ke ruang ICU/ICCU untuk menemui mereka. “Golden hour! Kita berkejaran dengan waktu. Peluang (hidup) pasien 40:60.“ Aku pun mengingat pesan dari pamanku yang dokter internis agar sabar mengikuti prosedur medis serta mendengar dan mengikuti setiap petunjuk dokter dengan baik ketika aku mengadu tentang jadwal operasi yang berubah-ubah saat dirinya menelepon tadi. “Sabar ya, Mbak. Kita tunggu dokter bedah.” Tepukan dokter anestesi di bahuku mengantarkan pikiranku kembali ke ruangan yang dingin dan beraroma obat itu. Ketika orang-orang menikmati tahun baru dengan berkumpul di rumah, aku memulainya di ruangan ini.

Pukul 15.00 lengking suara perawat terdengar dari ruang ICU/ICCU. “Keluarga Bapak Frans!!” Tak menunggu dipanggil dua kali, aku berlari ke depan pintu dan menampakkan muka di depan kotak kecil agar langsung dilihat suster ketika slotnya digeser.

“Saya, Suster.”

“Keluarga Bapak Frans? Dokter bedah mau bertemu, Mbak.”

Aku langsung mengenali dokternya dari seragam loreng yang melekat di badannya. Lengan bajunya dilipat hingga siku sehingga menonjolkan lengannya. Rhiza. Mataku menangkap satu kata yang disulam dengan benang hitam tebal di dada kanannya. Dia seorang dokter ahli bedah saraf terbaik di kota ini yang bertugas tetap di rumah sakit militer. Aku sedang menebak-nebak usianya tak jauh dari angka 40 ketika matanya terangkat dari berkas-berkas pasien yang dipegangnya dan melirik ke arahku, “Tindakan jam lima ya, Mbak.” Dokter Rhiza lalu menjelaskan prosedur dan proses operasi dari persiapan hingga nanti jika selesai, serta rencana selanjutnya untuk pasien. “Urgensi saat ini adalah nyawa pasien… bla… bla… bla…” Jawaban yang kuterima ketika rentetan pertanyaan seputar luka-luka serius lainnya yang perlu diperiksa, mengalir begitu saja dari mulutku. Dokter menggenggam tanganku kuat-kuat. “Doa yang kuat ya, Mbak. Saya dan tim hanyalah alat-Nya yang akan berupaya maksimal.”

Operasi hari itu selesai pukul 21.00. Frans didorong kembali ke ruang ICU/ICCU untuk pemulihan setelah sebongkah darah beku dikeluarkan dari kepalanya. Bagian tempurung kepalanya yang retak pun harus dipotong karena tak bisa lagi melindungi isi kepala. Di hari keempat, dirinya sudah sadar. Namun, dokter memberikan sedikit obat tidur agar dirinya beristirahat karena trauma dari pukulan itu membuatnya sangat kesakitan. Di hari ketujuh, Frans pindah ke kamar perawatan dan meninggalkan rumah sakit di hari keenam belas. Seminggu sekali, kami datang menemui dokter Rhiza untuk kontrol dan bersua dokter mata untuk perawatan dan operasi matanya.

Carilah TUHAN selama Ia berkenan untuk ditemui; berserulah kepadaNya selama Ia dekat! (Yesaya 55:6).

Seringkali, kita mendadak berdoa khusyuk ketika sedang menghadapi masalah yang berat. Lalu berdoa sekadarnya (bila tak ingin disebut tak lagi berdoa) ketika hidup terasa nyaman dan aman. Dilihat dari sisi siapa? Dirimu ataukah diri-Nya?

Apa yang Tuhan berikan dan tunjukkan ketika kita berdoa?

Damai Sejahtera

Ada banyak sekali omongan yang terdengar di ruang IGD, juga berbagai pembicaraan tentang kondisi Frans yang secara mata duniawi di ujung tanduk. Membawanya pergi jauh untuk menjangkau rumah sakit dengan peralatan dan pelayanan yang lebih baik hanya buang waktu saja. “Tidak usah capek-capek dan mengeluarkan biaya besar. Baru berjalan sebentar, kalian akan putar balik. Pulang (meninggal).”

Orang yang berdoa tidak terbebas dari masalah, ringan bahkan berat sekalipun. Tapi, di tengah-tengah goncangan itu, ada damai sejahtera. Rasa aman di dalam Tuhan. Rasa yang membuat hati tetap teguh dan tenang untuk mengambil keputusan-keputusan penting di saat genting.

Kekuatan

Ketidaknyamanan membuat pertumbuhan. Seorang atlet tidak mendadak bisa ikut kejuaraan tanpa melewati proses latihan. Kekuatan fisiknya terlatih lewat latihan yang dilakukan secara teratur. Sedang mentalnya, terlatih ketika mengikuti ujian lewat pertandingan. Kadang di saat latihan dan  pertandingan, ada saja yang lecet. Tapi dia harus bertahan jika ingin mencapai tujuannya. Kehidupan kerohanian pun begitu. Iman diuji bukan ketika keadaan sedang aman dan nyaman. Iman diuji lewat berbagai masalah yang Tuhan ijinkan terjadi untuk melatih pertumbuhan iman. Kekuatan untuk bertahan itu didapatkan dengan tertanam dalam-dalam pada hadirat-Nya. 

Pada waktu tunggu yang tak menentu di ruang tunggu ICU/ICCU itu, Tuhan berikan kekuatan lewat doa, baik yang dilakukan secara pribadi maupun bersama dengan keluarga/kerabat yang datang berkunjung. Kekuatan itu pun datang ketika berjalan dari ruang tunggu ICU/ICCU ke farmasi atau ke ruang radiologi, di toilet dan ruang lainnya dengan mulut dan hati tak berhenti untuk worship (menyembah) dan berdoa. Tuhan Maha Hadir. Dia hadir dan selalu ada kapanpun kita ingin berbincang dengan-Nya, di manapun! Termasuk di lorong-lorong rumah sakit.

Berserah Tapi Tidak Menyerah

Frans adalah pasien yang menjadi pusat perhatian sejak masuk ICU/ICCU. Di jam besuk ketika dokter bedah saraf belum datang, seorang kerabat dari salah satu pasien sekamarnya mendekati ranjang Frans. Melihat kondisinya, dia menceritakan kondisi kakaknya yang persis seperti itu setahun sebelumnya. “Dia hanya bertahan sehari, Mbak. Lewat.”

Masih berani berharap dalam situasi seperti itu? Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya. Aku yang sempat emosi ketika pertama kali melihat kondisi adikku, diingatkan oleh abangku untuk melepaskan pengampunan pada orang yang telah berbuat jahat, yang tidak bertanggung jawab. Tidak mudah, tapi itu yang Tuhan kehendaki agar kami bisa fokus pada proses kesembuhan Frans.

Di titik itu, aku sudah tak bisa menangis. Aku berserah. Tuhan yang pegang kendali atas kehidupan ini. Tuhan tahu yang terbaik dan Tuhan sedang mengerjakan sesuatu yang baik, apa pun itu! Jangan pernah menyerah dan berhenti berdoa.

Bagaimana kehidupan doamu saat ini?

Tidak ada orang yang ujug-ujug akrab tanpa ada yang sengaja memulai komunikasi dan ditanggapi oleh lawan bicaranya. Berdoa juga begitu. Kebiasaan berdoa harus dengan sengaja diaktifkan dan dibangun. Bagaimana mau mengenal Tuhan dengan dekat jika kita tidak pernah ‘ngobrol dengan-Nya?

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengapa Kita Harus Melaraskan Hati dan Pikiran Kita

Oleh Raphael Zhang

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris: Why We Must Engage Both Mind and Heart

Ketika baru percaya Tuhan, aku diajari bahwa kita tidak bisa mengandalkan perasaan. Aku belajar bahwa Tuhan tetap mengasihiku bahkan ketika aku tidak merasakan kasih-Nya—seperti halnya kursi yang sebenarnya menopang berat badanku meskipun aku tidak merasa seperti itu.

Aku diingatkan bahwa perasaanku tidaklah menentukan suatu kenyataan, dan perasaan juga tidak boleh mengatur apa yang harus kulakukan. Untuk berdoa, aku tidak perlu menunggu sampai aku merasa ingin berdoa untuk melakukannya; aku harus berdoa karena itu seturut dengan kehendak Tuhan.

Meski aku mencoba untuk selalu mengingat hal ini, tapi ternyata sulit untuk melawan perasaanku sendiri. Ada saat-saat ketika aku harus pergi ke gereja atau kelompok kecil, tapi hati kecilku merasa enggan, bahkan berkeluh-kesah kepada Tuhan. Meskipun secara lahiriah aku patuh, tapi aku tidak merasakan sukacita dalam hati.

Dari sanalah aku menyadari bahwa: selalu bertindak sesuai dengan pikiran tanpa melibatkan perasaan bukanlah kebiasaan yang sehat.

Yesus pun memanggil kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatan kita (Lukas 10:27). Hati dan pikiran kita harus sama-sama dilibatkan dalam mengasihi-Nya. Melibatkan salah satu tanpa yang lainnya adalah tindakan yang kurang bijaksana.

Tapi, bagaimana jika hati dan pikiran kita tidak sejalan? Tuhan mengajarkanku beberapa hal yang membantuku melihat bahwa hati dan pikiran tidak harus selalu menjadi sebuah pertarungan terus menerus, tetapi keduanya bisa senantiasa saling mempengaruhi.

Dengarkanlah perasaan kita

Tuhan menunjukkan bahwa meskipun perasaanku tidak selalu dapat diandalkan, bukan berarti aku mengabaikannya. Meskipun perasaanku mungkin tidak selalu mengatakan yang sebenarnya, tapi perasaan itu memberi tahu sesuatu tentang diriku sendiri.

Jadi, jika aku merasakan adanya penolakan bahkan ketika aku berada di tengah keluarga dan teman-teman yang penuh kasih, aku tidak akan langsung berpikir bahwa mereka benar-benar menolakku. Aku justru akan bertanya pada diriku sendiri, “Mengapa aku merasa seperti ini?” Aku akan mencari pertolongan Tuhan untuk mengungkap lebih dalam penyebab yang membuatku merasa seperti itu. Setelah aku mengenali beberapa hal yang mungkin menyebabkan perasaan itu, aku akan meminta Tuhan untuk menghibur dan menyembuhkanku, dan untuk menunjukkan kebenaran-Nya tentang diriku dan juga keadaan tersebut. Dia mungkin akan mengingatkanku, seperti yang pernah Dia lakukan di masa lalu, bahwa Dia telah menerimaku (Roma 15:7) sebagai anak yang dikasihi-Nya (1 Yohanes 3:1). Dan Dia mungkin menunjukkan kepadaku bahwa aku salah memahami situasi atau maksud orang lain.

Mengolah perasaanku bersama Tuhan dapat membantuku untuk menerapkan kebenaran-Nya pada diri sendiri. Jika aku terluka oleh sesuatu, Tuhan dapat membalut lukaku (Mazmur 147:3). Jika dasar masalahnya adalah perilaku yang berdosa, Dia dapat menunjukkan kesalahanku, sehingga aku dapat mengakui dosaku kepada-Nya dan bertobat.

Dengan menggali lebih dalam tentang apa yang kita rasakan, kita dapat menerima penghiburan dari Tuhan atau penyucian dari dosa. Pikiran kita dapat menggunakan kebenaran yang diungkapkan oleh Tuhan untuk menyelaraskan perasaan kita lebih dekat kepada-Nya dan kebenaran-Nya.

Menghargai Apa yang Benar

Meski perasaan itu penting, bukan berarti kita harus dikendalikan olehnya. Ketika aku masih muda, aku berpikir bahwa perasaanku akan selalu menguasai tindakanku. Jika aku merasa ingin melakukan sesuatu, akan sangat sulit bagiku untuk tidak melakukannya. Aku bahkan percaya bahwa tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah perasaanku itu.

Hingga suatu hari Tuhan berbicara kepadaku melalui Matius 6:21: “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Dia mengingatkanku bahwa ayat tersebut tidak mengatakan, “Di mana hatimu berada, di situ juga hartamu berada”—yang berarti apa yang aku cintai bergantung pada apa yang aku rasakan—dan jika aku tidak merasa seperti itu, maka aku tidak bisa mencintainya.

Namun, yang sebenarnya Tuhan katakan dalam ayat tersebut adalah: apa yang sengaja kupilih untuk kuhargai pada akhirnya akan dihargai juga oleh hatiku. Hal ini sangat menguatkanku karena berarti aku tidak harus menyerah begitu saja pada perasaanku!

Sebagai contoh, dulu aku tidak suka berdoa atau membaca Firman. Lalu aku meminta Tuhan menolongku agar mau menghargai apa pun yang menjadi kerinduan hati-Nya. Jadi, dengan pertolongan Tuhan, aku mulai berdoa dan membaca Firman sebagai caraku menghargai hal-hal tersebut, terlepas dari apakah aku ingin melakukannya atau tidak. Seiring waktu, hatiku mulai mengikutinya. Saat ini, aku lebih suka berdoa dan membaca Firman Tuhan daripada sebelumnya. Melalui hal ini, aku belajar bahwa apa yang kupilih untuk kuhargai dengan tindakanku dapat memengaruhi apa yang kuhargai dalam perasaan hatiku.

Ada hal yang sering dikatakan oleh pendetaku yang juga kualami sendiri: “Ketika kamu melihat apa yang Allah lihat, kamu akan melakukan seperti yang Allah lakukan. Namun terkadang, kamu harus melakukan apa yang Allah katakan sebelum kamu dapat melihat apa yang Dia lihat.”

Ketika hatiku tidak selaras dengan isi hati Tuhan, aku sangat bersyukur karena Dia telah memberiku pikiran yang dapat menggerakkan hatiku untuk lebih memilih jalan-Nya. Aku tidak harus lebih dulu merasa setuju atau menghargai apa yang Dia katakan sebelum aku dapat mematuhi-Nya. Sebaliknya, Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa—terlepas dari apa yang aku rasakan—ketika aku memilih untuk melakukan apa yang Dia katakan dan menghargai apa yang Dia mau kuhargai, aku ditolong untuk melihat apa yang Dia lihat, sehingga aku dapat menghargai apa yang Dia taruh di dalam hatiku.

Milikilah Pikiran yang Benar untuk Mempengaruhi Perasaan

Pada akhirnya, kita juga dapat mempengaruhi emosi kita dengan memiliki pikiran yang benar. Aku pernah mendengar sebuah kutipan yang berbunyi, “Kamu bukanlah seperti yang kamu pikirkan, tetapi kamu akan menjadi seperti yang kamu pikirkan.”  Pepatah lain menjelaskannya seperti ini:

Perhatikan pikiranmu, karena akan terwujud dalam perkataan.

Perhatikan perkataanmu, karena akan terbukti dalam perbuatan.

Perhatikan perbuatanmu, karena akan terbentuk menjadi kebiasaan.

Perhatikan kebiasaanmu, karena akan terpatri dalam karakter.

Perhatikan karaktermu, karena itulah yang membentuk masa depanmu.

Hal ini, bagiku, mendasari kebenaran tentang bagaimana pikiran kita memainkan peran utama dalam menentukan jati diri yang kita miliki dan corak kehidupan yang kita jalani. Inilah sebabnya mengapa Alkitab memerintahkan kita untuk “menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus” (2 Korintus 10:5).

Hal ini membantuku untuk lebih menghargai mengapa Firman Tuhan menasihati kita untuk memikirkan segala yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, baik, dan patut dipuji (Filipi 4:8)—dan tidak ada yang lebih baik dan lebih patut dipuji daripada Tuhan dan Firman, kehendak, dan jalan-Nya. Jika hal-hal ini yang lebih sering kita pikirkan, otak kita tidak hanya akan menyimpannya, tetapi pikiran-pikiran itu juga akan mempengaruhi hati kita, dan pada akhirnya, hidup kita.

Dalam keinginanku untuk mengasihi Allah, aku ingin mengasihi Dia dengan hati sekaligus pikiranku. Pendeta dan teolog Amerika, Timothy Keller, berkata, “Hati kita sungguh telah dimurnikan ketika apa yang harus Anda lakukan dan apa yang ingin Anda lakukan itu sama—kesenangan dan kewajiban menjadi hal yang sama.” 

Dalam perjalanan kita untuk membiarkan Tuhan semakin memurnikan hati kita, aku senang Tuhan memberi kita berbagai cara agar hati dan pikiran kita dapat terus saling mempengaruhi, sehingga kita dapat mengasihi Tuhan sepenuhnya. Dia benar-benar layak untuk kita cintai dengan segenap keberadaan kita—karena Dialah yang pertama kali mengasihi kita dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatan-Nya.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Apakah Ia Benar Jodohku? Kehendak Tuhan vs. Kehendak Manusia, Why Not Both?

Oleh Kenny Tjhin, Jakarta

Dear single fighter maupun muda-mudi yang sedang pacaran, ada yang notice-kah dengan berita yang sedang trending akhir-akhir ini? Wakil Presiden kita, Pak Ma’ruf Amin, mengimbau anak-anak muda (yang termasuk Generasi Z) untuk tidak menunda nikah. Beliau melandaskan imbauannya pada laporan adanya pengurangan jumlah kelahiran di Indonesia. Reaksi warganet pun beragam, salah satunya adalah komentar di Instagram Story pacarku mengenai isu tersebut, “Ya, gapapa, sih, Pak asal sama orang yang bener.” Mungkin sebagian kita yang masih single akan mengangguk-angguk dengan pernyataan warganet itu. Bahkan ketika membaca komentarnya, kita (dan aku) yang sedang berpacaran mungkin juga memikirkan kembali, “Apakah benar pacarku yang sekarang ini memang adalah pasangan yang benar?” Toh siapa yang mau punya pasangan yang “salah”?

Terlepas dari faktor-faktor seperti kesiapan finansial, mental, kesehatan, keluarga, dan lain-lain, banyak di antara kita mendambakan pasangan yang “benar” atau “tepat”. Oke, deh, mungkin ideal ini tidaklah sama dengan spesifikasi tampang artis Korea dan tingkat spiritualitas pendeta, tetapi setidaknya dia mau sama-sama berjuang dan tidak punya ciri-ciri red flag

Omong-omong, ciri-ciri calon pasangan yang tidak red flag itu apa, sih?

Secara garis besar, ciri-ciri tersebut tampak pada orang-orang yang mau peduli dengan faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas. Di antaranya adalah peduli dan bersedia mempersiapkan diri secara finansial, mental, kesehatan, serta keluarga asalnya maupun pasangannya. Mungkin kita sudah memahami prinsip ini, tetapi kenyataannya tidak jarang kita bisa meragukan “kelayakan” orang lain menjadi pasangan kita, atau bahkan ragu apakah kita “layak” menjadi pasangan baginya.

Fenomena ini membawaku merenungkan tentang pelayan Abraham yang mencari jodoh untuk Ishak (Kejadian 24). Secara kasat mata, mungkin kebanyakan anak muda akan alergi dengan yang namanya perjodohan oleh orang tua. Akan tetapi, jika memang kita pernah berdoa dijodohkan Tuhan, perikop ini tetap relevan bagi kita dengan satu pesan, yaitu mencari pasangan itu bukan adu-aduan antara kehendak Allah dan manusia, melainkan cerminan relasimu dengan Tuhan. Berikut adalah doa sang pelayan ketika memohon bimbingan Tuhan dalam memilih istri bagi Ishak, anak dari bapa segala bangsa itu:

Lalu berkatalah ia: “TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham. Di sini aku berdiri di dekat mata air, dan anak-anak perempuan penduduk kota ini datang keluar untuk menimba air. Kiranya terjadilah begini: anak gadis, kepada siapa aku berkata: Tolong miringkan buyungmu itu, supaya aku minum, dan yang menjawab: Minumlah, dan unta-untamu juga akan kuberi minum—dialah kiranya yang Kautentukan bagi hamba-Mu, Ishak; maka dengan begitu akan kuketahui, bahwa Engkau telah menunjukkan kasih setia-Mu kepada tuanku itu.” (Kejadian 24:12-14 (TB 1974)).

Secara sepintas, doa pelayan ini begitu sederhana, tetapi aku justru melihat imannya kepada Allah di tengah-tengah kebingungan yang dialaminya. Jika mau sedikit berempati, kita akan melihat bahwa pelayan ini takut akan pilihannya yang tidak sesuai dengan keinginan tuannya—yaitu Abraham—dan Ishak. Ketika mengutus sang pelayan, Abraham hanya berpesan untuk mencari perempuan bukan Kanaan. Ya, hanya kriteria itu yang dicatat di Alkitab. Kita tahu bahwa Kanaan adalah bangsa penyembah berhala, sehingga secara tersirat Abraham tidak ingin Ishak justru mengikuti penyembahan berhala. Namun, apakah Ishak tidak punya kriteria sendiri? Bukankah salah satu anak Ishak yang bernama Yakub punya kriteria pasangan dan bisa memilih Rahel dibandingkan Lea, padahal kedua perempuan itu adalah kakak-beradik (Kejadian 29:18)? Jika demikian, tentu wajar bagi pelayan Abraham untuk meminta Ishak ikut bersamanya dalam pencarian istri. Sayangnya, permintaan itu tidak dikabulkan oleh Abraham. Tidak heran jika pelayan itu merasa khawatir dan takut untuk membawa pulang calon pasangan yang tidak sesuai bagi Ishak.

Di dalam kelelahan dan kekhawatirannya, pelayan itu berdoa kepada Tuhan. Jika kita mau mundur ke pembukaan doa sang pelayan itu, sesungguhnya kita dapat menemukan bahwa dia melihat jelas betapa hidupnya relasi antara Abraham dan Tuhan:

“TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham.

Ungkapan ini bukanlah pembukaan doa semata, melainkan sebuah pernyataan iman atas kedaulatan Tuhan di dalam hidup Abraham. Sangat mungkin jika kita melihat pelayan ini menyaksikan hidup Abraham yang bergaul erat dengan Tuhan, sehingga ia pun bisa berdoa seperti yang dilakukan tuannya. Tidak hanya kebiasaan berdoa, pelayan ini juga mengenal Allah Abraham sebagai Allah yang penuh kasih dan—mungkin juga—mengenal janji Allah kepada Abraham yang akan memberkati keturunannya. Ungkapan pelayan ini mencerminkan relasi pribadi antara manusia dengan Allah yang autentik dan erat, sehingga dirinya mengenal siapa Allah yang mengutusnya mencari pasangan bagi Ishak.

Di samping pengenalan akan Tuhan yang begitu baik, pelayan ini juga mengenal dirinya sendiri. Seperti ungkapan seorang teolog bernama John Calvin, Without knowledge of self, there is no knowledge of God (tanpa pengenalan akan diri, tidak ada pengenalan akan Allah),” pelayan ini tahu apa yang dia butuhkan untuk memenuhi mandat tuannya. Selain berdoa, pelayan itu mengenal kebutuhannya, bahkan rela untuk menjadi rapuh dengan meminta air dari perempuan—yang tidak lain adalah Ribka—pada saat itu. Iya, perjalanan yang sangat jauh tentu menguras tenaga sang pelayan, bukan?

Mengenal diri dan menjadi rapuh adalah poin yang penting di dalam proses pengenalan diri, tetapi tentunya memerlukan waktu bagi kita untuk mencernanya dan melalui proses pendewasaan yang tidak mudah. Tuhan mengizinkan kita untuk menguji-Nya di dalam ketaatan (lihat Maleakhi 3:10, Efesus 5:10, 1 Tesalonika 5:2), tetapi kita juga perlu rendah hati untuk diuji Tuhan (lihat Mazmur 26:2; 139:23). Di satu sisi, kita diajarkan bahwa Tuhan ingin kita mencari pasangan yang sepadan dengan kita, seperti Adam dan Hawa. Di sisi lain, kita juga perlu sadar bahwa Tuhan membiarkan Adam untuk bekerja dan mencari terlebih dahulu di antara ciptaan-ciptaan-Nya, sehingga dia sadar bahwa tidak ada yang sepadan dengannya sampai Allah menyediakan Hawa baginya (lihat Kejadian 2:20).Bagi sebagian kita, pengalaman mencari pasangan mungkin adalah pengalaman yang penuh perasaan menggebu-gebu. Perasaan seperti ini tidak terhindarkan, tetapi kita perlu mewaspadainya dengan membuka mata maupun telinga lebar-lebar untuk mengenal dan dikenal pasangan. Lalu, bagaimana dengan yang sudah “pesimis” terhadap kata-kata cinta karena pernah dikecewakan dan menelan rasa pahit? Pikiran pesimistis itu pun tidak terhindarkan saking menyakitkannya jika terulang lagi. Namun, momen-momen pahit itu juga dapat menjadi tanda kita untuk kembali berefleksi dan berdiam diri di hadapan Sang Pencipta yang senantiasa menerima segala kelemahan dan kerapuhan kita.

Pengalaman mengenal orang lain sesungguhnya tidak pernah lepas dari pengalaman kita mengenal Tuhan dan diri. Sebagai laki-laki, aku berpikir bahwa secara tanpa sadar, sering kali kriteria pasangan ditentukan oleh bagaimana sang laki-laki berelasi dengan ibunya (wahai kaum laki-laki, bagaimana menurut kalian?). Sebagai contoh, aku mendambakan perempuan yang mindful, ramah, dan detail dalam mengurus berbagai hal. Ternyata, aku tidak menyadari bahwa sifat-sifat tersebut telah ditunjukkan terlebih dahulu oleh ibuku. Sebagai konsekuensi, sering kali aku perlu menerima komentar detail dari pasanganku, misalnya tentang tata bahasa tulisan. Dikritik itu tidak mudah, dan sering kali aku memerlukan kerendahan hati sebagai laki-laki. Di sisi lain, aku juga bisa merasa terganggu jika pasangan tidak punya kerapian dalam berpakaian, berpenampilan, dan mengurus barang. Dari mana asal ketidaknyamanan itu? Dari orang tua tentunya. Apakah aku terganggu? Iya, tetapi melaluinya aku mengenal diri dan sifatku, serta belajar menerima pasangan yang memang Tuhan sudah berikan bagiku saat ini.

Jadi, apakah ada pasangan yang adalah pasangan yang benar? Hanya Tuhan yang tahu persis skenario kisah cinta anak-anak-Nya, dan biarlah Dia yang menguji tiap relasi yang terjalin. Bagian kita adalah terus mengenal siapa Tuhan, diri sendiri, dan dia yang berelasi dengan kita. Sesungguhnya, musuh dari relasi bukan sekedar kebencian, melainkan keangkuhan hati yang membuat kita berasumsi sudah mengenal pasangan “sepenuhnya”. Ingatlah, setiap manusia—siapa pun itu—pasti menyimpan kerapuhan dan kelemahan yang tidak mudah diterima. Ketika menikahi seseorang kelak, kita tidak hanya “menikahi” kecantikan dan kebaikannya, melainkan juga kelemahan, keberdosaan, kerapuhan, dan ketidaksempurnaannya.

Pada akhirnya, mencari pasangan bukanlah tentang permasalahan cocok-cocokan, melainkan sebuah cerminan relasi kita secara pribadi dengan Tuhan. Aku pernah mendengar curhat dari seorang perempuan bahwa menurutnya laki-laki di gereja itu adalah laki-laki yang “lempeng-lempeng (mudah ikut arus) aja hidupnya”, sehingga dirinya tidak memiliki tujuan hidup. Bagaimana jika anggapan ini benar-benar menggambarkan semua laki-laki yang mengaku percaya kepada Kristus, Sang Kepala Gereja yang mengasihi umat-Nya dan menjadi teladan bagi laki-laki dan perempuan untuk saling mengasihi dalam sebuah relasi? Bagaimana jika semua perempuan beranggapan serupa, sehingga mereka memilih untuk mencari laki-laki yang lebih “membawa gairah”—bahkan meskipun itu berarti mencarinya di luar persekutuan orang percaya? (lihat 2 Korintus 6:14).

Hai, laki-laki, angkat kepalamu, arahkan matamu kepada Tuhan yang memberikan mandat untuk mengelola hidupmu dan sesamamu. Kasihilah perempuan seperti Kristus mengasihi umat-Nya, yaitu tidak dengan paksaan—melainkan dengan kerelaan.

Hai, perempuan, terima kasih sudah menjadi penolong yang sepadan bagi kami. Kiranya hidupmu senantiasa terang berkilau seperti mahkota raja yang selalu membawa kami melihat Sang Raja dan Sahabat kami, yaitu Yesus Kristus.

Kiranya Tuhan senantiasa menyertai kita di dalam perjalanan mencari pasangan dan membangun rumah tangga Allah. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tips Jitu Lawan Ekspektasi Bodong: Selaraskan Hatimu sama Tuhan

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Ekspektasi. Bicara masalah ekspektasi, aku adalah orang yang tergolong dalam grup si pemimpi besar. Mimpinya berada di langit, tapi kenyataannya hanya bertapak di bumi. Kira-kira sejauh itulah ekspektasi dan realitaku. Oleh sebab itu, tidak jarang aku kecewa dengan kehidupan keseharianku, karena realitanya tidak sesuai dengan ekspektasi aku. 

Semakin besar gap antara ekspektasi dan realitanya, semakin tinggi rasa galaunya. Apakah ini akhirnya sering membuatku mengeluh? Pastinya (ngaku dulu hehe). Mungkin ada beberapa dari teman-teman yang bisa relate sama masalah “ekspektasi dan realita” ini. Kabar baiknya, aku punya beberapa kakak senior andalan yang sering memberikan masukan yang sangat bermanfaat dan tentunya relatable buat generasi kita ini. Kalau aku rangkum, ada 3 poin yang mereka sampaikan, boleh ya aku sharing juga di sini.

1. Stop comparing yourself to the others

“Berhenti membandingkan diri kalian dengan orang lain.”

Ini adalah masukan yang sering aku dapat dari kakak-kakak seniorku yang juga teman-teman baikku. Karena umur mereka lebih tua, dan pengalaman hidupnya jauh lebih banyak, mereka selalu mengingatkanku untuk tidak membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Social media is a lie. Percaya ga percaya, ekspektasi kita di zaman ini seringkali datangnya dari hasil scrolling kita di media sosial setiap harinya. Waktu diajak ngobrol sama kakak-kakak seniorku, mereka menegur, “Aduhh.. Lu kurang kerjaan ya, ini mah lu kebanyakan liat Instagram!” 

Aku baru sadar, ternyata kekecewaanku itu datangnya karena ke-iri-an melihat momen kebahagiaan teman-temanku di sosmed. Tetapi, kita tahu dong bahwa 99% postingan orang merupakan momen terbaik dalam hidupnya. Apakah mereka akan memperlihatkan seluruh realita hidupnya termasuk permasalahan hidupnya? Jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah ada yang menceritakan keburukan dan kegagalan hidupnya. Social media can be toxic jika kita tidak dapat mengolah informasinya, apalagi menjadikan apa yang diunggah orang lain patokan ekspektasi kita.

2. Know yourself before God

Kenali diri kita yang sesungguhnya di hadapan Tuhan, bukan di hadapan teman-teman yang ada di media sosial kita. Apa yang mereka capai, belum tentu apa yang harus kita capai.

Everyone has his/her own different stories. Jadi simpelnya, kita harus tahu apa yang menjadi porsi kita. Memang ada kalanya kita sudah mengerjakan semaksimal mungkin, tapi ternyata hasilnya masih tidak sesuai ekspektasi kita juga. Mungkin pertanyaannya adalah: apakah keinginan kita sudah sesuai dengan porsi kita? Kalau memang tidak tercapai, mungkin kata Tuhan memang bukan porsi kita, dan perlu di-review ulang di hadapan Tuhan. Setiap orang sudah diberikan Tuhan porsinya masing-masing dengan pertanggungjawabannya masing-masing juga. Semakin besar porsinya, semakin besar tanggung jawabnya, sehingga tidak perlu iri hati. 

“Hidup ini harus banyak bersyukur baru bisa hepi. Ngiri ga akan ada habisnya. Lu harus lihat ke dalam diri lu sendiri dan refleksi sama Tuhan,” kata kakak-kakak seniorku. Ternyata lihat ke dalam diri itu ga mudah, karena apanya yang mau dilihat, ya? Dan bagaimana kita tahu standar kesuksesan untuk diri kita? Untuk memudahkan, melihat ke dalam diri artinya menyesuaikan ekspektasi kita dengan porsi yang sudah Tuhan berikan pada kita.

3. Discernment is the key to understanding what God wants in our lives, therefore we know our expectations

Berat kan ya definisinya, karena kalau poin ini sih, aku belajar dari beberapa kakak yang sudah sangat senior. Apa sih discernment itu? Jadi, dalam konteks Kristiani, discernment merupakan sebuah kearifan dan ketajaman dalam mengetahui mana yang tepat dan mana yang tidak untuk diri kita melalui tuntunan Roh Kudus. Kearifan ini sebuah skill yang dibutuhkan untuk mengerti maunya Tuhan dalam hidup kita, sehingga kita tahu doa seperti apa yang perlu kita panjatkan dan panggilan atau goals seperti apa yang harus kita tuju. Dengan adanya discernment, tentunya akan lebih jarang doa permohonan berakhiran no, karena keinginan dan ekspektasi kita sudah selaras sama hati Tuhan. Kalau sudah satu hati dan satu tujuan sama Tuhan, pasti ekspektasi dan realita 75% sesuai. Tidak 100% sesuai, tapi sebagian besar pasti sesuai, terbukti dari kisah para raja dan nabi di perjanjian lama. Salah satu nya cerita Yusuf:

“Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu. Karena telah dua tahun ada kelaparan dalam negeri ini dan selama lima tahun lagi orang tidak akan membajak atau menuai…” (Kejadian 45:5-7).

Yusuf mengerti porsi dan panggilannya. Meskipun ia dijual menjadi budak raja Mesir, ia tidak pernah mengeluh ataupun menyesali masa-masa susahnya karena ia tahu bahwa Tuhan mempersiapkan dirinya untuk mendatangkan kebaikan bagi teman sebangsanya. Apa ga kurang pahit pengalamannya dijual oleh saudaranya menjadi budak? Apa lalu ia menyesali kehidupannya? Tidak, walau di awal ia mungkin tidak mengerti maksud dan rencana Tuhan, namun ia tidak pernah merasa iri dengan kakaknya ataupun meratapi nasibnya. Ia tetap mengerjakan yang terbaik, dan sampai pada akhirnya fokus Yusuf juga tetap pada porsi dan panggilannya—”memelihara kehidupan” Israel, supaya tidak mati kelaparan. Sehingga apa yang perlu ia keluh kesahkan di balik cerita pahitnya? Tidak ada, karena ekspektasi Yusuf dan realita yang dijalankannya sesuai 100%. Ia tahu betul bahwa inilah porsi yang diberikan dari Allah sendiri untuk dirinya (Kejadian 45:6, “Allah menyuruh aku mendahului kamu”). Jangan terbalik ya man-teman, yang menyesuaikan supaya terjadinya sebuah keselarasan hati bukan merupakan kompromisasi Tuhan yang mengikuti kemauan kita, tapi merupakan kerelaan hati kita yang mau mengikuti hati Tuhan. 

Aku sering dengar orang bilang, “Udehhh, ikuti kata hati aja.” Nah loh, hati siapa nih ini? Hati kita sendiri atau hati Tuhan? Karena kalau belum sehati sama Tuhan, kata hati kita kan belum tentu kata hati Tuhan. Hehe.. Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya peran discernment, menyelaraskan dan menyatukan kedua hati supaya kedua belah pihak happy dan endingnya happily ever after. Walaupun idenya cukup mengawang, ternyata the gift of discernment ini lumayan bisa dilatih dan diterapkan dengan bantuan ilmu Psikologi. Ada 3 tahap discernment, yaitu: awareness, understanding, dan action.

Tahap 1: Awareness

Awareness itu boleh diibaratkan mobil polisi yang lagi ngiung-ngiung saat kejar maling atau kawal orang penting. Sama seperti lampu siren ini, seluruh indra kita harus dalam keadaan alert (siap siaga). Bukan hanya peka, tapi kita harus lebih peka dari biasanya—peka akan diri kita, sekeliling kita, dan suara Tuhan. Hal yang paling membantu adalah, menuliskan apa yang menjadi realita kita, keinginan kita, dan juga berdiskusi dengan orang di sekitar kita. Lalu bagaimana sih kita bisa dengar suara Tuhan? Suara Tuhan yang paling jelas dan mutlak benar ya hanya ada di Alkitab. Jadi jangan sampai tidak dibaca Alkitabnya. Di dalam tahap inilah, kita banyak-banyak mendengar dan mengobservasi.

Tahap 2: Understanding

Di tahap kedua ini, kita mulai mengolah semua informasi yang kita terima dari pemikiran kita, pendapat orang-orang di sekitar kita, dan penginterpretasian kita terhadap suara Tuhan. Tahap kedua ini cukup tricky, karena dapat menjebak jika kita salah menganalisis dan menginterpretasikan informasi yang kita dapat. Di sinilah diperlukannya ketajaman kita dalam memilih apa yang tepat untuk diri kita. Selain itu, kita perlu berdoa untuk memohon kebijaksanaan Tuhan. Kalau kata ai (tante-tante) yang pernah aku temui di retret gereja, “eh, kalau lu lang (orang) tu dekat-dekat sama Tuhan, doa doa, lu pasti lasa-lasa (rasa-rasa) itu Tuhan maunya cemana (gimana).” Siap ai!

Tahap 3: Action

Tahap terakhir adalah tahap pengambilan keputusan yang mudah-mudahan sudah selaras sama hati Tuhan. Sekalipun kita salah menganalisa dan mengambil keputusan, kalau intensi kita tulus bertujuan untuk mengikuti mau Tuhan, jangan khawatir, Tuhan pasti arahkan kembali ke jalan yang benar. Tuhan tidak sekejam itu untuk membiarkan kita jatuh selamanya.

Memang saat direalisasikan, menyelaraskan hati sama Tuhan itu tidak mudah, alias sulit. Menyelaraskan hati dengan orang rumah yang kelihatan aja susah, apalagi sama Tuhan ya yang wujudnya aja tidak bisa dilihat. Tidak kalah sering juga interpretasi kita akan jawaban tidak dari Tuhan dianggap sebagai hal yang memang belum waktunya sangking mengharapkan terwujudnya keinginan kita. Wajar dan lumrah banget kok… Tapi aku percaya, jika kita lebih aware, understand, and act accordingly, keinginan kita lama-kelamaan akan lebih sesuai dan selaras dengan kemauan Tuhan. Meminjam bahasa motivator, investasikan masa mudamu menyatukan hati dengan Tuhan, sudah terlalu banyak ekspektasi bodong karena kesalah-kaprahan anak muda akan porsinya.

Kehendak-Nya Tidak Selalu Tentang Mauku

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Doakan aku ya biar wisuda tahun ini,” begitu isi chat dari teman seangkatanku di kampus beberapa hari yang lalu. Dia adalah satu dari beberapa temanku yang belum berhasil menyelesaikan perkuliahannya walau tahun 2020 ini merupakan tahun keenam bagi angkatan kami. Selain karena ingin segera menjadi alumni, tekanan pertanyaan dari orang tua, beban keuangan karena harus membayar uang kuliah, jenuh dengan urusan revisi, malu dengan teman-teman seangkatan bahkan adik tingkat yang sudah selesai merupakan ha-hal lain yang juga ikut mendesaknya untuk menyelesaikan kuliah.

Menyelesaikan tugas akhir merupakan salah satu hal yang sering terasa sulit bagi mahasiswa tingkat akhir. Terbatasnya dana yang dimiliki untuk melakukan penelitian, bermasalah dengan hasil penelitian, kehabisan ide untuk judul penelitian, kesulitan memperbaiki revisi adalah beberapa contoh kesusahan yang dialami. Maka tidak heran jika ada mahasiswa yang putus asa dan tidak menyelesaikannya hingga drop out dari kampus atau bahkan ada yang sampai mengakhiri hidupnya pada masa penyusunan tugas akhir.

Sebagian kita mungkin berpikir mereka bodoh sekali. Kok seperti tidak beriman? Kan masih banyak jalan lain, tugas akhir kan bukan segalanya. Namun bagi mereka yang sudah mengusahakannya tapi tidak kunjung berhasil, menyelesaikan studi tak semudah mengomentarinya. Kita memang sebaiknya tidak menghakimi sesama (Matius 7:1-2), kita juga harus mengingat bahwa tidak semua orang memiliki persepsi dan tingkat kerentanan yang sama walaupun berhadapan dengan hal yang sama.

“Kemarin katanya ini adalah bimbingan kami yang terakhir, aku sudah mengerjakan yang diminta, namun hari ini aku diminta lagi melakukan perbaikan di bagian lain, entah apa salahku bisa lama wisuda,” keluhnya disertai emotikon sedih.

“Kerjakanlah, He knows the best for you! Mungkin ini akan menjadi revisimu yang ke 20/25,” balasku sedikit jahil.

Ya, Tuhan tahu yang terbaik bagi setiap ciptaan-Nya (Yeremia 29:11). Dari Alkitab kita melihat bahwa Tuhan tahu yang terbaik bagi Ayub yang mengalami sakit penyakit serta kehilangan harta dan anaknya (Ayub 42:2). Tuhan juga yang mengutus Musa dengan setiap keterbatasannya untuk rencana-Nya atas bangsa Israel (Keluaran 3:11-12). Tuhan juga tahu yang terbaik untuk memelihara kehidupan umat-Nya (Kejadian 45:5) melalui Yusuf yang dijual saudara-saudaranya menjadi budak orang Mesir. Dan kita juga tahu bagaimana Yesus, anak-Nya yang tunggal melalui Via Dolorosa untuk menggenapi rencana-Nya bagi dunia yang dikasihi-Nya (Matius 26:39). Semua menceritakan bagaimana Tuhan dapat memakai setiap hal bahkan situasi yang kita anggap paling sulit sekalipun untuk menyatakan rencana-Nya.

Percaya pada Tuhan dan setiap rencana-Nya ketika semua terasa sulit akan terdengar klise apalagi ketika kita merasa sudah mengusahakannya, namun hasil tak jua maksimal. Sudah berdoa tapi rasanya Tuhan kok semakin terasa jauh, berserah namun merasa semakin tak berdaya. Alih-alih mencoba untuk mengerti dari sudut pandang Tuhan dan percaya dengan rencana-Nya, kita mungkin akan cenderung bertanya apa yang menjadi alasan Tuhan mengizinkan hal itu menjadi bagian dari cerita kita. Kita cenderung membombardir Allah dengan deretan pertanyaan. Mengapa harus aku yang kehilangan ibu? Mengapa aku yang harus lama wisuda? Apakah Engkau peduli? Mengapa Engkau membiarkan ini terjadi? Apakah maksud dari semuanya ini? Apa yang salah denganku dan pertanyaan mengapa lainnya yang mungkin sering malah membuat kita kurang peka untuk melihat bagaimana Allah akan bekerja lewat situasi tersebut.

Hal yang sama juga ditanyakan oleh murid Tuhan Yesus ketika Ia menyembuhkan orang yang buta sejak lahir (Yohannes 9:1-7).

“Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (ayat 2) Yesus menjawab dengan “Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (ayat 3). Hal ini juga tak jarang kita alami, kita mengaitkan kesulitan yang kita alami sebagai akibat dari dosa di masa lampau, layaknya hukum tabur tuai. Namun lewat kisah orang buta tersebut kita belajar bahwa tak selamanya kesulitan yang kita alami adalah upah dosa, Tuhan juga bisa memakai penderitaan yang kita alami untuk menyatakan rencana-Nya seperti kesembuhan orang buta itu (ayat 11).

Kita juga melihat bagaimana Ayub, orang yang paling saleh di dalam Alkitab (Ayub 1:1,8) yang juga menanyakan apakah maksud Allah dengan penderitaan yang dialaminya (Ayub 10), walaupun Ayub merupakan tokoh Alkitab yang seringkali dihubungkan dengan ketabahan dalam menghadapi penderitaan (Yakobus 5:11). Melalui kesembuhan yang dialami orang buta itu, para tetangganya dan juga orang farisi mendapat kesempatan untuk melihat karya Allah dan meresponnya begitu juga dengan kisah Ayub yang dipakai Allah untuk memurnikan imannya.

Demikian juga dengan temanku yang sedang tidak mengerti dengan rencana Tuhan atasnya dalam pengerjaan skripsinya. Selain membantu memberi masukan untuk penelitiannya atau sekadar menghiburnya lewat media komunikasi, aku juga berdoa semoga dia semakin mengenal Tuhan dan bergantung pada-Nya dalam setiap proses yang ia lalui (Yesaya 40:31).

Mungkin kita juga sedang mengalami situasi-situasi yang menyulitkan kita dan membuat kita kehilangan sukacita, terlebih ditengah pandemi COVID-19 ini. Ketidakpastian akan rencana mendatang, kehilangan sahabat atau orang terdekat, kehilangan pekerjaan, kesulitan ekonomi serta kesulitan lain yang kita alami mungkin sering menyurutkan iman percaya kita, seperti kapal yang dihantam badai. Namun lagi-lagi kita harus mengingat bahwa dalam badai pun Tuhan tetap bisa menyatakan rencana-Nya (Mazmur 29; Markus 4: 35- 5:1).

Untuk setiap situasi kita selalu memegang janji Tuhan, bahwa Dia sekali-kali tidak akan membiarkan kita dan sekali-kali tidak akan meninggalkan kita (Ibrani 13:5) Dia tetaplah Allah yang menjadi sumber harapan ketika menghadapi setiap hal (2 Korintus 1:3). Kiranya kita terus meminta Tuhan untuk menuntun kita agar tetap percaya padaNya dan setiap rencana-Nya yang tidak selalu tentang kehendak dan kemauan kita (Amsal 3:5)

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Penolakan Menjadi Awal Baru Relasiku dengan Tuhan

Ketika sesuatu terjadi tak sesuai mau kita, kita mungkin membombardir Tuhan dengan deretan pertanyaan kenapa. Tapi, mengapa tidak menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk melihat dari sudut pandang-Nya?

Tuhan, Kapan Aku Harus Memulai?

Oleh Ezra A. Hayvito, Tangerang Selatan

Tuhan, Kapan Aku Harus Memulai?

Mengawali tahun 2020, aku diingatkan tentang beberapa ide dan mimpi yang sudah cukup lama aku tunda. Cukup lama terkubur karena kesibukan, akhirnya muncul pertanyaan ini dalam doaku, “Tuhan, kapan aku harus memulai?”

Kalau kamu merasa pertanyaan ini juga tidak asing buat kamu, izinkan aku membagikan sedikit ceritaku dalam tulisan ini.

Maret 2019, aku diberikan undangan untuk menulis artikel rohani oleh salah satu sahabatku. Tawaran itu begitu menarik bagiku karena saat itu aku memang sedang giat menulis catatan dari renungan pribadiku. Namun bagiku menulis artikel rohani adalah sebuah area baru yang belum siap untuk aku masuki sehingga tawaran itu hanya kusimpan sebagai mimpi dan terkubur dalam kesibukanku yang lain.

Waktu berlalu dan pada Desember 2019, tawaran itu datang kembali. Seketika, aku mendapat keyakinan untuk mengiyakan undangan itu. Tidak ada keraguan dan itu cukup aneh bagiku.

Aku percaya keyakinan itu berasal dari Tuhan. Aku meyakini jika itu memang kehendak Tuhan, pasti ada dorongan yang kuat yang bisa kita hindari dan Tuhan pasti memberikan damai sejahtera ketika hal itu dilakukan.

Berkaca dari pengalaman ini, aku mencoba menyelami pikiranku untuk melihat proses pembelajaran apa saja yang aku alami mulai dari aku mendapat tawaran menulis hingga akhirnya aku mulai menulis. Berikut ini adalah proses yang aku pelajari tentang kapan dan bagaimana harus mulai melaksanakan sesuatu.

1. Cari Tahu Kehendak Tuhan

Salah satu pelajaran berharga yang aku dapatkan adalah melakukan hal yang menurut kita baik belum tentu sesuai dengan kehendak Tuhan. Untuk itu penting sekali bagi kita untuk mencari tahu apakah ide dan mimpi kita ini sesuai dengan kehendak-Nya.

Awalnya aku tidak dapat memahami bagaimana aku bisa mengetahui apakah hal ini sesuai dengan kehendak Allah atau tidak. Inilah yang aku lakukan. Aku membuang semua kebingungan dari pikiranku, aku menolak segala ketakutan dan keraguan, lalu aku mulai berdoa dan bersyukur.

Aku berdoa sambil memuji dan menyembah hingga segala ketakutan dan keraguan itu hilang. Aku percaya, Tuhan bertakhta di atas pujianku. Ketika aku datang berdoa dan bersyukur dengan hati yang tulus, aku yakin Ia dan Kerajaan-Nya datang dan aku ada dalam hadirat-Nya.

Aku tahu, Tuhan juga ingin berbicara kepadaku. Ia bukan allah yang tidak bisa berbicara kepada umatnya. Dia Allah yang mau memiliki relasi dengan kita. Seperti komunikasi pada umumnya, ini harus berlangsung dua arah. Dalam doa dan penyembahanku, aku telah berbicara kepada Tuhan. Sekarang giliran Tuhan menyampaikan isi hati-Nya.

Biasanya aku akan mulai dengan membaca Alkitab dengan meminta hikmat dari Tuhan. Aku percaya Alkitab adalah kebenaran dan Roh Kudus yang adalah Roh Kebenaran akan menuntun kita kepada segala kebenaran.

Dalam 1 Korintus 2:10-12, Rasul Paulus juga menyampaikan tidak ada yang mengetahui isi pikiran (kehendak) seseorang selain rohnya, begitu pula dengan Allah, tidak ada yang mengetahui kehendak-Nya selain Roh Allah atau Roh Kudus.

Sehingga dapat aku simpulkan sebelum memulai melaksanakan ide dan mimpi, aku harus terlebih dahulu memastikan itu adalah kehendak Tuhan. Hal ini aku lakukan dengan bersekutu selalu dengan Roh Kudus dan peka terhadap suara-Nya.

2. Buat Perencanaan

Dalam Amsal 24:6 dikatakan kita hanya dapat berperang dengan perencanaan dan kemenangan tergantung pada penasihat yang banyak. Aku ingat pesan seorang teman yang berkata jika kita berperang tanpa rencana artinya kita sedang berencana untuk kalah. Ini membuat ku yakin aku harus menuliskan rencanaku sebelum memulai menjalankan ide dan mimpi itu.

Namun dalam menyusun rencana ini, nasihat siapa yang harus kuminta? Aku berpikir dan teringat salah satu lagu pada ibadah Natal.

“… dan Nama-Nya pun disebut orang. Penasihat Ajaib. Allah yang Perkasa. Bapa yang Kekal. Raja Damai.”

“Nama-Nya akan disebut sebagai Penasihat Ajaib.” Ini yang membuatku yakin bahwa aku harus membuat rencana sebelum aku berperang dan aku sudah memiliki Penasihat yang bukan sembarang penasihat, Ia adalah Penasihat Ajaib yang adalah Yesus sendiri.

Dalam perencanaanku aku melibatkan Tuhan dan ini yang aku pelajari. Aku harus membuat target dalam jangka waktu tertentu karena aku termasuk orang yang akan menunda pekerjaan apabila tidak ada tenggat waktu yang diberikan.

Tuhan memberiku inspirasi untuk bangun setiap pagi dan menentukan progress apa yang mau aku capai di hari itu, bagaimana prioritasnya terhadap aktivitasku yang lain, dan menentukan berapa lama durasi yang mau aku luangkan untuk mengerjakan hal tersebut.

Aku menemukan hal ini efektif bagiku. Kalau menurutmu cara ini tepat bagimu untuk kamu lakukan, coba lakukan itu. Pastikan kamu menyediakan waktu khusus untuk menulis rencana dan berdoalah sebelumnya untuk meminta hikmat dari Tuhan.

3. Laksanakan Rencana

Tahap pelaksanaan sering menjadi bagian yang sulit untuk aku lakukan. Aku menyadari hal ini disebabkan karena ketika aku berusaha menggenapi kehendak Tuhan, Iblis pun akan berusaha membuatku gagal dalam menggenapi rencana Tuhan.

Distraksi adalah salah satu musuh besar yang harus aku lawan. Tanpa aku sadari, ketika aku lengah dan mengizinkan diriku untuk bersantai di Instagram, Youtube, atau media sosial lainnya, aku perlahan-lahan sedang di jerat Iblis untuk tidak produktif selama berjam-jam dan berujung pada dosa.

Mengatasi hal ini, Roh Kudus mengingatkanku untuk setia terhadap perkara yang kecil. Melawan kemalasan dan distraksi dengan kesetiaan dan ketaatan. Ini aku terapkan dengan bangun pagi, merapikan tempat tidur, bersaat teduh, dan membuat rencana aktivitasku untuk hari itu. Ketika aku memiliki to-do-list yang jelas dan target untuk dicapai, aku menjadi tidak mudah terdistraksi.

Aku yang sedang giat dalam menyelesaikan pekerjaan bertemu dengan masalah baru. Keasyikan bekerja membuatku menyampingkan waktu istirahat dan tidak jarang aku lalai dalam doa pribadiku. Tanpa sadar aku masuk dalam jerat lain si Iblis dengan menjadikan pekerjaanku sebagai berhala.

Tuhan menegurku. Aku tidak merasakan damai sejahtera dan kreativitasku menjadi terbatas. Di momen inilah aku sadar, aku harus taat terhadap rencana waktu yang sudah kutentukan sebelumnya, termasuk taat apabila tiba waktu untukku beristirahat dan berdoa.

Selanjutnya adalah pikiran yang berkata aku tidak sanggup, perasaan jenuh, dan rasa ingin menyerah. Ini adalah contoh selanjut yang sering menjadi penghambatku dalam mengerjakan apa yang aku kerjakan. Di saat seperti ini, Roh Kudus mengingatkanku terhadap alasan aku melakukan semua ini. Dan jawabannya sesederhana karena ini adalah kehendak Tuhan dan di dalam Dia terletak kekuatanku untuk terus berjuang.

Kunci yang aku pelajari untuk taat dan setia adalah untuk menjadikan perjalanan kita sebagai penyembahan kita kepada Tuhan. Ketaatan dan kesetiaan yang sejati lahir dari luapan kasihku kepada Tuhan.

Lebih dari sekadar mengikuti peraturan, kasihku kepada Tuhan seharusnya pendorong untuk aku berani melangkah lebih jauh. Aku percaya, dengan mengasihi Tuhan aku dimampukan untuk melakukan apapun yang Tuhan perintahkan, termasuk untuk taat dan setia.

***

Bagiku, ini adalah salah satu kehendak Tuhan yang berhasil aku mulai dalam hidupku. Aku bersyukur untuk setiap proses yang Tuhan ajarkan hingga akhirnya aku dapat menuangkannya dalam tulisan ini. Aku berdoa agar dalam segala keterbatasan tulisanku, Roh Kudus menyempurnakan setiap tulisan ini dalam hatimu. Haleluya!

Immanuel, God with us!

Baca Juga:

Mengapresiasi Diri, Resolusi Tahun Baru

Aku pernah merasa hidupku penuh cela, lapuk, atau pun tidak berguna, tapi Allah memandangku bernilai. Tahun ini, aku belajar untuk menghargai diriku sendiri. Inilah resolusiku.

Jadilah Padaku Seperti yang Tuhan Ingini

Oleh Irene, Surakarta

“Hidup ini kuletakkan pada mezbah-Mu ya Tuhan. Jadilah padaku seperti yang Kau ingini.”

Penggalan lagu berjudul “Seperti yang Kau Ingini” itu terus mengalun di kamar rumah sakit Bethesda, Yogyakarta, 12 tahun silam. Lagu yang dinyanyikan oleh Nikita itu menemani saat-saat ketika nenek yang kukasihi terbaring lemah karena stroke. Keluargaku masih berharap akan kesembuhan di tengah kepasrahan yang mendera hati kami. Separuh diriku pun sebenarnya berharap agar nenek tetap berjuang hidup, tapi di sisi lain aku pasrah hingga akhirnya tepat pada tanggal 15 Januari 2007, beliau mengembuskan nafas terakhirnya di usia 72 tahun.

Sejak saat itu, lagu “Seperti yang Kau Ingini” selalu kuputar jika berkunjung ke pusara nenek. Dan, ketika aku menghadapi pergumulan pun, lagu itu selalu terngiang dan kuputar di komputerku. Liriknya meneduhkanku, juga mengingatkanku bahwa di tengah kehidupan yang tidak berjalan sesuai harapan, aku bisa memercayakannya kepada Tuhan.

Sejenak aku merenung. Di balik kalimat dan lirik “Jadilah padaku seperti yang Kau ingini” itu, mengimaninya tak semudah mengucapkannya. Tidak mudah untuk meminta Tuhan melakukan apa yang jadi kehendak-Nya ketika aku sendiri punya kehendak yang ingin dipenuhi. Aku ingin kaya, punya rumah besar, dipuji orang, mendapatkan pekerjaan idaman, dan hidup bersama dengan orang yang kucintai. Aku ingin nenekku tidak meninggalkanku dari dunia ini. Tapi, tentu tidak semua hal itu berjalan seturut keinginanku.

Alkitab mengatakan bahwa hati kita dapat menipu diri kita sendiri (Yeremia 17:9). Di balik segala keinginan yang tampaknya baik itu, mungkin saja terselip egoisme yang menganggap bahwa rencanaku lebih baik daripada rencana Tuhan. Padahal, firman Tuhan dengan jelas mengatakan bahwa rencana Tuhan jauh lebih tinggi daripada rencana-rencana kita (Yesaya 55:8-9).

Sampai di titik ini, aku merasa tertegur. Mengingat kembali kepedihanku ketika nenek akhirnya dipanggil pulang ke surga, aku mengimani bahwa ada banyak hal dalam kehdiupan ini yang sulit dimengerti. Tetapi, satu hal yang aku tahu dan imani adalah Tuhan itu baik dan penuh kasih. Tuhan baik bukan cuma karena Dia memberiku keberhasilan, tetapi karena Dia memang baik. Tuhan mengasihiku bukan hanya karena Dia memberiku berkat, tetapi karena Dia adalah kasih. Aku belajar menerima bahwa di balik kepergian nenekku dan segala hal yang terjadi dalam hidupku, Tuhan melakukannya dalam hikmat dan kasih-Nya.

Yang perlu aku lakukan sekarang adalah berserah diri dan percaya. Aku yakin bahwa Tuhan memberikan yang terbaik, dan bagianku adalah memberikan hidupku pada-Nya untuk dibentuk-Nya.

Bukan dengan barang fana
Kau membayar dosaku
Dengan darah yang mahal
Tiada noda dan cela

Bukan dengan emas perak
Kau menebus diriku
Oleh segenap kasih
Dan pengorbanan-Mu

Ku telah mati dan tinggalkan
Jalan hidupku yg lama
Semuanya sia-sisa
Dan tak berarti lagi

Hidup ini kuletakkan
Pada mezbah-Mu ya Tuhan
Jadilah padaku seperti
Yang Kau ingini

Baca Juga:

3 Ayat Alkitab Ketika Kita Merasa Tidak Cukup Baik

Gagal mendapatkan beasiswa pernah membuatku kecewa dan merasa diriku tidak cukup baik. Namun, ada tiga ayat yang menolongku untuk bangkit dari perasaan ini.

Bagaimana Caranya Tahu Kehendak Tuhan?

Subtitle oleh Marselina Rusli

“Ikuti kehendak Tuhan, ya.” Pernahkah kamu mendengar nasihat seperti itu? Kadang nasihat itu malah membuat kita bertanya kembali, bagaimana kita bisa tahu kehendak Tuhan? Bagaimana cara Tuhan berbicara dan menyatakan kehendak-Nya pada kita di masa kini?

Yuk temukan jawabannya. Simak video rekaman Instagram Live WarungSaTeKaMu bersama Kak Alex Nanlohy.

Lihat video series lainnya:
Bagaimana Caranya Agar Saat Teduh Bisa Konsisten?
Cara Mengatasi Jenuh Bersaat Teduh
Puasa Orang Kristen
Tips untuk Berhasil Menjalani Puasa

CeritaKaMu: Jadilah Kehendak-Mu (bagian 1)

Oleh: Ecclesias Elleazer

Jadilah-KehendakMu1

Sabtu pagi yang cerah. Kemilau matahari yang menembus celah jendela mendesakku untuk membuka mata. Kicauan burung sudah ramai terdengar. Sesuatu yang paling kusenangi sejak tinggal di kontrakan mungil di pinggir sawah ini. Memang untuk mencapai halte angkutan umum terdekat aku harus berjalan sekitar 1 km, tetapi aku lebih rela untuk jalan kaki agak jauh demi menikmati pagi sepi polusi di tempat ini.

Pagi mbak Ellea,” seorang ibu berbaju biru menyapaku begitu aku membuka jendela. Balita yang digendongnya tertawa-tawa riang.

Pagi Bu Jum,” balasku tersenyum lebar.

Mawarnya sudah mekar, cantik sekali…,” katanya menunjuk sebuah pot yang berada persis di depan jendela kamarku. Aku mengangguk gembira. Menghirup wanginya dalam-dalam.

Pagi-pagi mau ke mana, Bu?”

Ke posyandu, Mbak. Tanggal 15, Intan jadwalnya imunisasi nih,” balas si ibu menunjuk balita dalam gendongannya sembari terus berjalan.

Aku melambai. Perasaanku tiba-tiba terasa campur aduk.

Di satu sisi aku sangat bersyukur. Untuk kemilau pagi, untuk semerbak bunga, untuk kicau burung, untuk keramahan warga di lingkungan baruku ini. Di sisi lain, kehangatan keluarga-keluarga di sekitarku membongkar kembali rindu yang tadinya telah terkubur dalam kalbu, menyodorkan kenyataan bahwa kini aku hidup seorang diri, tanpa ada yang menemani. Tak bisa disangkal, aku kerap merasa kesepian.

Dua tahun yang lalu, aku masih tinggal di kamar pribadi yang lebih seperti istana dibanding kamarku sekarang. Luasnya mungkin tiga kali kontrakanku ini. Bebas nyamuk, semut, dan kecoak. Setiap kali kenangan itu datang, rasa syukurku sangat cepat menguap. Berganti dengan rasa ingin menyerah dari kehidupan yang kini kujalani.

Aku beranjak keluar kamar, meraih handuk di gantungan sebelah pintu, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Langkahku terhenti sebentar saat melewati kanvas di ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang makan, dapur, dan ruang tamu. Aku tersenyum lega melihat lukisan yang akhirnya selesai kukerjakan tadi malam. Pesanan Pak Yudi. Pengusaha tahu yang baik hati. Lukisan itu akan menjadi hadiah Pak Yudi dan teman-teman kelompok kecilnya untuk ulang tahun pernikahan pendeta mereka. Lukisan itu juga menjadi hadiah untukku, karena dengan menyelesaikannya, aku akan bisa membayar uang kontrakanku untuk bulan ini. Lagi-lagi perasaanku jadi campur aduk. Dua tahun lalu, uang jajanku sebulan bisa membayar uang kontrakan ini selama lima bulan. Mengandalkan bakat melukis untuk hidup bukanlah jalan yang mudah. Kalau aku lulusan jurusan seni rupa dari universitas ternama mungkin ceritanya akan berbeda. Aku bahkan tidak sempat menyelesaikan SMA-ku. Jika bukan karena Pak Yudi dan kenalan-kenalannya, entah dari mana aku bisa mendapat pesanan lukisan setiap bulan.

***

Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua siang ketika aku kembali dari mengantar lukisan ke rumah Pak Yudi dan singgah sebentar di warung makan. Matahari sangat terik di sepanjang perjalanan, membuatku merasa sangat gerah dan lelah. Begitu masuk rumah, aku segera menyalakan kipas angin lalu menyandarkan tubuh di sofa. Ahhh enaknya…. Entah sudah berapa lama usia sofa kusam ini, tetapi menurutku masih cukup nyaman untuk dipakai. Saatnya untuk bersantai, pikirku sambil merogoh tas, mencari-cari alat pemutar MP3 kesayanganku. Sepanjang pagi tadi aku sibuk membuat tiga sketsa lukisan baru. Sabtu pagi memang hari yang paling nyaman untuk menyelesaikan pesanan lukisan atau menggarap ide-ide baru. Sudah seminggu ini, dari hari Senin sampai Jumat aku sibuk menjadi asisten guru di sebuah taman bermain—pekerjaan yang baru kuperoleh, lagi-lagi atas rekomendasi Pak Yudi.

Banyak perkara yang tak dapat kumengerti
Mengapakah harus terjadi di dalam kehidupan ini
Satu perkara yang kusimpan dalam hati
Tiada sesuatu ‘kan terjadi tanpa Allah peduli

Ternyata tidak mudah bagiku untuk bersantai sepenuhnya. Baru satu bait lagu itu mengalun, lelehan kristal bening sudah berlomba membasahi pipiku. Tuhan, berapa lama lagi aku harus hidup seperti ini?

Allah mengerti Allah peduli
Segala persoalan yang kita hadapi
Tak akan pernah dibiarkannya
Kubergumul sendiri
S’bab Allah peduli

Ya, Tuhan, aku tahu Engkau peduli dan mendengar doa-doaku, aku tidak akan menyerah … jadilah kehendak-Mu dalam hidupku,” gumanku dalam hati, berusaha menepis bayangan-bayangan masa lalu dan impian-impian masa depan yang membanjiri pikiranku. Memangnya kamu sudah siap bila Tuhan menjawab doamu sekarang? Pertanyaan itu tiba-tiba muncul, menggantung di ambang pikiranku. Namun, aku sudah terlalu lelah untuk menanggapinya. Pipiku yang basah mulai mengering oleh semilir kipas angin. Bersamaan dengan itu, aku pun terlelap.

Ellea …” Sebuah tangan yang halus terasa membelai wajahku. Aku tersentak bangun. Mataku terbelalak mendapati orang yang selama ini kurindukan berada di hadapanku. Tanpa pikir panjang aku memeluknya. Ia balas memelukku. Lalu tiba-tiba sebuah bayangan masa lalu yang sangat kuat menghampiri pikiranku. Seperti tersadar dari mimpi, aku segera melepaskan pelukanku dan mendorong orang itu dengan kasar.

Bagaimana kalian bisa ada di sini? Mau apa kalian datang?” Aku berteriak-teriak seperti orang gila sambil mengusap air mata yang mengalir tanpa bisa kukendalikan. Semua peristiwa yang tadinya sudah kusimpan rapat-rapat seolah diputar kembali di hadapanku.

 
Bersambung …