Posts

Menghalau Galau

Oleh: Inike Lamria Siregar

menghalau-galau

Belakangan makin sering saja kudengar kata “galau”. Istilah yang memang baru tren di kalangan kaum muda ini merujuk pada rasa kuatir dan bingung sendiri ketika harus mengambil sebuah pilihan. Sebagai anak-anak muda Kristen, boleh enggak sih kita galau?

Lirik salah satu lagu rohani berkata demikian:
“…ombak yang menderu tak membuat galau hatiku, ku tau ku selalu mengandalkan-Mu”
(Sampai Batas Waktu, GMB)

Kalau dipikir-pikir, lirik ini bener banget. Mengapa harus galau jika kita punya Tuhan yang dapat diandalkan?

Memang, hidup ini tidaklah semulus jalan tol. Tetapi daripada galau, aku lebih suka “bergumul” dengan masalah yang menghadang. Dalam bergumul kita akan lebih serius, tidak main-main, fokus, dan tentu saja berserah kepada Tuhan. Berserah bukan pasrah, tapi menyerahkan setiap masalah atau pilihan kita kepada Tuhan sebagai pembuat keputusan.

Dalam kegalauan biasanya kita hanya berputar-putar dengan pikirannya sendiri tanpa mengambil tindakan apa-apa. Dalam pergumulan, kita berjuang melakukan sesuatu untuk menghadapi masalah dan mencari solusi. Sebagai para pengikut Kristus, bergumul berarti mendekat kepada Tuhan, berupaya menemukan jawaban atau kehendak-Nya. Makin dekat kita kepada-Nya, makin pekalah kita dengan apa yang Dia ingin kita lakukan, dan makin dapatlah kita menghalau galau… =)

Lalu, gimana caranya dekat dengan Tuhan? Bayangkanlah kalau kamu ingin dekat dengan seseorang. Tentunya kamu berusaha PDKT (pendekatan) dong. Berikut tiga langkah PDKT yang bisa kamu praktikkan untuk memulainya:

Pertama, kita harus sering-sering ketemu dan berkomunikasi. Berbicaralah kepada Tuhan melalui doa. Berdoalah dengan tekun dan sungguh-sungguh. Ceritakan setiap masalah yang kita hadapi. Dia adalah pendengar yang setia dan pemberi solusi yang handal. Dia juga tidak terbatas tempat dan waktu, kita dapat datang pada-Nya kapan saja dan di mana saja. Dia mengundang kita untuk mencurahkan isi hati kita kepada-Nya: “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” – Filipi 4:6

Kedua, kita harus banyak bergaul dengan keluarga-Nya. Keluarga Allah terdiri atas orang-orang yang benar-benar hidup dalam Firman-Nya (Lukas 8:21). Pergilah ke gereja secara teratur. Hadiri persekutuan kaum muda atau bergabunglah dengan kelompok-kelompok pendalaman Alkitab. Berkumpul dengan sesama saudara seiman adalah cara hidup jemaat mula-mula. Kita bisa belajar dari satu sama lain, saling menyemangati, saling membangun, sehingga pengenalan kita akan Allah dapat terus bertumbuh. Mendengar sembarang nasihat orang bisa bikin kita tambah galau. Tetapi mendengar masukan bijak dan melihat teladan dari orang-orang yang hidup dekat dengan Allah, akan menolong kita membuat pilihan-pilihan yang tepat.

Ketiga, kita harus kepo sama Tuhan dengan membaca firman-Nya. Kita harus sungguh-sungguh mau tahu apa yang diinginkan Tuhan di dalam kehidupan kita. Jangan puas dengan mendengar kata orang atau khotbah di gereja saja. Ambillah waktu pribadi untuk bersaat teduh, membaca dan merenungkan Alkitab secara teratur. Kalau kita jarang atau bahkan belum pernah membaca Alkitab, wajar saja kita galau, karena kita tidak banyak tahu tentang Dia. Jangan termakan apa kata orang kalau kamu sendiri belum ngecek kebenarannya dalam Alkitab.

Makin dekat kita kepada Tuhan,
makin pekalah kita dengan apa yang Dia ingin kita lakukan,
dan makin dapatlah kita menghalau galau… =)

Belajar dari Kegalauan

Oleh: Listiyani Chita Ellary

belajar-dari-kegalauan

Hampir dua tahun aku menjalin hubungan dengan pacarku, sebut saja namanya Gentong. Susah senang kita lewatin berdua, tak pernah terlintas pikiran untuk berpisah. Siapa saja yang melihat pasti bisa merasakan indahnya hubungan kami berdua. Memang secara pribadi aku merasa hubungan kami asyik, kadang konyol tapi seru. Aku merasa tidak saja punya pacar, tapi juga seorang sahabat dan guru sekaligus.

Hingga suatu waktu, kami berdua harus menghadapi masalah yang cukup berat, yang melibatkan beberapa orang terdekat kami berdua. Beberapa minggu lamanya kami diliputi dengan suasana hati yang tidak tentu. Kadang kami bisa sabar, tapi kadang kami pun sama-sama dipenuhi emosi yang meledak-ledak, hingga sempat saling melukai perasaan masing-masing.

Dari kejadian ini, layaknya anak muda yang lain, aku jadi sering galau, nangis-nangis nggak jelas di kamar hanya karena dihantui pikiran, “Kok si dia berubah? Dia sudah nggak sayang lagi kayak dulu ya? Jangan-jangan dia sudah punya yang baru.” Dan muncullah banyak “jangan-jangan” yang lain. Aku mulai merasa relasi kami tidak lagi sehat untuk diteruskan. Tapi, aku masih belum rela kehilangan pacar. Aku memaksa agar hubungan kami tetap berlanjut.

Sampai suatu pagi ketika bersaat teduh, aku tersentak membaca bahan renungan yang berbicara tentang “merelakan apa yang seharusnya bukan kehendak Tuhan”. Bacaan hari itu menegurku dengan keras. Apakah aku benar-benar peduli dengan yang namanya kehendak Tuhan? Harus kuakui, selama menjalin relasi dengan pacarku, aku hampir tidak pernah bertanya apa yang Tuhan mau aku lakukan, apakah Tuhan berkenan hubungan ini berlanjut atau tidak.

Sungguh sebuah proses yang berat bagiku. Aku sungguh tidak ingin hubungan kami berakhir. Namun, Tuhan mulai membukakan pikiranku. Aku jadi sadar bagaimana selama ini aku sering menyakiti hati si Gentong, membuatnya selalu terpaksa mengalah dengan sikapku yang keras kepala. Setelah bergumul selama kurang lebih sebulan dan tidak melihat titik terang dalam hubungan kami, akhirnya aku merelakan hubungan kami berakhir.

Sebagaimana semua orang yang pernah merasakan namanya putus dengan pacar, aku juga awalnya hancur hati, rasanya tidak punya mood lagi buat beraktivitas. Tapi seiring berjalannya waktu, semua kegalauan ini kemudian membuat aku bersyukur. Aku jadi belajar bahwa kasih dari manusia itu tidak abadi, mengecewakan, dan kerap melukai hati. Sungguh kontras dengan kasih Kristus yang kekal dan sempurna. Kesadaran ini membawaku makin mencintai Tuhan.

Kegalauan ini juga dipakai Tuhan untuk membuka mataku terhadap orang-orang yang mengasihi aku. Mereka dengan setia menguatkan dan menghiburku pada saat aku terpuruk. Aku jadi tersadar bahwa selama ini aku begitu fokus mengasihi satu orang saja Tuhan memperluas duniaku yang tadinya hanya berfokus mengasihi satu orang saja, sehingga aku kemudian bisa mengasihi lebih banyak orang.

Tuhan juga mengajarku melalui kegalauan ini untuk bersandar sepenuhnya kepada Kristus, bukan bertahan dengan pemikiran dan perasaan sendiri. Aku diingatkan untuk selalu mencari kehendak Tuhan dalam segala hal. Untuk itu tentunya aku perlu memiliki relasi yang lebih intim dengan Tuhan. Bagaimana mungkin kita bisa mengerti kehendak Tuhan jika kita tidak punya relasi yang dekat dengan-Nya?

Sebelum aku tertindas, aku menyimpang,
tetapi sekarang aku berpegang pada janji-Mu.
Engkau baik dan berbuat baik;
ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku.

Mazmur 119:67-68