Posts

Ketika Aku Mencari Tahu Bobot Segumpal Awan

Ketika beban berat menghimpit, atau langit tampak kelabu, kita cenderung membiarkan diri kita kehilangan harapan. Padahal, Tuhan yang menciptakan kita telah berjanji bahwa Dia tahu apa yang kita sedang alami dan Dia akan menyediakan apa pun yang kita butuhkan. Dia lebih tahu daripada diri kita sendiri. ⁣⁣
⁣⁣
Kalau hatimu sedang berbeban berat, Yesus mengundangmu kembali untuk menaruh harapanmu pada-Nya. Ingatlah kembali bagaimana Dia telah berulang kali menolong-Mu. ⁣⁣
⁣⁣
Artspace ini diadaptasi dari artikel “Ketika Aku Menghitung Bobot Segumpal Awan” yang telah ditayangkan di WarungSaTeKaMu. ⁣⁣
⁣⁣

Allah di Balik Kabut Asap

Penulis: Markus Boone

kabut-asap-2015
Sumber foto: daerah.sindonews.com, 22 Oktober 2015

Kemarau panjang beberapa bulan kemarin mungkin membuat hati kecil kita bertanya-tanya, mengapa Allah tidak kunjung mendatangkan hujan; mengapa Dia membiarkan bencana asap melanda dan menyebabkan jutaan orang menderita sakit karena asap yang begitu pekat masuk dalam hidung, tenggorokan dan paru-paru mereka. Pertanyaan senada mungkin pernah (dan akan) terbersit di benak kita ketika hujan terus turun dan bencana banjir menyapa. Mengapa Allah membiarkan bencana datang? Apakah Allah kurang berkuasa? Ataukah mungkin Dia kurang peduli?

Setidaknya ada beberapa hal yang menurutku bisa kita renungkan tentang pribadi Allah di balik bencana kabut asap yang hampir setiap tahun terjadi.

1. Allah konsisten dengan hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya

Bayangkanlah seorang guru yang membuat peraturan dalam kelas, tetapi sangat sering mengubah-ubah peraturan yang dibuatnya sendiri. “Hari ini peraturan nomor satu tidak berlaku ya, besok saja berlakunya.” Lalu seminggu kemudian ia berkata, “Minggu ini peraturan yang kemarin saya umumkan tidak jadi berlaku karena ada murid-murid yang tidak setuju.” Apa kesan kita terhadap guru yang demikian?

Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika setiap kali kita berdoa Allah mengubah hukum-hukum alam yang dirancang-Nya sendiri. Kekacauan! Begitu gereja berdoa, Allah langsung memadamkan api di hutan. Orang-orang yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan tidak jadi dihukum. Pemerintah tidak merasa perlu berusaha keras memperbaiki sistem pengawasan dan pelestarian lingkungan. Penduduk tidak akan sadar betapa pentingnya menjaga alam yang dikaruniakan Allah. Apapun yang dilakukan orang dengan hutan setiap tahunnya, semua akan baik-baik saja. Tidak ada panggilan pertobatan.

Di balik kabut asap kita melihat Allah yang konsisten dengan apa yang sudah dirancang-Nya. Dia bukan Allah yang kebingungan dalam menegakkan aturan untuk alam ciptaan-Nya sendiri (Mazmur 119:89-91). Bencana kabut asap, sebagaimana halnya masalah lubang ozon dan pemanasan global, terjadi karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Tidak bisa dibereskan hanya dengan mengeluh dalam doa dan menuntut Allah melakukan “hal-hal ajaib”. Perlu ada refleksi sekaligus reformasi dalam kehidupan setiap kita, bagaimana kita menyikapi alam yang dikaruniakan Tuhan. Polisi, jaksa, dan hakim harus menegakkan keadilan bagi orang-orang yang merusak alam. Pemerintah harus membuat peraturan yang lebih jelas serta menciptakan infrastrukur yang dapat mencegah terulangnya kebakaran hutan dalam skala masif.

2. Allah baik dan panjang sabar terhadap umat manusia

Mengapa kita dan jutaan orang lainnya merasa prihatin sekaligus marah dengan munculnya kabut asap? Pertama-tama tentunya karena kabut asap membawa dampak yang buruk. Tiba-tiba kita merasa sangat terganggu karena ada begitu banyak hal baik yang direnggut dari kehidupan kita (atau sesama kita) oleh asap. Kebebasan beraktivitas, jarak pandang yang jauh ke depan, udara yang bersih dan segar, kesehatan, keindahan alam, bahkan nyawa orang-orang yang kita kasihi. Anugerah yang mungkin kerap kurang kita sadari dan syukuri ketika semua baik-baik saja.

Kedua, kita prihatin dan marah karena tahu bahwa bencana asap tidak tidak terjadi dengan sendirinya. Pepatah lama berkata, “di mana ada asap di situ ada api”. Memang ada faktor cuaca yang membuat bencana ini berkepanjangan. Namun, penyebab utamanya adalah ulah pihak-pihak tertentu yang sengaja merusak dan membakar hutan untuk kepentingan mereka.

Kalau kita saja prihatin dan marah, tidakkah Allah, Pemilik alam ini jauh lebih berhak untuk prihatin dan marah? Tidak hanya kepada para pembakar hutan, tetapi kepada setiap manusia yang tidak menghargai dan memelihara alam ciptaan-Nya dengan baik. Bencana asap terjadi bukan karena Allah mengabaikan manusia, melainkan karena manusia mengabaikan Allah dan tidak peduli kepada alam semesta yang dipercayakan-Nya kepada manusia.

Di balik kabut asap kita melihat Allah yang sesungguhnya telah mencurahkan banyak hal baik dalam hidup manusia, sekaligus yang sabar terhadap manusia yang tidak menghargai segala pemberian baik-Nya. Allah bukannya menutup mata terhadap dosa. Ada hari yang telah ditetapkan-Nya untuk menghakimi dan menghukum semua orang yang melawan Dia (Kisah Para Rasul 17:31). Namun, saat ini, Dia masih memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk bertobat (2 Petrus 3:9).

3. Allah menyediakan pilihan bagi manusia dan pemulihan bagi seluruh ciptaan-Nya

Menyadari bahwa banyak bencana yang terjadi—termasuk bencana kabut asap—bersumber dari pilihan-pilihan yang diambil manusia sendiri, pertanyaan yang mungkin timbul adalah: mengapa sejak awal Allah memberikan manusia kebebasan untuk memilih? Bukankah Allah tahu kalau manusia kerap salah memilih? Tidakkah lebih baik bila manusia tidak diberi pilihan?

Bayangkanlah sebuah dunia tanpa pilihan. Mungkin tidak ada bencana kabut asap di sana. Tetapi tidak ada pula kegairahan mengeksplorasi alam dan mengembangkannya. Berbagai pengembangan varietas tanaman baru yang tahan hama dan kaya nutrisi kini bisa dinikmati dan mencukupkan kebutuhan pangan banyak orang di dunia. Hal-hal luar biasa ini terjadi ketika manusia memilih untuk menjadi rekan dan bukan musuh alam. Allah menciptakan manusia untuk menyatakan kehadiran, pemeliharaan, dan kebijakan-Nya kepada segenap ciptaan lainnya (Kejadian 1:26-28). Sebab itu kita diciptakan berbeda, punya akal budi, bisa memilih.

Benar bahwa pilihan-pilihan manusia yang telah jatuh dalam dosa tidak lagi mencerminkan tujuan Sang Pencipta, dan justru kerap membawa bencana (seperti bencana kabut asap). Namun, Alkitab memberitahukan kita sebuah kabar baik. Allah menyediakan pemulihan bagi setiap orang yang mau bertobat (2 Tawarikh 7:14). Dan, pertobatan manusia akan membawa pemulihan juga bagi segenap alam, karena manusia yang bertobat kini kembali akan menjalankan perannya sebagai pengelola yang baik dari alam ciptaan Allah. Bahkan suatu hari kelak, ketika Kristus datang kembali, kita akan hidup bersama-Nya dalam langit dan bumi yang baru (Wahyu 21). Sebuah pemulihan total!

Di balik kabut asap, kita melihat Allah yang menciptakan kita secara istimewa di antara segenap ciptaan-Nya. Dia memberi kita kemampuan untuk berpikir, memilih, berkreasi, menyatakan kehebatan dan kebijaksanaan-Nya di tengah alam semesta. Kita juga melihat Allah yang pemurah, yang menyediakan pemulihan bagi setiap manusia yang mau bertobat, dan bagi segenap ciptaan-Nya.

Bagaimanakah kita akan menanggapi Allah di balik kabut asap?

 

Walau banyak mulut yang meratap
Karena siksaan dari serbuan asap
Janganlah berpikir Allah tidak mendekap
Oleh karena Dia tetap Allah yang mantap

Manusia jangan hanya meratap
Tapi pikir baik-baik kenapa ada asap
Yang tak bertobat jangan merasa mantap
Oleh karena penghukuman datang berderap

Masih Adakah Harapan di Tengah Dunia yang Bertikai?

Penulis: Joanna Hor
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: After Such Horrific Attacks, What Hope Is There?

Masih-Adakah-Harapan

Sulit untuk mengikuti semua berita yang beredar tentang Paris, Beirut, terorisme, dan situasi dunia kita sepanjang minggu ini. Ada begitu banyak pandangan yang terlontar, ada begitu banyak emosi yang terlibat. Namun, serangkaian serangan mengerikan yang belum lama ini terjadi menunjukkan sebuah kenyataan yang tidak bisa disangkal: setiap kita bisa saja mengalami hal yang sama.

Tidak ada orang yang kebal, tidak ada orang yang bisa memastikan diri akan selalu selamat. Serangan di Prancis baru-baru ini—salah satu tragedi terburuk yang dialami negara tersebut setelah Perang Dunia kedua—mengingatkan kita (lagi) betapa aksi terorisme dapat terjadi di mana saja, kapan saja. Sejak peristiwa yang menimpa Amerika pada 11 September 2001, banyak negara sudah dicekam rasa takut kalau-kalau negara mereka akan mendapat giliran berikutnya.

Tragedi yang menimpa kota Paris jelas membuat banyak negara kembali mengevaluasi dan memikirkan tanggapan yang tepat terhadap ancaman terorisme. Banyak yang bertanya: Adakah suatu cara yang efektif untuk meniadakan ancaman ini sekali untuk selamanya? Bagaimana caranya agar kita tak lagi hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan?

Namun, bagaimana bila terorisme tidak bisa dihilangkan sama sekali? Bagaimana bila solusi untuk masalah kejahatan dan penderitaan tidak pernah dapat ditemukan? Bagaimana bila tidak ada yang bisa kita lakukan untuk membuat dunia kita menjadi tempat tinggal yang lebih baik dan lebih aman? Jejak sejarah menunjukkan kemungkinan ini. Kekejaman masih terjadi setiap hari, manusia saling membunuh karena perbedaan ras, budaya, dan agama. Beberapa hari lalu, dilaporkan dalam berita bahwa kejatuhan pesawat Rusia pada akhir Oktober benar disebabkan oleh aksi teroris.

Masih adakah harapan yang tersisa di tengah situasi dunia yang demikian? Kemungkinan kita tidak akan pernah menemukan jawabannya dari diri kita sendiri. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Mungkin kita perlu mulai melihat melampaui diri kita dan memandang kepada Pribadi yang memegang kendali atas dunia ini, sekalipun kita tidak sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Inilah saatnya kita perlu datang kepada Tuhan.

Ambillah waktu untuk berdoa—mohon damai dan penghiburan sejati dari Tuhan sendiri bagi mereka yang sedang berduka. Berdoalah agar keadilan-Nya ditegakkan. Mintalah Tuhan memberi hikmat kepada para pemimpin dunia dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang harus diambil.

Mengapa? Karena Tuhan tahu persis apa yang sedang terjadi dan apa yang sedang kita rasakan. Dia mengerti duka dan kemarahan mereka yang kehilangan orang-orang terkasih, baik akibat serangan bom atau tembakan senjata. Dia memahami rasa tidak berdaya yang menyelimuti kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi korban serangan teroris. Dia tahu seperti apa penderitaan fisik dan mental yang dialami para sandera dan kecemasan yang dirasakan keluarga mereka.

Tuhan tahu karena Dia sendiri telah tinggal di tengah manusia dan melalui semua kesulitan itu. Dalam kitab Roma, rasul Paulus menguatkan sekelompok jemaat yang sedang mengalami penganiayaan besar karena apa yang mereka imani. Paulus mengingatkan mereka pada kuasa kasih Kristus.

Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.” Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
— Roma 8:35-39

Kemungkinan kita tidak akan bisa melihat terorisme dan kekejaman berakhir, setidaknya di dalam kehidupan kita di dunia ini. Tetapi, kita bisa yakin akan satu hal: Kristus tidak akan pernah meninggalkan kita, di dalam masa-masa sulit, penderitaan, bahkan dalam kematian.

Sembari terus merenungkan berbagai tragedi yang terjadi belakangan ini, mari mempersiapkan hati menyambut perayaan Natal dengan perspektif yang baru. Kita bersyukur Yesus telah datang ke dalam dunia, karena hanya di dalam Dialah kita dapat menemukan pengharapan, apa pun yang terjadi dalam hidup kita. Mari kita juga mengambil langkah untuk menyatakan kasih Allah kepada sesama dan membagikan pengharapan yang kita miliki di dalam Sang Juruselamat.

Jika Allah itu Baik, Mengapa Ada Begitu Banyak Kejahatan dan Penderitaan?

Penulis: Adriel Yeo, Singapura
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: If God is good, why is there so much evil and suffering?

If-God-is-good,-why-is-there-so-much-evil-and-suffering-

Ini mungkin adalah salah satu pertanyaan yang paling membingungkan bagi orang Kristen. Kenyataan bahwa dunia ini penuh dengan kejahatan dan penderitaan telah membuat sebagian orang meninggalkan iman mereka, sebagian lagi ragu-ragu untuk datang kepada Tuhan, dan sebagian lagi kehilangan semangat untuk bertumbuh dalam perjalanan mereka mengikut Tuhan.

Ketika aku mulai menjajaki iman Kristen, aku punya banyak pertanyaan. Salah satunya adalah tentang bagaimana iman Kristen menanggapi rupa-rupa kejahatan dan penderitaan yang ada di dunia. Aku membaca beberapa buku apologetika Kristen yang mencoba menjawab pertanyaan ini dan menggumulkannya cukup lama—dan aku masih tetap punya sejumlah pertanyaan.

Sebagian dari kita mungkin memilih untuk tidak membicarakannya, tetapi aku pikir tidaklah bijaksana bila kita mengabaikan masalah ini sama sekali. Kejahatan dan penderitaan adalah masalah yang nyata-nyata kita hadapi setiap hari. Jika Allah itu Mahabaik dan Mahakuasa, bukankah seharusnya Dia tidak akan membiarkan kejahatan tetap merajalela? Jika Dia membiarkannya, bisa jadi Dia tidak Mahabaik atau Dia tidak Mahakuasa.

Para filsuf seperti Alvin Plantinga, Peter Van Inwagen, dan William Lane Craig memberikan sejumlah argumen yang menunjukkan bahwa kejahatan bisa saja tetap ada sekalipun Allah Mahabaik dan Mahakuasa. Plantinga dalam salah satu argumennya tentang kehendak bebas, berpendapat bahwa selama Allah memberikan kehendak bebas kepada manusia, maka akan selalu ada kemungkinan bagi manusia untuk melakukan kejahatan—yang tidak akan diintervensi oleh Allah. Jika diintervensi artinya manusia tidak punya kehendak bebas.

Lalu mengapa Allah kemudian mengizinkan adanya kehendak bebas? Plantinga membahas isu ini panjang lebar dalam bukunya, God, Freedom, and Evil. Menurutnya, dunia yang manusianya diberi kehendak bebas bisa lebih baik daripada yang manusianya tidak diberi kehendak bebas. Misalnya saja dalam hal cinta. Tidak ada cinta dalam dunia tanpa kehendak bebas, karena cinta harus merupakan pilihan sukarela yang dibuat seseorang, tidak bisa dipaksakan. Ia menjelaskannya lebih jauh demikian:

“Untuk menciptakan makhluk yang punya kapasitas untuk berbuat baik, Allah harus menciptakan makhluk yang juga punya kapasitas untuk berbuat jahat. Dia tidak bisa memberi mereka kebebasan bertindak dan pada saat yang sama menghalangi mereka untuk bertindak. Sayangnya, sebagian ciptaan Allah menyalahgunakan kebebasan yang diberikan. Inilah sumber munculnya kejahatan. Meski demikian, kenyataan bahwa makhluk-makhluk yang diberi kehendak bebas bisa bertindak keliru, tidak bertentangan dengan kemahakuasaan dan kebaikan Allah. Dia dapat saja mencegah terjadinya perbuatan jahat, namun itu berarti Dia juga meniadakan kemungkinan terjadinya perbuatan baik.”

Penjelasan ini menolong kita memahami mengapa ada begitu banyak kejahatan di dunia sekalipun Allah Mahabaik. Namun, penjelasan ini tidak memadai bagi sebagian orang. Kenyataannya, meski hampir semua temanku yang pernah mendengarkan argumen Plantinga setuju dengannya, mereka masih punya masalah. Mereka merasa tidak nyaman dengan fakta bahwa ada begitu banyak kematian di seluruh dunia, yang sepertinya tidak perlu terjadi. Sulit untuk memahami mengapa ada ketidakadilan di mana-mana, sebaik apa pun penjelasan yang diberikan.

Aku pun mulai berpikir bahwa pertanyaan ini mungkin tidak sepenuhnya membutuhkan jawaban yang bersifat intelektual. Masalah ini sepertinya lebih banyak berkaitan dengan faktor emosional. Tidak ada jawaban yang mudah karena ini bukan masalah logika belaka. Ini adalah masalah hati—kita ingin memahami mengapa umat manusia harus melewati berbagai kesulitan hidup. Sesungguhnya, mendengarkan jeritan mereka yang menderita dan merasa terbeban untuk menolong mereka keluar dari penderitaan itu mengungkapkan sisi kemanusiaan kita. Dan, itu adalah hal yang baik. Aku sendiri tidak yakin ada jawaban yang benar-benar bisa memuaskan. Pernyataan umum seperti, “Dosa adalah penyebabnya”, tidak akan banyak menolong orang yang sedang menderita.

Mungkin kita perlu melihat masalah ini dari sudut yang berbeda. Saat bertanya mengapa Allah itu baik namun membiarkan penderitaan ada, bagaimana kalau kita juga bertanya: mengapa ada Yesus dalam sejarah, mengapa ada peristiwa penyaliban yang diikuti dengan kubur yang kosong?

Ketika kita melihat penyaliban Yesus dan kebangkitan-Nya, yang kita lihat bukanlah Pribadi Allah yang tidak peduli. Yang kita lihat adalah Pribadi yang peduli dan yang berkomitmen untuk memperbarui segenap ciptaan-Nya. Sebab itulah Dia mengutus Putra-Nya, Yesus, ke dalam dunia, mati menggantikan kita di kayu salib, supaya kita dapat diampuni dari dosa-dosa kita. Dia juga membangkitkan Yesus dari maut, supaya kita memiliki pengharapan akan hidup yang kekal.

Terkadang aku bertanya-tanya, berapa banyak orang yang akan berbalik kepada Allah karena jawaban iman Kristen terhadap isu kejahatan dan penderitaan. Aku sendiri menjadi seorang Kristen karena aku yakin dengan bukti-bukti sejarah tentang kebangkitan Yesus, dan pada saat yang sama aku juga sadar sepenuhnya bahwa aku telah berdosa, tidak mengakui keberadaan Allah yang menciptakan semesta ini. Meski aku masih punya banyak pertanyaan tentang kejahatan dan penderitaan, aku kini menyadari bahwa aku tidak bisa memahami segala hal dengan mengandalkan pengertian dan sudut pandangku yang terbatas. Aku tetap memegang imanku karena kebenaran tentang siapa Yesus.

Menurutku, jika dalam penderitaan kita berfokus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti, “Mengapa aku?” “Mengapa sekarang?” “Mengapa ini harus terjadi?” kita tidak akan pernah mengerti, apalagi dilegakan oleh jawaban yang diberikan. Aku yakin menjadi orang Kristen berarti mengalihkan fokus kita dari pertanyaan “Mengapa aku?” menjadi “Mengapa Yesus?” Dialah pengharapan kita.

Kita tidak akan pernah memahami isu ini sepenuhnya, namun kita tahu satu hal—dan bisa berlega hati karenanya—Allah peduli dan seluruh pribadi Yesus membuktikan kebenaran ini.

Pertanyaan tentang kejahatan dan penderitaan akan selalu mengusik hati kita, dan kita akan selalu bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan tentang penderitaan. Namun kita tahu bahwa kejahatan dan penderitaan terjadi bukan karena Allah tidak peduli. Dia peduli dan Dia telah mengambil tindakan untuk memulihkan dunia ini.

N.T.Wright memberikan kesimpulan yang serupa:

“Ketika kita belajar membaca kisah tentang Yesus dan memahaminya sebagai sebuah kisah tentang kasih Allah, yang melakukan bagi kita apa yang tidak bisa kita lakukan bagi diri kita sendiri—pemahaman itu akan terus-menerus memberikan kita rasa syukur yang disertai kekaguman luar biasa, sebuah pengalaman yang sangat dekat di hati seorang Kristen sejati.

Wallpaper: Berita dan Realita

Ketika Aku Mencari Tahu Bobot Segumpal Awan

Oleh: Renny Acheampong, Denmark
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: The Day I Googled The Weight of A Cloud

The-Day-I-Googled-The-Weight-Of-a-Cloud

Pernahkah kamu bertanya, berapa sebenarnya bobot segumpal awan?

Aku sadar, pertanyaan ini agak aneh, tetapi itulah yang melintas di pikiranku pada suatu hari Minggu, ketika aku sedang menikmati pemandangan favoritku dari balik jendela di samping tempat tidurku—langit biru yang dihiasi awan-awan putih yang bergumpal seperti kapas. Cahaya matahari yang menembus celah-celah awan membuat pemandangan itu menjadi sangat indah, begitu tenang dan damai. Sembari menikmatinya, aku mendengar Tuhan bertanya dalam hatiku, “Tahukah kamu berapa bobot segumpal awan itu?”

“Tuhan, aku tidak tahu jawabannya,” kataku. “Tuhan sendiri yang tahu.”

Aku lalu mengambil ponselku dan mencari informasi tentang berat segumpal awan. Fakta yang kutemukan sangat mencengangkan. Menurut seorang Peggy LeMone – National Center for Atmospheric Research National Center for Atmospheric Research di Amerika, bobot segumpal awan umumnya adalah sekitar 500 ton—atau setara dengan bobot 100 ekor gajah!

“Wow,” aku terkagum-kagum. Penemuan itu segera mengingatkanku pada apa yang tertulis dalam Kolose 1:16-17, “…di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.”

Sungguh sebuah fenomena yang luar biasa: jutaan “gajah” melayang di angkasa, diciptakan dan ditopang oleh Allah sendiri! Merenungkan hal ini, sebuah suara berbisik lembut di hatiku, “Jika Aku sanggup mengendalikan ‘gajah’ sebanyak itu di langit, bukankah Aku juga sanggup memegang kendali atas hidupmu?”

Aku tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi dalam hidupmu, atau sebanyak apa derita yang mungkin sedang kamu rasakan, namun semoga kebenaran ini dapat menghibur dan menguatkanmu: Tuhan Yesus mengetahui semua kebutuhanmu, dan Dia mau kamu percaya bahwa Dia sanggup mengendalikan semua ‘gajah’ dalam hidupmu”.

Jika kamu belum percaya kepada Yesus, izinkan aku mendorongmu untuk meletakkan pengharapanmu kepada-Nya. Jika kamu sudah menjadi pengikut-Nya, ingatlah kembali bagaimana Dia berulang kali telah menyatakan pertolongan-Nya bagimu. Bersyukurlah, dan bersemangatlah kembali menjalani hidup.

Remedial (Bagian 2 – selesai)

Oleh: Hana Maria Boone

Cerita sebelumnya …

Remedial Bagian2

Setelah sekitar tiga minggu dirawat, aku akhirnya diizinkan pulang ke rumah. Seperti yang sudah kuduga, aku segera diminta untuk membagikan kisahku. Kerabat, tetangga, teman-teman sekolah dan gereja, berkumpul untuk sebuah ibadah syukur.

Kisah apa yang akan aku katakan? Panggung sudah siap untuk menjadi tumpuanku berbagi cerita penuh mukjizat. Ibuku duduk di sampingku, berusaha menguatkanku, “Kamu sang penerima mukjizat!” katanya.

Aku menghela napas panjang, “Ya! aku sang penerima mukjizat, dan aku siap berkata-kata!” Aku berdiri di atas panggung, sedikit canggung, memegang mikrofon dengan linglung. Aku menyendengkan kepalaku ke kiri sesaat, kemudian kembali ke posisi semula. Semua orang menatapku. Aku tidak pernah bicara di depan orang sebanyak ini.

“Hari itu…”

Kronologis peristiwa mulai mengalir keluar dari mulutku, dan orang-orang berseru “Haleluya, halelulya!” padahal aku belum menyentuhkan nama Tuhan sedikit pun pada ceritaku. Aku tahu apa yang mereka harapkan, tetapi itu belum tentu apa yang Tuhan harapkan. Jadi aku bicara apa adanya, tentang semua yang aku pikirkan, setelah mengisahkan apa yang aku alami.

“Aku mungkin salah satu orang yang paling tak beruntung di antara mereka, karena aku harus menunggu kereta lain untuk membawaku bertemu Tuhan….”

Ruangan itu mendadak jauh lebih senyap.

“Tetapi, aku pikir, aku juga adalah salah satu orang yang paling beruntung karena diberi kesempatan untuk memperbaiki hidupku.”

Aku berhenti sebentar untuk menata emosiku.

“Peristiwa ini membawa aku merenungkan jalan hidup manusia yang berbeda-beda. Apakah aku dicintai Tuhan? Apakah mereka yang telah pergi tidak dicintai Tuhan? Apakah keluargaku dicintai Tuhan? Apakah keluarga-keluarga yang saat ini hanya bisa bertemu dengan yang mereka kasihi dalam memori, tidak dicintai Tuhan?”

Aku memandang seluruh ruangan. Semua mata memperhatikanku. Aku menelan ludah. Mengeluarkan secarik kertas dari saku celana.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. Yesaya 55:8-9.”

“Aku selamat bukan karena aku lebih suci atau lebih dicintai Tuhan daripada mereka. Hanya, dalam rancangan-Nya yang tidak seluruhnya kupahami, Tuhan memandang mereka lebih baik di sana, dan aku lebih baik di sini.”

“Apa bedanya keluargaku dan keluarga mereka? Dalam kebijaksanaan Tuhan, keluargaku diminta untuk menerimaku kembali, dan keluarga mereka diminta untuk melepaskan mereka, sehingga nyata betul betapa kami tidak memegang kendali atas hidup ini, dan betapa kami membutuhkan Tuhan untuk bahagia yang sejati.”

Suaraku mulai bergetar, aku dapat merasakan air mata membasahi pipiku. Dengan tangan yang juga gemetar aku mengusap kasar pipiku dan terdiam sejenak. Membayangkan kembali apa yang kulihat hari itu. Setelah merasa mendapatkan kekuatan kembali, aku pun melanjutkan.

“Hari itu di tempat kejadian aku melihat tangan Tuhan memegang mereka ketika mereka pergi. Aku melihat ibu yang kuberi tempat duduk, aku melihat para suster, aku melihat seorang ibu yang mendekap anak balitanya, aku melihat seorang pemuda dari Universitas Indonesia, mereka semua dipeluk oleh Tuhan. Aku melihat tangan Tuhan memegang tangan mereka, dan bukan hanya mereka.”

“Aku pun teringat ada janji Tuhan dalam Alkitab, bahwa barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak akan binasa, tetapi akan memasuki kehidupan kekal bersama Tuhan selamanya. Bukankah itu adalah janji untuk kehidupan baru setelah waktu kita di bumi ini selesai? Bukankah kebahagiaan dan kejayaan yang tidak akan berakhir adanya bukan di dunia ini, tetapi di surga nanti?”

Hening. Beberapa orang mulai menangis, beberapa memandangku tanpa ekspresi yang jelas, beberapa mengernyitkan dahi, dan beberapa memasang wajah simpatik. Tak ada lagi yang berani berteriak “Haleluya” atau “Puji Tuhan.” Semua diam seribu bahasa.

“Aku teringat pada guruku yang baik hati. Hari itu aku memohon kepadanya untuk membantuku dalam ujian, dengan memberikan bocoran jawaban, tetapi pada saat ujian ia hanya mendampingiku dan tersenyum. Selama ini aku berpikir bahwa ia tidak sedang membantuku. Kini aku ingat, bahwa dua minggu sebelum masa ujian tiba, ia meluangkan waktunya setiap hari memberi pelajaran tambahan khusus untukku. Ia melakukan semua itu tanpa mengharapkan imbalan, untuk membantu aku dengan cara yang benar.” Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Berharap bisa melihat sosok yang baik hati itu.

“Guru yang baik tidak menjanjikan ujian yang mudah, tetapi ia menjanjikan kelulusan bagi mereka yang mengerjakannya sesuai dengan apa yang diajarkan. Guru yang baik tidak akan membuat anak-anak didik mereka malas belajar dengan memberi bocoran jawaban. Guru yang baik akan melepas murid-muridnya untuk berjuang menghadapi ujian yang sulit, setelah sebelumnya memberikan semua persiapan yang dibutuhkan. Ia akan mendorong mereka untuk meraih apa yang dijanjikannya, kepintaran dan kelulusan jika mereka sungguh-sungguh melakukan apa yang ia ajarkan.”

“Aku sadar sikapku kepada Tuhan seringkali sama seperti sikapku terhadap guruku yang baik hati itu. Well, mungkin bukan hanya aku. Jujur saja, bukankah seringkali kita menjadi murid-murid yang culas? Meminta jalan pintas yang mengenakkan kita saja, bahkan seringkali berusaha menyuap Tuhan untuk melakukan apa yang kita mau…”

Aku memandang ibuku menyeka matanya yang basah. Lalu tanteku, orang-orang gereja, teman-temanku. Semua yang hadir.

“Aku merasa tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua ini…”

“…tetapi selama aku masih diizinkan Tuhan berada dalam sekolah kehidupan, aku ingin menjadi murid yang terbaik. Saat kelak giliranku tiba memasuki kehidupan yang baru itu, aku ingin menghadap-Nya dengan hati lega, aku ingin sudah siap menerima mahkota. Inilah mukjizat yang Tuhan sudah berikan untukku… sebuah remedial.”

Remedial (Bagian 1)

Oleh: Hana Maria Boone
Mengenang para korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501

Remedial Bagian1

Aku mencoret-coret kertas buram di hadapanku. Belum, belum ketemu. Aku melihat jam yang bertengger di tangan kiriku, waktuku semakin menipis. Aku merasakan pori-pori pelipisku tergelitik oleh embun-embun keringat yang merembes keluar dari bawah kulitku. Sulit sekali. Aku sedikit melirik ke arah guruku, salah satu guru yang sangat baik hati, berharap ia melihat aku begitu kesulitan dan akan membantuku. Tidak ada respons.

“Aku duduk di paling belakang, Pak, tidak akan ada yang tahu bila Bapak menyelipkan sesuatu ke bawah kertasku!” aku menggerutu dalam hati.

Namun, sampai alarm berdering, ia tak jua melakukannya. Aku menyerah. Aku tak dapat menyelesaikan soal terakhir. Jadi, kutuliskan saja angka asal dari perhitunganku yang kacau balau, lalu kuserahkan padanya. Ia tersenyum ketika menerima lembar jawabku. “Well done!” katanya, sambil menepuk ringan pundakku. Aku tersenyum masam, bukan karena tak senang akan perkataannya, tetapi karena malu, aku tahu betul apa yang kuserahkan tidak cukup “well done”.

Sepanjang sisa hari itu di sekolah aku tidak bisa berhenti memikirkan sikap guruku. Aku sudah belajar semampuku, dan ia mengetahuinya. Mengapa ia tidak membantuku barang sedikit saja? Bisa dibilang aku ini salah satu murid terbodoh di kelas fisika. Belajar sampai jungkir balik pun, paling banter aku hanya dapat nilai 50.

Dua minggu yang lalu—ini sebenarnya rahasia—aku menawarkan sejumlah uang kepadanya, memohon dengan sangat agar ia membantuku untuk ujian kali ini. Ia menolak uang itu dan mengatakan bahwa ia pasti membantuku menghadapi ujian itu. Aku sudah menantikan bantuan itu dari tadi, tetapi mana?? Meski kulirik berkali-kali, ia hanya tersenyum dan kembali berkeliling. Mungkin itu sebabnya ia tidak mau menerima uangku. Yah, lumayanlah orangnya masih baik, daripada mau terima uang dan tidak membantu.

Kriiiiiiinnnngggg!!!

Aku terperanjat dan air liurku terjuntai panjang ketika aku mengangkat kepala. Iyuuuuh… buru-buru aku mengelapnya berharap tidak ada yang memperhatikan. Aku mengantuk sekali, dan sangat bersyukur jam-jam siput ini akhirnya berlalu juga. Bergegas aku meraih ranselku dan bersiap pulang. Perjalanan masih panjang, aku masih harus naik kereta untuk tiba di rumah. Aku berharap bisa segera sampai di rumah, cuci kaki dan ganti baju santai, kemudian membiarkan diriku ambruk di atas puluhan kilogram kapuk.

Dengan langkah agak diseret akhirnya aku tiba di stasiun kereta. Ketika pintu terbuka; aku membayangkan betapa enaknya jika pintu ini sama lebar dengan gerbongnya sehingga kami tidak perlu berdesak-desakan masuk seperti orang berebut sembako. Rasanya penat sekali, seperti mau pingsan. Masih bisa mendapatkan tempat duduk membuatku sangat senang, meski hanya sebentar. Segera aku melihat seorang perempuan setengah baya membawa dua kantong plastik besar yang terlihat cukup berat. Sebagai seorang pria, rasanya tak jantan bila membiarkannya berdiri dengan kedua kakinya yang sudah tidak kokoh lagi. Aku pun berdiri, mempersilakan ibu itu duduk di tempatku. Dengan wajah penuh syukur ia menatapku, mengucapkan banyak terima kasih.

Untuk menghapus rasa kantuk dan bosan, aku mengamat-amati orang-orang yang ada di kereta. Beberapa suster dari biara sedang asyik bercakap-cakap di seberangku.

“Mengapa ya wanita-wanita ini ingin menjadi suster? Apakah mereka begitu putus asanya tidak mendapatkan pasangan?” aku cekikikan dalam hati.

Di belakang mereka ada anak kecil yang lucu. Wajahnya bulat berseri dalam dekapan ibunya. Lalu, pandanganku menyapu beragam wajah lainnya. Humm…. ekspresi mereka tak cukup menjelaskan apa latar belakang mereka; dalam hati aku menerka-nerka mana yang baik dan mana yang jahat.

Iseng-iseng aku melirik penumpang yang duduk di sebelahku, seorang pemuda yang cukup tampan dan terlihat cerdas. Entah ia memang pintar atau persepsiku agak terpengaruh oleh jas almamater Universitas Indonesia yang dipakainya. Dari posisiku berdiri, layar ponselnya tampak jelas.

Jenny: Jadi aku harus ngapain donk?
Johan: Maafin dia Jen …

Sudah, cuma itu yang aku lihat, aku tidak terlalu kepo kok.

“Rasanya 5 menit lagi samp….”

Sebelum kalimat itu selesai melintasi otakku, roda kereta api telah melintas keluar dari rel, melindas tanah berbatu. Yang kuingat saat itu hanyalah suara yang sangat bising, semua orang berteriak, sementara aku sendiri terlontar, terbentur, dan semua terasa kacau.

Sesaat semua menjadi gelap. Ketika aku membuka mata, aku melihat tubuhku sendiri tergeletak di hamparan darah. Ada banyak orang yang berteriak dan menangis, namun lebih banyak yang tergolek tak berdaya.

Suara ambulans terdengar samar-samar. Entah bagaimana aku bisa melihat semua dengan jelas, termasuk bagaimana kemudian dua pasang tangan mengangkatku, menaikkan tubuhku yang berdarah-darah ke atas tandu, dan membawaku pergi. Seperti tersihir, mataku tak bisa beralih dari tontonan mengerikan ini. Lalu, aku melihat sesuatu. Pemandangan yang begitu indah, tak terlukiskan oleh kata-kata, beberapa saat sebelum semuanya kembali menjadi gelap.

Entah berapa lama aku tertidur. Belakangan aku diberitahu itu adalah hari kesepuluh aku di rumah sakit. Tanganku mulai bergerak, dan itu membuat semua orang di ruangan berseru, “Haleluya!” Telingaku dapat mendengarnya, tetapi aku sendiri masih seperti berada di dunia lain hingga sebuah suara menyuruhku kembali.

Saat itu juga mataku terbuka dan aku melihat ibuku menangis. Seruan “Haleluya!” kembali memenuhi ruangan. Tanteku segera mendekapku dan berkata “Tuhan itu baik, menyelamatkan kamu.”

Spontan muncul pertanyaan dari dalam diriku, “Apakah Tuhan menjadi tidak baik, jika Dia tidak menyelamatkan diriku?” Namun, aku masih terlalu lemah untuk mengucapkan apa-apa.

Semua yang sempat kulihat pada hari kecelakaan itu mengalir deras dalam pikiranku. Begitu juga hal-hal yang aku “lihat” selama aku terbaring koma. Menurut berita, 98 orang dinyatakan meninggal dalam kecelakaan kereta itu. Semua orang di gerbongku meninggal, kecuali aku.

“Mengapa Tuhan selamatkan aku? Mengapa bukan orang yang lain? Masih banyak orang di gerbong itu yang jauh lebih baik daripada diriku.” Air mataku menetes. Aku terisak. Bukannya aku tak bersyukur karena Tuhan telah menyelamatkan aku. Tetapi, apa yang harus aku katakan pada dunia? “Tuhan sangat mengasihiku, sebab itu aku dilindungi-Nya”? Itukah yang harus aku katakan? Di benakku membayang wajah-wajah mereka yang kutemui di kereta. Tidakkah Tuhan mengasihi mereka juga?

Bersambung …

Silinder Koresh

Sabtu, 4 Juli 2015

Silinder Koresh

Baca: Ezra 1:1-4

1:1 Pada tahun pertama zaman Koresh, raja negeri Persia, TUHAN menggerakkan hati Koresh, raja Persia itu untuk menggenapkan firman yang diucapkan oleh Yeremia, sehingga disiarkan di seluruh kerajaan Koresh secara lisan dan tulisan pengumuman ini:

1:2 “Beginilah perintah Koresh, raja Persia: Segala kerajaan di bumi telah dikaruniakan kepadaku oleh TUHAN, Allah semesta langit. Ia menugaskan aku untuk mendirikan rumah bagi-Nya di Yerusalem, yang terletak di Yehuda.

1:3 Siapa di antara kamu termasuk umat-Nya, Allahnya menyertainya! Biarlah ia berangkat pulang ke Yerusalem, yang terletak di Yehuda, dan mendirikan rumah TUHAN. Allah Israel, yakni Allah yang diam di Yerusalem.

1:4 Dan setiap orang yang tertinggal, di manapun ia ada sebagai pendatang, harus disokong oleh penduduk setempat dengan perak dan emas, harta benda dan ternak, di samping persembahan sukarela bagi rumah Allah yang ada di Yerusalem.”

TUHAN menggerakkan hati Koresh, raja Persia itu. —Ezra 1:1

Silinder Koresh

Pada tahun 1879, para arkeolog menemukan sebuah benda kecil yang luar biasa di daerah yang sekarang dikenal sebagai Irak (Babel pada masa Alkitab). Dengan panjang hanya 23 cm, Silinder Koresh itu mencatat perbuatan Raja Koresh dari Persia 2.500 tahun yang lalu. Di sana tercatat bahwa Koresh mengizinkan sekelompok orang untuk pulang ke tanah air mereka dan membangun kembali “kota-kota suci” mereka.

Kisah yang sama tertulis dalam Ezra 1. Kita membaca, “TUHAN menggerakkan hati Koresh, raja Persia” (ay.1) untuk membuat pengumuman. Koresh menyerukan pembebasan para tawanan di Babel untuk pulang ke Yerusalem dan membangun kembali rumah serta tempat ibadah mereka (ay.2-5). Namun cerita itu belumlah lengkap. Daniel pernah mengakui dosanya dan dosa bangsanya serta memohon kepada Allah untuk mengakhiri perbudakan Babel (Dan. 9). Sebagai jawabannya, Allah mengutus malaikat untuk berbicara kepada Daniel (ay.21). Lalu Dia menggerakkan hati Koresh untuk membebaskan bangsa Israel (lihat juga Yer. 25:11-12; 39:10).

Bersama-sama, Silinder Koresh dan firman Allah menunjukkan kepada kita bahwa hati sang raja diubahkan dan ia mengizinkan bangsa Israel yang dibuang untuk pulang ke tanah air mereka untuk beribadah.

Kisah itu punya dampak besar bagi kita di masa kini. Di dunia yang kelihatannya lepas kendali ini, kita dapat meyakini bahwa Allah sanggup menggerakkan hati para pemimpin. Kita membaca dalam Amsal 21:1 bahwa “hati raja seperti batang air di dalam tangan TUHAN.” Dan Roma 13:1 mengatakan, “Tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah.”

Tuhan, yang sanggup mengubahkan hati kita dan juga hati para pemimpin kita, dapat dipercaya sebab Dialah yang memegang kendali. Marilah meminta kepada-Nya untuk terus berkarya. —Dave Branon

Bapa, dunia ini seolah lepas kendali. Kami tahu Engkau berdaulat atas segalanya. Kami berdoa agar kehendak-Mu digenapi di dalam hati para pemimpin kami.

Lebih baik berdoa daripada mengeluh.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 28–29; Kisah Para Rasul 13:1-25