Posts

Jam Kesebelas

Rabu, 19 Februari 2014

Jam Kesebelas

Baca: Matius 24:3-14

24:3 Ketika Yesus duduk di atas Bukit Zaitun, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya untuk bercakap-cakap sendirian dengan Dia. Kata mereka: “Katakanlah kepada kami, bilamanakah itu akan terjadi dan apakah tanda kedatangan-Mu dan tanda kesudahan dunia?”

24:4 Jawab Yesus kepada mereka: “Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu!

24:5 Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan banyak orang.

24:6 Kamu akan mendengar deru perang atau kabar-kabar tentang perang. Namun berawas-awaslah jangan kamu gelisah; sebab semuanya itu harus terjadi, tetapi itu belum kesudahannya.

24:7 Sebab bangsa akan bangkit melawan bangsa, dan kerajaan melawan kerajaan. Akan ada kelaparan dan gempa bumi di berbagai tempat.

24:8 Akan tetapi semuanya itu barulah permulaan penderitaan menjelang zaman baru.

24:9 Pada waktu itu kamu akan diserahkan supaya disiksa, dan kamu akan dibunuh dan akan dibenci semua bangsa oleh karena nama-Ku,

24:10 dan banyak orang akan murtad dan mereka akan saling menyerahkan dan saling membenci.

24:11 Banyak nabi palsu akan muncul dan menyesatkan banyak orang.

24:12 Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.

24:13 Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.

24:14 Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya.”

Bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang. —Yesaya 2:4

Jam Kesebelas

Perang Dunia I dicatat oleh banyak pihak sebagai salah satu konflik paling mematikan dalam sejarah umat manusia. Jutaan manusia kehilangan nyawanya di kancah peperangan global pertama di zaman modern ini. Pada 11 November 1918, pihak-pihak yang bertikai sepakat untuk mengadakan gencatan senjata pada jam kesebelas dari hari kesebelas di bulan kesebelas itu. Sepanjang momen yang bersejarah tersebut, jutaan orang di seluruh dunia mengambil waktu untuk berhenti dan hening sejenak sambil merenungkan besarnya harga yang harus mereka bayar berupa penderitaan dan terenggutnya nyawa dalam peperangan tersebut. Pada saat itu, perang yang disebut sebagai “Perang Besar” itu diharapkan akan benar-benar menjadi “perang yang akan mengakhiri segala peperangan”.

Meskipun setelah Perang Dunia I masih timbul banyak konflik bersenjata yang merenggut nyawa, harapan akan tercapainya kedamaian abadi tidak pernah pudar. Dan Alkitab memberikan janji pengharapan yang realistis, bahwa suatu hari nanti peperangan akan sungguh-sungguh berakhir. Ketika Kristus datang kembali, nubuat Yesaya akan menjadi kenyataan: “Bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang” (Yes. 2:4). Pada saat itu, jam kesebelas akan berlalu dan jam pertama dari masa kedamaian abadi di langit yang baru dan bumi yang baru akan dimulai.

Hingga hari itu tiba, orang-orang yang menjadi pengikut Kristus haruslah menjadi pribadi-pribadi yang mewakili Sang Raja Damai melalui cara kita menjalani hidup ini dan melalui pengaruh yang kita berikan di dunia ini. —HDF

Damai yang sempurna, dalam dunia gelap penuh dosa?
Darah Yesus membisikkan kedamaian dalam batin. . . .
Damai yang sempurna, dengan masa depan yang samar?
Kita mengenal Yesus, dan Dialah Raja yang bertakhta. —Bickersteth

Hanya di dalam Kristus, kedamaian sejati bisa menjadi kenyataan.

Hari Yang Biasa-Biasa Saja

Sabtu, 25 Januari 2014

Hari Yang Biasa-Biasa Saja

Baca: Matius 24:36-44

24:36 Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa sendiri.”

24:37 “Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia.

24:38 Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera,

24:39 dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia.

24:40 Pada waktu itu kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan;

24:41 kalau ada dua orang perempuan sedang memutar batu kilangan, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan.

24:42 Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.

24:43 Tetapi ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pada waktu mana pada malam hari pencuri akan datang, sudahlah pasti ia berjaga-jaga, dan tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar.

24:44 Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga.”

Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang. —Matius 24:42

Hari Yang Biasa-Biasa Saja

Ketika menyusuri suatu pameran bertajuk “A Day in Pompeii” (Suatu Hari di Pompeii) di suatu museum, saya pun tersentak oleh satu benang merah yang berulang kali menunjukkan bahwa tanggal 24 Agustus tahun 79 M diawali sebagai suatu hari yang biasa-biasa saja. Orang sedang melakukan kegiatan mereka sehari-hari di rumah, pasar, dan pelabuhan yang terdapat di kota Romawi yang makmur itu dan berpenduduk sekitar 20.000 orang. Pada pukul 8 pagi, serangkaian emisi kecil (pancaran gas panas) terlihat datang dari Gunung Vesuvius yang dekat dengan kota itu, kemudian dilanjutkan dengan letusan hebat pada sore harinya. Dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, Pompeii dan sebagian besar penduduknya telah terkubur di bawah lapisan debu vulkanik yang tebal. Sungguh tidak terduga.

Yesus mengatakan kepada para pengikutnya bahwa Dia akan datang kembali pada suatu hari, ketika orang sedang melakukan pekerjaan mereka, makan-minum bersama, menyelenggarakan pesta pernikahan, dan mereka tidak pernah menyangka apa yang akan terjadi. “Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia” (Mat. 24:37).

Maksud Tuhan adalah mendesak murid-murid-Nya agar siap sedia dan berjaga-jaga: “Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga” (ay.44).

Sungguh merupakan suatu sukacita yang indah untuk menyambut Juruselamat kita di hari yang biasa-biasa saja seperti hari ini! —DCM

Akankah Dia melihat kita setia dan sungguh,
Jika Dia datang hari ini?
Akankah kita menanti dengan sukacita, bukan gentar,
Jika Dia datang hari ini?
Berjaga-jagalah, waktunya telah dekat,
Mungkinkah Dia datang hari ini? —Morris

Mungkin hari ini!

Allah Menanti

Minggu, 1 Desember 2013

Allah Menanti

Baca: Yohanes 14:1-6

Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, . . . tetapi Ia sabar terhadap kamu,karena Ia menghendaki supaya jangan ada yangbinasa, melainkan supayasemua orang berbalik dan bertobat. —2 Petrus 3:9

Di masa Natal ini kita banyak menanti. Kita menanti di tengah kemacetan lalu lintas. Kita menanti dalam antrian di kasir untuk membayar hadiah yang kita beli. Kita menanti anggota keluarga kita untuk tiba dan berkumpul bersama. Kita menanti saatnya untuk berkumpul di sekitar meja makan yang dipenuhi dengan makanan kesukaan kita. Kita menantikan waktunya untuk membuka hadiah yang kita terima sebagai ungkapan kasih dari orang lain.

Semua penantian yang kita alami itu bisa menjadi pengingat bagi umat Kristen bahwa Natal sesungguhnya adalah perayaan bagi kita untuk menantikan sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar suatu tradisi hari raya. Seperti bangsa Israel di masa lalu, kita pun sedang menantikan Yesus. Meski Dia telah datang sebagai Mesias yang sudah lama dinantikan, Dia belum datang sebagai pribadi yang berkuasa penuh atas seluruh bumi. Jadi saat ini, kita menantikan kedatangan Kristus yang kedua kalinya.

Natal mengingatkan kita bahwa Allah juga menantikan orang untuk melihat kemuliaan-Nya, untuk mengakui diri mereka terhilang tanpa Dia, untuk menerima kasih dan pengampunan-Nya, dan untuk berbalik dari dosa. Kita menantikan kedatangan-Nya kembali, tetapi Dia menantikan pertobatan. Apa yang kita anggap sebagai kelalaian Allah, sebenarnya adalah kesabaran-Nya dalam menanti (2Ptr. 3:9).

Tuhan rindu menjalin hubungan dengan orang-orang yang dikasihi-Nya. Dialah yang berinisiatif ketika Dia datang sebagai bayi Yesus dan sebagai Anak Domba yang memberikan nyawa-Nya. Sekarang Dia menantikan kita untuk menyambut-Nya dalam hidup kita sebagai Juruselamat dan Tuhan. —JAL

Allah menanti dalam keheningan
Sementara dunia sibuk lalu lalang;
Tak adakah yang berdiam dan mendengar,
Untuk segera menjawab, “Ini aku Tuhan”? —Smith

Allah menepati janji-janji-Nya dengan sabar.