Posts

Lahirnya Kedamaian Karena Pengampunan

Oleh Bertina Batuara, Pekanbaru

Adakalanya pergumulan dan kesesakan datang silih berganti entah itu dari diri sendiri atau dari luar. Baru-baru ini Tuhan izinkan aku mengalami masalah, sampai pada saat menuliskan renungan ini aku tersadar dan terkesima dengan Tuhanku yang menciptakan aku, bumi, dan segala makhluk. Ya, segala perkara dapat kutangggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku (Filipi 4:13).

Aku akui bahwa aku ialah orang yang sangat mudah terpengaruh dengan keadaan di sekitarku. Aku mudah terdistraksi. Masalah pertama adalah dengan teman dekatku. Karena sudah beberapa bulan tak bertemu, teguran lewat chat yang kulontarkan kepadanya itu rupanya dimaknai lain. Aku mengakui inilah kelemahan pesan lewat media sosial yang rentan salah paham. Karena salah paham itu, dia tidak lagi membalas pesanku. Sejak saat itu hatiku gusar. Waktuku untuk berdoa pun diliputi rasa kacau dan aku merasa tidak layak menyampaikan doaku kepada Tuhan, sebab relasiku yang sedang buruk dengan sesama.

Saat masalah salah paham itu terjadi, di kotaku juga turut diterapkan PSBB sebagai langkah pencegahan virus corona. Kami tak bisa bertemu secara langsung untuk menyelesaikan masalah tersebut. Aku menunggu waktu yang tepat, meminta pertolongan hikmat dari Tuhan bagaimana cara menyelesaikan perkara itu. Lewat kehadiran seorang kawan dekat kami, puji Tuhan kami bisa menyelesaikan masalah itu dengan cara empat mata. Kami tidak membiarkan ego kami masing-masing dimenangkan dengan cara kami berbicara jujur, saling mengutarakan, dan ditutup dengan saling memaafkan.

Setelah masalah pertama usai, aku mendapati masalah baru lagi di tempat tinggalku di perantauan. Masalah ini masih tentang kesalahpahaman. Aku selalu beranggapan temanku inilah yang salah, dia yang harus mengubah sikapnya dan harus meminta maaf terlebih dulu kepadaku. Itulah pikiran yang selalu menghinggapiku sepanjang beberapa minggu. Namun, lama-lama aku semakin tersadar kalau justru pikiran itulah yang menjeratku ke dalam kesesakan yang merenggut kedamaian batinku.

Sebagai orang yang jauh dari keluarga dan terbatas menyampaikan segala keluh-kesah, aku biasanya sharing dengan orang terdekatku di perantauan. Berbicara empat mata dengan orang-orang terkasih menolongku untuk bisa bersyukur dan bersukacita saat aku melewati kesesakan.

Jujur, saat itu aku ingin menghindar saja. Tapi, Tuhan tak ingin aku merespons masalah ini dengan egois. Saat aku menikmati waktu teduh pribadiku sembari memutar lagu rohani favoritku, aku merasa seperti ada suara yang berbisik, “Kalau kamu pergi berarti kamu kalah!” Kalah di sini berarti kalah dari si Iblis yang mengobrak-abrik hati dan pikiranku.

Ketika paginya bersaat teduh, ayat firman Tuhan berbicara tentang mengampuni. “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kolose 3:13).

Setelah itu aku membuka YouTube dan secara tidak kebetulan membaca judul video dari motivator kesayanganku: “Ketika Hatimu Sulit Memaafkan”.

“Wahh kedua hal ini sedang menegurku”, gumamku. Kuputar video itu, mengikutinya sampai durasi akhir tanpa skip. Rasanya luar biasa, seperti ada tangan-tangan yang menamparku secara bersamaan. “Ini kebutuhanku!” teriakku dalam hati.

Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Kutemui teman yang sedang bermasalah denganku. Kucoba mendamaikan hatiku terlebih dahulu, lalu kumulai berbicara meskipun terasa berat. “Maaf,” ucapku.

Puji Tuhan, temanku bersedia menerima permintaan maafku. Dia pun turut meminta maaf atas apa yang dia lakukan. Aku merasa Tuhan begitu hebat, Tuhanlah yang mendamaikan kami, membenahi diriku, dan mendorong aku keluar dari zona nyamanku, yakni rasa gengsi untuk meminta maaf duluan. Aku diajar-Nya untuk meluruhkan pikiran “bukan salahku”.

Dua pengalaman ini perlahan mengupas satu per satu kebobrokan hati dan pikiranku. Dari titik itu, aku merasa diriku telah “naik kelas”. Mungkin jika aku tidak melewati masa-masa sulit seperti itu, aku akan terus di kelas yang membuat iman dan pertumbuhan rohaniku dangkal. Kedamaian ilahi pun perlahan bisa kuraih kembali sembari mengingat satu pesan seorang kakak yang berkata:

“Jika kamu percaya segala kebaikan adalah rancangan dari Allah, jangan lupa kalau kesakitan dan kesesakan pun adalah bentuk penyertaan Tuhan untuk kebaikanmu kelak”

Dia lalu menyarankanku membaca ayat dari Mazmur 138:7: “Jika Aku berada dalam kesesakan, Engkau mempertahankan hidupku, terhadap amarah musuhku Engkau mengulurkan tangan-Mu dan tangan kanan-Mu menyelamatkan aku.”

Aku ingat kata-kata beliau dan kurenungkan ayat itu sambil terdiam dan menitikkan air mata yang tanpa sengaja menetes di pipi. Ternyata saat itu pula kusadari perkataan itu begitu bermakna. Mulutku spontan berkata : Engkaulah Allah yang sanggup menyelamatkanku dari berbagai-bagai perkara. Hatiku yang sedang berkecamuk digantikan dengan pemulihan.

Menghadapi berbagai perkara tentu semua orang mengalami, tapi ingat Tuhan turut hadir mengiring langkah kita dalam melewatinya, tetaplah fokus pada satu nama yang Ajaib yakni : Yesus Kristus sumber kedamaian dan sukacita yang Jauh lebih besar dari segala masalah yang telah dan akan kita hadapi.

Baca Juga:

Setelah Covid-19 Berakhir, Seperti Apa Gereja Kita Nanti?

Aku percaya bahwa salah satu tujuan Tuhan mengizinkan kita mengalami krisis adalah untuk menggoncangkan kita. Mungkinkah ada sesuatu yang harus berubah?