Posts

Obsesi Membanding-bandingkan

Jumat, 19 Agustus 2016

Obsesi Membanding-bandingkan

Baca: Matius 20:1-16

20:1 “Adapun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya.

20:2 Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya.

20:3 Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar.

20:4 Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan merekapun pergi.

20:5 Kira-kira pukul dua belas dan pukul tiga petang ia keluar pula dan melakukan sama seperti tadi.

20:6 Kira-kira pukul lima petang ia keluar lagi dan mendapati orang-orang lain pula, lalu katanya kepada mereka: Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari?

20:7 Kata mereka kepadanya: Karena tidak ada orang mengupah kami. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku.

20:8 Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu.

20:9 Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar.

20:10 Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi merekapun menerima masing-masing satu dinar juga.

20:11 Ketika mereka menerimanya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu,

20:12 katanya: Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari.

20:13 Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari?

20:14 Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu.

20:15 Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?

20:16 Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.”

Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati? —Matius 20:15

Obsesi Membanding-bandingkan

Thomas J. DeLong, profesor di Harvard Business School, melihat satu tren yang merisaukan di antara para mahasiswa dan rekan- rekan kerjanya, yaitu “obsesi membanding-bandingkan”. Ia menulis: “Lebih dari yang pernah terjadi sebelumnya . . . para eksekutif, analis di Wall Street, pengacara, dokter, dan kaum profesional lainnya terkena obsesi untuk membanding-bandingkan keberhasilan mereka sendiri dengan kesuksesan orang lain. . . . Hal itu berdampak buruk bagi individu dan juga perusahaan. Saat kita mengartikan kesuksesan berdasarkan kriteria eksternal, dan bukan internal, kita mengecilkan kepuasan dan komitmen kita sendiri.”

Obsesi membanding-bandingkan bukanlah hal baru. Kitab Suci telah memperingatkan tentang bahaya dari membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Saat melakukannya, kita menjadi sombong dan memandang rendah mereka (Luk. 18:9-14). Atau kita menjadi iri dan ingin menjadi seperti mereka atau mengingini milik mereka (Yak. 4:1). Kita gagal berfokus pada apa yang sudah Allah berikan untuk kita lakukan. Yesus menyatakan bahwa obsesi membanding-bandingkan itu berasal dari keyakinan bahwa Allah tidak adil dan Dia tidak berhak untuk bersikap lebih murah hati kepada orang lain daripada kepada kita (Mat. 20:1-16)

Dengan anugerah Allah, kita dapat belajar mengatasi obsesi membanding-bandingkan dan berfokus pada hidup yang telah diberikan Allah bagi kita. Ketika kita menyediakan waktu untuk bersyukur kepada Allah atas berkat-Nya setiap hari, pemikiran kita pun berubah dan hati kita mulai percaya sepenuhnya bahwa Allah itu baik. —Marvin Williams

Aku perlu punya fokus yang lebih baik, Tuhan. Tolonglah aku untuk tidak terus memandangi orang lain, melainkan hanya mengarahkan pandanganku kepada-Mu dan mensyukuri kebaikan hati-Mu bagi kami semua.

Allah menyatakan kebaikan-Nya kepada anak-anak-Nya sesuai dengan cara-Nya sendiri.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 103-104; 1 Korintus 2

Artikel Terkait:

Tuhan, Aku Ingin Seperti Dia!

Orang itu keren banget! Punya banyak talenta, berprestasi, populer, dan sangat menyenangkan. Betapa aku ingin seperti dia! Pernahkah pemikiran semacam ini muncul dalam benakmu? Christin Siahaan pernah! Baca kesaksian selengkapnya di dalam artikel ini.

Menerima Sebuah Pelajaran

Senin, 11 Juli 2016

Menerima Sebuah Pelajaran

Baca: Filipi 4:10-19

4:10 Aku sangat bersukacita dalam Tuhan, bahwa akhirnya pikiranmu dan perasaanmu bertumbuh kembali untuk aku. Memang selalu ada perhatianmu, tetapi tidak ada kesempatan bagimu.

4:11 Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.

4:12 Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan.

4:13 Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.

4:14 Namun baik juga perbuatanmu, bahwa kamu telah mengambil bagian dalam kesusahanku.

4:15 Kamu sendiri tahu juga, hai orang-orang Filipi; pada waktu aku baru mulai mengabarkan Injil, ketika aku berangkat dari Makedonia, tidak ada satu jemaatpun yang mengadakan perhitungan hutang dan piutang dengan aku selain dari pada kamu.

4:16 Karena di Tesalonikapun kamu telah satu dua kali mengirimkan bantuan kepadaku.

4:17 Tetapi yang kuutamakan bukanlah pemberian itu, melainkan buahnya, yang makin memperbesar keuntunganmu.

4:18 Kini aku telah menerima semua yang perlu dari padamu, malahan lebih dari pada itu. Aku berkelimpahan, karena aku telah menerima kirimanmu dari Epafroditus, suatu persembahan yang harum, suatu korban yang disukai dan yang berkenan kepada Allah.

4:19 Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.

Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. —Filipi 4:11

Menerima Sebuah Pelajaran

Mary adalah seorang janda yang sedang mengalami masalah serius dengan kesehatannya. Mary diajak pindah oleh putrinya ke kompleks apartemen baru untuk orang lanjut usia yang terletak di sebelah rumah sang putri. Meski Mary harus tinggal jauh sekali dari teman-teman dan kerabatnya yang lain, ia tetap bersukacita atas pemeliharaan Allah.

Enam bulan setelah menjalani hidup barunya, sukacita dan kecukupan diri yang Mary rasakan mulai memudar. Ia pun tergoda untuk menggerutu dalam hati dan meragukan apakah kepindahan itu merupakan rencana Allah yang paling tepat baginya. Ia merindukan sahabat-sahabat seimannya, dan lokasi gereja barunya terlalu jauh untuk dicapainya sendiri.

Kemudian ia membaca sesuatu yang ditulis oleh Charles Spurgeon, seorang pengkhotbah besar di abad ke-19. “Kecukupan diri adalah salah satu berkat dari surga, karena itu harus dikembangkan,” jelas Spurgeon. “Paulus berkata . . . ‘Aku telah belajar mencukupkan diri,’ seolah-olah ia pernah tidak tahu bagaimana mencukupkan dirinya.”

Mary menyimpulkan bahwa jika penginjil besar seperti Paulus— yang pernah dipenjara, ditinggalkan teman-temannya, dan menghadapi hukuman mati—dapat belajar mencukupkan diri, maka ia juga bisa.

“Aku menyadari jika aku belum belajar mencukupkan diri, aku takkan menikmati segala sesuatu yang telah Allah rencanakan,” kata Mary. “Maka aku pun mengakui sungut-sungut dalam hatiku dan memohon pengampunan-Nya. Tak lama setelah itu, ada seorang wanita yang baru pensiun memintaku untuk menjadi rekan doanya, dan ada seseorang yang menawariku tumpangan untuk pergi bersama ke gereja. Kebutuhanku untuk mempunyai sahabat dan tumpangan telah dijawab Tuhan dengan indah.” —Marion Stroud

Adakah bagian dalam hidup di mana kamu perlu belajar mencukupkan diri? Mintalah kepada Allah untuk menolongmu sekarang.

Allah tidak selalu mengubah keadaan kita, tetapi Dia pasti akan mengubah diri kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 1-3; Kisah Para Rasul 17:1-15

Artikel Terkait:

4 Cara Mudah Mengenali Pengeluaran yang Berlebihan

Uang adalah suatu alat tukar yang netral. Sumber permasalahan timbul dari cara kita mengelola dan menggunakan uang kita. Berikut adalah 4 tanda yang dapat dengan mudah kita perhatikan untuk mendeteksi penggunaan uang yang berlebihan dan tidak bijak.

Bagaimana Menikmati Harta Benda

Kamis, 28 November 2013

Bagaimana Menikmati Harta Benda

Baca: Pengkhotbah 5:12-19

Setiap orang . . . menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya—juga itupun karunia Allah. —Pengkhotbah 5:18

Dalam bukunya Daring To Draw Near (Berani Mendekat), Dr. John White menulis bahwa beberapa tahun sebelumnya Allah telah memberinya kesanggupan untuk memiliki sebuah rumah indah dengan banyak harta benda yang mewah. Ia mengaku bahwa memiliki rumah tersebut membuat perasaannya naik-turun secara drastis.

Ketika ia mengingatkan dirinya bahwa semua itu merupakan pemberian dari tangan Allah yang penuh kasih, ia merasa sangat bersukacita dan penuh syukur. Namun ketika ia mulai membandingkan rumahnya dengan milik teman-temannya, ia berbangga diri karena memiliki rumah seindah itu dan sukacitanya pun lenyap. Akhirnya rumah itu dirasakannya sebagai beban. Yang dapat dilihatnya hanyalah banyaknya pagar tanaman dan pepohonan yang harus dirawat dan berbagai perawatan rumah yang tiada habisnya. White berkata, “Sementara kesombongan mengaburkan pandanganku dan membebani hatiku, rasa syukur mencerahkan penglihatanku dan meringankan bebanku.”

Penulis kitab Pengkhotbah melihat kehadiran Allah dalam setiap kenikmatan yang diperolehnya dari harta benda. Kekuatan untuk menikmati hasil jerih payah kita, bahkan kekuatan untuk menerima dan bersukacita di dalamnya, berasal dari Allah (5:17-18).

Seluruh hidup kita, dari lahir hingga ajal, adalah anugerah Allah yang tiada hentinya diberikan kepada kita. Kita tidak layak menerima apa pun. Dia tak berutang apa pun kepada kita, namun Dia memberikan segalanya untuk kita. Jika kita mengingat ini, kita tidak perlu merasa telah bersikap egois atau merasa bersalah. Berkat harta benda apa pun yang kita miliki adalah karunia Allah kita yang Maha Pemurah. —DJD

Untuk puluhan ribu karunia indah
Kunaikkan syukur setiap harinya;
Hati yang gembira pun tak ketinggalan,
Bersukacita menikmati karunia itu. —Addison

Allah yang telah memberi kita begitu banyak juga mengaruniai kita hati yang penuh syukur. —Herbert

Hampir Puas?

Kamis, 5 September 2013

Hampir Puas?

Baca: 1 Timotius 6:6-12

Cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” —Ibrani 13:5

Ketika melangkah ke tempat parkir suatu restoran setelah makan siang, saya melihat sebuah truk pick-up melaju kencang di depan semua kendaraan yang terparkir. Sementara mengamati perilaku sopir truk yang sembrono itu, saya memperhatikan kata-kata yang tercantum pada pelat nomor depan truk tersebut. Kata-kata itu tertulis, “Hampir Puas”. Setelah memikirkan tentang kata-kata tersebut dan maksud yang tersirat melaluinya, saya menyimpulkan bahwa konsep “hampir puas” itu tidak pernah ada. Pilihannya hanyalah entah kita puas atau tidak puas.

Tidak dapat disangkal, kepuasan memang merupakan sesuatu yang sulit dipenuhi. Kita hidup di tengah dunia yang menggoda hasrat kita yang mau lebih dan lebih lagi—sampai-sampai kita menganggap hampir mustahil untuk merasa puas dengan apa pun. Namun ini bukanlah hal yang baru. Kitab Ibrani pernah membahas tentang masalah ini dengan menyatakan, “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: ‘Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau’” (13:5). Satu-satunya obat mujarab bagi hati manusia yang mengingini segala sesuatu adalah rasa cukup yang ditemukan dalam kehadiran Allah yang hidup. Allah saja sudah cukup bagi segala kebutuhan dan kerinduan hati kita, dan hanya Dia yang dapat memberi kita kedamaian dan rasa cukup yang tidak akan pernah kita temukan dalam jerih payah kita di dunia ini.

Tidak ada yang namanya “hampir puas”. Di dalam Kristus, kita dapat mengalami kepuasan sejati. —WEC

Kutemukan kepuasan dalam anugerah-Nya yang ajaib,
Tiada awan atau kabut bisa sembunyikan wajah-Nya;
Saat harus kuhadapi beragam pencobaan berat,
Kudapati kekuatan tersembunyi lewat doaku. —Dunlop

Kepuasan bukanlah mendapatkan yang kita inginkan tetapi merasa cukup dengan yang kita miliki.

Secukupnya

Senin, 4 Februari 2013

Secukupnya

Baca: Matius 6:25-34

Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. —Matius 6:33

Saya senang menulis renungan untuk Our Daily Bread (Santapan Rohani). Namun harus saya akui, terkadang saya mengeluh kepada teman-teman saya tentang sulitnya menuangkan semua hal yang ingin saya katakan ke dalam sebuah renungan singkat. Andai saja saya boleh menggunakan lebih dari 220 kata.

Tahun ini, ketika mulai membaca kitab Matius sesuai dengan jadwal pembacaan Alkitab, saya menyadari sesuatu untuk pertama kalinya. Pada saat membaca tentang pencobaan Kristus di padang gurun (Mat. 4:1-11), saya terkesima melihat betapa pendeknya bagian kisah itu. Matius memakai kurang dari 250 kata untuk menuliskan catatannya tentang salah satu kejadian terpenting dalam Kitab Suci. Lalu saya teringat beberapa bagian Alkitab lainnya, yang meski singkat, tetapi penuh makna: Mazmur 23 (90 kata) dan Doa Bapa Kami dalam Matius 6:9-13 (70 kata).

Yang jelas, saya tidak perlu menggunakan lebih banyak kata, saya hanya perlu menggunakan kata-kata dengan baik. Hal ini juga berlaku dalam aspek lain dari kehidupan kita seperti waktu, uang, dan ruang. Kitab Suci menegaskan bahwa Allah mencukupi segala kebutuhan orang-orang yang mencari dahulu kerajaan-Nya dan kebenaran-Nya (Mat. 6:33). Pemazmur Daud mengatakan, “Takutlah akan TUHAN, hai orang-orang-Nya yang kudus, sebab tidak berkekurangan orang yang takut akan Dia!” (Mzm. 34:10).

Jika hari ini Anda berpikir, “Aku perlu lebih banyak dari apa yang kupunyai sekarang,” coba pikirkanlah kemungkinan bahwa Allah telah memberikan kepada Anda segala sesuatu dengan “secukupnya”. —JAL

Aku merasa tenang, Tuhan, dan merasa cukup,
Oleh anugerah-Mu, aku takkan bersedih atau cemas;
Engkau memandu dan memeliharaku, inilah sukacitaku:
Kebutuhanku sekecil apa pun selalu Kau ingat! —Bosch

Orang yang kaya adalah orang yang merasa puas atas apa yang dimilikinya.