Posts

Obat untuk Rasa Kecewa

Sebagai manusia, kita berekspektasi. Kita ingin dimengerti, dikasihi, dan dikukung oleh orang-orang di sekitar kita.

Tapi, ketika keinginan itu terjadi sebaliknya, kita pun kecewa. Kita membanding-bandingkan balasan yang kita dapat dengan aksi yang kita berikan. Atau, tak jarang juga kita menghakimi, menganggap mereka yang telah mengecewakan kita sebagai orang yang kurang peka atau bahkan tidak punya hati.

Kecewa adalah respons alamiah manusia, tetapi berlarut-larut di dalamnya memberi efek yang buruk. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Artspace ini dibuat oleh Agnes Yustivani.

Memaafkan yang Tak Termaafkan

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Suara tembakan tiba-tiba menggemparkan halaman Basilika Santo Petrus, Vatikan. Hari itu, 13 Mei 1981 dalam suasana sore yang cerah, Paus Yohanes Paulus II mengalami peristiwa upaya pembunuhan. Dari kerumunan yang sedang hangat menyapanya, seorang pemuda menembakkan empat tembakan dari senjata semi-otomatis. Paus pun terluka parah. Beruntung melalui pertolongan medis yang sigap, nyawanya terselamatkan. Sementara itu, sang penembak segera dibekuk oleh aparat dan setelah serangkaian proses peradilan, dia dijatuhi hukuman penjara.

Peristiwa itu menjadi berita teror yang menyebar ke berbagai belahan dunia, namun ada kisah menarik yang terjadi setelahnya. Dua hari selepas Natal tahun 1983, Sri Paus yang bernama asli Karol Josef Wojtyla itu menyambangi sebuah penjara. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari penjara yang dikunjunginya itu, tetapi seorang lelaki muda bernama Mehmet Ali Agca mendekam di sana. Mehmed ialah sang pelaku teror, yang dari pistolnya menyambar empat tembakan kepada sang Paus.

“Aku memaafkanmu, sahabat. Aku mengampunimu,” ujar Karol seraya memeluk Mehmed.

Momen singkat nan hangat tersebut membuat dunia terkesima. Seorang pelaku kejahatan yang seharusnya tidak terampuni malah mendapatkan pengampunan. Alih-alih mengutuki si pelaku, Karol meminta agar umat berdoa bagi Mehmet. Tindakan Karol menggemakan kembali teladan sempurna yang sudah lebih dulu ditunjukkan oleh Yesus, ketika Dia mengampuni orang-orang yang telah menganiaya-Nya.

Sulitnya memaafkan

Memaafkan pada kenyataannya bisa jadi tindakan yang sangat sulit. Memaafkan tak semudah mengucap “aku memaafkanmu”. Memaafkan adalah sebuah tindakan yang melibatkan proses rumit, yang untuk mengucapkannya kita perlu mengorek kembali segala memori dan luka hati, dan menerimanya sebagai bagian dari perjalanan hidup kita. Saat pasangan mengkhianati kepercayaan kita, saat orangtua yang seharusnya mengayomi kita malah menghujani kita dengan kekerasan fisik, saat kita ditipu oleh orang lain, atau saat kita pernah dipermalukan dan dirundung yang berakibat kita mengalami trauma mendalam. Siapa pun yang pernah atau sedang menderita luka hati yang besar tahu, bahwa ketika batin kita tercabik-cabik, akan sangat sulit untuk tidak membenci dan menaruh dendam pada orang yang telah bersalah pada kita. Memaafkan itu sulit, setidaknya dari penelusuranku ada tiga alasan yang menyebabkannya:

Pertama, memori kita cenderung memikirkan masa lalu yang pahit, yang menghantui kita. Memori kita terampil dalam mengenang rasa sakit yang diakibatkan oleh tindakan atau kata-kata, yang pada akhirnya menjebak kita hidup dalam bayang-bayang momen pedih tersebut. Akibatnya, sulit bagi kita untuk move-on. Berbagai upaya untuk lepas dari masa lalu menjadi mandek. Malahan, kenangan buruk tersebut semakin terbayang-bayang, yang berujung pada semakin jauhnya kita dari kebesaran hati untuk mengampuni.

Meski mungkin terkadang mengampuni itu sulit, namun Yesus mengatakan sesuatu tentang pengampunan, ketika Petrus bertanya, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku?”, Yesus menjawab dengan tegas, “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Matius 18:21-22).

Pengampunan adalah sebuah proses. Ibarat menyembuhkan luka hingga menutup sempurna yang membutuhkan perawatan, demikian juga dengan pengampunan. Setiap upaya dan doa kita untuk melepas pengampunan ibarat obat yang membalut luka-luka di hati kita.

Kedua, seringkali ketika kita terjebak dalam memori pahit, amarah hadir dan berakibat kita menjadi kurang mampu mengendalikan diri. Gejolak emosi yang membuncah saat kita marah bisa begitu kuat dan membutakan mata batin kita, sehingga memaafkan menjadi opsi terakhir yang muncul di pikiran kita. Tentu rasa marah tersebut adalah wajar karena kita ada di posisi benar dan teraniaya, tetapi tanpa kita sadar kemarahan yang tidak terkendali itu ibarat bensin yang menjadikan api dendam semakin membara.

Ketiga, kita mungkin enggan memaafkan karena kita takut disakiti lagi. Akibatnya, kita membuang jauh-jauh pilihan untuk rekonsiliasi. Kita membangun tembok pemisah yang tak mampu ditembus, dan kita mendekamkan diri di dalam bilik luka batin. Secara psikologis, ini adalah mekanisme pertahanan diri yang secara natural dikembangkan oleh manusia untuk mencegah hati mereka dari cedera kembali.

* * *

Kita tidak menampik, sebagai manusia yang penuh keterbatasan ketiga alasan di atas mungkin kita rasakan pula. Namun, hendaklah kita tidak lupa bahwa di balik keterbatasan kita ada Allah yang tiada terbatas, yang telah menunjukkan pada kita bahwa pengampunan dan kasih adalah berasal dari-Nya. Yesus telah mengulurkan belas kasihan kepada mereka yang telah merugikan-Nya, mendekap mereka yang tak layak, yaitu kita sekalian, ke dalam kehangatan kasih-Nya yang memerdekakan kita dari belenggu dosa dan kutuk.

Teladan yang telah ditunjukkan oleh Yesus tidak berarti kita menyangkal kenyataan bahwa ada orang yang melukai kita, atau berpura-pura seakan semuanya baik-baik saja, tetapi dari teladan Yesuslah kita belajar untuk memahami bahwa pengampunan adalah sikap hati yang benar dalam menghadapi situasi yang menyakitkan.

Melalui pengampunan, Yesus memberi kita kelepasan penuh dari hukuman dosa. Kitab Suci mengatakan, “Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu…telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib” (Kolose 2:13-4).

Mengampuni adalah panggilan bagi semua murid Kristus untuk mengikuti teladan-Nya. Ini bukanlah tentang perkara sulit atau gampang, tetapi adalah sebuah perjuangan, karena kita diajak untuk melawan sifat alamiah kita yang cenderung menyimpan kesalahan orang lain dan memupuk dendam.

Ketika kita bersedia diproses-Nya untuk memaafkan, tanpa kita sadari secara psikologis itu dapat membantu kita meningkatkan harga diri dan memberikan kekuatan dan rasa keamanan batin. Mengampuni dapat menyembuhkan luka-luka kita dan memungkinkan kita melanjutkan hidup dengan makna dan tujuan. Ada pula penelitian yang mengatakan bahwa dengan mengampuni, kita bisa mengurangi depresi, kecemasan, kemarahan, dan sederet emosi negatif lainnya. Tetapi, yang perlu kita ingat: kita tidak memaafkan hanya demi menolong diri kita sendiri, melainkan kita memaafkan karena itu adalah respons otentik kita kepada kasih Allah yang telah lebih dahulu mengampuni kita. Seperti nasihat Kitab Suci, “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kolose 3:13).

Secuplik kisah Karol, sang Paus yang memaafkan orang yang hendak membunuhnya menjadi salah satu contoh nyata dari aksi ‘memaafkan yang tak termaafkan’. Di dunia yang diwarnai oleh dendam dan kebencian, hendaklah kita menabur kasih dan pengampunan.

Allah Bapa melalui kasih Kristus kiranya memampukan kita untuk mengampuni orang-orang yang ‘tak terampuni’ dalam hidup kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Secuplik Mitos tentang LDR

Banyak survey bilang bahwa pasangan LDR lebih berisiko mengalami kandasnya hubungan. Tetapi, itu tidak selalu berarti bahwa LDR adalah bentuk relasi yang buruk. Yuk kenali mitos-mitos apa saja yang sering muncul tentang LDR.

Secuplik Mitos tentang LDR

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Ketika memutuskan untuk menjalin relasi jarak jauh (LDR) dengan pacarku, kurasa perjalanan kami akan terasa mudah. Kami sudah enam tahun saling kenal sebagai teman dekat, kerja kelompok bersama-sama, bahkan satu kelompok dalam mengerjakan mata kuliah puncak di semester akhir kuliah. Jarak kupikir tidak jadi kendala karena kami sudah cukup saling mengenal.

Tetapi, menjalin relasi baik terpisah secara jarak atau tidak menyajikan tantangannya tersendiri. Pasangan LDR punya pr lebih karena pertemuan fisik tidak bisa dilakukan sesering mereka yang tinggal satu kota. Survey-survey bilang bahwa pasangan LDR lebih berisiko mengalami perselingkuhan, kebosanan relasi, atau bahkan kandas di tengah jalan, tetapi itu tidak selalu berarti bahwa LDR adalah bentuk relasi yang buruk, terlebih di zaman modern ini.

Aku bukanlah ahli dalam bidang relasi, tetapi perjalananku berelasi jarak jauh selama dua tahun mengajariku banyak hal, salah satunya adalah mitos-mitos yang dipercaya orang tentang LDR.

1. Sekarang kan teknologi sudah canggih, tidak harus bertemu muka, video-call saja cukup

Berelasi jarak jauh di abad ke-21 jauh lebih nyaman ketimbang seabad sebelumnya di mana Internet dan HP belum ditemukan. Atau, jika seabad lalu terasa jauh, bayangkanlah kita menjalin LDR di tahun 2000-an awal ketika ingin berkomunikasi harus antre di wartel, atau membeli pulsa telepon yang harganya masih selangit. Sekarang, segala kesulitan itu tidak lagi kita jumpai. Meski terpisah jarak, kita bisa berkomunikasi nyaris kapan saja dan di mana saja. Pesan via aplikasi chat dapat dikirim dan diterima secara real time. Juga dengan kecepatan internet yang makin tinggi, video call menjadi semakin mudah tanpa perlu pusing karena suara yang putus-putus atau gambar yang buram.

Tetapi, meskipun perangkat teknologi menyajikan komunikasi yang tidak terbatas pada jarak, tetap ada kelemahan di dalamnya. Teori komunikasi menyatakan bahwa komunikasi tatap muka adalah bentuk komunikasi terbaik. Dalam komunikasi tatap muka, kita dapat menangkap lebih dari sekadar pesan verbal. Kita dapat melihat mimik wajah, gerakan tubuh, dan jalinan perasaan yang lebih kuat. Kehadiran secara fisik adalah kehadiran yang tak tergantikan oleh medium mana pun. Dan, satu hal lainnya adalah mengupayakan hadir secara fisik tentu memberikan nilai pengorbanan yang lebih.

Namun, meskipun komunikasi tatap muka adalah bentuk komunikasi terbaik, kita tidak perlu memaksakannya setiap waktu. Kita dapat menetapkan kesepakatan per berapa lama kita akan saling bertemu. Dalam relasi kami, kami bersepakat untuk bertemu setiap dua bulan dengan memikirkan beberapa pertimbangan. Tetapi, seperti ketika pandemi Covid-19 melanda dan pertemuan fisik menjadi berisiko, kami pun kembali berdiskusi untuk menemukan cara yang tepat dan bijak untuk kami tetap dapat saling terhubung.

2. Komunikasi tanpa putus, harus mengobrol serius setiap hari

Awal-awal kami masuk dalam fase pacaran, kami berupaya membangun kedekatan seintens mungkin. Tetapi, seperti kata pepatah bahwa yang berlebihan tidaklah baik, demikian juga dengan memaksakan durasi dan frekuensi komunikasi tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang ada. Kami pernah berada di fase di mana menelepon setiap hari dengan durasi di atas satu jam. Akibatnya, dalam beberapa bulan kami kelelahan secara fisik dan mental. Topik pun keburu habis dibahas. Alih-alih menjadi erat, kami malah menjadi renggang.

Aku lalu mendapati sebuah wejangan bijak dari seorang praktisi relasi yang berkata, take it slow to make it last. Atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti, dibuat santai supaya awet. Wejangan tersebut ada benarnya. Memaksakan durasi telepon menjadi tiap hari, berjam-jam, dan membahas topik-topik serius (semisal: rencana pernikahan, dsb) membuat kami luput akan apa yang sejatinya kami butuhkan. Manusia membutuhkan waktu tak cuma untuk berkomunikasi dengan pasangannya, tetapi juga dengan keluarganya, sahabatnya, diri sendiri, juga dengan Tuhan!

Lagi-lagi, yang dibutuhkan di sini adalah kesepakatan dan saling pengertian. Kami lalu saling mengevaluasi area manakah dalam hidup kami yang terabaikan dalam upaya kami membangun kedekatan. Setiap pasangan punya kesepakatannya masing-masing. Aku dan pacarku bersepakat untuk menelepon sekitar dua hari sekali, saat tidak sedang sibuk, atau memang jika keadaan memungkinkan saja. Di sini kami belajar untuk saling percaya. Dan, puji Tuhannya, relasi kami jadi membaik. Kami punya waktu untuk bersaat teduh, bekerja lembur, quality time bersama kawan dan keluarga, atau sekadar me-time untuk merelaksasi diri.

3. Jangan terlalu percaya, harus selalu ada curiga

“Memangnya kamu yakin dia pasti jujur? Kan nggak ada yang tahu kalau dia bakal bohong”.

Seperti disinggung di awal, LDR dianggap sebagai bentuk relasi yang berisiko, terkhusus dalam hal kehadiran orang ketiga. Kesadaran akan risiko ini biasanya menimbulkan bibit-bibit kecurigaan yang sadar atau tidak terselip dalam relasi sehari-hari. Pasangan menjadi cemburu dan melontarkan kata-kata menyindir, melarang-larang, atau pihak tertuduh lantas menjadi emosi atau mengarang alasan-alasan palsu.

Yang perlu kita pahami, meskipun jarak memberikan risiko yang lebih tinggi, ketidakjujuran adalah pilihan yang berasal dari diri sendiri. Hampir tidak ada kaitannya dengan jarak yang membentang. Ketika seseorang sudah memiliki itikad untuk tidak jujur, tanpa adanya jarak fisik yang membentang sekalipun, dia bisa melakukannya. Dunia biasanya memberikan saran berupa letakkanlah sedikit curiga, jangan percaya sepenuhnya pada pasanganmu, dan sebagainya. Tetapi, dalam relasi antara dua anak Tuhan, kepercayaan adalah hal yang harus selalu ada. Dan, tugas dari pasangan itu adalah saling memelihara kepercayaan tersebut. Bibit-bibit kecurigaan yang kita pelihara bisa bertumbuh dan mewujud ke dalam bentuk hilangnya rasa percaya, perubahan nada dan cara bicara, hingga spekulasi-spekulasi yang bukannya mengarahkan kita pada solusi tetapi malah membawa kita ke dalam jurang konflik yang dalam.

Memelihara kepercayaan datang dari meletakkan relasi tersebut sebagai relasi yang kudus dan penting bagi Allah. Kolose 3:23 mengatakan apa pun yang kita perbuat, perbuatlah itu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kurasa prinsip ini juga dapat berlaku dalam hal relasi, tentang bagaimana kita memperlakukan pasangan kita sebagai pelayanan kita juga terhadap Allah. Ketika kita berlaku jujur, mengasihi, dan juga menjaga kekudusan dengan dan kepada pasangan kita, itu berarti kita sedang menghormati dan melayani Allah.

* * *

Aku yakin ada banyak mitos lainnya yang kita pernah percayai terkait LDR atau juga berpacaran pada umumnya. Setiap relasi, baik itu LDR atau tidak, memiliki tantangannya masing-masing. Tetapi, yang paling penting dalam menjalaninya adalah bagaimana kita dapat memelihara komitmen dan memuliakan Allah di dalamnya.

Setiap manusia telah jatuh ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Ketika dua orang berdosa memutuskan untuk berelasi, tidak ada relasi yang sempurna. Oleh karena itu, sebuah relasi yang bertahan dan berjalan baik bukanlah relasi yang tanpa konflik dan kecewa. Hal-hal yang menyakitkan hati mungkin akan terjadi, tetapi yang terpenting adalah kedua belah pihak menyadari bahwa mereka membutuhkan anugerah Allah setiap hari dalam relasi mereka, dan melibatkan-Nya untuk hadir, berjalan, dan memimpin relasi tersebut untuk mencapai tujuan mulia-Nya.

Mitos atau pengalaman LDR apakah yang kamu alami? Yuk bagikan juga di kolom komentar.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Cerpen: Setoples Nastar di Pergantian Tahun

Lelehan mentega, bercampur sirup gula dan serbuk vanilla tercium semerbak. Malam ini Chesa membuat nastar untuknya dan kedua adiknya.

Keluar dari Pekerjaan Lama, Tuhan Memberiku Pengalaman Baru

Oleh Handiani, Semarang

Tahun 2020 adalah tahun yang penuh turbulensi bagiku. Selain pandemi yang merebak, nasib pekerjaan yang kutekuni selama tiga tahun ke belakang pun berada di ujung tanduk. Ada kabar yang beredar bahwa kantorku tidak akan memperpanjang kontrak kerjaku. Kabar ini—kendati belum diketahui kepastiannya—membuat hatiku tidak tenang. Keluar dan mencari pekerjaan baru rasanya jadi pilihan yang sulit.

Aku ingat momen-momen ketika dulu aku masih menjadi seorang job-seeker. Proses mengirim berkas lamaran, mengikuti psikotes, dan wawancara adalah proses yang menyita waktu, tenaga, dan juga uang, apalagi jika itu semua harus dilakukan di luar kota. Atas dasar pengalaman itulah aku merasa ragu. Keluar dan mencari pekerjaan baru berarti mengulangi semua proses itu dari nol. Itu pun belum ditambah dengan proses beradaptasi di kantor baru.

Tetapi, keputusan mau tidak mau harus dibuat. Sembari menanti jawaban final dari kantorku mengenai status pekerjaanku, orang-orang terdekatku memberiku beberapa saran. Tetap bersemangat mencari lowongan pekerjaan baru, atau mencoba hal baru, yaitu wirausaha. Opsi kedua terdengar baik, tetapi menantang. Aku tidak punya pengalaman berjualan sebelumnya, tetapi keluargaku malah mendukung opsi ini. Mereka beralasan, jika aku bisa membuka usaha di kotaku sendiri, aku bisa tetap dekat dengan orang tuaku.

Dalam doa, kututurkan pada Tuhan dua opsi tersebut, sebab aku sendiri tidak tahu mana yang paling tepat buatku. Aku masih mengupayakan opsi pertama. Aku mengirimkan banyak lamaran di banyak kota. Pergi dari satu kantor ke kantor lain untuk memenuhi panggilan tes dan wawancara. Hingga akhirnya, jawaban final dari kantorku pun diumumkan: kontrakku tidak dilanjutkan. Kecewa juga khawatir muncul dalam hatiku karena saat itu aku masih belum mendapatkan pekerjaan baru. Tetapi, syukur kepada Allah, dalam momen-momen penuh ketidakpastian itu, Dia menganugerahiku ketenangan dan optimisme. Aku yakin tiga tahun pekerjaanku di situ tentu ada pengalaman yang bisa kupetik, dan pengalaman itu bisa jadi bekal untukku melangkah selanjutnya.

Dituntun ke dalam pengalaman baru

Setelah berdoa dan berdiskusi dengan keluargaku, aku memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan baru, tetapi menciptakan lapangan kerja baru dengan berwirausaha. Aku tahu bahwa ide ini terasa menantang. Bagaimana caranya seorang pengangguran bermimpi menciptakan lapangan kerja bagi orang lain di saat dia sendiri membutuhkan pekerjaan? Tetapi, di sinilah Tuhan pelan-pelan menuntunku masuk ke dalam pekerjaan-Nya yang ajaib.

Berbekal tabunganku dan dukungan dari keluarga, aku memulai sebuah bisnis kuliner skala mikro. Segala persiapan dilakukan, mulai dari menentukan tempat, membeli alat-alat, hingga merekrut karyawan. Karena modal yang tidak besar, di awal-awal usaha ini dirintis aku sendiri ikut terjun melayani pembeli. Suasana yang berbeda drastis. Jika dahulu aku bekerja menikmati dinginnya udara AC, kini ditemani gerah dan udara panas dari penggorengan. Aku belajar menggoreng ayam, menyapa pembeli, mengatur strategi promosi, hingga mendaftarkan produk kulinerku ke aplikasi ojek daring.

Sempat ada momen ketika aku merasa takut gagal. Dengan modal serta pengalamanku yang terbatas, aku ragu apakah usahaku ini bisa survive dan meraih untung. Tapi kemudian aku ingat, bahwasannya sekalipun aku gagal, Tuhan tidak pernah gagal. Dia tentu tetap mencukupkan kebutuhanku dan menuntunku ke dalam rencana-Nya. Yang perlu kulakukan adalah melakukan pekerjaan tangan yang tersedia di depanku dengan sepenuh hati.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan berlalu, bisnis kulinerku rupanya bertahan. Pelan-pelan mulai ada keuntungan yang meskipun secara nominal tidak fantastis, tetapi membuatku bersyukur dalam hati. Tuhan sungguh mencukupkan segala kebutuhanku. Bisnis ini pun menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk memberkati orang lain. Di saat pandemi yang mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan, aku dapat mempekaryakan karyawan-karyawan baru meskipun jumlah mereka hanya hitungan jari.

Hari ini aku menyadari bahwa inilah pekerjaan baru yang Tuhan inginkan untukku. Tuhan tidak menjawab ketakutanku dengan mengabulkan keinginan hatiku, karena Dia tentu lebih tahu mana yang lebih baik bagiku. Dia menuntunku melewati jalan setapak yang dipenuhi kekhawatiran, dan tuntunan-Nya itulah yang memberiku ketenangan.

Rencana Tuhan itu selalu baik dan indah pada waktu-Nya jika kita percaya kepada-Nya seperti yang kitab Amsal tuliskan: “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Amsal 3:5-6).

Usaha pekerjaanku belumlah selesai. Bukan tidak mungkin pula akan ada badai yang menggoyahkan, tetapi kebenaran yang bisa aku pegang adalah: bersama Allah yang menyediakan, aku tidak perlu takut.

Jika kamu mengalami pergumulan serupa sepertiku, aku berdoa kiranya bimbingan Tuhan memberikan ketenangan dalam hatimu dan Dia menuntunmu menuju pekerjaan atau profesi yang membuatmu bertumbuh kepada tujuan-Nya yang mulia.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menghadapi Penderitaan Tidak dengan Tawar Hati

Profesiku sebagai dokter membuatku tidak asing dengan kesakitan dan penderitaan yang dialami para pasien. Tak cuma para pasien, setiap kita pun mengalami penderitaan. Bagaimana agar kita tegar menghadapinya?

Ketika Hal-hal Buruk Terjadi Pada Kita

Ketika hal buruk menimpa, mudah bagi kita untuk menyalahkan Tuhan, kecewa, dan menjauh dari-Nya. Kendati respons tersebut adalah naluri alamiah kita, memeliharanya tidak akan menjadikan keadaan kita lebih baik. Malahan, semakin kita jauh dari Tuhan, semakin pula kita tidak merasakan damai dan kasih-Nya.

Hal buruk boleh menimpa, tetapi kasih Allah tidak pernah berakhir. Jika hari ini kamu kecewa dan sedih karena hal buruk yang menimpamu, geser satu per satu postingan ini. Kiranya Tuhan menguatkan kakimu dan membalut luka-luka hatimu.

Artspace ini dibuat oleh Elok Bakti Pratiwi.

2 Cara untuk Berhenti Membanding-bandingkan Diri Sendiri

Oleh Sherrill Wesley
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Avoid The Comparison Game

Pernahkah kamu terjebak dalam perangkap suka membanding-bandingkan? Aku pernah, bahkan sering.

Seiring aku tumbuh dewasa, aku sering dibandingkan dengan saudari kembarku. Meski kami tidak kembar identik, tapi penampilan, karakter, talenta, dan jalan hidup yang kami pilih sering menjadi bahan perbandingan bagi orang lain. Pertanyaan yang diajukan buatku biasanya diakhiri dengan, “Terus, saudari kembarmu gimana?”

Mungkin kamu merasa tidak ada salahnya dong orang kembar itu dibanding-bandingkan? Untungnya, komentar ini dilontarkan oleh teman dan kerabatku yang baik yang memang tidak memengaruhiku secara negatif. Oleh anugerah Allah dan karena kedekatanku dengan saudariku, mereka mengajariku untuk mengenali sifat dan bakat positif saudariku sendiri, juga untuk menyemangatinya.

Tapi beberapa tahun lalu, aku dibanding-bandingkan pada hal lain yang tidak memberiku pengaruh positif. Aku sudah lulus kuliah tapi aku belum mendapat pekerjaan, jauh dari target yang kuatur untuk diriku sendiri. Seiring kekhawatiranku akan masa depan bertambah, aku mulai membandingkan situasiku dengan teman-teman sebayaku. Kapan Tuhan menjawab doaku untukku mendapat kerja dan mampu mengurangi kekecewaan dalam diriku sendiri?

Saat aku menanti jawaban Tuhan, aku merenungkan bacaan dari Yohanes 21:15-25. Setelah Yesus menubuatkan cara kematian Petrus dan memintanya untuk mengikut Dia, Petrus menyadari ada satu murid lain, Yohanes, yang sedang berjalan di belakang mereka. Petrus lantas bertanya pada Yesus, “Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” (ayat 21). Jawaban Yesus mengejutkanku, “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.” (ayat 22)

Itu bukan urusanmu.

Ouch….

Aku merasa Yesus mengatakan itu buatku sebagai jawaban atas perbandingan yang menjadi pergumulanku. Dan aku tidak tahu menjawab apa. Perkataan itu tidak terduga, tapi menunjukkan kasih yang kuat dari Bapa. Yesus tahu inilah saatku untuk menjinakkan pikiranku sendiri dan berhenti berkubang mengasihani diri.

Terdengar kasar, tapi Yesus ingin Petrus melihat bahwa apa yang kelak terjadi pada Yohanes tidak relevan dengan panggilan Petrus. Dalam pikiranku, aku merasa Tuhan bertanya, “Sherril, kamu harus fokus memenuhi tujuanmu dengan mengarahkan pandanganmu kepada-Ku. Apa urusannya buatmu tentang orang-orang lain yang memenuhi panggilan hidup mereka?”

1. Stop berpikir bahwa Allah pilih kasih

Saat aku memikirkan kata-kata di atas, aku pelan-pelan sadar kalau rasa tidak puasku datang dari kepercayaanku yang salah, bahwa Tuhan lebih mengasihi orang lain daripada aku. Aku rasa kasih dan berkat yang Tuhan berikan itu ada jatahnya. Dan, karena Tuhan menolong orang lain menghidupi panggilan hidup mereka, Dia mungkin tidak punya waktu untuk menolongku. Rasanya lucu bagaimana pikiranku salah menafsirkan keadaanku dan malah membuatku percaya pemahaman-pemahaman tidak berdasar yang jelas-jelas bukan dari Tuhan.

Kenyataannya, kapasitas Allah untuk memberkati anak-anak-Nya itu tidak terbatas. Roma 2:11 mengatakan Allah tidak pilih kasih. Allah punya kasih dan perhatian yang cukup untuk diberikan kepada semua anak-Nya. Tak peduli seberapa kuat aku mencoba, aku takkan pernah bisa memahami betapa luas, lebar, panjang, dan dalam-Nya kasih Allah buatku (Efesus 3:18).

Ketika aku memandang pada apa yang temanku punya dan apa yang tidak kupunya, aku gagal melihat bagaimana Allah mencurahkan kasih-Nya buatku. Ketika aku menyamakan panggilan hidupku dengan pekerjaan yang sempurna yang sesuai dengan mauku, aku membatasi tujuan Tuhan dengan keinginanku sendiri. Aku menjadi buta akan cara Yesus membentuk tujuan mulia-Nya dalam hidupku.

Aku belajar untuk menata langkahku dan menghidupi hari-hariku. Di beberapa hari aku fokus menyiapkan pelajaran sekolah minggu di gerejaku. Di hari-hari lain, aku menolong pekerjaan orang tuaku, atau meluangkan waktuku dengan duduk di kaki Yesus dan mendapat penguatan dari firman-Nya seiring aku bergumul dengan banyak penolakan kerja.

Kulakukan tanggung jawab yang Tuhan beri dengan sungguh-sungguh dan jujur, meskipun itu berbeda dari teman-temanku. Memang terasa sakit ketika rencana kita tidak berjalan, tetapi Allah tetap memegangku, dan aku memilih untuk tetap percaya kepada-Nya.

2. Buang jauh-jauh “seandainya saja..”

Di hari-hari ketika segalanya terasa sulit, aku merenung dan menyelidiki keputusan-keputusan yang kuambil di masa lalu. Seandainya….seandainya dulu aku nggak begitu.

Keraguan dan segudang pertanyaan mendadak muncul ketika aku melamun tentang “seandainya saja”. Ketika mataku berfokus pada apa yang aku tidak punya dan ‘seandainya’, aku dengan cepat bisa terjerumus dalam kepahitan dan frustrasi. Namun, ada satu himne yang judulnya “Pandanglah pada Yesus” mengingatkanku untuk tidak terpana pada dunia ini.

Turn your eyes upon Jesus
Look full in His wonderful face
And the things of earth will grow strangely dim
In the light of His glory and grace

Pandanglah pada Yesus
Pandang wajah-Nya mulia
Isi dunia menjadi redup
Di dalam terang kemuliaan-Nya
(diterjemahkan secara bebas)

Semakin aku memandang pada Yesus, hikmat dan kebijaksanaan-Nya menggiringku untuk melihat apa yang benar-benar penting. Kepercayaan diri kita tidak datang dari pencapaian diri atau pengakuan orang lain, karena akan selalu ada orang yang tampak lebih baik dari kita. Kepercayaan diri kita datang dari mengetahui Siapa yang memegang kendali dan Siapa yang memiliki kita.

Allah tidak pernah berubah. Kebaikan-Nya bagi kita selalu tetap. Inilah kebenaran yang memberi kita sukacita dan kedamaian yang tidak dipengaruhi oleh keadaan, dan membebaskan kita dari tekanan untuk selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Tidak peduli di tahapan manakah hidup kita berada sekarang, akan selalu ada keadaan yang mengaburkan fokus kita—tapi aku telah belajar untuk menetapkan pandanganku pada Allah, penulis dan penyempurna imanku (Ibrani 12:2). Kebenaran inilah yang menolongku untuk tetap berjalan pada jalurku, mengingat betapa dalamnya kasih Allah buatku, dan menjauhkanku dari rasa iri, kepahitan, marah, dan mengasihani diriku sendiri.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

3 Cara Tetap Setia Ketika Hidup Terasa Jalan di Tempat

Memilih setia ketika Allah seolah membiarkan hidup kita tidak berprogress bukanlah perkara yang mudah. Tetapi, dengan tetap bersama Allah, itu adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil.

3 Cara Tetap Setia Ketika Hidup Terasa Jalan di Tempat

Oleh Yang Ming
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Ways To Remain Faithful When Life Seems To Be Going Nowhere

Hatiku bergetar saat melihat deretan email masuk. Ketakutan terbesarku terwujud. Lamaran kerjaku untuk bergabung di kelompok seni internasional ditolak. Sepuluh bulan terakhir upayaku mencari kerja selalu buntu dan menyerah rasanya jadi pilihan yang baik.

Aku kecewa. Upaya-upaya kreatifku tidak membawaku pergi ke mana-mana, dan aku tetap menganggur selama berbulan-bulan meskipun aku sudah berusaha sebaik mungkin. Rasanya aku dikecewakan oleh segala hal yang kuanggap bernilai.

Beberapa hari setelahnya, aku sulit untuk berdoa dan mencari Tuhan. Aku duduk termenung di kasurku setiap malam. Perlahan aku marah pada-Nya. Ketika penderitaan ini terasa terlalu berat, akhirnya aku berseru, “Tuhan, pernahkah Engkau mengasihiku?” Aku sendiri terkejut dengan pertanyaan itu, tapi itulah yang bergema di hatiku.

Saat itu aku merasa terluka dan malu. Aku telah jadi orang Kristen bertahun-tahun, dan telah melayani dengan penuh semangat di pelayanan pemuda. Aku pun telah bersaksi akan kebaikan Tuhan ke orang-orang, tapi hari ini bagaimana bisa aku meragukan kasih-Nya buatku?

Terlepas dari amarah dan kecewaku, aku tahu hanya ada dua jalan yang bisa kuambil: berpaling pada Allah atau melarikan diri dari-Nya. Kurenungkan dua pilihan itu dan aku teringat ayat dari Yohanes 6:68. Setelah Yesus memberikan pengajaran yang cukup keras, banyak murid meninggalkan-Nya karena mereka mendapati terlalu sulit untuk mengikut-Nya. Yesus lantas bertanya pada 12 murid-Nya apakah mereka hendak ‘menyerah’ juga. Simon Petrus menjawab, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”

Seperti Simon Petrus, aku memutuskan untuk tetap setia pada Allah meskipun aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hidupku. Aku memulai perjalanan kesetiaanku dari tiga area ini:

1. Mengatur ulang pikiranku melalui penyembahan kepada-Nya

Ada hari-hari ketika aku sulit menyembah Tuhan. Beberapa hari aku merasa hambar, dan parahnya lagi, aku tidak tahu inti apa yang kulakukan. Tapi, melalui teladan dari Daud sang pemazmur dan Ayub—mereka sosok yang juga mengalami kekecewaan, aku sadar bahwa tidak masalah untuk tidak merasa baik di hadapan Allah karena Dia tahu apa yang sesungguhnya tersembunyi di dalam hati kita.

Ketika anak dari Daud mati karena dosanya melawan Allah, Daud “masuk ke dalam rumah TUHAN dan sujud menyembah” (2 Samuel 12:20). Pemazmur sering menuangkan pergumulannya dan dengan jujur berkata-kata di hadapan Allah, menuturkan-Nya “Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: Di mana Allahmu?” (Mazmur 42:3). Ayub kehilangan anak-anaknya dan segala harta miliknya, tapi dia tetap menyembah Allah dengan tetap percaya dan berharap pada-Nya (Ayub 13:15).

Kedua teladan itu mengingatkanku bahwa meskipun gejolak emosi kita sungguh nyata, itu tidak seharusnya menjadi penentu keputusan final kita. Meskipun aku merasa sedang di titik nadir, aku mulai mengumpulkan sisa-sisa kekuatan untuk menyanyikan pujian bagi Allah. Entah itu lagu kidung jemaat atau lagu rohani kontemporer, semuanya menolongku untuk mengatur kembali pikiranku dan berfokus pada Allah. Nada-nada sederhana dipakai-Nya untuk menenangkan badai di hatiku, juga memperbaharuinya.

2. Mencari tahu tujuan Allah melalui pencobaan yang kuhadapi

Di momen-momen hening penyembahanku, aku sadar Allah senantiasa setia, tapi aku lebih memilih berjalan dengan jalurku sendiri dan dengan naif yakin bahwa rencanaku lebih baik. Alih-alih menanti Allah, aku mencari alternatif lain. Aku mencari pelarian lewat teman-temanku, membaca buku, bahkan googling mencari jawaban atas pertanyaanku. Aku ingin solusi instan atas masalahku. Ketika yang kuinginkan tidak terjadi, segeralah aku kecewa dan menjauh dari Allah, berpikir kalau Dia memang meninggalkanku.

Tapi, di satu saat teduhku di pagi hari, aku menemukan kisah Gideon di Hakim-hakim 6:1-40, dan bacaan itu menyentakku betapa Allah penuh belas kasih kepada bangsa Israel yang tidak setia. Ketika mereka ditindas, Allah ada bersama mereka. Allah mendengar tangisan mereka. Itulah sebabnya Allah mengirim Gideon. Allah berdaulat dalam segala sesuatu.

Kebenaran ini memperdalam pemahamanku akan Allah. Oswald Chambers dalam teks renungannya My Utmost For His Highest menulis begini, “Kamu harus pergi menghadapi pencobaan sebelum kamu punya hak untuk mengucapkan keputusanmu, karena dengan melalui pencobaan kamu akan belajar mengenal Allah lebih baik. Allah sedang bekerja di dalam kita untuk mencapai tujuan termulia-Nya, sampai tujuan-Nya dan tujuan kita menjadi satu.”
Tujuan dari pencobaan yang kuhadapi bukan sekadar mengajariku pelajaran hidup, tapi untuk membawaku melihat karakter Allah serta tujuan mulia-Nya bagiku—yakni untuk menyembah dan memuliakan-Nya di segala hal yang kulakukan.

Perlahan aku mulai melihat Allah dalam terang yang baru. Dia menunjukkanku kesetiaan-Nya melalui hal-hal kecil yang biasanya kuabaikan. Dia memelihara kesehatanku, memenuhi kebutuhanku di masa-masa menantang ini, dan membawa orang-orang yang peduli pada kesejahteraanku. Karena semua inilah, aku tahu aku bisa bersandar pada kasih-Nya yang tak berakhir meskipun tantangan berat siap menghadang.

3. Mengingat betapa Allah telah menyukakan hatiku

Ketika hidup terasa tidak berjalan ke mana-mana, mudah untuk hanyut dalam takut dan khawatir. Ketika aku bertanya pada Allah pernahkah Dia mengasihiku, jawaban yang kudapat hanyalah kesunyian. Respons ini membuatku berandai-andai, mungkinkah Allah marah karena aku mempertanyakan kasih-Nya?

Tapi, dengan penuh kasih Dia mengingatkanku lewat Mazmur 18:16-19:

“Ia menjangkau dari tempat tinggi, mengambil aku, menarik aku dari banjir. Ia melepaskan aku dari musuhku yang gagah dan dari orang-orang yang membenci aku, karena mereka terlalu kuat bagiku. Mereka menghadang aku pada hari sialku, tetapi TUHAN menjadi sandaran bagiku; Ia membawa aku ke luar ke tempat lapang, ia menyelamatkan aku, karena Ia berkenan kepadaku.”

Aku telah berusaha keras untuk mengingat seperti apakah rasanya ketika hatiku dipuaskan oleh-Nya. Aku menyadari seharusnya aku tidak berusaha terlalu keras hanya untuk membuktikan bahwa aku cukup baik untuk dikasihi-Nya.

Selama beberapa bulan, aku telah belajar bahwa di masa-masa terkelam hidup seharusnya kita menaruh percaya pada-Nya. Dalam perjalanan kekristenanku, aku mengalami momen yang membawaku pada terobosan dan penolakan. Saat aku berjalan di lembah atau puncak, ini adalah momen yang cepat berlalu. Aku tak tahu mengapa hidupku berjalan sedemikian rupa, tetapi aku tahu Allah adalah sauh yang kuat bagi jiwaku (Ibrani 6:19), dan Dia punya tujuan bagiku. Tak peduli medan apa yang kulalui, Dialah sumber penghiburanku. Dia masih menulis kisah hidupku, kisah yang jauh lebih baik dari apa yang kupikirkan.

Setelah beberapa bulan mencari kerja, aku mendapat pekerjaan sementara di gereja. Bukan pekerjaan yang kudambakan, tetapi mungkin ini adalah pekerjaan yang baik yang bisa kulakukan di masa sekarang untuk mengembangkan talentaku melayani-Nya. Lagipula, Allah telah menujukkan padaku kesetiaan-Nya dan Dialah penolongku di masa-masa sulit. Dia telah memimpinku kepada kesempatan-kesempatan lain untuk menujukkan kemampuan kreatifku.

Jika kamu merasa kamu sedang berjalan dalam terowongan kelam dan hidupmu serasa jalan di tempat, aku ingin mendorongku untuk melihat pada kasih Allah yang tak pernah berubah untukmu. Jangan pernah lelah untuk meraih-Nya. Dialah Allah yang baik.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Belajar Setia dari Aren

Aren masih duduk di bangku SD dan dia hidup dengan penyakit bawaan. Bukan hidup yang mudah tentunya, tetapi Aren ingin berbagi cerita dan semangat buat kita semua.

Berhenti Memikirkan Hal-hal Negatif

Oleh Riley Sands
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Stopped Letting Negativity Rule My Thoughts

Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus (2 Korintus 10:5).

Semuanya dimulai dari ketika lamaran kerjaku ditolak untuk kedua kalinya.

Aku melamar di dua tempat—satu di penerbit buku dan satunya lagi di universitas tempatku belajar untuk gelar S-2ku. Karena sebelumnya aku pernah bekerja di perusahaan penerbitan, kupikir aku punya peluang lebih besar daripada pelamar lainnya. Tapi nyatanya, aku ditolak.

Di minggu-minggu selanjutnya, aku masih merasa tidak percaya. Tapi rasa kecewaku berkurang ketika aku mendengar kabar kalau aku diterima wawancara di tempat kedua. Jika aku lolos, nanti aku akan bekerja sebagai asisten penelitian di universitasku, dan aku sangat menginginkannya. Tapi, dua hari setelah wawancara, hasilnya aku tidak diterima juga

Setelah dua kali ditolak, aku merasa terguncang dan berusaha sekerasnya untuk menerima kenyataan ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Bagaimana ini bisa terjadi?” dan “Kenapa Tuhan tidak memberiku pekerjaan ini?” terus berputar-putar di pikiranku seperti kaset rusak. Malam itu, bukannya memikirkan tentang betapa baiknya Tuhan kepadaku selama ini (Ulangan 2:7), aku malah terus memikirkan penolakan kerjaku dan mulai meragukan kebaikan-Nya.

Pikiran negatifku akhirnya berubah menjadi suara yang tidak terhitung banyaknya, dan benakku dengan cepat dipenuhi dengan kalimat-kalimat yang menghakimi diriku sendiri.

“Kamu mengacaukan wawancaranya!”

“Kamu punya bertahun-tahun pengalaman bekerja dan masih tidak bisa mendapat pekerjaan yang baik!”

“Orang-orang akan melihat bahwa kamu adalah sebuah kegagalan.”

Dengan bercucuran air mata, aku berusaha untuk menyingkirkan semua pikiran itu. Tapi aku tidak berhasil. Malah, kalimat-kalimat itu terdengar makin kencang dan menusuk hatiku. Puncak dari semua pikiran buruk itu adalah pikiran buruk lainnya yang berkata: “Kamu tidak berguna” dan “Kamu tidak berhak mendapat kasih Tuhan”.

Aku tahu ada yang tidak beres dengan diriku sendiri. Ketakutan mulai menyelimutiku. Aku kemudian sadar, jika aku tetap membiarkan pikiran-pikiran buruk itu menghantuiku dan aku mengasihani diri sendiri secara berlebihan, itu adalah tindakan yang dapat membuatku semakin terpuruk.

Aku mengambil keputusan bahwa aku tidak akan mengasihani diriku sediri secara berlebihan.

Pikiran-pikiran negatif dalam diriku sebenarnya tidak lahir dalam semalam. Pikiran negatif itu tidak muncul hanya karena aku gagal mendapatkan pekerjaanya. Jika kuselidiki kembali perjalanan hidupku, aku mendapati pikiran-pikiran negatif itu berkembang dalam jangka waktu yang lama.

Ketika aku masih kecil, aku pernah menghadapi banyak penolakan dan kekecewaan, yang membuatku berpikir kalau diriku ini tidak cukup baik. Tahun demi tahun, aku pun menyadari bahwa semua pengalaman burukku ini memudahkan pikiranku untuk dipenuhi dengan pikiran negatif—dan itu membuatku sadar bahwa aku harus benar-benar berusaha untuk memikirkan hal-hal yang baik.

Roma 8:5 berkata, “Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan hal-hal yang dari daging; mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh.” Aku sadar akan pikiranku yang berdosa, dan hal itu membuatku bertobat. Dengan kekuatan baru, aku melawan kata-kata buruk di pikiranku itu dan membaca Alkitab agar aku bisa mengisi pikiranku dengan janji-janji Tuhan.

Aku membaca janji ini: “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.” (2 Timotius 1:7), dan mengingatkan diriku bahwa lewat kekuatan dari Tuhan, aku bisa melawan pikiran-pikiran buruk.

Selain itu, surat dari Paulus kepada jemaat di Filipi juga menjadi senjata yang ampuh ketika aku mulai tergoda untuk berpikir hal-hal yang buruk.

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu”(Filipi 4:8).

Ketika aku menghidupi ayat-ayat ini dalam pikiranku, suara-suara negatif dalam pikiranku berhenti dan ada kedamaian Tuhan yang menyertaiku. Ketika aku bertekad menanggalkan pikiran burukku dan mulai memikirkan janji-Nya, aku membaharui kembali komitmenku untuk mengarahkan diriku tunduk pada Tuhan.

Meski demikian, itu tidak berarti kalau pikiran negatif tidak pernah lagi menghampiriku. Kadang, ketika aku berpikir tentang masa depanku, pikiran negatif ini datang menghampiri. Namun bedanya, sekarang aku tahu bagaimana untuk merespons pikiran buruk itu dengan lebih baik—aku menahan semua pikiran itu dan mengingatkanku sendiri akan kebenaran Tuhan. Memang tidak pernah mudah untuk melakukannya karena hal itu membutuhkan banyak kedisiplinan agar emosiku tidak menguasaiku.

Aku ingat bahwa kita sebagai orang Kristen “lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita” (Roma 8:37). Dan meskipun pikiran negatif dapat membuat kita berpikir bahwa Tuhan telah meninggalkan kita di masa-masa sulit, kebenarannya adalah Ia selalu ada bersama kita setiap saat (Yesaya 41:10). Beralih kepada Firman-Nya membantu untuk menenggelamkan suara-suara berisik di otak kita.

Hari ini, aku masih melamar untuk pekerjaan lain. Prosesnya lebih lama dari yang kukira, tapi aku telah menjadi lebih percaya diri dan memilih untuk tidak membiarkan pikiran negatif mengakar di pikiranku. Aku sekarang sedang belajar untuk merasa bahagia dalam prosesnya, karena aku tahu Tuhan tahu apa yang aku perlukan dalam perjalanan hidupku yang selanjutnya.

Baca Juga:

Jadilah Padaku Seperti yang Tuhan Ingini

Di balik kalimat dan lirik “Jadilah padaku seperti yang Kau ingini” itu, mengimaninya tak semudah mengucapkannya. Tidak mudah untuk meminta Tuhan melakukan apa yang jadi kehendak-Nya ketika aku sendiri punya kehendak yang ingin dipenuhi.

Ketika Kerinduan untuk Memperoleh Kasih Sayang Menguasai Diriku

Oleh Rachel, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 为什么我喜欢“被爱”的感觉?(有声中文

Aku tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Aku tidak perlu berusaha apa-apa untuk mendapatkan kasih dari mereka.

Namun, aku mendapati diriku mudah cemburu pada perhatian dari teman-teman dekatku. Setiap kali mereka lebih perhatian kepada teman-teman yang lain, aku merasakan kekecewaan yang rasanya sulit untuk dijelaskan. Ketika mereka lupa mengajakku untuk bertemu, aku merasa sedih, diabaikan, dan berpikir bahwa mereka tidak mengasihiku.

Sebagai wanita single, aku juga merindukan hadirnya seorang pasangan yang mengasihiku. Dalam masa-masa sedihku, aku sering berharap memiliki seseorang yang mampu menguatkanku, menenangkanku, dan mendukungku. Meskipun aku tidak secara aktif mencari seseorang yang seperti itu, aku berharap dalam hatiku untuk memiliki seseorang yang spesial untuk menghabiskan waktu bersama.

Aku juga selalu menginginkan orang-orang untuk berempati terhadapku di masa-masa sulit. Ketika aku bergumul dengan studiku, aku ingin dikuatkan dan didukung oleh teman-temanku. Ketika aku menghadapi masalah dalam relasiku, aku ingin ada seorang teman yang bersedia menasihati dan menolongku.

Aku ingin menjadi seseorang yang diprioritaskan. Aku ingin dianggap berharga dan dikasihi. Namun, ketika aku memasang ekspektasi tertentu terhadap teman-temanku, pada akhirnya yang kudapatkan adalah kekecewaan. Mungkin kekecewaaan itu berasal dari ekspektasiku yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Hasilnya, aku malah merasa tidak bahagia dalam misiku mendapatkan kasih dan penerimaan dari teman-temanku.

Ketika aku menyadari bahwa berusaha merasa dikasihi membuatku semakin merasa tidak puas dan bersukacita, aku memutuskan untuk mengubah caraku menghadapi keinginanku. Meskipun aku ingin orang lain mengasihiku dan peduli akan perasaanku, aku belajar untuk melakukan hal yang serupa pada mereka. Keinginanku mendorongku untuk mengerti orang-orang di sekitarku—yang sama-sama memiliki keinginan untuk dikasihi. Sebagai ganti dari berusaha untuk dikasihi, aku perlu mengasihi dan berempati dengan orang-orang lain dalam kelemahan dan penderitaan mereka.

Jadi setiap kali keinginan itu muncul, aku akan menanyakan diriku pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apakah kasih Tuhan memuaskanku?

“Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yohanes 4:9-10).

Apakah aku melupakan kasih yang dilimpahkan kepadaku oleh Yesus Kristus, Imam Besar yang Agung? Aku dibenarkan karena kasih penebusan-Nya di kayu salib. Apakah kasih Tuhan tidak bisa mengisi hatiku sepenuhnya? Atau apakah aku belum benar-benar merefleksikan dan menerima kebenaran ini?

Kasih dari teman maupun pasangan tidak dapat mengisi kekosongan dalamku. Lagipula, mereka hanya manusia yang tidak “sempurna”, yang perlu dikasihi dan diperhatikan, sama sepertiku. Hanya kasih Allah yang mampu memuaskan kita. Aku sudah dikasihi oleh Kasih yang sempurna! Aku tidak perlu mengkhawatirkan apakah aku dikasihi. Justru aku harus mengasihi orang-orang di sekitarku—dengan kasih yang telah dicurahkan kepadaku. Ketika aku sampai pada kesimpulan ini, hatiku dipenuhi dengan rasa syukur yang telah dibaharui.

Sejak saat itu, aku belajar untuk berinisiatif memperhatikan orang-orang di sekitarku. Kita semua, tanpa terkecuali, suatu saat akan berhadapan dengan kesulitan dan keletihan dalam perjalanan hidup kita. Memberikan penguatan dan bantuan untuk teman-temanku pada masa-masa itu dapat memberikan dampak yang besar dalam hidup mereka.

2. Apakah aku sedang mengejar sesuatu yang tidak sesuai dengan identitasku?

Apakah momen ketika temanku melupakanku benar-benar hal penting? Apakah aku harus tersinggung ketika aku bukanlah prioritas utama teman-temanku? Aku mengambil waktu untuk merefleksikan pertanyaan-pertanyaan ini, dan diingatkan bahwa identitasku adalah seorang anak Tuhan, bukan hanya seorang teman yang populer.

Roma 8:16-17 berkata, “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.”

Apa yang sedang kukejar seharusnya selaras dengan identitasku. Sebagai ahli waris bersama Kristus, aku memiliki akses pada sebuah kasih yang bisa mengisi diriku dengan sukacita yang lebih besar daripada yang dapat diberikan oleh siapapun. Ketika aku lebih tergoda untuk mengejar kasih teman-temanku dibandingkan mencari kenyamanan dari Tuhan, aku harus mengatakan pada diriku bahwa aku, yang pertama dan terutama, adalah seorang anak Tuhan.

3. Apakah aku membiarkan perasaan insecure menguasai diriku?

Mungkin salah satu alasan aku bergumul dengan pertanyaan ini adalah karena aku orang yang rendah diri sejak kecil. Aku selalu berpikir bahwa aku tidak cantik maupun pintar, dan aku merasa orang lain sepertinya tidak suka padaku. Karena itu, mendapatkan penerimaan dari teman-teman dan bahkan pasangan menjadi hal yang sangat penting bagiku.

Namun, kasih Tuhan telah menunjukkanku nilai diriku di dalam Kristus. Aku telah dibeli dengan harga yang mahal (1 Korintus 6:20). Yesus Kristus menderita di kayu salib agar aku dibenarkan oleh iman. Tuhan menciptakanku untuk memuliakan Dia, lalu bagaimana mungkin aku memandang rendah diriku sendiri?

Roma 8:38-39 berkata, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”

Perasaan rendah diri, insecure, dan ketakutan-ketakutanku tidak bisa memisahkan diriku dari kasih Tuhan! Kasih ini hanya datang dari Yesus Kristus, dan tidak dapat ditemukan dalam teman-teman, keluarga, maupun pasangan kita.

Aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak tersenyum seiring aku merenungkan dalam hati jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas, karena aku tahu aku tidak lagi perlu merindukan perasaan dikasihi ketika aku memiliki kasih yang terbesar. Dan karena aku adalah seorang anak Tuhan, aku memiliki hak istimewa untuk menolong orang lain mengisi kerinduannya untuk dikasihi dengan kasih Kristus.

Ada masa-masa di mana aku kembali pada pola pikir lamaku dan merasa diabaikan oleh teman-temanku. Namun, mengingat kebenaran Tuhan tentang siapa diriku membantuku mengarahkan kembali tindakanku untuk mengasihi orang lain dan menunjukkan kasih Kristus pada mereka.

1 Yohanes 4:12 berkata, “Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.”

Baca Juga:

Bukan Romantisme yang Membuat Relasi Kami Bertahan

Salah satu hal yang aku syukuri dalam hidupku saat ini adalah bisa mengenalnya. Tapi, dia bukanlah seorang pria yang romantis. Dia tidak memberiku bunga, membelikanku barang yang kusuka ataupun memposting fotoku di media sosialnya. Lalu, apa yang membuat kami bertahan?