Posts

Ketika Hal-hal Buruk Terjadi Pada Kita

Ketika hal buruk menimpa, mudah bagi kita untuk menyalahkan Tuhan, kecewa, dan menjauh dari-Nya. Kendati respons tersebut adalah naluri alamiah kita, memeliharanya tidak akan menjadikan keadaan kita lebih baik. Malahan, semakin kita jauh dari Tuhan, semakin pula kita tidak merasakan damai dan kasih-Nya.

Hal buruk boleh menimpa, tetapi kasih Allah tidak pernah berakhir. Jika hari ini kamu kecewa dan sedih karena hal buruk yang menimpamu, geser satu per satu postingan ini. Kiranya Tuhan menguatkan kakimu dan membalut luka-luka hatimu.

Artspace ini dibuat oleh Elok Bakti Pratiwi.

2 Cara untuk Berhenti Membanding-bandingkan Diri Sendiri

Oleh Sherrill Wesley
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Avoid The Comparison Game

Pernahkah kamu terjebak dalam perangkap suka membanding-bandingkan? Aku pernah, bahkan sering.

Seiring aku tumbuh dewasa, aku sering dibandingkan dengan saudari kembarku. Meski kami tidak kembar identik, tapi penampilan, karakter, talenta, dan jalan hidup yang kami pilih sering menjadi bahan perbandingan bagi orang lain. Pertanyaan yang diajukan buatku biasanya diakhiri dengan, “Terus, saudari kembarmu gimana?”

Mungkin kamu merasa tidak ada salahnya dong orang kembar itu dibanding-bandingkan? Untungnya, komentar ini dilontarkan oleh teman dan kerabatku yang baik yang memang tidak memengaruhiku secara negatif. Oleh anugerah Allah dan karena kedekatanku dengan saudariku, mereka mengajariku untuk mengenali sifat dan bakat positif saudariku sendiri, juga untuk menyemangatinya.

Tapi beberapa tahun lalu, aku dibanding-bandingkan pada hal lain yang tidak memberiku pengaruh positif. Aku sudah lulus kuliah tapi aku belum mendapat pekerjaan, jauh dari target yang kuatur untuk diriku sendiri. Seiring kekhawatiranku akan masa depan bertambah, aku mulai membandingkan situasiku dengan teman-teman sebayaku. Kapan Tuhan menjawab doaku untukku mendapat kerja dan mampu mengurangi kekecewaan dalam diriku sendiri?

Saat aku menanti jawaban Tuhan, aku merenungkan bacaan dari Yohanes 21:15-25. Setelah Yesus menubuatkan cara kematian Petrus dan memintanya untuk mengikut Dia, Petrus menyadari ada satu murid lain, Yohanes, yang sedang berjalan di belakang mereka. Petrus lantas bertanya pada Yesus, “Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” (ayat 21). Jawaban Yesus mengejutkanku, “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.” (ayat 22)

Itu bukan urusanmu.

Ouch….

Aku merasa Yesus mengatakan itu buatku sebagai jawaban atas perbandingan yang menjadi pergumulanku. Dan aku tidak tahu menjawab apa. Perkataan itu tidak terduga, tapi menunjukkan kasih yang kuat dari Bapa. Yesus tahu inilah saatku untuk menjinakkan pikiranku sendiri dan berhenti berkubang mengasihani diri.

Terdengar kasar, tapi Yesus ingin Petrus melihat bahwa apa yang kelak terjadi pada Yohanes tidak relevan dengan panggilan Petrus. Dalam pikiranku, aku merasa Tuhan bertanya, “Sherril, kamu harus fokus memenuhi tujuanmu dengan mengarahkan pandanganmu kepada-Ku. Apa urusannya buatmu tentang orang-orang lain yang memenuhi panggilan hidup mereka?”

1. Stop berpikir bahwa Allah pilih kasih

Saat aku memikirkan kata-kata di atas, aku pelan-pelan sadar kalau rasa tidak puasku datang dari kepercayaanku yang salah, bahwa Tuhan lebih mengasihi orang lain daripada aku. Aku rasa kasih dan berkat yang Tuhan berikan itu ada jatahnya. Dan, karena Tuhan menolong orang lain menghidupi panggilan hidup mereka, Dia mungkin tidak punya waktu untuk menolongku. Rasanya lucu bagaimana pikiranku salah menafsirkan keadaanku dan malah membuatku percaya pemahaman-pemahaman tidak berdasar yang jelas-jelas bukan dari Tuhan.

Kenyataannya, kapasitas Allah untuk memberkati anak-anak-Nya itu tidak terbatas. Roma 2:11 mengatakan Allah tidak pilih kasih. Allah punya kasih dan perhatian yang cukup untuk diberikan kepada semua anak-Nya. Tak peduli seberapa kuat aku mencoba, aku takkan pernah bisa memahami betapa luas, lebar, panjang, dan dalam-Nya kasih Allah buatku (Efesus 3:18).

Ketika aku memandang pada apa yang temanku punya dan apa yang tidak kupunya, aku gagal melihat bagaimana Allah mencurahkan kasih-Nya buatku. Ketika aku menyamakan panggilan hidupku dengan pekerjaan yang sempurna yang sesuai dengan mauku, aku membatasi tujuan Tuhan dengan keinginanku sendiri. Aku menjadi buta akan cara Yesus membentuk tujuan mulia-Nya dalam hidupku.

Aku belajar untuk menata langkahku dan menghidupi hari-hariku. Di beberapa hari aku fokus menyiapkan pelajaran sekolah minggu di gerejaku. Di hari-hari lain, aku menolong pekerjaan orang tuaku, atau meluangkan waktuku dengan duduk di kaki Yesus dan mendapat penguatan dari firman-Nya seiring aku bergumul dengan banyak penolakan kerja.

Kulakukan tanggung jawab yang Tuhan beri dengan sungguh-sungguh dan jujur, meskipun itu berbeda dari teman-temanku. Memang terasa sakit ketika rencana kita tidak berjalan, tetapi Allah tetap memegangku, dan aku memilih untuk tetap percaya kepada-Nya.

2. Buang jauh-jauh “seandainya saja..”

Di hari-hari ketika segalanya terasa sulit, aku merenung dan menyelidiki keputusan-keputusan yang kuambil di masa lalu. Seandainya….seandainya dulu aku nggak begitu.

Keraguan dan segudang pertanyaan mendadak muncul ketika aku melamun tentang “seandainya saja”. Ketika mataku berfokus pada apa yang aku tidak punya dan ‘seandainya’, aku dengan cepat bisa terjerumus dalam kepahitan dan frustrasi. Namun, ada satu himne yang judulnya “Pandanglah pada Yesus” mengingatkanku untuk tidak terpana pada dunia ini.

Turn your eyes upon Jesus
Look full in His wonderful face
And the things of earth will grow strangely dim
In the light of His glory and grace

Pandanglah pada Yesus
Pandang wajah-Nya mulia
Isi dunia menjadi redup
Di dalam terang kemuliaan-Nya
(diterjemahkan secara bebas)

Semakin aku memandang pada Yesus, hikmat dan kebijaksanaan-Nya menggiringku untuk melihat apa yang benar-benar penting. Kepercayaan diri kita tidak datang dari pencapaian diri atau pengakuan orang lain, karena akan selalu ada orang yang tampak lebih baik dari kita. Kepercayaan diri kita datang dari mengetahui Siapa yang memegang kendali dan Siapa yang memiliki kita.

Allah tidak pernah berubah. Kebaikan-Nya bagi kita selalu tetap. Inilah kebenaran yang memberi kita sukacita dan kedamaian yang tidak dipengaruhi oleh keadaan, dan membebaskan kita dari tekanan untuk selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Tidak peduli di tahapan manakah hidup kita berada sekarang, akan selalu ada keadaan yang mengaburkan fokus kita—tapi aku telah belajar untuk menetapkan pandanganku pada Allah, penulis dan penyempurna imanku (Ibrani 12:2). Kebenaran inilah yang menolongku untuk tetap berjalan pada jalurku, mengingat betapa dalamnya kasih Allah buatku, dan menjauhkanku dari rasa iri, kepahitan, marah, dan mengasihani diriku sendiri.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

3 Cara Tetap Setia Ketika Hidup Terasa Jalan di Tempat

Memilih setia ketika Allah seolah membiarkan hidup kita tidak berprogress bukanlah perkara yang mudah. Tetapi, dengan tetap bersama Allah, itu adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil.

3 Cara Tetap Setia Ketika Hidup Terasa Jalan di Tempat

Oleh Yang Ming
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Ways To Remain Faithful When Life Seems To Be Going Nowhere

Hatiku bergetar saat melihat deretan email masuk. Ketakutan terbesarku terwujud. Lamaran kerjaku untuk bergabung di kelompok seni internasional ditolak. Sepuluh bulan terakhir upayaku mencari kerja selalu buntu dan menyerah rasanya jadi pilihan yang baik.

Aku kecewa. Upaya-upaya kreatifku tidak membawaku pergi ke mana-mana, dan aku tetap menganggur selama berbulan-bulan meskipun aku sudah berusaha sebaik mungkin. Rasanya aku dikecewakan oleh segala hal yang kuanggap bernilai.

Beberapa hari setelahnya, aku sulit untuk berdoa dan mencari Tuhan. Aku duduk termenung di kasurku setiap malam. Perlahan aku marah pada-Nya. Ketika penderitaan ini terasa terlalu berat, akhirnya aku berseru, “Tuhan, pernahkah Engkau mengasihiku?” Aku sendiri terkejut dengan pertanyaan itu, tapi itulah yang bergema di hatiku.

Saat itu aku merasa terluka dan malu. Aku telah jadi orang Kristen bertahun-tahun, dan telah melayani dengan penuh semangat di pelayanan pemuda. Aku pun telah bersaksi akan kebaikan Tuhan ke orang-orang, tapi hari ini bagaimana bisa aku meragukan kasih-Nya buatku?

Terlepas dari amarah dan kecewaku, aku tahu hanya ada dua jalan yang bisa kuambil: berpaling pada Allah atau melarikan diri dari-Nya. Kurenungkan dua pilihan itu dan aku teringat ayat dari Yohanes 6:68. Setelah Yesus memberikan pengajaran yang cukup keras, banyak murid meninggalkan-Nya karena mereka mendapati terlalu sulit untuk mengikut-Nya. Yesus lantas bertanya pada 12 murid-Nya apakah mereka hendak ‘menyerah’ juga. Simon Petrus menjawab, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”

Seperti Simon Petrus, aku memutuskan untuk tetap setia pada Allah meskipun aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hidupku. Aku memulai perjalanan kesetiaanku dari tiga area ini:

1. Mengatur ulang pikiranku melalui penyembahan kepada-Nya

Ada hari-hari ketika aku sulit menyembah Tuhan. Beberapa hari aku merasa hambar, dan parahnya lagi, aku tidak tahu inti apa yang kulakukan. Tapi, melalui teladan dari Daud sang pemazmur dan Ayub—mereka sosok yang juga mengalami kekecewaan, aku sadar bahwa tidak masalah untuk tidak merasa baik di hadapan Allah karena Dia tahu apa yang sesungguhnya tersembunyi di dalam hati kita.

Ketika anak dari Daud mati karena dosanya melawan Allah, Daud “masuk ke dalam rumah TUHAN dan sujud menyembah” (2 Samuel 12:20). Pemazmur sering menuangkan pergumulannya dan dengan jujur berkata-kata di hadapan Allah, menuturkan-Nya “Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: Di mana Allahmu?” (Mazmur 42:3). Ayub kehilangan anak-anaknya dan segala harta miliknya, tapi dia tetap menyembah Allah dengan tetap percaya dan berharap pada-Nya (Ayub 13:15).

Kedua teladan itu mengingatkanku bahwa meskipun gejolak emosi kita sungguh nyata, itu tidak seharusnya menjadi penentu keputusan final kita. Meskipun aku merasa sedang di titik nadir, aku mulai mengumpulkan sisa-sisa kekuatan untuk menyanyikan pujian bagi Allah. Entah itu lagu kidung jemaat atau lagu rohani kontemporer, semuanya menolongku untuk mengatur kembali pikiranku dan berfokus pada Allah. Nada-nada sederhana dipakai-Nya untuk menenangkan badai di hatiku, juga memperbaharuinya.

2. Mencari tahu tujuan Allah melalui pencobaan yang kuhadapi

Di momen-momen hening penyembahanku, aku sadar Allah senantiasa setia, tapi aku lebih memilih berjalan dengan jalurku sendiri dan dengan naif yakin bahwa rencanaku lebih baik. Alih-alih menanti Allah, aku mencari alternatif lain. Aku mencari pelarian lewat teman-temanku, membaca buku, bahkan googling mencari jawaban atas pertanyaanku. Aku ingin solusi instan atas masalahku. Ketika yang kuinginkan tidak terjadi, segeralah aku kecewa dan menjauh dari Allah, berpikir kalau Dia memang meninggalkanku.

Tapi, di satu saat teduhku di pagi hari, aku menemukan kisah Gideon di Hakim-hakim 6:1-40, dan bacaan itu menyentakku betapa Allah penuh belas kasih kepada bangsa Israel yang tidak setia. Ketika mereka ditindas, Allah ada bersama mereka. Allah mendengar tangisan mereka. Itulah sebabnya Allah mengirim Gideon. Allah berdaulat dalam segala sesuatu.

Kebenaran ini memperdalam pemahamanku akan Allah. Oswald Chambers dalam teks renungannya My Utmost For His Highest menulis begini, “Kamu harus pergi menghadapi pencobaan sebelum kamu punya hak untuk mengucapkan keputusanmu, karena dengan melalui pencobaan kamu akan belajar mengenal Allah lebih baik. Allah sedang bekerja di dalam kita untuk mencapai tujuan termulia-Nya, sampai tujuan-Nya dan tujuan kita menjadi satu.”
Tujuan dari pencobaan yang kuhadapi bukan sekadar mengajariku pelajaran hidup, tapi untuk membawaku melihat karakter Allah serta tujuan mulia-Nya bagiku—yakni untuk menyembah dan memuliakan-Nya di segala hal yang kulakukan.

Perlahan aku mulai melihat Allah dalam terang yang baru. Dia menunjukkanku kesetiaan-Nya melalui hal-hal kecil yang biasanya kuabaikan. Dia memelihara kesehatanku, memenuhi kebutuhanku di masa-masa menantang ini, dan membawa orang-orang yang peduli pada kesejahteraanku. Karena semua inilah, aku tahu aku bisa bersandar pada kasih-Nya yang tak berakhir meskipun tantangan berat siap menghadang.

3. Mengingat betapa Allah telah menyukakan hatiku

Ketika hidup terasa tidak berjalan ke mana-mana, mudah untuk hanyut dalam takut dan khawatir. Ketika aku bertanya pada Allah pernahkah Dia mengasihiku, jawaban yang kudapat hanyalah kesunyian. Respons ini membuatku berandai-andai, mungkinkah Allah marah karena aku mempertanyakan kasih-Nya?

Tapi, dengan penuh kasih Dia mengingatkanku lewat Mazmur 18:16-19:

“Ia menjangkau dari tempat tinggi, mengambil aku, menarik aku dari banjir. Ia melepaskan aku dari musuhku yang gagah dan dari orang-orang yang membenci aku, karena mereka terlalu kuat bagiku. Mereka menghadang aku pada hari sialku, tetapi TUHAN menjadi sandaran bagiku; Ia membawa aku ke luar ke tempat lapang, ia menyelamatkan aku, karena Ia berkenan kepadaku.”

Aku telah berusaha keras untuk mengingat seperti apakah rasanya ketika hatiku dipuaskan oleh-Nya. Aku menyadari seharusnya aku tidak berusaha terlalu keras hanya untuk membuktikan bahwa aku cukup baik untuk dikasihi-Nya.

Selama beberapa bulan, aku telah belajar bahwa di masa-masa terkelam hidup seharusnya kita menaruh percaya pada-Nya. Dalam perjalanan kekristenanku, aku mengalami momen yang membawaku pada terobosan dan penolakan. Saat aku berjalan di lembah atau puncak, ini adalah momen yang cepat berlalu. Aku tak tahu mengapa hidupku berjalan sedemikian rupa, tetapi aku tahu Allah adalah sauh yang kuat bagi jiwaku (Ibrani 6:19), dan Dia punya tujuan bagiku. Tak peduli medan apa yang kulalui, Dialah sumber penghiburanku. Dia masih menulis kisah hidupku, kisah yang jauh lebih baik dari apa yang kupikirkan.

Setelah beberapa bulan mencari kerja, aku mendapat pekerjaan sementara di gereja. Bukan pekerjaan yang kudambakan, tetapi mungkin ini adalah pekerjaan yang baik yang bisa kulakukan di masa sekarang untuk mengembangkan talentaku melayani-Nya. Lagipula, Allah telah menujukkan padaku kesetiaan-Nya dan Dialah penolongku di masa-masa sulit. Dia telah memimpinku kepada kesempatan-kesempatan lain untuk menujukkan kemampuan kreatifku.

Jika kamu merasa kamu sedang berjalan dalam terowongan kelam dan hidupmu serasa jalan di tempat, aku ingin mendorongku untuk melihat pada kasih Allah yang tak pernah berubah untukmu. Jangan pernah lelah untuk meraih-Nya. Dialah Allah yang baik.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Belajar Setia dari Aren

Aren masih duduk di bangku SD dan dia hidup dengan penyakit bawaan. Bukan hidup yang mudah tentunya, tetapi Aren ingin berbagi cerita dan semangat buat kita semua.

Berhenti Memikirkan Hal-hal Negatif

Oleh Riley Sands
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Stopped Letting Negativity Rule My Thoughts

Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus (2 Korintus 10:5).

Semuanya dimulai dari ketika lamaran kerjaku ditolak untuk kedua kalinya.

Aku melamar di dua tempat—satu di penerbit buku dan satunya lagi di universitas tempatku belajar untuk gelar S-2ku. Karena sebelumnya aku pernah bekerja di perusahaan penerbitan, kupikir aku punya peluang lebih besar daripada pelamar lainnya. Tapi nyatanya, aku ditolak.

Di minggu-minggu selanjutnya, aku masih merasa tidak percaya. Tapi rasa kecewaku berkurang ketika aku mendengar kabar kalau aku diterima wawancara di tempat kedua. Jika aku lolos, nanti aku akan bekerja sebagai asisten penelitian di universitasku, dan aku sangat menginginkannya. Tapi, dua hari setelah wawancara, hasilnya aku tidak diterima juga

Setelah dua kali ditolak, aku merasa terguncang dan berusaha sekerasnya untuk menerima kenyataan ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Bagaimana ini bisa terjadi?” dan “Kenapa Tuhan tidak memberiku pekerjaan ini?” terus berputar-putar di pikiranku seperti kaset rusak. Malam itu, bukannya memikirkan tentang betapa baiknya Tuhan kepadaku selama ini (Ulangan 2:7), aku malah terus memikirkan penolakan kerjaku dan mulai meragukan kebaikan-Nya.

Pikiran negatifku akhirnya berubah menjadi suara yang tidak terhitung banyaknya, dan benakku dengan cepat dipenuhi dengan kalimat-kalimat yang menghakimi diriku sendiri.

“Kamu mengacaukan wawancaranya!”

“Kamu punya bertahun-tahun pengalaman bekerja dan masih tidak bisa mendapat pekerjaan yang baik!”

“Orang-orang akan melihat bahwa kamu adalah sebuah kegagalan.”

Dengan bercucuran air mata, aku berusaha untuk menyingkirkan semua pikiran itu. Tapi aku tidak berhasil. Malah, kalimat-kalimat itu terdengar makin kencang dan menusuk hatiku. Puncak dari semua pikiran buruk itu adalah pikiran buruk lainnya yang berkata: “Kamu tidak berguna” dan “Kamu tidak berhak mendapat kasih Tuhan”.

Aku tahu ada yang tidak beres dengan diriku sendiri. Ketakutan mulai menyelimutiku. Aku kemudian sadar, jika aku tetap membiarkan pikiran-pikiran buruk itu menghantuiku dan aku mengasihani diri sendiri secara berlebihan, itu adalah tindakan yang dapat membuatku semakin terpuruk.

Aku mengambil keputusan bahwa aku tidak akan mengasihani diriku sediri secara berlebihan.

Pikiran-pikiran negatif dalam diriku sebenarnya tidak lahir dalam semalam. Pikiran negatif itu tidak muncul hanya karena aku gagal mendapatkan pekerjaanya. Jika kuselidiki kembali perjalanan hidupku, aku mendapati pikiran-pikiran negatif itu berkembang dalam jangka waktu yang lama.

Ketika aku masih kecil, aku pernah menghadapi banyak penolakan dan kekecewaan, yang membuatku berpikir kalau diriku ini tidak cukup baik. Tahun demi tahun, aku pun menyadari bahwa semua pengalaman burukku ini memudahkan pikiranku untuk dipenuhi dengan pikiran negatif—dan itu membuatku sadar bahwa aku harus benar-benar berusaha untuk memikirkan hal-hal yang baik.

Roma 8:5 berkata, “Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan hal-hal yang dari daging; mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh.” Aku sadar akan pikiranku yang berdosa, dan hal itu membuatku bertobat. Dengan kekuatan baru, aku melawan kata-kata buruk di pikiranku itu dan membaca Alkitab agar aku bisa mengisi pikiranku dengan janji-janji Tuhan.

Aku membaca janji ini: “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.” (2 Timotius 1:7), dan mengingatkan diriku bahwa lewat kekuatan dari Tuhan, aku bisa melawan pikiran-pikiran buruk.

Selain itu, surat dari Paulus kepada jemaat di Filipi juga menjadi senjata yang ampuh ketika aku mulai tergoda untuk berpikir hal-hal yang buruk.

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu”(Filipi 4:8).

Ketika aku menghidupi ayat-ayat ini dalam pikiranku, suara-suara negatif dalam pikiranku berhenti dan ada kedamaian Tuhan yang menyertaiku. Ketika aku bertekad menanggalkan pikiran burukku dan mulai memikirkan janji-Nya, aku membaharui kembali komitmenku untuk mengarahkan diriku tunduk pada Tuhan.

Meski demikian, itu tidak berarti kalau pikiran negatif tidak pernah lagi menghampiriku. Kadang, ketika aku berpikir tentang masa depanku, pikiran negatif ini datang menghampiri. Namun bedanya, sekarang aku tahu bagaimana untuk merespons pikiran buruk itu dengan lebih baik—aku menahan semua pikiran itu dan mengingatkanku sendiri akan kebenaran Tuhan. Memang tidak pernah mudah untuk melakukannya karena hal itu membutuhkan banyak kedisiplinan agar emosiku tidak menguasaiku.

Aku ingat bahwa kita sebagai orang Kristen “lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita” (Roma 8:37). Dan meskipun pikiran negatif dapat membuat kita berpikir bahwa Tuhan telah meninggalkan kita di masa-masa sulit, kebenarannya adalah Ia selalu ada bersama kita setiap saat (Yesaya 41:10). Beralih kepada Firman-Nya membantu untuk menenggelamkan suara-suara berisik di otak kita.

Hari ini, aku masih melamar untuk pekerjaan lain. Prosesnya lebih lama dari yang kukira, tapi aku telah menjadi lebih percaya diri dan memilih untuk tidak membiarkan pikiran negatif mengakar di pikiranku. Aku sekarang sedang belajar untuk merasa bahagia dalam prosesnya, karena aku tahu Tuhan tahu apa yang aku perlukan dalam perjalanan hidupku yang selanjutnya.

Baca Juga:

Jadilah Padaku Seperti yang Tuhan Ingini

Di balik kalimat dan lirik “Jadilah padaku seperti yang Kau ingini” itu, mengimaninya tak semudah mengucapkannya. Tidak mudah untuk meminta Tuhan melakukan apa yang jadi kehendak-Nya ketika aku sendiri punya kehendak yang ingin dipenuhi.

Ketika Kerinduan untuk Memperoleh Kasih Sayang Menguasai Diriku

Oleh Rachel, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 为什么我喜欢“被爱”的感觉?(有声中文

Aku tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Aku tidak perlu berusaha apa-apa untuk mendapatkan kasih dari mereka.

Namun, aku mendapati diriku mudah cemburu pada perhatian dari teman-teman dekatku. Setiap kali mereka lebih perhatian kepada teman-teman yang lain, aku merasakan kekecewaan yang rasanya sulit untuk dijelaskan. Ketika mereka lupa mengajakku untuk bertemu, aku merasa sedih, diabaikan, dan berpikir bahwa mereka tidak mengasihiku.

Sebagai wanita single, aku juga merindukan hadirnya seorang pasangan yang mengasihiku. Dalam masa-masa sedihku, aku sering berharap memiliki seseorang yang mampu menguatkanku, menenangkanku, dan mendukungku. Meskipun aku tidak secara aktif mencari seseorang yang seperti itu, aku berharap dalam hatiku untuk memiliki seseorang yang spesial untuk menghabiskan waktu bersama.

Aku juga selalu menginginkan orang-orang untuk berempati terhadapku di masa-masa sulit. Ketika aku bergumul dengan studiku, aku ingin dikuatkan dan didukung oleh teman-temanku. Ketika aku menghadapi masalah dalam relasiku, aku ingin ada seorang teman yang bersedia menasihati dan menolongku.

Aku ingin menjadi seseorang yang diprioritaskan. Aku ingin dianggap berharga dan dikasihi. Namun, ketika aku memasang ekspektasi tertentu terhadap teman-temanku, pada akhirnya yang kudapatkan adalah kekecewaan. Mungkin kekecewaaan itu berasal dari ekspektasiku yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Hasilnya, aku malah merasa tidak bahagia dalam misiku mendapatkan kasih dan penerimaan dari teman-temanku.

Ketika aku menyadari bahwa berusaha merasa dikasihi membuatku semakin merasa tidak puas dan bersukacita, aku memutuskan untuk mengubah caraku menghadapi keinginanku. Meskipun aku ingin orang lain mengasihiku dan peduli akan perasaanku, aku belajar untuk melakukan hal yang serupa pada mereka. Keinginanku mendorongku untuk mengerti orang-orang di sekitarku—yang sama-sama memiliki keinginan untuk dikasihi. Sebagai ganti dari berusaha untuk dikasihi, aku perlu mengasihi dan berempati dengan orang-orang lain dalam kelemahan dan penderitaan mereka.

Jadi setiap kali keinginan itu muncul, aku akan menanyakan diriku pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apakah kasih Tuhan memuaskanku?

“Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yohanes 4:9-10).

Apakah aku melupakan kasih yang dilimpahkan kepadaku oleh Yesus Kristus, Imam Besar yang Agung? Aku dibenarkan karena kasih penebusan-Nya di kayu salib. Apakah kasih Tuhan tidak bisa mengisi hatiku sepenuhnya? Atau apakah aku belum benar-benar merefleksikan dan menerima kebenaran ini?

Kasih dari teman maupun pasangan tidak dapat mengisi kekosongan dalamku. Lagipula, mereka hanya manusia yang tidak “sempurna”, yang perlu dikasihi dan diperhatikan, sama sepertiku. Hanya kasih Allah yang mampu memuaskan kita. Aku sudah dikasihi oleh Kasih yang sempurna! Aku tidak perlu mengkhawatirkan apakah aku dikasihi. Justru aku harus mengasihi orang-orang di sekitarku—dengan kasih yang telah dicurahkan kepadaku. Ketika aku sampai pada kesimpulan ini, hatiku dipenuhi dengan rasa syukur yang telah dibaharui.

Sejak saat itu, aku belajar untuk berinisiatif memperhatikan orang-orang di sekitarku. Kita semua, tanpa terkecuali, suatu saat akan berhadapan dengan kesulitan dan keletihan dalam perjalanan hidup kita. Memberikan penguatan dan bantuan untuk teman-temanku pada masa-masa itu dapat memberikan dampak yang besar dalam hidup mereka.

2. Apakah aku sedang mengejar sesuatu yang tidak sesuai dengan identitasku?

Apakah momen ketika temanku melupakanku benar-benar hal penting? Apakah aku harus tersinggung ketika aku bukanlah prioritas utama teman-temanku? Aku mengambil waktu untuk merefleksikan pertanyaan-pertanyaan ini, dan diingatkan bahwa identitasku adalah seorang anak Tuhan, bukan hanya seorang teman yang populer.

Roma 8:16-17 berkata, “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.”

Apa yang sedang kukejar seharusnya selaras dengan identitasku. Sebagai ahli waris bersama Kristus, aku memiliki akses pada sebuah kasih yang bisa mengisi diriku dengan sukacita yang lebih besar daripada yang dapat diberikan oleh siapapun. Ketika aku lebih tergoda untuk mengejar kasih teman-temanku dibandingkan mencari kenyamanan dari Tuhan, aku harus mengatakan pada diriku bahwa aku, yang pertama dan terutama, adalah seorang anak Tuhan.

3. Apakah aku membiarkan perasaan insecure menguasai diriku?

Mungkin salah satu alasan aku bergumul dengan pertanyaan ini adalah karena aku orang yang rendah diri sejak kecil. Aku selalu berpikir bahwa aku tidak cantik maupun pintar, dan aku merasa orang lain sepertinya tidak suka padaku. Karena itu, mendapatkan penerimaan dari teman-teman dan bahkan pasangan menjadi hal yang sangat penting bagiku.

Namun, kasih Tuhan telah menunjukkanku nilai diriku di dalam Kristus. Aku telah dibeli dengan harga yang mahal (1 Korintus 6:20). Yesus Kristus menderita di kayu salib agar aku dibenarkan oleh iman. Tuhan menciptakanku untuk memuliakan Dia, lalu bagaimana mungkin aku memandang rendah diriku sendiri?

Roma 8:38-39 berkata, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”

Perasaan rendah diri, insecure, dan ketakutan-ketakutanku tidak bisa memisahkan diriku dari kasih Tuhan! Kasih ini hanya datang dari Yesus Kristus, dan tidak dapat ditemukan dalam teman-teman, keluarga, maupun pasangan kita.

Aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak tersenyum seiring aku merenungkan dalam hati jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas, karena aku tahu aku tidak lagi perlu merindukan perasaan dikasihi ketika aku memiliki kasih yang terbesar. Dan karena aku adalah seorang anak Tuhan, aku memiliki hak istimewa untuk menolong orang lain mengisi kerinduannya untuk dikasihi dengan kasih Kristus.

Ada masa-masa di mana aku kembali pada pola pikir lamaku dan merasa diabaikan oleh teman-temanku. Namun, mengingat kebenaran Tuhan tentang siapa diriku membantuku mengarahkan kembali tindakanku untuk mengasihi orang lain dan menunjukkan kasih Kristus pada mereka.

1 Yohanes 4:12 berkata, “Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.”

Baca Juga:

Bukan Romantisme yang Membuat Relasi Kami Bertahan

Salah satu hal yang aku syukuri dalam hidupku saat ini adalah bisa mengenalnya. Tapi, dia bukanlah seorang pria yang romantis. Dia tidak memberiku bunga, membelikanku barang yang kusuka ataupun memposting fotoku di media sosialnya. Lalu, apa yang membuat kami bertahan?

Jawaban Mengejutkan dari Temanku Ketika Aku Curhat tentang Kekecewaanku pada Tuhan

Oleh Sharon Audry, Bandung

Beberapa waktu lalu, aku sempat marah pada Tuhan karena masalah yang datang bertubi-tubi di hidupku. Mulai dari masalah dalam keluarga, masalah nilaiku di sekolah yang turun drastis, hingga masalah dengan pacarku yang meninggalkanku begitu saja. Aku rasa aku sudah melayani-Nya di gereja. Aku sudah berbuat baik pada sesama. Aku sudah semakin rajin berdoa dan membaca firman Tuhan. Tapi, mengapa Tuhan memberikanku berbagai masalah yang begitu besar, masalah yang bahkan aku rasa aku tak bisa melewatinya?

Jujur, saat itu aku kecewa dengan Tuhan. “Percuma saja aku ikut aktif di gereja, meluangkan waktu untuk persekutuan, dan berbuat baik pada orang lain, kalau Tuhan saja malah memberatkan hidupku dengan masalah yang bertubi-tubi. Apakah ini balasan Tuhan atas semua pelayananku?” begitu pikirku saat itu.

Aku pun mulai menjauhi Tuhan. Aku tak pernah lagi bersaat teduh. Doa pun sudah jarang. Aku sudah muak berbuat baik kepada orang lain, karena pikirku Tuhan saja tidak mau berbuat baik padaku. Aku jadi malas membantu orang lain dan menjadi orang yang suka berpikiran buruk pada orang lain.

Jauh dari Tuhan membuat hidupku semakin hancur dan membuatku semakin mudah marah dan stres. Sampai suatu kali, aku curhat via LINE dengan seorang temanku. Aku berkata padanya bahwa aku kecewa pada Tuhan. Namun, satu jawaban dari temanku itu mengubah pemikiranku.

Temanku berkata, “Pernahkah kamu merasa bahwa Tuhan mungkin kecewa juga dengan hidupmu?”

Aku bingung dengan pertanyaan temanku itu. Tuhan kecewa denganku? Ah, kan aku yang kecewa pada-Nya. Kenapa Ia kecewa denganku?

Temanku melanjutkan, “Kamu selalu datang pada Tuhan saat punya masalah. Saat butuh bantuan-Nya. Saat kondisi kamu mungkin sedang sangat buruk. Kamu selalu meminta jalan keluar atas masalahmu it. Tapi, pernahkah kamu datang pada-Nya saat kamu sedang senang? Pernahkah kamu datang dan bersyukur pada-Nya saat kamu sedang mendapat berkat-Nya?”

Kalimat tersebut langsung menusukku. Benar juga. Saat aku sedang senang, boro-boro aku ingat Tuhan. Aku malah melupakan-Nya dan berbagi kesenanganku dengan orang-orang terdekatku. Aku hampir tak pernah bersyukur atas apa yang sudah Tuhan beri padaku. Yang aku lakukan hanyalah menuntut pertolongan-Nya saat aku punya masalah. Saat aku sedang susah. Saat aku sedang dalam kondisi terburukku.

Saat itu Tuhan menyadarkanku bahwa sesungguhnya yang Tuhan inginkan hanyalah diriku, anak-Nya, untuk datang kepada-Nya, bukan hanya di saat duka, tapi juga di saat suka. Ia ingin aku menceritakan keluh kesahku kepada-Nya. Ia juga ingin aku bersyukur atas apa yang telah terjadi di hidupku. Aku jadi teringat akan sebuah lagu yang berkata:

“Tuhan tak pernah janji langit selalu biru,
Tetapi Dia berjanji selalu menyertai.
Tuhan tak pernah janji jalan selalu rata,
Tetapi Dia berjanji berikan kekuatan.”

Ya, Tuhan memang tak pernah berjanji padaku jika aku mengikut-Nya, hidupku akan selalu bahagia. Tuhan tak pernah berjanji jika aku setia menjadi anak-Nya, aku akan menjadi orang kaya atau artis terkenal. Tuhan juga tak pernah berjanji jika aku ikut kehendak-Nya, hidupku akan terbebas dari masalah. Ia tak pernah berjanji begitu. Tetapi, Ia berjanji bahwa Ia akan berdiri di sampingku untuk bersama-sama menghadapi masalah yang sedang kualami (Ibrani 13:5b). Ia berjanji akan memegang erat tanganku supaya aku tidak jatuh (Mazmur 37:24). Aku takkan pernah melewati badai hidup ini sendiri, karena Tuhan selalu di sampingku.

Hatiku semakin dikuatkan ketika membaca kalimat berikut di sebuah situs rohani:

Seberat apa pun pergumulan yang sedang kita alami, janganlah dijadikan alasan untuk menyerah, tetapi jadikanlah alasan untuk berserah sepenuhnya kepada Tuhan. Menyerah berbeda dengan berserah. Menyerah berarti sudah tidak mau berbuat apa-apa lagi dan berputus asa, tetapi orang yang berserah adalah orang yang mengandalkan Tuhan dan percaya penuh kepada kehendak-Nya. “Sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat” (2 Korintus 5:7).

Tuhan memakai percakapanku dengan temanku untuk membuatku bertobat dan mendekat kembali kepada-Nya. Aku mengerti bahwa Tuhan mengizinkan masalah terjadi di hidupku untuk membuatku menjadi orang yang lebih dewasa dan kuat dalam hidup, dan semakin dekat pada-Nya. Ya, yang Tuhan inginkan adalah kita selalu dekat pada-Nya. Ia mau kita menceritakan suka-duka kita pada-Nya seperti seorang anak yang bercerita pada bapanya.

Tuhan telah mengajarkanku satu hal berikut. Daripada mengatakan, “Tuhan aku punya masalah yang besar,” katakanlah, “Hei masalah! Aku punya Tuhan yang besar dan kau bukan apa-apa bagiku, karena Tuhanku di sampingku sambil memegang erat tanganku.”

Baca Juga:

Pelajaran Berharga di Balik Perceraian Kedua Orang Tuaku

Perceraian kedua orang tuaku adalah salah satu hal tersulit yang harus kulalui. Perceraian itu jadi masa-masa yang menentukan dalam hidupku dan juga memberiku banyak kenangan pahit. Namun, melalui sebuah studi Alkitab yang diambil dari Kitab Roma, aku menemukan sebuah fakta yang mengejutkan.

Kematian Chester Bennington: Mengabaikan Rasa Sakit Bukanlah Cara untuk Pulih

Oleh Priscilla G., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Chester Bennington’s Death: Numbing The Pain Is Not The Same As Healing It

Kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus bunuh diri yang menimpa kalangan selebriti. Tapi, kematian Chester Bennington, seorang vokalis grup band Linkin Park tentunya amat mengejutkan bagi banyak penggemarnya.

Bennington yang berusia 41 tahun ditemukan tewas di rumahnya pada hari Kamis, 20 Juli 2017, bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum sahabatnya, Chris Cornell. Media-media memberitakan bahwa kasus bunuh diri yang dialami Bennington mirip dengan kasus Cornell, mantan vokalis band Soundgarden dan Audioslave yang juga mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri dua bulan sebelumnya.

Berita ini membuatku terkenang kembali akan suara serak khas Bennington dalam lagu-lagunya seperti “Numb” dan “Somewhere I Belong”. Kedua lagu itu menggambarkan kekhawatiran yang kuhadapi ketika aku masih seorang remaja. Aku yakin, jutaan orang di luar sana mungkin juga merasakan perasaan yang serupa denganku. Bahkan, video klip dari lagu Numb itu telah ditonton lebih dari 560 juta kali sejak kali pertama diunggah di tahun 2007.

Aku begitu menyukai lagu Numb, yang dalam bahasa Indonesia berarti mati rasa. Liriknya seolah begitu pas dengan diriku dulu, seorang remaja 14 tahun yang mengalami frustrasi akibat gagal memenuhi harapan orang-orang. Rasa frustrasi itu dimulai ketika aku duduk di sekolah menengah. Kala itu, aku sedang dalam tahap percobaan untuk menjadi ketua OSIS di sekolah. Karena sewaktu di SD dulu aku pernah jadi ketua kelas, jadi kupikir aku bisa dengan mudah lolos tahap percobaan ini. Tapi, ternyata aku gagal dan merasa begitu kecewa. Kekecewaan itu membuatku berpikir mengapa tidak sekalian saja aku menjadi siswa yang bandel. Namun, alih-alih menjadi bandel, aku malah menjadi pribadi yang suka memendam semua rasa kecewa di dalam hati. Selain itu, lirik dalam lagu Numb juga menggambarkan perasaanku terhadap ayahku. Bukan dukungan dan kepedulian yang kudapat dari ayahku selama ini, melainkan cacian dan perintah.

“Aku telah sangat mati rasa (numb), aku tak bisa merasakan kehadiranmu lagi / Telah sangat lelah, dan sadar aku / Jadi beginilah aku, yang kuingin ialah / menjadi diriku sendiri dan bukannya semakin mirip dirimu.”

Namun, tak peduli sesering apapun aku menyanyikan refrain lagu ini, tetap saja aku tidak bisa menyingkirkan suara Tuhan yang berbisik perlahan di dalam hatiku. Di akhir tahun, akhirnya aku kembali mendedikasikan hidupku kepada Yesus.

Tidak lama setelahnya, aku berhenti untuk mendengarkan lagu-lagu Linkin Park karena aku menyadari bahwa pesan-pesan di balik lagu mereka tidak sesuai dengan nilai-nilai Kekristenan. Kalimat terakhir dalam lagu Numb mengajarkan tentang sifat egois, kebanggaan duniawi, dan kesombongan yang berkata ‘Aku lebih baik daripada kamu’ kepada orang-orang yang kita tidak suka. Ajakan untuk mengabaikan perasaan kita dari segala luka hati juga kupikir tidaklah bermanfaat.

Mengabaikan perasaan itu berarti kita mencabut kepekaan dalam hati kita. Tapi, ketahuilah bahwa sebenarnya rasa sakit yang kita alami itu adalah sebuah tanda. Rasa sakit menandakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Oleh karena itulah kemampuan kita untuk merasakan rasa sakit itu menjadi penting. Apabila tubuh seseorang tidak memiliki saraf yang dapat mengirimkan rasa sakit ke otak, maka seseorang tidak akan menyadari apabila kulitnya melepuh akibat menyentuh kompor yang sangat panas. Seorang penulis Kristen dari Amerika dalam sebuah bukunya yang berjudul Where is God When it Hurts pernah menulis demikian: “Secara harfiah, sakit itu memang tidak enak. Rasa sakit itu mampu memaksa kita untuk menjauhkan tangan dari kompor yang panas. Namun, justru rasa sakit itulah yang sejatinya mampu mengindarkan kita dari kehancuran. Hanya, kita cenderung untuk mengabaikan peringatan, kecuali jika peringatan itu amat memaksa.”

Ketika aku membaca kisah hidup Chester Bennington di berita-berita, aku melihat sesosok pribadi yang menderita. Pengalaman hidupku sendiri memang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang dia rasakan. Tapi, kelihatannya dia tidak menghadapi permasalahan hidupnya dengan cara yang terbaik.

Semenjak dia masih berusia 7 atau 8 tahun hingga usianya 13 tahun, dia sering dilecehkan oleh teman-temannya yang berusia lebih tua darinya. Kedua orangtuanya bercerai di usianya yang ke-11 tahun. Pernikahan pertamanya juga berakhir dengan perceraian pada tahun 2005. Kecanduannya pada narkoba dan alkohol menjadi inspirasi dari beberapa lagu populer Linkin Park. Tetapi, kesuksesan yang dia dapatkan tidak dapat melepaskannya dari rasa kecanduannya.

Dalam sebuah sesi wawancara di tahun 2009, Bennington berkata: “Aku bisa menghadapi segala hal negatif dalam hidupku dengan cara membuat perasaanku mati rasa dan mengalihkannya dengan bermain musik.” Di awal tahun ini, Bennington juga menambahkan: “Jika bukan karena musik, aku pasti sudah mati. 100% mati.”

Menyalurkan perasaan negatif lewat musik dan cara-cara lainnya (seperti melukis, menulis puisi, ataupun berlari) memang masih lebih baik daripada memendam semuanya di dalam hati. Tapi, ini bukanlah cara terbaik untuk memulihkan segala luka-luka di hidup kita.

Mengabaikan rasa sakit dan membuat hati kita mati rasa itu seperti menutup sebuah botol air yang bocor dengan jari kita. Memang bocornya berhenti sementara, tetapi kita tidak mungkin terus menerus menutupnya dengan jari kita. Lama kelamaan, tangan kita akan pegal juga, dan masalah kebocorannya sendiri tidak selesai.

Jika saat ini kamu merasa hancur, ketahuilah bahwa Tuhan menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka (Mazmur 147:3). Tuhan adalah sumber air hidup bagi kita (Yeremia 2:13).

Aku berdoa supaya kamu dapat menemukan sumber penghiburan dan sukacita yang sejati.

“Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal” (Yohanes 4:13-14).

Foto oleh: Kristina_Servant via Foter.com / CC BY

Baca Juga:

Ketika Aku Memahami Arti dari Didikan Orangtuaku

Dulu, aku berpikir masa-masa remajaku adalah fase yang paling buruk dalam hidupku. Aku tinggal dengan orangtua kandungku, tapi hidupku tidak bahagia. Aku menolak ungkapan yang mengatakan “Rumahku, Istanaku”. Bagiku, rumahku adalah tempat yang buruk karena orangtuaku tidak menganggapku sebagai seorang anak, melainkan seorang pekerja yang bisa diperas tenaganya setiap waktu.

Aku Tidak Lolos Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri, Haruskah Aku Kecewa?

aku-tidak-lolos-seleksi-masuk-perguruan-tinggi-negeri-haruskah-aku-kecewa

Oleh Louise Angelita Kemur, Jakarta

Jika aku mengingat kembali masa-masa ketika aku mulai kuliah, semua yang kudapatkan saat ini hanyalah anugerah. Aku pernah berharap bisa kuliah ke luar negeri untuk mendalami dunia seni dan desain, atau setidaknya masuk di perguruan tinggi negeri. Untuk mewujudkan impianku itu, sejak SMA aku berusaha keras untuk mendapatkan nilai yang bagus. Tapi, ternyata Tuhan berkata lain. Setelah lulus SMA, aku tidak berhasil mendapatkan beasiswa studi ke luar negeri ataupun masuk ke perguruan tinggi negeri yang aku inginkan.

Dulu tidak pernah terbayang dalam pikiranku kalau jurusan kuliah yang kuambil sekarang ternyata bertolak belakang dengan jurusan yang kuambil di SMA. Sekarang aku belajar tentang Bisnis, sedangkan di SMA aku masuk jurusan IPA. Ibuku adalah seorang dokter sehingga awalnya aku sempat mengira kalau aku akan kuliah di kedokteran nantinya.

Orangtuaku ingin salah satu anaknya meneruskan karier sebagai dokter. Lalu, guru-guru dan teman-temanku di SMA juga mendorongku untuk masuk ke jurusan kedokteran karena mereka beralasan kalau nilai-nilaiku yang baik itu akan memudahkanku untuk diterima di jurusan kedokteran. Akhirnya aku mencoba mendaftarkan diriku ke Jurusan Kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri melalui jalur tanpa tes seraya berharap supaya prestasiku selama SMA bisa menolongku untuk diterima di sana.

Ketika aku harus kecewa

Tapi, ternyata Tuhan tidak membukakan jalan untukku berkuliah di perguruan tinggi negeri itu. Ketika mendaftar lewat jalur undangan (non-tes), aku gagal, lalu aku juga mencoba kembali di jalur tes namun hasilnya tetap sama.

Tidak berhenti sampai di situ, aku juga mencoba mendaftar di perguruan tinggi swasta. Aku coba untuk mendaftar di Jurusan Kedokteran, Arsitektur, dan Desain Interior di beberapa perguruan tinggi. Setelah mengikuti rangkaian seleksi, aku diterima di Jurusan Kedokteran di salah satu kampus di Jakarta. Tapi, ayahku tidak setuju karena takut apabila aku tidak menikmati kuliahku di sana, selain itu beliau juga kurang percaya dengan kualitas pendidikan di sana. Aku juga diterima di Jurusan Desain Interior di salah satu kampus di Tangerang, tapi setelah aku melakukan survei ke kampus itu, aku merasa kalau lingkungannya tidak nyaman untukku.

Waktu itu aku hanya bisa berserah kepada Tuhan. Jika Dia mengizinkanku untuk bisa kuliah di tahun itu, aku sungguh bersyukur. Tapi, jika tidak pun aku mau tetap percaya kepada-Nya. Aku telah beberapa kali gagal masuk ke perguruan tinggi yang kuingini, dan juga aku sendiri masih ragu dengan perguruan tinggi mana yang sebenarnya aku inginkan. Walaupun aku sudah mempersiapkan yang terbaik untuk mengikuti tes itu, tapi selalu saja ada pertanyaan yang menggantung di benakku, “Apakah ini yang benar-benar kamu inginkan?”

Ayahku mendorong anak-anaknya untuk kelak dapat berwirausaha dengan membuka bisnis sendiri. Kemudian aku berpikir mengapa tidak mencoba saja untuk belajar tentang kewirausahaan itu? Akhirnya aku mencoba mendaftar ke Jurusan Bisnis di perguruan tinggi tempat kakakku belajar.

Awalnya ayahku sempat meragukan keputusanku itu. Tapi, menurutku, perguruan tinggi tempat kakakku belajar itu sangat baik dan aku pernah mengikuti kompetisi di sana. Aku sempat pesimis karena aku mendaftar di gelombang kedua sebelum terakhir dan ternyata tes masuknya sangat sulit. Namun, syukur kepada Tuhan karena aku dinyatakan lolos untuk masuk ke Jurusan Bisnis dan keluargaku masih memiliki tabungan yang cukup untuk melunasi semua biaya masuknya.

Kekecewaan yang perlahan berbuah manis

Dulu aku pernah merasa khawatir kalau sehabis lulus SMA aku tidak bisa langsung kuliah di tahun itu. Aku juga khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan terhadapku, sampai-sampai aku juga menjadi ragu apakah Jurusan Bisnis yang kuambil ini adalah yang paling tepat buatku atau bukan. Pilihanku untuk kuliah di jurusan Bisnis membuat beberapa teman dan guru-guruku di SMA kecewa. Mereka berharap kalau aku seharusnya berusaha lebih untuk mendapatkan kuliah di Jurusan Kedokteran. Selama tahun pertama kuliahku aku merasa dihantui oleh pandangan mereka.

Tapi, ternyata setelah aku menjalani kuliah ini selama dua tahun, perlahan aku mulai menikmatinya. Tuhan memberiku berbagai kesempatan untuk berkarya di kampus, salah satunya dengan terlibat aktif dalam lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dari lembaga itu aku belajar tentang kepemimpinan. Salah satu anugerah Tuhan yang awalnya tak pernah aku pikirkan adalah aku mendapatkan kepercayaan untuk menjadi wakil ketua di kegiatan orientasi mahasiswa baru untuk angkatan 2016. Selain di BEM, aku juga aktif terlibat dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) orkestra sebagai seorang violist. Aku bersyukur karena aku bisa memaksimalkan talenta dan hobiku dalam kegiatan ini.

1 Korintus 2:9 mengatakan “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” Ayat ini benar adanya. Apa yang dipikirkan oleh manusia ternyata berbeda dengan apa yang dirancangkan oleh Yang Mahakuasa. Pikiran-Nya jauh lebih rumit dan tinggi. Rencana-Nya jauh lebih besar dan indah.

Dari kampusku sekarang inilah aku belajar tentang kepemimpinan dalam organisasi yang kuikuti. Pengalaman yang aku dapatkan itu bisa kuterapkan dalam pelayananku sebagai ketua remaja di gereja. Aku belajar mengatur jadwal pelayanan dengan efektif, mendistribusikan tanggung jawab secara adil kepada masing-masing panita.

Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa memilih perguruan tinggi bukanlah semata-mata karena gengsi. Kita tidak boleh lupa cita-cita dan talenta apa yang kita miliki. Pilihlah jurusan yang membuat kita menikmati setiap prosesnya. Namun, jangan lupa juga untuk selalu libatkan Tuhan dan orangtua kita dalam membuat keputusan ini.

Sebuah anugerah dalam jawaban tidak

Aku belajar bahwa ketika Tuhan menjawabku dengan jawaban “tidak”, itu pun merupakan sebuah anugerah. Jawaban tidak itu memberi kita kesempatan untuk percaya kepada-Nya senantiasa dan percaya bahwa Dia memberikan sesuatu yang indah tepat pada waktu-Nya asalkan kita berani untuk mempercayai-Nya, mendengarkan-Nya, dan melakukan perintah-Nya.

Aku juga belajar bahwa apapun jawaban Tuhan untuk kita, yang wajib kita lakukan adalah percaya sepenuhnya dan berserah kepada Tuhan. Kita juga harus berani melakukan yang terbaik dalam kesempatan itu. Aku bersyukur Tuhan menyediakan orang-orang yang melengkapi setiap kebutuhanku.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN” (Yesaya 55:8).

Baca Juga:

Surat Kepada Diriku yang Dulu adalah Seorang Gay

Aku tahu kalau saat ini kamu tidak merasa kalau Tuhan benar-benar mengasihimu karena Dia memintamu untuk berhenti menjalin hubungan sebagai seorang gay. Kamu merasa bahwa satu-satunya kebahagiaanmu telah dihancurkan. Hatimu terasa sakit dan kamu pun mengeluh, “Bagaimana mungkin sesuatu yang kuanggap wajar ternyata salah?”

GitaKaMu: Walau Ku Tak Dapat Melihat

Mungkin beberapa dari kita sudah sering mendengar lagu yang dilantunkan Grezia Epiphania ini. Tetapi jujur, baru awal tahun 2015 aku mengetahui keberadaannya (kudet nih.. hehehe). Kalimat demi kalimat dalam lagu ini membuatku terpana saat pertama mendengarnya karena begitu sesuai dengan pergumulan yang sedang kuhadapi.

Hari itu aku sedang dilanda kecewa. Harapan dan impianku untuk melanjutkan studi di sekolah musik harus kandas. Padahal, semua usaha telah kulakukan. Mulai dari berlatih keras, kursus ke sana-sini, berdoa, sampai akhirnya berhasil lulus ujian penerimaan mahasiswa baru. Namun, tanpa disangka-sangka keluarga kami dilanda masalah ekonomi, dan mau tidak mau aku harus melepaskan kesempatan emas itu. Aku merasa sangat terpuruk. Entah sudah berapa banyak air mata mengalir dan pertanyaan yang kuserukan kepada Tuhan. Jelas aku sangat berharap mendapatkan mukjizat. Namun, situasiku tidak berubah sama sekali.

Melalui lagu ini, Tuhan memberi jawaban sekaligus penghiburan bagiku. Tidak hanya karena melodi dan iringan musiknya yang indah, tetapi juga karena kesaksian penyanyinya. Pelantun lagu ini, Grezia, adalah gadis kecil yang terlahir dengan selaput di matanya sehingga ia tidak bisa melihat, namun ia menjalani hidup dengan penuh syukur dan pujian. Aku diingatkan bahwa Tuhan dapat berkarya melampaui segala keterbatasan manusia. Sebab itu, kita perlu mengarahkan pandangan kita kepada Tuhan yang Mahabesar dan Mahakreatif, bukan kepada masalah demi masalah yang menyurutkan semangat kita. Walau kita tidak bisa melihat dan memahami semua rencana Tuhan, tetapi kita memilih untuk memercayakan segenap hidup kita kepada-Nya, karena kita tahu bahwa masa depan kita ada di tangan-Nya, rancangan-Nya adalah rancangan damai sejahtera dan penuh harapan (Yeremia 29:11).

Lagu ini juga menolongku untuk memeriksa hatiku di hadapan Tuhan. Apakah aku mengasihi Tuhan dengan segenap hatiku, apapun situasi yang Dia izinkan aku alami? Ataukah aku hanya mengasihi-Nya bila semua keinginanku dipenuhi-Nya? Apakah aku memandang Tuhan sebagai Raja yang berdaulat atas hidupku, ataukah sebagai “pelayan” yang harus menuruti mauku? Seperti sebuah kutipan bijak yang pernah kubaca: ”Ketulusan hati kita akan terbukti, ketika kita tidak memperoleh apa yang kita kehendaki”.

 
Lirik:
Ku sadar tak semua dapat aku miliki di dalam hidupku
Hatiku percaya rancangan-Mu bagiku adalah yang terbaik
Walau ku tak dapat melihat semua rencana-Mu Tuhan
Namun hatiku tetap memandang pada-Mu
Kau tuntun langkahku
Walau ku tak dapat berharap atas kenyataan hidupku
Namun hatiku tetap memandang pada-Mu
Kau ada untukku