Posts

3 Tipe Teman yang Kita Semua Butuhkan

Oleh Alwin Thomas
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Types of Friends We All Need

Friends, How I Met Your Mother, The Big Bang Theory—itulah sedikit dari tontonan favoritku. Aku pernah membayangkan bagaimana asyiknya tinggal bersama teman-teman dekat di satu apartemen, seperti yang dikisahkan di film-film. Kami bisa nonton bareng, main game bareng, juga curhat tentang segalanya. Impian yang menyenangkan!

Impian itu jadi kenyataan ketika aku pindah ke luar negeri untuk kuliah. Aku tinggal di semacam apartemen khusus mahasiswa. Tapi, meski impian tinggal bersama teman-teman itu terwujud, realitanya tidak semua impian itu menyenangkan. Sepanjang waktu kuliahku, aku mengalami beberapa kejadian sakit hati, pengkhianatan, dan kekecewaan.

Aku yakin kita semua pernah mengalami relasi yang rusak. Mungkin pengalaman inilah yang mempengaruhi pandangan kita kalau mempertahankan pertemanan yang sejati dan dalam itu mustahil dan menyusahkan. Tapi, Alkitab memberitahu kita sebaliknya.

Ada beragam jenis pertemanan yang diceritakan Alkitab, dan tidak semuanya hangat dan menyenangkan. Tapi, Alkitab menegaskan bahwa kita diciptakan untuk saling berelasi dan tidak untuk hidup secara terasing (1 Korintus 12:12-27).

Dari perenungan pribadiku akan hidupku dan Alkitab, aku menemukan ada tiga tipe teman yang kita semua butuhkan dalam hidup ini:

1. Teman yang, “Yuk kita selesaikan bareng-bareng”

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran” (Amsal 17:17).

Tumbuh besar di lingkungan orang Asia, kita sering mendengar orang tua kita memberi nasihat, “pilih-pilih kalau cari teman”. Tapi kita pun tahu nasihat itu tidak sepenuhnya benar. Satu kutipan yang aku paling suka berkata, “Pertemanan itu aneh. Kamu memilih satu manusia yang kamu temui dan kamu seperti berkata, ‘Yes, aku suka orang ini’, dan kamu pun lalu melakukan banyak hal bersama dia”.

Sahabatku adalah contoh yang baik. Ada banyak hal tentang dia yang jika kuceritakan kepada orang tuaku, mereka mungkin tidak akan senang mendengarnya (contohnya, dia orang yang kurang perhatian dan tidak bersemangat). Tapi, dialah teman yang bisa kuandalkan ketika aku butuh teman bicara atau sedang melewati hari-hari berat. Meskipun terkadang respons dia atas masalahku hanya, “Bro, memang berat sih. Yuk deh kita main tenis minggu depan,” justru itulah yang membuatku merasa lebih baik.

Dalam surat-surat yang ditulis Paulus, dia memberi kesaksian tentang bagaimana kawan-kawannya mendukungnya dalam masa-masa sukar. Entah itu ketika Paulus mengalami penganiayaan atau kemiskinan, ketika misi Paulus sukses atau malah dipenjara, Paulus selalu diberkati dengan relasi yang erat. Kehadiran para sahabat Paulus itulah yang menolong pelayanannya tetap berjalan. Tidak semua sahabat Paulus memberinya kata-kata indah, atau kekayaan untuk dibagikan, tapi pelayanan Paulus tumbuh dan berkembang berkat dukungan doa dan tindakan kasih sederhana dari mereka.

Itulah jenis teman yang kita butuhkan ketika kita melalui masa-masa sukar. Seseorang yang bersedia berdiri bersama kita di sepanjang musim kehidupan.

2. Teman yang, “Aku bilang begini buat kebaikanmu”

“Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah” (Amsal 27:6).

Dalam suratnya kepada Timotius, kasih dan perhatian Paulus kepada anak rohaninya sungguh jelas. Namun, kelembutan Paulus tidak selalu mudah dilihat karena seringkali berisi realita dan kebenaran yang keras. Contohnya, dalam 2 Timotius 4:3-5, Paulus menasihati Timotius untuk menguasai “diri dalam segala hal, sabarlah menderita, dan tunaikanlah tugas pelayananmu”.

Paulus berkata demikian karena dia tahu pelayanan yang akan dilakukan Timotius itu penuh tantangan dan pertentangan, karena orang-orang menganggap Timotius masih muda dan tidak berpengalaman. Paulus ingin memberikan dukungan dan petunjuk kepada Timotius di tengah suara-suara yang mengancam untuk memandang rendah otoritas Timotius.

Belajar dari Paulus, kita tidak seharusnya memandang rendah teman yang—dalam upayanya untuk mengasihi kita—menyampaikan nasihat yang tidak menyenangkan hati. Teman dekatku pernah menegurku karena aku menganggap remeh kesempatan studi ke luar negeri. Awalnya aku merasa terganggu karena aku punya alasan kuat kenapa tidak ingin pergi merantau.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku sangat bersyukur karena temanku tidak bosan memberitahuku, meskipun itu berarti kenyamananku terganggu dan ada sebagian rencana hidupku yang harus diubah. Momen itu terjadi ketika aku berada jauh dari rumah, di mana aku merasa benar-benar perlu menemukan kembali imanku pada Tuhan, dan menyesuaikan diriku dengan rencana-Nya.

Ketika menerima nasihat yang keras dari seorang teman, penting bagi kita untuk fokus pada apa yang dikatakan, bukan pada bagaimana itu disampaikan. Pemahaman ini menolong kita untuk mengerti bahwa teman kita mungkin lebih mampu melihat titik buta diri kita atau aspek lain dalam diri kita yang perlu dibenahi tetapi kita tak menyadarinya.

3. Teman yang, “Ayo fokus sama tujuan utamamu”

Teman jenis ini mungkin tidak ingin kehadirannya selalu diketahui. Mereka mungkin menolak jika diajak makan atau sekadar mengobrol. Tapi, kamu bisa yakin kalau mereka pasti ada ketika kamu membutuhkan dukungan. Mereka bisa diandalkan untuk memberimu nasihat yang kokoh—nasihat yang tidak cuma menolongmu untuk mengatasi masalah sekarang, tapi juga konsekuensi setelahnya.

Kata-kata yang mereka lontarkan mungkin sedikit, atau bahkan tidak jelas, tapi itu karena mereka selalu melihat gambaran yang lebih besar daripada satu masalah yang sedang kamu hadapi.

Dalam perumpamaan-perumpamaan Yesus, orang-orang di sekitar-Nya sering mencari solusi praktis dari masalah-masalah fana: kesakitan, kemiskinan, ketidakadilan, dan keinginan untuk bebas dari penjajahan. Namun, Yesus tidak pernah kehilangan tujuan utama dari misi-Nya ke dunia—untuk memberitakan kabar Kerajaan Surga dan pengampunan dosa.

Sebagai orang percaya, penting bagi kita untuk mempertahankan relasi dengan teman-teman yang berfokus kepada Injil, yang tak pernah lelah untuk mengarahkan kita kepada firman Allah meskipun kita berupaya melarikan diri. Ketika dunia menyajikan bagi kita nilai-nilai sementara (seperti: bagaimana berinvestasi, membeli rumah, mencari pekerjaan impian), teman yang berfokus pada Injil akan menolong kita untuk tidak sekar mengejar keinginan atau memberi solusi praktis, tapi juga memberi kita masukan dari sudut pandang Ilahi.

Tiga jenis teman ini kurasa adalah teman yang paling kita butuhkan untuk hadir dalam hidup kita. Mereka bisa saja gagal atau mengecewakan kita, atau kata-kata mereka terasa pedas dan menyinggung, tapi merekalah orang-orang yang Tuhan tempatkan dalam hidup kita untuk bertumbuh bersama-sama.

Aku bersyukur atas teman-teman yang telah menolongku bertumbuh dalam kedewasaan, belas kasihan, dan juga kebijaksanaan untuk menghadapi kegilaan yang hadir dalam menjalani hidup di dunia.

Baca Juga:

Meminta dan Menerima Pertolongan Bukanlah Tanda bahwa Kamu Lemah: Sebuah Pelajaran dari Galon Air

Bianca ialah wanita serba bisa. Dia jarang meminta tolong, ataupun menerima pertolongan. Tapi, pada suatu momen, dia menyadari bahwa selalu menolak pertolongan bukanlah hal yang baik.

Salah Kaprah Tentang Kasih

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Aku pernah jatuh cinta dan begitu mengasihi seseorang. Dia seolah-olah menjadi matahari, pusat dan sumber benderang di tata surya. Lalu, aku memosisikan diriku seperti planet bumi. Tak terlalu jauh, juga tak terlalu dekat. Jika posisi bumi tidak presisi dari matahari, maka pasti kehidupan tak akan ada. Bumi bisa terlampau panas atau dingin. Jika posisi bumi terlalu jauh dari matahari, maka takkan ada kehidupan yang mampu bertahan, kupikir seperti planet Uranus. Sejauh pengamatan para ilmuwan dan bukti-bukti sains, di sana hanya ada es dan bebatuan yang dilapisi lagi oleh es.

Namun…ada suatu masa dalam hidupku ketika aku tidak lagi menjadi seperti bumi yang punya jarak presisi, yang dapat melihat dan merasakan matahari. Aku berubah menjadi seperti planet Uranus yang jauh. Semuanya tandus dan dingin. Lalu, kupaksakan diriku untuk menjadi planet Merkurius. Tapi, jaraknya terlalu dekat. Tak ada apa pun yang bisa hidup karena tiada air dan udara yang terlampau panas.

Kisah di atas adalah analogi keadaanku saat aku tidak menjadikan Tuhan sebagai sumber utama kehidupanku. Relasi yang dimulai dengan hangat dan karib dilanda dengan kekecewaan yang mendalam. Lalu muncullah trust-issue—seolah-olah kekecewaan itu akan terus menghantuiku selamanya, sehingga rasanya aku tak perlu lagi untuk mengasihi orang lain. Aku lantas mengagungkan diriku sendiri dengan menyatakan kalau di dunia ini tidak ada ketulusan selain ketulusan milik diriku sendiriku. Kemudian aku pun menutup diri untuk orang lain, dan membiarkan hatiku yang hancur tidak diobati.

Momen-momen kelam itu mengingatkanku akan perkataan dari St. Agustinus. Kala itu, Agustinus menggambarkan kesedihan karena kematian temannya, Nebridius (buku Confessions IV, halaman 10). Katanya, ‘inilah akibat memberikan hati kita kepada sesuatu atau seseorang selain Allah. Semua manusia akan mati. Jangan biarkan kebahagiaan Anda bergantung pada sesuatu yang dapat hilang dari Anda. Jika cinta itu suatu berkat—bukan penderitaan—ia harus ditujukan kepada satu-satunya Kekasih yang tidak akan pernah mati’ (dikutip dalam buku C.S Lewis, The Four Loves).

Mungkin dari situlah muncul kutipan terkenal, Don’t let your happiness depends on something you may lose. Tapi, jika kita ‘tidak perlu mengasihi’ orang lain dan hanya mengasihi Dia saja, apakah kita tidak akan merasakan sakit hati lagi? Tidak. Bukan itu yang Kristus harapkan pada kita. Mengasihi Allah bukan berarti abai dalam mengasihi sesama. Ketika kita mengasihi, itu berarti kita siap menanggung akibatnya. Kasihilah sesuatu atau seseorang, ada kemungkinan kita akan terluka atau sakit hati. Sengaja atau tidak sengaja, bisa saja seseorang melukai kita. Namun, CS. Lewis mengatakan dalam bukunya, ‘satu-satunya tempat di luar Sorga di mana kita dapat benar-benar merasa aman dari semua bahaya dan gangguan ‘kasih’ adalah neraka.’

Tuhan Yesus sendiri berkata dalam Matius 5:43-33, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Kita akan lebih mendekat dan menempel pada Allah (Abide in Him) bukan dengan berusaha menghindari setiap penderitaan yang akan terjadi akibat dari mengasihi, melainkan dengan cara menerima semua penderitaan akibat kasih, lalu menyerahkan penderitaan itu kepada Dia dan melepaskan semua kecintaan diri yang berlebih. Sebab, “Jika hati kita harus hancur, dan jika Dia telah menentukannya harus demikian, jadilah demikian” (C.s Lewis, The Four Loves).

Tuhan memang tidak pernah mengatakan dalam Alkitab secara spesifik kepada kita bagaimana cara membagikan kasih kita. Entah itu 50 untuk Tuhan, lalu 50 untuk yang lainnya. Atau mungkin 80 untuk Tuhan, lalu 20 untuk manusia dan yang lainnya. Tetapi, yang Tuhan tekankan adalah agar kita menghindari segala jenis kasih yang dapat membawa kita jauh dari pada-Nya.

Jadi, aku belajar bahwa untuk menjadi kuat ketika mengasihi orang lain, bertopanglah lebih dulu pada Kasih yang tidak akan pernah roboh. “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama” (Matius 22:37-38). Aku juga belajar untuk tetap mengasihi meski aku akan menanggung dampak dari mengasihi, seperti yang dikatakan Tuhan Yesus “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22:39)”.

Selamat mengasihi!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Minggu Palma: Menantikan Pemulihan Dunia dalam Doa

Kita mengingat Minggu Palma sebagai momen ketika Yesus masuk ke Yerusalem, tapi momen ini punya makna lain, yakni bayang-bayang akan penggenakan kedatangan Yesus yang kedua dan berdirinya kerajaan Allah di bumi seperti di surga.

Merawat Hati yang Kecewa

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Pertemuan Zoom jadi aktivitas yang biasa kulakukan selama pandemi. Dari sekian banyak Zoom yang telah kuikuti, ada satu sesi yang memberikan kesan di hati. Izinkan kuceritakan sekelumitnya pada tulisan ini.

Di pertemuan Zoom yang diisi dengan sesi sharing, Tabita, kawanku yang baru saja memulai kehidupan berumah tangga mendapat kesempatan untuk berbagi pengalaman dan kegiatan di keseharian selama pandemi. Dia membuka sesi sharing ini dengan bertutur bagaimana dia menghadapi hari-hari berat ketika ayahnya dipanggil pulang ke Surga, hubungannya yang sedang tidak harmonis dengan Eunike, adiknya, juga rencana pernikahannya yang seharusnya diadakan di awal tahun harus ditunda.

Tabitha yang tinggal di Semarang bingung dan kalut ketika mendapat kabar kepergian sang ayah. Di satu sisi dia ingin sesegera mungkin pergi menemui ayahnya, tapi suasananya hatinya campur aduk. Kabar duka yang datang pagi-pagi itu sungguh membuat pikirannya kusut.

Bapak kenapa pergi di saat pandemi Covid-19 merebak ke segala penjuru? Pandemi telah membatasi ruang gerak dan membuat khawatir melakukan perjalanan jauh. Tapi, aku harus pulang. Pulang bertemu Bapak meski hanya akan menjumpainya tertidur kaku. Aku mau protes tapi gimana ya, Kak? Memikirkan semua itu, membuatku hanya bisa menangis seharian.

Suara Tabita tersekat di tenggorokan. Sesaat ia diam, mengambil tisu, dan menghapus air mata yang turun dari matanya. Teman–teman yang ada di ruang Zoom pun tak ada yang berani menyela hingga Tabitha melanjutkan ceritanya.

Aku bingung, haruskah berjalan sendiri–sendiri ataukah mengajak Eunike pulang bersama ke Medan? Kepergian Bapak yang tiba–tiba, membuatku kembali berpikir untuk menyudahi perseteruan antara aku dan Eunike. Sudah terlalu lama sikap dingin dan tak acuh kami bangun untuk membentengi diri kami masing–masing. Tak ada yang mau mengalah dan mencoba mendobrak benteng itu. Aku hanya ingin seperti orang–orang di sekitarku, Kak. Kenapa mereka bisa menikmati hari–hari mereka dengan saudaranya, dan aku tidak?

Perseteruan Tabitha dan Eunike berawal dari salah paham yang tak diselesaikan sehingga berkembang menjadi “permusuhan” yang membuat keduanya tak nyaman satu dengan yang lain. Eunike cemburu pada kakaknya yang selalu mendapat pujian dari orang di rumah karena selalu memberi kabar “baik–baik saja dan tampak senang” meski tinggal jauh dari rumah, kuliah di Semarang. Dalam benak Eunike, hidup merantau itu menyenangkan, tak merepotkan keluarga. Ia tak tahu, Tabitha sebenarnya menghadapi banyak tantangan dan melewati berbagai rintangan untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu agar dapat meringankan beban orang tuanya dengan mencari pekerjaan.

Memulihkan relasi yang retak dengan adiknya menjadi pr besar bagi Tabitha, tapi dia tahu bahwa pengampunan bukanlah hal yang mustahil. “Aku selalu berdoa kak. Pun selalu ingat akan firman Tuhan tentang kasih dan pengampunan. Ternyata, Tuhan itu bekerja ketika kita mau membuka diri,” tuturnya.

Setelah berpikir panjang dia memutuskan untuk mengalah. Dia mulai membuka diri dan mengajak sang adik bicara dari hati ke hati. Jika seandainya keduanya bertahan dengan pikiran sendiri-sendiri, tentu tidak akan ada perubahan sedikit pun. Perbincangan ringan di perjalanan pulang ke rumah di Medan, pelan–pelan merekatkan kembali ingatan pada kebersamaan yang selama ini dibuat menjauh dari kehidupan mereka.

“Aku selalu berdoa, Kak,” ucapan Tabita ini bukanlah ungkapan klise ketika kita menghadapi persoalan. Kita seharusnya tidak pernah lelah untuk berdoa. Setidaknya, jika permintaan kita tidak diluluskan Tuhan, Dia pasti mengubahkan hidup kita. Keadaan yang kita hadapi mungkin tidak berubah, tetapi doa akan lebih dahulu mengubah orang yang berdoa. Sikap hati kita, cara kita memandang keadaan sanggup Tuhan ubahkan kala kita datang pada-Nya. Efesus 3:20 berkata, “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.” Ketika kita berdoa, kita akan melihat perkara-perkara besar yang Tuhan kerjakan.

Satu hal lain yang kupelajari dari kisah singkat Tabita ialah berdoa saja tidak cukup untuk merawat hati yang sedang kecewa. Tidaklah mudah untuk melepaskan pengampunan ketika kita sendiri masih memagari diri dengan ego. Singkirkanlah dahulu perasaan egois dan izinkan Tuhan mengisi hati kita. Tuhan Yesus mengingatkan kita dalam Markus 11:25, “Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seorang, suapaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.”

Menutup sharing dari Tabita, memang ada yang hilang ketika Tabita dan Eunike memulai perdamaian, tetapi ada berkat baru yang Tuhan berikan: kelegaan. Di depan jasad sang ayah, hati mereka berdua luluh. Segala rasa yang selama ini ditahan-tahan, tumpah dalam curhatan panjang hingga mengalirlah kata ‘maaf’ dan ‘sayang’ yang sudah lama tak diungkapkan. Hubungan mereka sejak hari itu mengalami pemulihan yang luar biasa sehingga mereka bisa menikmati hal–hal yang selama ini “hilang”.

Ternyata, semua yang terjadi di kehidupan ini, ada hikmahnya. Tuhan sudah mengatur dengan baik agar kita bisa menjalaninya dengan hati yang lapang meski ada riak – riak dan air mata, percaya saja Tuhan pasti beri yang terbaik.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Studi Alkitab, Yuk!

Karena tubuh kita ini lemah dan berdosa, kita harus rajin melatihnya dan membentuknya semakin kuat melalui disiplin rohani. Nah, salah satunya adalah melalui studi Alkitab mandiri.

7 Strategi Menghadapi Iri Hati

Iri hati adalah dosa dan perasaan yang menguras banyak energi. Ketika kita iri hati, kita kehilangan sukacita dan sulit melihat kebaikan pada sosok orang yang kita banding-bandingkan.

Tiada kebaikan yang bisa kita raih dari memelihara rasa iri, tetapi melenyapkannya pun seringkali terasa susah. Namun, inilah kabar baiknya: firman Tuhan punya jawabannya. Inilah 7 strategi menghadapi iri hati.

Artspace ini diadaptasi dari artikel “Seven Strategies for Fighting Envy” karya Stephen Witmer di Desiringgod.org

Artspace ini didesain oleh Vika Vernanda.

Mengasihi dan Mendoakan Musuh: Antara Perintah dan Kasih

Oleh Antonius Martono

Lebih mudah mana mendoakan atau mengasihi musuh? Mungkin keduanya adalah hal yang sama-sama sulit. Namun, bagiku pribadi dulu, mendoakan musuh terasa lebih mudah daripada mengasihinya. Setidaknya itu yang pernah kualami.

Aku sempat memiliki kepahitan terhadap teman sepelayananku. Saat itu aku melihat dia sebagai orang yang keras kepala dan kurang bertanggung jawab. Selain itu sikapnya yang cuek makin menambah kemarahanku. Berkali-kali aku bicara tentang keberatanku padanya, berkali-kali juga argumen-argumen pembelaan membentengi dirinya. Seolah-olah segala sesuatu baik-baik saja, tidak menyadari kalau sikap dia telah merepotkanku dan rekan sekerja yang lain. Sikap dan perilaku dia telah mengiritasi diriku. Semakin lama aku semakin sulit bekerjasama dengan dia. Aku merasa dia telah menyakitiku dan aku mulai kesal jika hidupnya baik-baik saja.

Dari kekesalan yang semakin hari terus menumpuk itu, muncul niatan buruk di hatiku. Aku ingin dia membayar sakit hati hati yang telah dia torehkan di hatiku. Aku merasa diperlakukan tidak adil jika hidup dia baik-baik saja tanpa dia menyadari kesalahannya. Aku berharap keadilan Tuhan datang kepadanya. Tentu aku tidak ingin dirinya celaka. Aku hanya ingin dia merasa dipermalukan, sadar, dan bertobat dari kesalahannya.

Saat itu aku tahu bahwa sikap hatiku jelas salah. Itu sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan Kristus. Yesus mengajarkan untuk mengasihi dan mendoakan musuh yang telah menyakiti kita. Aku coba melawan sikap hatiku yang buruk itu dengan belajar untuk mendoakan dia. Kudoakan agar dia mendapatkan hidup yang baik. Kata-kata memang keluar dari mulutku tapi, hatiku tidak mengaminkannya. Aku lupa kalau perintah mengasihi dan mendoakan adalah suatu kesatuan. Aku tidak bisa mengasihi musuhku tanpa mendoakannya, demikian juga tidak mungkin aku bisa mendoakannya jika hatiku tidak mengasihinya. Hatiku masih tidak rela jika hidupnya bebas dari pembalasan Tuhan sedangkan aku telah berdarah-darah menanggung sikap-sikap dia.

Jika kuingat lagi pengalamanku ini, aku teringat akan kisah Yunus. Yunus diminta Tuhan pergi ke kota Niniwe untuk memberitakan seruan pertobatan. Walaupun Yunus sempat menolak, akhirnya dia taat dan pergi ke Niniwe setelah Tuhan menyelamatkan nyawanya dengan mendatangkan ikan besar. Pelayanan Yunus telah membuat Niniwe berbalik dari tingkah laku mereka yang jahat dan Tuhan mengurungkan niat untuk menunggangbalikan Niniwe. Namun, Yunus tidak bersukacita atas hal itu. Justru, Yunus kepahitan dengan keputusan tersebut dan kehilangan alasan untuk hidup. Di pinggir kota dia mengeluh dan masih menunggu apa yang akan terjadi terhadap kota itu.

Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia. Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.” Tetapi firman TUHAN: “Layakkah engkau marah?” – Yunus 4: 1-4

Meskipun Yunus taat melakukan perintah Tuhan, tapi hatinya menolak keputusan Tuhan. Yunus berbuat baik kepada Niniwe, meskipun di hatinya yang terdalam dia tetap membenci Niniwe. Jelas Niniwe adalah musuh yang kejam bagi Israel. Menyelamatkan Niniwe sama saja artinya dengan membunuh bangsanya. Yang Yunus inginkan adalah menghabisi musuh Israel, sekalipun dia taat kepada perintah Allah untuk menyerukan pertobatan.

Dalam bukunya The Prodigal Prophet, Tim Keller mengatakan ada sebuah filosofi kuno yang berbicara tentang cinta akan kebajikan. Filosofi itu berkata kita bisa melakukan hal baik dan berguna kepada orang sekalipun kita tidak menyukai mereka. Itu adalah manifestasi dari kekuatan kehendak kita, sehingga kita mampu melakukan aksi cinta kasih sekalipun tidak ada ketertarikan afeksi di hati kita pada seseorang.

Sedangkan, Tuhan mengharapkan lebih dari itu. Lewat peristiwa pohon jarak yang layu karena ulat, Tuhan hendak mengajarkan kepada Yunus untuk memiliki hati yang mengasihi musuh. Jadi, berbuat baik bukan sekadar karena tahu itu adalah hal yang baik, melainkan dimotivasi oleh kasih.

Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” – Yunus 4: 11

Pengalaman Yunus sedikit banyak mencerminkan sikap hatiku juga. Aku mendoakan teman sepelayananku yang kubenci, tapi hatiku menginginkan hal yang buruk baginya. Di permukaan aku seolah sedang menunjukkan perbuatan kasih, sedangkan di kedalaman hatiku, aku membenci temanku. Namun, aku pun tidak bisa segera mengubah hatiku untuk mengasihinya. Itu bukanlah proses semudah membalik telapak tangan. Apa yang aku tunggu tetaplah keadilan ditegakan untukku.

Waktu berlalu dan perlahan Tuhan melembutkan hatiku. Aku mulai menyadari, bahwa sejatinya diriku pun tidak lebih baik dari rekan sepelayananku itu. Keburukan apa yang pernah dia lakukan, aku juga pernah melakukannya. Kalau aku menuntut keadilan terjadi atasnya, bukankah seharusnya aku pun tak luput diadili? Akhirnya dalam doa-doaku aku mengubah fokusku kepada karya salib Yesus Kristus. Di situlah keadilan dan anugerah Tuhan bertemu. Aku gagal mengasihi temanku dan hanya cenderung menginginkan keadilan. Namun, di atas kayu salib kesalahanku dan temanku telah mendapatkan bentuk keadilannya.

Kesalahanku dan temanku telah dihukumkan kepada Kristus. Sedangkan kasih-Nya jelas terpancar bagiku dan temanku. Aku tahu membentuk hati yang mengasihi memang butuh proses. Aku tidak berhenti mendoakan rekanku itu, tapi kini aku tidak lagi berfokus pada rasa sakit hatiku dan perbuatannya melainkan berfokus kepada keadilan dan kasih Tuhan di atas kayu salib. Usahaku lebih banyak digunakan untuk mengingat pengorbanan Yesus ketimbang perbuatan rekanku, yang sebenarnya jika aku pikirkan ulang sekarang, ternyata aku saja yang enggan mengalah dan tidak mau berusaha lebih untuk memahami pribadinya.

Ketika berfokus kepada Kristus aku tidak lagi berbuat baik hanya karena aku tahu itu baik, melainkan lebih dari itu, aku berbuat baik karena hatiku melimpah kasih yang dari pada-Nya. Begitu melimpah sehingga aku tidak bisa menampungnya bagi diriku sendiri.

Semoga Tuhan terus menolong hatiku dan hati kita yang lamban mengasihi ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menghadapi Pandemi: Kita Butuh Lebih Dari Sekadar Berani

Kisah Gideon memberi ketenangan di tengah kekalutanku menghadapi pandemi yang rasanya tak kunjung berakhir. Masa pandemi ini mungkin bisa kita ibaratkan seperti sedang ‘berperang’ melawan musuh-musuh yang tak terkira jumlahnya.

Obat untuk Rasa Kecewa

Sebagai manusia, kita berekspektasi. Kita ingin dimengerti, dikasihi, dan dikukung oleh orang-orang di sekitar kita.

Tapi, ketika keinginan itu terjadi sebaliknya, kita pun kecewa. Kita membanding-bandingkan balasan yang kita dapat dengan aksi yang kita berikan. Atau, tak jarang juga kita menghakimi, menganggap mereka yang telah mengecewakan kita sebagai orang yang kurang peka atau bahkan tidak punya hati.

Kecewa adalah respons alamiah manusia, tetapi berlarut-larut di dalamnya memberi efek yang buruk. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Artspace ini dibuat oleh Agnes Yustivani.

Memaafkan yang Tak Termaafkan

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Suara tembakan tiba-tiba menggemparkan halaman Basilika Santo Petrus, Vatikan. Hari itu, 13 Mei 1981 dalam suasana sore yang cerah, Paus Yohanes Paulus II mengalami peristiwa upaya pembunuhan. Dari kerumunan yang sedang hangat menyapanya, seorang pemuda menembakkan empat tembakan dari senjata semi-otomatis. Paus pun terluka parah. Beruntung melalui pertolongan medis yang sigap, nyawanya terselamatkan. Sementara itu, sang penembak segera dibekuk oleh aparat dan setelah serangkaian proses peradilan, dia dijatuhi hukuman penjara.

Peristiwa itu menjadi berita teror yang menyebar ke berbagai belahan dunia, namun ada kisah menarik yang terjadi setelahnya. Dua hari selepas Natal tahun 1983, Sri Paus yang bernama asli Karol Josef Wojtyla itu menyambangi sebuah penjara. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari penjara yang dikunjunginya itu, tetapi seorang lelaki muda bernama Mehmet Ali Agca mendekam di sana. Mehmed ialah sang pelaku teror, yang dari pistolnya menyambar empat tembakan kepada sang Paus.

“Aku memaafkanmu, sahabat. Aku mengampunimu,” ujar Karol seraya memeluk Mehmed.

Momen singkat nan hangat tersebut membuat dunia terkesima. Seorang pelaku kejahatan yang seharusnya tidak terampuni malah mendapatkan pengampunan. Alih-alih mengutuki si pelaku, Karol meminta agar umat berdoa bagi Mehmet. Tindakan Karol menggemakan kembali teladan sempurna yang sudah lebih dulu ditunjukkan oleh Yesus, ketika Dia mengampuni orang-orang yang telah menganiaya-Nya.

Sulitnya memaafkan

Memaafkan pada kenyataannya bisa jadi tindakan yang sangat sulit. Memaafkan tak semudah mengucap “aku memaafkanmu”. Memaafkan adalah sebuah tindakan yang melibatkan proses rumit, yang untuk mengucapkannya kita perlu mengorek kembali segala memori dan luka hati, dan menerimanya sebagai bagian dari perjalanan hidup kita. Saat pasangan mengkhianati kepercayaan kita, saat orangtua yang seharusnya mengayomi kita malah menghujani kita dengan kekerasan fisik, saat kita ditipu oleh orang lain, atau saat kita pernah dipermalukan dan dirundung yang berakibat kita mengalami trauma mendalam. Siapa pun yang pernah atau sedang menderita luka hati yang besar tahu, bahwa ketika batin kita tercabik-cabik, akan sangat sulit untuk tidak membenci dan menaruh dendam pada orang yang telah bersalah pada kita. Memaafkan itu sulit, setidaknya dari penelusuranku ada tiga alasan yang menyebabkannya:

Pertama, memori kita cenderung memikirkan masa lalu yang pahit, yang menghantui kita. Memori kita terampil dalam mengenang rasa sakit yang diakibatkan oleh tindakan atau kata-kata, yang pada akhirnya menjebak kita hidup dalam bayang-bayang momen pedih tersebut. Akibatnya, sulit bagi kita untuk move-on. Berbagai upaya untuk lepas dari masa lalu menjadi mandek. Malahan, kenangan buruk tersebut semakin terbayang-bayang, yang berujung pada semakin jauhnya kita dari kebesaran hati untuk mengampuni.

Meski mungkin terkadang mengampuni itu sulit, namun Yesus mengatakan sesuatu tentang pengampunan, ketika Petrus bertanya, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku?”, Yesus menjawab dengan tegas, “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Matius 18:21-22).

Pengampunan adalah sebuah proses. Ibarat menyembuhkan luka hingga menutup sempurna yang membutuhkan perawatan, demikian juga dengan pengampunan. Setiap upaya dan doa kita untuk melepas pengampunan ibarat obat yang membalut luka-luka di hati kita.

Kedua, seringkali ketika kita terjebak dalam memori pahit, amarah hadir dan berakibat kita menjadi kurang mampu mengendalikan diri. Gejolak emosi yang membuncah saat kita marah bisa begitu kuat dan membutakan mata batin kita, sehingga memaafkan menjadi opsi terakhir yang muncul di pikiran kita. Tentu rasa marah tersebut adalah wajar karena kita ada di posisi benar dan teraniaya, tetapi tanpa kita sadar kemarahan yang tidak terkendali itu ibarat bensin yang menjadikan api dendam semakin membara.

Ketiga, kita mungkin enggan memaafkan karena kita takut disakiti lagi. Akibatnya, kita membuang jauh-jauh pilihan untuk rekonsiliasi. Kita membangun tembok pemisah yang tak mampu ditembus, dan kita mendekamkan diri di dalam bilik luka batin. Secara psikologis, ini adalah mekanisme pertahanan diri yang secara natural dikembangkan oleh manusia untuk mencegah hati mereka dari cedera kembali.

* * *

Kita tidak menampik, sebagai manusia yang penuh keterbatasan ketiga alasan di atas mungkin kita rasakan pula. Namun, hendaklah kita tidak lupa bahwa di balik keterbatasan kita ada Allah yang tiada terbatas, yang telah menunjukkan pada kita bahwa pengampunan dan kasih adalah berasal dari-Nya. Yesus telah mengulurkan belas kasihan kepada mereka yang telah merugikan-Nya, mendekap mereka yang tak layak, yaitu kita sekalian, ke dalam kehangatan kasih-Nya yang memerdekakan kita dari belenggu dosa dan kutuk.

Teladan yang telah ditunjukkan oleh Yesus tidak berarti kita menyangkal kenyataan bahwa ada orang yang melukai kita, atau berpura-pura seakan semuanya baik-baik saja, tetapi dari teladan Yesuslah kita belajar untuk memahami bahwa pengampunan adalah sikap hati yang benar dalam menghadapi situasi yang menyakitkan.

Melalui pengampunan, Yesus memberi kita kelepasan penuh dari hukuman dosa. Kitab Suci mengatakan, “Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu…telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib” (Kolose 2:13-4).

Mengampuni adalah panggilan bagi semua murid Kristus untuk mengikuti teladan-Nya. Ini bukanlah tentang perkara sulit atau gampang, tetapi adalah sebuah perjuangan, karena kita diajak untuk melawan sifat alamiah kita yang cenderung menyimpan kesalahan orang lain dan memupuk dendam.

Ketika kita bersedia diproses-Nya untuk memaafkan, tanpa kita sadari secara psikologis itu dapat membantu kita meningkatkan harga diri dan memberikan kekuatan dan rasa keamanan batin. Mengampuni dapat menyembuhkan luka-luka kita dan memungkinkan kita melanjutkan hidup dengan makna dan tujuan. Ada pula penelitian yang mengatakan bahwa dengan mengampuni, kita bisa mengurangi depresi, kecemasan, kemarahan, dan sederet emosi negatif lainnya. Tetapi, yang perlu kita ingat: kita tidak memaafkan hanya demi menolong diri kita sendiri, melainkan kita memaafkan karena itu adalah respons otentik kita kepada kasih Allah yang telah lebih dahulu mengampuni kita. Seperti nasihat Kitab Suci, “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kolose 3:13).

Secuplik kisah Karol, sang Paus yang memaafkan orang yang hendak membunuhnya menjadi salah satu contoh nyata dari aksi ‘memaafkan yang tak termaafkan’. Di dunia yang diwarnai oleh dendam dan kebencian, hendaklah kita menabur kasih dan pengampunan.

Allah Bapa melalui kasih Kristus kiranya memampukan kita untuk mengampuni orang-orang yang ‘tak terampuni’ dalam hidup kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Secuplik Mitos tentang LDR

Banyak survey bilang bahwa pasangan LDR lebih berisiko mengalami kandasnya hubungan. Tetapi, itu tidak selalu berarti bahwa LDR adalah bentuk relasi yang buruk. Yuk kenali mitos-mitos apa saja yang sering muncul tentang LDR.

Secuplik Mitos tentang LDR

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Ketika memutuskan untuk menjalin relasi jarak jauh (LDR) dengan pacarku, kurasa perjalanan kami akan terasa mudah. Kami sudah enam tahun saling kenal sebagai teman dekat, kerja kelompok bersama-sama, bahkan satu kelompok dalam mengerjakan mata kuliah puncak di semester akhir kuliah. Jarak kupikir tidak jadi kendala karena kami sudah cukup saling mengenal.

Tetapi, menjalin relasi baik terpisah secara jarak atau tidak menyajikan tantangannya tersendiri. Pasangan LDR punya pr lebih karena pertemuan fisik tidak bisa dilakukan sesering mereka yang tinggal satu kota. Survey-survey bilang bahwa pasangan LDR lebih berisiko mengalami perselingkuhan, kebosanan relasi, atau bahkan kandas di tengah jalan, tetapi itu tidak selalu berarti bahwa LDR adalah bentuk relasi yang buruk, terlebih di zaman modern ini.

Aku bukanlah ahli dalam bidang relasi, tetapi perjalananku berelasi jarak jauh selama dua tahun mengajariku banyak hal, salah satunya adalah mitos-mitos yang dipercaya orang tentang LDR.

1. Sekarang kan teknologi sudah canggih, tidak harus bertemu muka, video-call saja cukup

Berelasi jarak jauh di abad ke-21 jauh lebih nyaman ketimbang seabad sebelumnya di mana Internet dan HP belum ditemukan. Atau, jika seabad lalu terasa jauh, bayangkanlah kita menjalin LDR di tahun 2000-an awal ketika ingin berkomunikasi harus antre di wartel, atau membeli pulsa telepon yang harganya masih selangit. Sekarang, segala kesulitan itu tidak lagi kita jumpai. Meski terpisah jarak, kita bisa berkomunikasi nyaris kapan saja dan di mana saja. Pesan via aplikasi chat dapat dikirim dan diterima secara real time. Juga dengan kecepatan internet yang makin tinggi, video call menjadi semakin mudah tanpa perlu pusing karena suara yang putus-putus atau gambar yang buram.

Tetapi, meskipun perangkat teknologi menyajikan komunikasi yang tidak terbatas pada jarak, tetap ada kelemahan di dalamnya. Teori komunikasi menyatakan bahwa komunikasi tatap muka adalah bentuk komunikasi terbaik. Dalam komunikasi tatap muka, kita dapat menangkap lebih dari sekadar pesan verbal. Kita dapat melihat mimik wajah, gerakan tubuh, dan jalinan perasaan yang lebih kuat. Kehadiran secara fisik adalah kehadiran yang tak tergantikan oleh medium mana pun. Dan, satu hal lainnya adalah mengupayakan hadir secara fisik tentu memberikan nilai pengorbanan yang lebih.

Namun, meskipun komunikasi tatap muka adalah bentuk komunikasi terbaik, kita tidak perlu memaksakannya setiap waktu. Kita dapat menetapkan kesepakatan per berapa lama kita akan saling bertemu. Dalam relasi kami, kami bersepakat untuk bertemu setiap dua bulan dengan memikirkan beberapa pertimbangan. Tetapi, seperti ketika pandemi Covid-19 melanda dan pertemuan fisik menjadi berisiko, kami pun kembali berdiskusi untuk menemukan cara yang tepat dan bijak untuk kami tetap dapat saling terhubung.

2. Komunikasi tanpa putus, harus mengobrol serius setiap hari

Awal-awal kami masuk dalam fase pacaran, kami berupaya membangun kedekatan seintens mungkin. Tetapi, seperti kata pepatah bahwa yang berlebihan tidaklah baik, demikian juga dengan memaksakan durasi dan frekuensi komunikasi tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang ada. Kami pernah berada di fase di mana menelepon setiap hari dengan durasi di atas satu jam. Akibatnya, dalam beberapa bulan kami kelelahan secara fisik dan mental. Topik pun keburu habis dibahas. Alih-alih menjadi erat, kami malah menjadi renggang.

Aku lalu mendapati sebuah wejangan bijak dari seorang praktisi relasi yang berkata, take it slow to make it last. Atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti, dibuat santai supaya awet. Wejangan tersebut ada benarnya. Memaksakan durasi telepon menjadi tiap hari, berjam-jam, dan membahas topik-topik serius (semisal: rencana pernikahan, dsb) membuat kami luput akan apa yang sejatinya kami butuhkan. Manusia membutuhkan waktu tak cuma untuk berkomunikasi dengan pasangannya, tetapi juga dengan keluarganya, sahabatnya, diri sendiri, juga dengan Tuhan!

Lagi-lagi, yang dibutuhkan di sini adalah kesepakatan dan saling pengertian. Kami lalu saling mengevaluasi area manakah dalam hidup kami yang terabaikan dalam upaya kami membangun kedekatan. Setiap pasangan punya kesepakatannya masing-masing. Aku dan pacarku bersepakat untuk menelepon sekitar dua hari sekali, saat tidak sedang sibuk, atau memang jika keadaan memungkinkan saja. Di sini kami belajar untuk saling percaya. Dan, puji Tuhannya, relasi kami jadi membaik. Kami punya waktu untuk bersaat teduh, bekerja lembur, quality time bersama kawan dan keluarga, atau sekadar me-time untuk merelaksasi diri.

3. Jangan terlalu percaya, harus selalu ada curiga

“Memangnya kamu yakin dia pasti jujur? Kan nggak ada yang tahu kalau dia bakal bohong”.

Seperti disinggung di awal, LDR dianggap sebagai bentuk relasi yang berisiko, terkhusus dalam hal kehadiran orang ketiga. Kesadaran akan risiko ini biasanya menimbulkan bibit-bibit kecurigaan yang sadar atau tidak terselip dalam relasi sehari-hari. Pasangan menjadi cemburu dan melontarkan kata-kata menyindir, melarang-larang, atau pihak tertuduh lantas menjadi emosi atau mengarang alasan-alasan palsu.

Yang perlu kita pahami, meskipun jarak memberikan risiko yang lebih tinggi, ketidakjujuran adalah pilihan yang berasal dari diri sendiri. Hampir tidak ada kaitannya dengan jarak yang membentang. Ketika seseorang sudah memiliki itikad untuk tidak jujur, tanpa adanya jarak fisik yang membentang sekalipun, dia bisa melakukannya. Dunia biasanya memberikan saran berupa letakkanlah sedikit curiga, jangan percaya sepenuhnya pada pasanganmu, dan sebagainya. Tetapi, dalam relasi antara dua anak Tuhan, kepercayaan adalah hal yang harus selalu ada. Dan, tugas dari pasangan itu adalah saling memelihara kepercayaan tersebut. Bibit-bibit kecurigaan yang kita pelihara bisa bertumbuh dan mewujud ke dalam bentuk hilangnya rasa percaya, perubahan nada dan cara bicara, hingga spekulasi-spekulasi yang bukannya mengarahkan kita pada solusi tetapi malah membawa kita ke dalam jurang konflik yang dalam.

Memelihara kepercayaan datang dari meletakkan relasi tersebut sebagai relasi yang kudus dan penting bagi Allah. Kolose 3:23 mengatakan apa pun yang kita perbuat, perbuatlah itu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kurasa prinsip ini juga dapat berlaku dalam hal relasi, tentang bagaimana kita memperlakukan pasangan kita sebagai pelayanan kita juga terhadap Allah. Ketika kita berlaku jujur, mengasihi, dan juga menjaga kekudusan dengan dan kepada pasangan kita, itu berarti kita sedang menghormati dan melayani Allah.

* * *

Aku yakin ada banyak mitos lainnya yang kita pernah percayai terkait LDR atau juga berpacaran pada umumnya. Setiap relasi, baik itu LDR atau tidak, memiliki tantangannya masing-masing. Tetapi, yang paling penting dalam menjalaninya adalah bagaimana kita dapat memelihara komitmen dan memuliakan Allah di dalamnya.

Setiap manusia telah jatuh ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Ketika dua orang berdosa memutuskan untuk berelasi, tidak ada relasi yang sempurna. Oleh karena itu, sebuah relasi yang bertahan dan berjalan baik bukanlah relasi yang tanpa konflik dan kecewa. Hal-hal yang menyakitkan hati mungkin akan terjadi, tetapi yang terpenting adalah kedua belah pihak menyadari bahwa mereka membutuhkan anugerah Allah setiap hari dalam relasi mereka, dan melibatkan-Nya untuk hadir, berjalan, dan memimpin relasi tersebut untuk mencapai tujuan mulia-Nya.

Mitos atau pengalaman LDR apakah yang kamu alami? Yuk bagikan juga di kolom komentar.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Cerpen: Setoples Nastar di Pergantian Tahun

Lelehan mentega, bercampur sirup gula dan serbuk vanilla tercium semerbak. Malam ini Chesa membuat nastar untuknya dan kedua adiknya.

Keluar dari Pekerjaan Lama, Tuhan Memberiku Pengalaman Baru

Oleh Handiani, Semarang

Tahun 2020 adalah tahun yang penuh turbulensi bagiku. Selain pandemi yang merebak, nasib pekerjaan yang kutekuni selama tiga tahun ke belakang pun berada di ujung tanduk. Ada kabar yang beredar bahwa kantorku tidak akan memperpanjang kontrak kerjaku. Kabar ini—kendati belum diketahui kepastiannya—membuat hatiku tidak tenang. Keluar dan mencari pekerjaan baru rasanya jadi pilihan yang sulit.

Aku ingat momen-momen ketika dulu aku masih menjadi seorang job-seeker. Proses mengirim berkas lamaran, mengikuti psikotes, dan wawancara adalah proses yang menyita waktu, tenaga, dan juga uang, apalagi jika itu semua harus dilakukan di luar kota. Atas dasar pengalaman itulah aku merasa ragu. Keluar dan mencari pekerjaan baru berarti mengulangi semua proses itu dari nol. Itu pun belum ditambah dengan proses beradaptasi di kantor baru.

Tetapi, keputusan mau tidak mau harus dibuat. Sembari menanti jawaban final dari kantorku mengenai status pekerjaanku, orang-orang terdekatku memberiku beberapa saran. Tetap bersemangat mencari lowongan pekerjaan baru, atau mencoba hal baru, yaitu wirausaha. Opsi kedua terdengar baik, tetapi menantang. Aku tidak punya pengalaman berjualan sebelumnya, tetapi keluargaku malah mendukung opsi ini. Mereka beralasan, jika aku bisa membuka usaha di kotaku sendiri, aku bisa tetap dekat dengan orang tuaku.

Dalam doa, kututurkan pada Tuhan dua opsi tersebut, sebab aku sendiri tidak tahu mana yang paling tepat buatku. Aku masih mengupayakan opsi pertama. Aku mengirimkan banyak lamaran di banyak kota. Pergi dari satu kantor ke kantor lain untuk memenuhi panggilan tes dan wawancara. Hingga akhirnya, jawaban final dari kantorku pun diumumkan: kontrakku tidak dilanjutkan. Kecewa juga khawatir muncul dalam hatiku karena saat itu aku masih belum mendapatkan pekerjaan baru. Tetapi, syukur kepada Allah, dalam momen-momen penuh ketidakpastian itu, Dia menganugerahiku ketenangan dan optimisme. Aku yakin tiga tahun pekerjaanku di situ tentu ada pengalaman yang bisa kupetik, dan pengalaman itu bisa jadi bekal untukku melangkah selanjutnya.

Dituntun ke dalam pengalaman baru

Setelah berdoa dan berdiskusi dengan keluargaku, aku memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan baru, tetapi menciptakan lapangan kerja baru dengan berwirausaha. Aku tahu bahwa ide ini terasa menantang. Bagaimana caranya seorang pengangguran bermimpi menciptakan lapangan kerja bagi orang lain di saat dia sendiri membutuhkan pekerjaan? Tetapi, di sinilah Tuhan pelan-pelan menuntunku masuk ke dalam pekerjaan-Nya yang ajaib.

Berbekal tabunganku dan dukungan dari keluarga, aku memulai sebuah bisnis kuliner skala mikro. Segala persiapan dilakukan, mulai dari menentukan tempat, membeli alat-alat, hingga merekrut karyawan. Karena modal yang tidak besar, di awal-awal usaha ini dirintis aku sendiri ikut terjun melayani pembeli. Suasana yang berbeda drastis. Jika dahulu aku bekerja menikmati dinginnya udara AC, kini ditemani gerah dan udara panas dari penggorengan. Aku belajar menggoreng ayam, menyapa pembeli, mengatur strategi promosi, hingga mendaftarkan produk kulinerku ke aplikasi ojek daring.

Sempat ada momen ketika aku merasa takut gagal. Dengan modal serta pengalamanku yang terbatas, aku ragu apakah usahaku ini bisa survive dan meraih untung. Tapi kemudian aku ingat, bahwasannya sekalipun aku gagal, Tuhan tidak pernah gagal. Dia tentu tetap mencukupkan kebutuhanku dan menuntunku ke dalam rencana-Nya. Yang perlu kulakukan adalah melakukan pekerjaan tangan yang tersedia di depanku dengan sepenuh hati.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan berlalu, bisnis kulinerku rupanya bertahan. Pelan-pelan mulai ada keuntungan yang meskipun secara nominal tidak fantastis, tetapi membuatku bersyukur dalam hati. Tuhan sungguh mencukupkan segala kebutuhanku. Bisnis ini pun menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk memberkati orang lain. Di saat pandemi yang mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan, aku dapat mempekaryakan karyawan-karyawan baru meskipun jumlah mereka hanya hitungan jari.

Hari ini aku menyadari bahwa inilah pekerjaan baru yang Tuhan inginkan untukku. Tuhan tidak menjawab ketakutanku dengan mengabulkan keinginan hatiku, karena Dia tentu lebih tahu mana yang lebih baik bagiku. Dia menuntunku melewati jalan setapak yang dipenuhi kekhawatiran, dan tuntunan-Nya itulah yang memberiku ketenangan.

Rencana Tuhan itu selalu baik dan indah pada waktu-Nya jika kita percaya kepada-Nya seperti yang kitab Amsal tuliskan: “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Amsal 3:5-6).

Usaha pekerjaanku belumlah selesai. Bukan tidak mungkin pula akan ada badai yang menggoyahkan, tetapi kebenaran yang bisa aku pegang adalah: bersama Allah yang menyediakan, aku tidak perlu takut.

Jika kamu mengalami pergumulan serupa sepertiku, aku berdoa kiranya bimbingan Tuhan memberikan ketenangan dalam hatimu dan Dia menuntunmu menuju pekerjaan atau profesi yang membuatmu bertumbuh kepada tujuan-Nya yang mulia.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menghadapi Penderitaan Tidak dengan Tawar Hati

Profesiku sebagai dokter membuatku tidak asing dengan kesakitan dan penderitaan yang dialami para pasien. Tak cuma para pasien, setiap kita pun mengalami penderitaan. Bagaimana agar kita tegar menghadapinya?