Posts

Untukmu yang Sedang Melewati Lorong Gelap

Oleh Yessica Anggi, Surabaya

Lorong gelap.

Itulah istilah yang kusematkan pada suatu masa ketika jalan hidupku terasa kelam. Aku pernah mengalami depresi, hilang tujuan hidup, dan kesepian. Aku tahu aku tidak bisa menyimpan semuanya sendirian, jadi kucoba untuk bercerita ke orang lain. Namun, saat itu bukannya dukungan yang kurasakan, malah penghakiman.

Kementrian Kesehatan mendefinisikan depresi sebagai sebuah penyakit yang ditandai dengan rasa sedih berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan dengan senang hati. Secara sederhana, depresi dapat dikatakan gangguan kesehatan mental yang mempengaruhi perasaan, cara pikir, dan cara bertindak.

Pengalamanku dengan depresi terjadi sebagai dampak dari mengalami penolakan yang berujung kekecewaan, kegagalan dalam karier yang memaksaku memulai perjalananku dari awal lagi, juga kesepian. Aku pernah memiliki ekspektasi yang sangat tinggi buat hidupku. Aku harus jadi seperti teman-temanku yang pekerjaannya sudah lebih stabil. Soal hubungan pun aku mengatur diriku dengan ketat tanpa melihat sejauh mana kesiapan diriku. Ketika akhirnya aku terjatuh, mencari pertolongan dari orang lain terasa menakutkan karena aku takut respons mereka malah menambah rasa sakit di hati.

Sejak tahun 2022 aku bergumul dengan perasaan depresi ini, namun pelan-pelan Tuhan memberikan kedamaian hati. Dalam pekerjaanku sehari-hari di klinik perawatan pasien kanker, aku ditegur melalui cerita-cerita dari banyak pasien yang berobat. Mereka bertutur tentang beratnya perjuangan untuk bertahan dan tetap hidup. Ada seorang pasien yang bilang begini, “Aku tidak boleh nyerah, karena kehidupan yang diberikan kepadaku bukanlah kehidupan yang murah. Aku punya misi dan tugas yang belum selesai. Hidupku berharga.” Bukan hanya kata-kata itu saja yang membuatku tertegur, namun pasien itu juga mendonorkan kornea matanya! Salah satu tujuan hidupnya adalah dia ingin orang lain yang tidak bisa melihat dapat melihat indahnya dunia ini. Dengan mendonorkan korneanya, dia berharap walaupun nanti dia telah tiada, dia masih bisa menjadi berkat buat orang lain.

Cerita dan pertemuan dari orang-orang yang berjuang begitu hebat, yang tak cuma merasakan sakit di perasaannya, tapi juga di seluruh tubuh fisiknya menjadi cara Tuhan untuk membalut luka hatiku dan membuka pandanganku lebih luas. Adalah betul jika segala kepahitan hidup memaksaku masuk ke dalam lorong gelap yang panjang, tetapi imanku menolongku untuk tahu dan percaya bahwa lorong gelap itu tidak abadi. Di ujungnya, ada satu Sosok yang dalam terang-Nya menantiku untuk menikmati persekutuan erat dengan-Nya. Tuhan memberiku pemulihan meskipun semua masalah belum selesai. Saat ini aku telah bekerja kembali dan sesuai dengan janji-Nya, bila kemarin Tuhan menolongku, hari ini pun Dia akan menolong. 

Ada satu lagu yang liriknya menguatkanku.

Tuhan, Engkau memilihku
Sebelum ‘ku ada
Jemari-Mu yang menenunku
Serupa gambaran-Mu

Di saat “depresi”, pasti jalan yang kita lalui akan terasa seperti lorong gelap, namun lirik lagu itu mengajak kita untuk menyadari bahwa di balik kelamnya hidup, Tuhan merencanakan hidup yang indah dan baik buat kita. Tuhanlah yang memilihku untuk tujuan yang mulia sebelumku lahir.

Sekarang aku tahu bahwa ketika setiap orang dapat jatuh dalam depresi, kita dapat menyerahkan hidup kepada Sang Pemilik Hidup. Inilah keputusanku di tahun ini. Aku belajar untuk melepaskan kehendakku dan belajar bahwa kecewa, kesepian, dan sakit hati mungkin akan kembali kurasakan di masa depan, namun Tuhanlah yang pasti mengobatinya. Kadang kita dihancurkan untuk dibentuk kembali oleh-Nya.

Apabila hari ini ada di antara kamu yang sedang bersusah hati, aku berdoa agar Tuhan menolongmu dan memberimu damai sejahtera sebagaimana dulu Dia menolongku. Tuhanlah tempat yang tepat untuk kita datang dan menyerahkan semua beban kita.

God bless you!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Dibelokkan Dulu, Supaya Menemui Jalan Lurus

Oleh Prilia

Masih jelas kuingat, masa-masa ketika banyak energi dan emosi terkuras demi masuk kampus negeri impianku. Dengan segala persiapan dan rencana yang sudah kususun matang, aku yakin betul kalau aku pasti diterima. Tapi, hidup memang tak bisa ditebak. Keyakinan itu pupus, digantikan rasa kecewa dan patah hati yang rasa sakitnya buatku lebih pedih daripada putus cinta. Waktu itu kupikir semua usahaku sia-sia. 

Semenjak menduduki bangku SMA, aku sudah menargetkan jurusan dan universitas yang akan kupilih. Dan ketika sudah kelas 3 (SMA), aku mendaftarkan nilai raporku pada undangan PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Sayangnya, aku gagal dalam undangan tersebut. Aku tidak sedih atau pun kecewa saat itu, toh masih banyak cara untuk masuk PTN, pikirku. Kemudian aku ingin mengikuti tes tulis masuk PTN. Namun, keadaan ekonomi keluarga membuatku berpikir kembali. Kalau aku diterima masuk PTN, selanjutnya bagaimana? Sanggupkah orang tuaku membiayai kuliahku selama 4 tahun?

Obsesiku untuk masuk kampus negeri muncul sejak aku duduk di bangku SMA. Aku sudah menargetkan prodi dan universitas mana yang mau kupilih. Saat aku naik ke kelas XII, kucoba ikut jalur undangan, tapi sayangnya aku gagal. Aku masih optimis, toh masih banyak cara lain, pikirku.

Ditunda dan diputar, tapi demi kebaikan

Namun, rasa optimisku kemudian berbenturan dengan keadaan. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Usia orang tuaku yang sudah cukup tua membuat mereka tidak lagi bekerja. Kebutuhan sehari-hari dibiayai oleh kedua kakakku yang lulusan SMA. Dengan kondisi ini, aku jadi berpikir lagi. Kalau aku memang bisa diterima, selanjutnya gimana? Aku tidak enak jika harus membebani keluarga. Meskipun aku bisa meraih beasiswa buat uang kuliahku, bagaimana dengan biaya lain-lainnya? 

“Tuhan, aku bingung,” ucapku dalam doa. “Aku mau banget kuliah. Aku mau buat bangga mama dan bapak. Tolong aku, Tuhan.” 

Doa itu dijawab Tuhan, tapi dengan jawaban yang lain. Setelah lulus SMA, aku pun memutuskan untuk bekerja lebih dulu sebelum nantinya mengambil studi. Dari gajiku itu, aku bisa menabung untuk biaya les SBMPTN dan biaya kuliah kelak. Meskipun sudah satu tahun lebih bekerja, tekadku untuk kuliah tidak pernah luntur. Setelah kurasa punya cukup modal, di tahun kedua kerja pasca lulus SMA, kuikuti seleksi masuk PTN. Kuambil cuti kerja 2 hari supaya bisa ikut tes dan mempersiapkannya dengan maksimal. Selama tes berjalan, aku yakin bisa menjawab banyak pertanyaan dengan benar. Aku optimis pasti lolos. Beberapa hari kemudian hasil pengumuman tes tulis itu keluar.

Aku sudah menabung, sangat siap untuk melepaskan pekerjaan jika dapat universitas negeri. Namun, harapanku sirna. Aku tidak lolos. 

Terkejut, kecewa, patah hati, sampai aku terdiam sekian lama dan tak bisa berkata apa-apa. 

Aku coba refresh lagi pengumuman hasil tes tulisku di situs SBMPTN, namun hasilnya tak berubah. “JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT!” Tulisan ber-font besar di layar komputer kantor yang harusnya memotivasiku itu, kupandang sebagai bentuk kegagalan dan kesia-siaan atas usahaku.

Aku luruh, tidak dapat menahan tangis di meja kantor. “Aku sudah mengorbankan banyak hal. Waktu, materi, pikiran, tenaga, dan banyak lagi. Tapi kenapa aku tidak lolos? Ini impianku sejak lama. Hasil ini rasanya tidak adil!” Aku menggugat Tuhan. 

Berhari-hari aku memikirkan hal ini. Tidak ada lagi harapan masuk universitas negeri karena batas waktuku melakukan tes tulis sudah habis, dan umurku juga sudah bukan lagi umur anak SMA yang baru lulus. Dalam kesedihan itu, aku berusaha untuk ikhlas. Dukungan orang tua yang menenangkan juga membantuku kembali bangkit. Jauh di lubuk hati, keinginanku untuk kuliah masih ada. Kakakku dan rekan-rekan di tempat kerjaku pun mendukung keinginanku itu, tapi mereka mengusulkanku untuk mengambil ospi lain, yaitu kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS).

Kata mereka, meskipun kuliah di PTS biayanya lebih besar daripada di PTN, tapi ada kampus yang menyediakan opsi kelas karyawan. Jadi, sembari kuliah, aku tetap bisa bekerja. 

Saran itu kupertimbangkan dan kurasa baik. Kuputuskan untuk kuliah di PTS dan mengambil kelas karyawan. Pagi hingga sore aku bekerja, malamnya lanjut kuliah. Kupilih satu universitas di Jakarta yang akreditasinya baik, biaya dan lokasinya terjangkau buatku. 

Hari-hariku menjalani kuliah sembari bekerja rupanya perlahan menyadarkanku akan penyertaan dan rencana Tuhan padaku.

Aku bersyukur, HRD kantorku mendukungku untuk kerja sambil kuliah. Kalau ada ujian semester di jam kerja, beliau memberiku izin. Dosen-dosen pengajarku juga memahami keadaan mahasiswa yang terlambat masuk kelas karena jam pulang kerja tiap perusahaan berbeda. Teman-teman kuliahku yang bekerja di beragam perusahaan juga memberiku banyak wawasan baru dari pengalaman mereka. Di sinilah aku mulai menikmati perkuliahanku. Orang-orang yang kutemui turut membentuk pola pikirku jadi lebih dewasa. Dalam hal ini, aku percaya, lingkungan dapat membawa pengaruh pada seseorang.

Satu hal lagi yang membuatku semakin bersyukur kuliah di universitas swasta. Aku mendapatkan potongan biaya semester 20% karena nilai IPK yang baik, serta mendapatkan beasiswa selama dua tahun. Meskipun pada tahun ketiga perusahaanku mengurangi jumlah karyawan, dan aku pun kehilangan pekerjaanku, namun ada saja cara Tuhan menopangku. Tuhan menggerakkan hati saudaraku untuk mendukung biaya studiku sampai lulus. Di sinilah aku mengalami betul apa yang kuimani, bahwa jika Tuhan mengantarku pada suatu perjalanan, Dia pasti memastikan aku tiba di tujuan. Berkat demi berkat yang kuterima membuatku menangis bersyukur karena meskipun jalanku berbelok dan berputar jauh, ternyata Tuhan begitu memperhatikan keadaanku.

Rencana Tuhan tak pernah terbayangkan di benakku. Begitu banyak hal-hal berharga yang kudapat dari-Nya. Dari sini aku belajar bahwa tiap rencana yang sudah kususun dengan matang, bahkan dengan perjuangan keras, adalah upaya yang Tuhan berkati. Meskipun tidak semua upaya kita menjumpai hasil yang sesuai dengan keinginan kita, namun dalam hikmat-Nya, Tuhan pasti dan selalu memberikan yang terbaik buat kita. Rencana Tuhan luar biasa, kadang di luar akal manusia. 

Kawan, jika saat ini ada rencanamu yang tak berjalan mulus, atau kamu mengalami kegagalan, percayalah kalau jalan yang Tuhan rencanakan adalah jalan yang membawa kebaikan untuk hidupmu. Percayalah, Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu dan tak ada rencana-Nya yang gagal (Ayub 42:2).

Ingatlah, yang paling tahu apa yang terbaik bagi kita bukanlah diri kita sendiri, tapi Tuhan Allah, Sang Pencipta yang begitu mengasihi kita. Dan biarlah setiap pengalaman hidup yang kita lalui dapat menjadi bukti bahwa begitu besar dan dahsyat-Nya kasih Tuhan kepada kita. Aku percaya, Tuhan melihat segala hal yang terjadi. Dia mengerti, dan Dia peduli.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Merengkuh Teman Bernama Kegagalan

Kita mungkin pernah berada di posisi serba salah—dituntut ini itu, tapi malah gagal dan kita merasa berada di jalur yang salah. Namun, dari keadaan rumit inilah justru kita bisa mengenal siapa sumber kekuatan kita dan percaya segala sesuatu mendatangkan kebaikan 😇

Artspace ini didesign oleh Shania Vebyta Ananda dan diadaptasi dari artikel karya Tabita Davinia Utomo.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Tipe Teman yang Kita Semua Butuhkan

Oleh Alwin Thomas
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Types of Friends We All Need

Friends, How I Met Your Mother, The Big Bang Theory—itulah sedikit dari tontonan favoritku. Aku pernah membayangkan bagaimana asyiknya tinggal bersama teman-teman dekat di satu apartemen, seperti yang dikisahkan di film-film. Kami bisa nonton bareng, main game bareng, juga curhat tentang segalanya. Impian yang menyenangkan!

Impian itu jadi kenyataan ketika aku pindah ke luar negeri untuk kuliah. Aku tinggal di semacam apartemen khusus mahasiswa. Tapi, meski impian tinggal bersama teman-teman itu terwujud, realitanya tidak semua impian itu menyenangkan. Sepanjang waktu kuliahku, aku mengalami beberapa kejadian sakit hati, pengkhianatan, dan kekecewaan.

Aku yakin kita semua pernah mengalami relasi yang rusak. Mungkin pengalaman inilah yang mempengaruhi pandangan kita kalau mempertahankan pertemanan yang sejati dan dalam itu mustahil dan menyusahkan. Tapi, Alkitab memberitahu kita sebaliknya.

Ada beragam jenis pertemanan yang diceritakan Alkitab, dan tidak semuanya hangat dan menyenangkan. Tapi, Alkitab menegaskan bahwa kita diciptakan untuk saling berelasi dan tidak untuk hidup secara terasing (1 Korintus 12:12-27).

Dari perenungan pribadiku akan hidupku dan Alkitab, aku menemukan ada tiga tipe teman yang kita semua butuhkan dalam hidup ini:

1. Teman yang, “Yuk kita selesaikan bareng-bareng”

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran” (Amsal 17:17).

Tumbuh besar di lingkungan orang Asia, kita sering mendengar orang tua kita memberi nasihat, “pilih-pilih kalau cari teman”. Tapi kita pun tahu nasihat itu tidak sepenuhnya benar. Satu kutipan yang aku paling suka berkata, “Pertemanan itu aneh. Kamu memilih satu manusia yang kamu temui dan kamu seperti berkata, ‘Yes, aku suka orang ini’, dan kamu pun lalu melakukan banyak hal bersama dia”.

Sahabatku adalah contoh yang baik. Ada banyak hal tentang dia yang jika kuceritakan kepada orang tuaku, mereka mungkin tidak akan senang mendengarnya (contohnya, dia orang yang kurang perhatian dan tidak bersemangat). Tapi, dialah teman yang bisa kuandalkan ketika aku butuh teman bicara atau sedang melewati hari-hari berat. Meskipun terkadang respons dia atas masalahku hanya, “Bro, memang berat sih. Yuk deh kita main tenis minggu depan,” justru itulah yang membuatku merasa lebih baik.

Dalam surat-surat yang ditulis Paulus, dia memberi kesaksian tentang bagaimana kawan-kawannya mendukungnya dalam masa-masa sukar. Entah itu ketika Paulus mengalami penganiayaan atau kemiskinan, ketika misi Paulus sukses atau malah dipenjara, Paulus selalu diberkati dengan relasi yang erat. Kehadiran para sahabat Paulus itulah yang menolong pelayanannya tetap berjalan. Tidak semua sahabat Paulus memberinya kata-kata indah, atau kekayaan untuk dibagikan, tapi pelayanan Paulus tumbuh dan berkembang berkat dukungan doa dan tindakan kasih sederhana dari mereka.

Itulah jenis teman yang kita butuhkan ketika kita melalui masa-masa sukar. Seseorang yang bersedia berdiri bersama kita di sepanjang musim kehidupan.

2. Teman yang, “Aku bilang begini buat kebaikanmu”

“Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah” (Amsal 27:6).

Dalam suratnya kepada Timotius, kasih dan perhatian Paulus kepada anak rohaninya sungguh jelas. Namun, kelembutan Paulus tidak selalu mudah dilihat karena seringkali berisi realita dan kebenaran yang keras. Contohnya, dalam 2 Timotius 4:3-5, Paulus menasihati Timotius untuk menguasai “diri dalam segala hal, sabarlah menderita, dan tunaikanlah tugas pelayananmu”.

Paulus berkata demikian karena dia tahu pelayanan yang akan dilakukan Timotius itu penuh tantangan dan pertentangan, karena orang-orang menganggap Timotius masih muda dan tidak berpengalaman. Paulus ingin memberikan dukungan dan petunjuk kepada Timotius di tengah suara-suara yang mengancam untuk memandang rendah otoritas Timotius.

Belajar dari Paulus, kita tidak seharusnya memandang rendah teman yang—dalam upayanya untuk mengasihi kita—menyampaikan nasihat yang tidak menyenangkan hati. Teman dekatku pernah menegurku karena aku menganggap remeh kesempatan studi ke luar negeri. Awalnya aku merasa terganggu karena aku punya alasan kuat kenapa tidak ingin pergi merantau.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku sangat bersyukur karena temanku tidak bosan memberitahuku, meskipun itu berarti kenyamananku terganggu dan ada sebagian rencana hidupku yang harus diubah. Momen itu terjadi ketika aku berada jauh dari rumah, di mana aku merasa benar-benar perlu menemukan kembali imanku pada Tuhan, dan menyesuaikan diriku dengan rencana-Nya.

Ketika menerima nasihat yang keras dari seorang teman, penting bagi kita untuk fokus pada apa yang dikatakan, bukan pada bagaimana itu disampaikan. Pemahaman ini menolong kita untuk mengerti bahwa teman kita mungkin lebih mampu melihat titik buta diri kita atau aspek lain dalam diri kita yang perlu dibenahi tetapi kita tak menyadarinya.

3. Teman yang, “Ayo fokus sama tujuan utamamu”

Teman jenis ini mungkin tidak ingin kehadirannya selalu diketahui. Mereka mungkin menolak jika diajak makan atau sekadar mengobrol. Tapi, kamu bisa yakin kalau mereka pasti ada ketika kamu membutuhkan dukungan. Mereka bisa diandalkan untuk memberimu nasihat yang kokoh—nasihat yang tidak cuma menolongmu untuk mengatasi masalah sekarang, tapi juga konsekuensi setelahnya.

Kata-kata yang mereka lontarkan mungkin sedikit, atau bahkan tidak jelas, tapi itu karena mereka selalu melihat gambaran yang lebih besar daripada satu masalah yang sedang kamu hadapi.

Dalam perumpamaan-perumpamaan Yesus, orang-orang di sekitar-Nya sering mencari solusi praktis dari masalah-masalah fana: kesakitan, kemiskinan, ketidakadilan, dan keinginan untuk bebas dari penjajahan. Namun, Yesus tidak pernah kehilangan tujuan utama dari misi-Nya ke dunia—untuk memberitakan kabar Kerajaan Surga dan pengampunan dosa.

Sebagai orang percaya, penting bagi kita untuk mempertahankan relasi dengan teman-teman yang berfokus kepada Injil, yang tak pernah lelah untuk mengarahkan kita kepada firman Allah meskipun kita berupaya melarikan diri. Ketika dunia menyajikan bagi kita nilai-nilai sementara (seperti: bagaimana berinvestasi, membeli rumah, mencari pekerjaan impian), teman yang berfokus pada Injil akan menolong kita untuk tidak sekar mengejar keinginan atau memberi solusi praktis, tapi juga memberi kita masukan dari sudut pandang Ilahi.

Tiga jenis teman ini kurasa adalah teman yang paling kita butuhkan untuk hadir dalam hidup kita. Mereka bisa saja gagal atau mengecewakan kita, atau kata-kata mereka terasa pedas dan menyinggung, tapi merekalah orang-orang yang Tuhan tempatkan dalam hidup kita untuk bertumbuh bersama-sama.

Aku bersyukur atas teman-teman yang telah menolongku bertumbuh dalam kedewasaan, belas kasihan, dan juga kebijaksanaan untuk menghadapi kegilaan yang hadir dalam menjalani hidup di dunia.

Baca Juga:

Meminta dan Menerima Pertolongan Bukanlah Tanda bahwa Kamu Lemah: Sebuah Pelajaran dari Galon Air

Bianca ialah wanita serba bisa. Dia jarang meminta tolong, ataupun menerima pertolongan. Tapi, pada suatu momen, dia menyadari bahwa selalu menolak pertolongan bukanlah hal yang baik.

Salah Kaprah Tentang Kasih

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Aku pernah jatuh cinta dan begitu mengasihi seseorang. Dia seolah-olah menjadi matahari, pusat dan sumber benderang di tata surya. Lalu, aku memosisikan diriku seperti planet bumi. Tak terlalu jauh, juga tak terlalu dekat. Jika posisi bumi tidak presisi dari matahari, maka pasti kehidupan tak akan ada. Bumi bisa terlampau panas atau dingin. Jika posisi bumi terlalu jauh dari matahari, maka takkan ada kehidupan yang mampu bertahan, kupikir seperti planet Uranus. Sejauh pengamatan para ilmuwan dan bukti-bukti sains, di sana hanya ada es dan bebatuan yang dilapisi lagi oleh es.

Namun…ada suatu masa dalam hidupku ketika aku tidak lagi menjadi seperti bumi yang punya jarak presisi, yang dapat melihat dan merasakan matahari. Aku berubah menjadi seperti planet Uranus yang jauh. Semuanya tandus dan dingin. Lalu, kupaksakan diriku untuk menjadi planet Merkurius. Tapi, jaraknya terlalu dekat. Tak ada apa pun yang bisa hidup karena tiada air dan udara yang terlampau panas.

Kisah di atas adalah analogi keadaanku saat aku tidak menjadikan Tuhan sebagai sumber utama kehidupanku. Relasi yang dimulai dengan hangat dan karib dilanda dengan kekecewaan yang mendalam. Lalu muncullah trust-issue—seolah-olah kekecewaan itu akan terus menghantuiku selamanya, sehingga rasanya aku tak perlu lagi untuk mengasihi orang lain. Aku lantas mengagungkan diriku sendiri dengan menyatakan kalau di dunia ini tidak ada ketulusan selain ketulusan milik diriku sendiriku. Kemudian aku pun menutup diri untuk orang lain, dan membiarkan hatiku yang hancur tidak diobati.

Momen-momen kelam itu mengingatkanku akan perkataan dari St. Agustinus. Kala itu, Agustinus menggambarkan kesedihan karena kematian temannya, Nebridius (buku Confessions IV, halaman 10). Katanya, ‘inilah akibat memberikan hati kita kepada sesuatu atau seseorang selain Allah. Semua manusia akan mati. Jangan biarkan kebahagiaan Anda bergantung pada sesuatu yang dapat hilang dari Anda. Jika cinta itu suatu berkat—bukan penderitaan—ia harus ditujukan kepada satu-satunya Kekasih yang tidak akan pernah mati’ (dikutip dalam buku C.S Lewis, The Four Loves).

Mungkin dari situlah muncul kutipan terkenal, Don’t let your happiness depends on something you may lose. Tapi, jika kita ‘tidak perlu mengasihi’ orang lain dan hanya mengasihi Dia saja, apakah kita tidak akan merasakan sakit hati lagi? Tidak. Bukan itu yang Kristus harapkan pada kita. Mengasihi Allah bukan berarti abai dalam mengasihi sesama. Ketika kita mengasihi, itu berarti kita siap menanggung akibatnya. Kasihilah sesuatu atau seseorang, ada kemungkinan kita akan terluka atau sakit hati. Sengaja atau tidak sengaja, bisa saja seseorang melukai kita. Namun, CS. Lewis mengatakan dalam bukunya, ‘satu-satunya tempat di luar Sorga di mana kita dapat benar-benar merasa aman dari semua bahaya dan gangguan ‘kasih’ adalah neraka.’

Tuhan Yesus sendiri berkata dalam Matius 5:43-33, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Kita akan lebih mendekat dan menempel pada Allah (Abide in Him) bukan dengan berusaha menghindari setiap penderitaan yang akan terjadi akibat dari mengasihi, melainkan dengan cara menerima semua penderitaan akibat kasih, lalu menyerahkan penderitaan itu kepada Dia dan melepaskan semua kecintaan diri yang berlebih. Sebab, “Jika hati kita harus hancur, dan jika Dia telah menentukannya harus demikian, jadilah demikian” (C.s Lewis, The Four Loves).

Tuhan memang tidak pernah mengatakan dalam Alkitab secara spesifik kepada kita bagaimana cara membagikan kasih kita. Entah itu 50 untuk Tuhan, lalu 50 untuk yang lainnya. Atau mungkin 80 untuk Tuhan, lalu 20 untuk manusia dan yang lainnya. Tetapi, yang Tuhan tekankan adalah agar kita menghindari segala jenis kasih yang dapat membawa kita jauh dari pada-Nya.

Jadi, aku belajar bahwa untuk menjadi kuat ketika mengasihi orang lain, bertopanglah lebih dulu pada Kasih yang tidak akan pernah roboh. “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama” (Matius 22:37-38). Aku juga belajar untuk tetap mengasihi meski aku akan menanggung dampak dari mengasihi, seperti yang dikatakan Tuhan Yesus “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22:39)”.

Selamat mengasihi!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Minggu Palma: Menantikan Pemulihan Dunia dalam Doa

Kita mengingat Minggu Palma sebagai momen ketika Yesus masuk ke Yerusalem, tapi momen ini punya makna lain, yakni bayang-bayang akan penggenakan kedatangan Yesus yang kedua dan berdirinya kerajaan Allah di bumi seperti di surga.

Merawat Hati yang Kecewa

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Pertemuan Zoom jadi aktivitas yang biasa kulakukan selama pandemi. Dari sekian banyak Zoom yang telah kuikuti, ada satu sesi yang memberikan kesan di hati. Izinkan kuceritakan sekelumitnya pada tulisan ini.

Di pertemuan Zoom yang diisi dengan sesi sharing, Tabita, kawanku yang baru saja memulai kehidupan berumah tangga mendapat kesempatan untuk berbagi pengalaman dan kegiatan di keseharian selama pandemi. Dia membuka sesi sharing ini dengan bertutur bagaimana dia menghadapi hari-hari berat ketika ayahnya dipanggil pulang ke Surga, hubungannya yang sedang tidak harmonis dengan Eunike, adiknya, juga rencana pernikahannya yang seharusnya diadakan di awal tahun harus ditunda.

Tabitha yang tinggal di Semarang bingung dan kalut ketika mendapat kabar kepergian sang ayah. Di satu sisi dia ingin sesegera mungkin pergi menemui ayahnya, tapi suasananya hatinya campur aduk. Kabar duka yang datang pagi-pagi itu sungguh membuat pikirannya kusut.

Bapak kenapa pergi di saat pandemi Covid-19 merebak ke segala penjuru? Pandemi telah membatasi ruang gerak dan membuat khawatir melakukan perjalanan jauh. Tapi, aku harus pulang. Pulang bertemu Bapak meski hanya akan menjumpainya tertidur kaku. Aku mau protes tapi gimana ya, Kak? Memikirkan semua itu, membuatku hanya bisa menangis seharian.

Suara Tabita tersekat di tenggorokan. Sesaat ia diam, mengambil tisu, dan menghapus air mata yang turun dari matanya. Teman–teman yang ada di ruang Zoom pun tak ada yang berani menyela hingga Tabitha melanjutkan ceritanya.

Aku bingung, haruskah berjalan sendiri–sendiri ataukah mengajak Eunike pulang bersama ke Medan? Kepergian Bapak yang tiba–tiba, membuatku kembali berpikir untuk menyudahi perseteruan antara aku dan Eunike. Sudah terlalu lama sikap dingin dan tak acuh kami bangun untuk membentengi diri kami masing–masing. Tak ada yang mau mengalah dan mencoba mendobrak benteng itu. Aku hanya ingin seperti orang–orang di sekitarku, Kak. Kenapa mereka bisa menikmati hari–hari mereka dengan saudaranya, dan aku tidak?

Perseteruan Tabitha dan Eunike berawal dari salah paham yang tak diselesaikan sehingga berkembang menjadi “permusuhan” yang membuat keduanya tak nyaman satu dengan yang lain. Eunike cemburu pada kakaknya yang selalu mendapat pujian dari orang di rumah karena selalu memberi kabar “baik–baik saja dan tampak senang” meski tinggal jauh dari rumah, kuliah di Semarang. Dalam benak Eunike, hidup merantau itu menyenangkan, tak merepotkan keluarga. Ia tak tahu, Tabitha sebenarnya menghadapi banyak tantangan dan melewati berbagai rintangan untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu agar dapat meringankan beban orang tuanya dengan mencari pekerjaan.

Memulihkan relasi yang retak dengan adiknya menjadi pr besar bagi Tabitha, tapi dia tahu bahwa pengampunan bukanlah hal yang mustahil. “Aku selalu berdoa kak. Pun selalu ingat akan firman Tuhan tentang kasih dan pengampunan. Ternyata, Tuhan itu bekerja ketika kita mau membuka diri,” tuturnya.

Setelah berpikir panjang dia memutuskan untuk mengalah. Dia mulai membuka diri dan mengajak sang adik bicara dari hati ke hati. Jika seandainya keduanya bertahan dengan pikiran sendiri-sendiri, tentu tidak akan ada perubahan sedikit pun. Perbincangan ringan di perjalanan pulang ke rumah di Medan, pelan–pelan merekatkan kembali ingatan pada kebersamaan yang selama ini dibuat menjauh dari kehidupan mereka.

“Aku selalu berdoa, Kak,” ucapan Tabita ini bukanlah ungkapan klise ketika kita menghadapi persoalan. Kita seharusnya tidak pernah lelah untuk berdoa. Setidaknya, jika permintaan kita tidak diluluskan Tuhan, Dia pasti mengubahkan hidup kita. Keadaan yang kita hadapi mungkin tidak berubah, tetapi doa akan lebih dahulu mengubah orang yang berdoa. Sikap hati kita, cara kita memandang keadaan sanggup Tuhan ubahkan kala kita datang pada-Nya. Efesus 3:20 berkata, “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.” Ketika kita berdoa, kita akan melihat perkara-perkara besar yang Tuhan kerjakan.

Satu hal lain yang kupelajari dari kisah singkat Tabita ialah berdoa saja tidak cukup untuk merawat hati yang sedang kecewa. Tidaklah mudah untuk melepaskan pengampunan ketika kita sendiri masih memagari diri dengan ego. Singkirkanlah dahulu perasaan egois dan izinkan Tuhan mengisi hati kita. Tuhan Yesus mengingatkan kita dalam Markus 11:25, “Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seorang, suapaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.”

Menutup sharing dari Tabita, memang ada yang hilang ketika Tabita dan Eunike memulai perdamaian, tetapi ada berkat baru yang Tuhan berikan: kelegaan. Di depan jasad sang ayah, hati mereka berdua luluh. Segala rasa yang selama ini ditahan-tahan, tumpah dalam curhatan panjang hingga mengalirlah kata ‘maaf’ dan ‘sayang’ yang sudah lama tak diungkapkan. Hubungan mereka sejak hari itu mengalami pemulihan yang luar biasa sehingga mereka bisa menikmati hal–hal yang selama ini “hilang”.

Ternyata, semua yang terjadi di kehidupan ini, ada hikmahnya. Tuhan sudah mengatur dengan baik agar kita bisa menjalaninya dengan hati yang lapang meski ada riak – riak dan air mata, percaya saja Tuhan pasti beri yang terbaik.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Studi Alkitab, Yuk!

Karena tubuh kita ini lemah dan berdosa, kita harus rajin melatihnya dan membentuknya semakin kuat melalui disiplin rohani. Nah, salah satunya adalah melalui studi Alkitab mandiri.

7 Strategi Menghadapi Iri Hati

Iri hati adalah dosa dan perasaan yang menguras banyak energi. Ketika kita iri hati, kita kehilangan sukacita dan sulit melihat kebaikan pada sosok orang yang kita banding-bandingkan.

Tiada kebaikan yang bisa kita raih dari memelihara rasa iri, tetapi melenyapkannya pun seringkali terasa susah. Namun, inilah kabar baiknya: firman Tuhan punya jawabannya. Inilah 7 strategi menghadapi iri hati.

Artspace ini diadaptasi dari artikel “Seven Strategies for Fighting Envy” karya Stephen Witmer di Desiringgod.org

Artspace ini didesain oleh Vika Vernanda.

Mengasihi dan Mendoakan Musuh: Antara Perintah dan Kasih

Oleh Antonius Martono

Lebih mudah mana mendoakan atau mengasihi musuh? Mungkin keduanya adalah hal yang sama-sama sulit. Namun, bagiku pribadi dulu, mendoakan musuh terasa lebih mudah daripada mengasihinya. Setidaknya itu yang pernah kualami.

Aku sempat memiliki kepahitan terhadap teman sepelayananku. Saat itu aku melihat dia sebagai orang yang keras kepala dan kurang bertanggung jawab. Selain itu sikapnya yang cuek makin menambah kemarahanku. Berkali-kali aku bicara tentang keberatanku padanya, berkali-kali juga argumen-argumen pembelaan membentengi dirinya. Seolah-olah segala sesuatu baik-baik saja, tidak menyadari kalau sikap dia telah merepotkanku dan rekan sekerja yang lain. Sikap dan perilaku dia telah mengiritasi diriku. Semakin lama aku semakin sulit bekerjasama dengan dia. Aku merasa dia telah menyakitiku dan aku mulai kesal jika hidupnya baik-baik saja.

Dari kekesalan yang semakin hari terus menumpuk itu, muncul niatan buruk di hatiku. Aku ingin dia membayar sakit hati hati yang telah dia torehkan di hatiku. Aku merasa diperlakukan tidak adil jika hidup dia baik-baik saja tanpa dia menyadari kesalahannya. Aku berharap keadilan Tuhan datang kepadanya. Tentu aku tidak ingin dirinya celaka. Aku hanya ingin dia merasa dipermalukan, sadar, dan bertobat dari kesalahannya.

Saat itu aku tahu bahwa sikap hatiku jelas salah. Itu sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan Kristus. Yesus mengajarkan untuk mengasihi dan mendoakan musuh yang telah menyakiti kita. Aku coba melawan sikap hatiku yang buruk itu dengan belajar untuk mendoakan dia. Kudoakan agar dia mendapatkan hidup yang baik. Kata-kata memang keluar dari mulutku tapi, hatiku tidak mengaminkannya. Aku lupa kalau perintah mengasihi dan mendoakan adalah suatu kesatuan. Aku tidak bisa mengasihi musuhku tanpa mendoakannya, demikian juga tidak mungkin aku bisa mendoakannya jika hatiku tidak mengasihinya. Hatiku masih tidak rela jika hidupnya bebas dari pembalasan Tuhan sedangkan aku telah berdarah-darah menanggung sikap-sikap dia.

Jika kuingat lagi pengalamanku ini, aku teringat akan kisah Yunus. Yunus diminta Tuhan pergi ke kota Niniwe untuk memberitakan seruan pertobatan. Walaupun Yunus sempat menolak, akhirnya dia taat dan pergi ke Niniwe setelah Tuhan menyelamatkan nyawanya dengan mendatangkan ikan besar. Pelayanan Yunus telah membuat Niniwe berbalik dari tingkah laku mereka yang jahat dan Tuhan mengurungkan niat untuk menunggangbalikan Niniwe. Namun, Yunus tidak bersukacita atas hal itu. Justru, Yunus kepahitan dengan keputusan tersebut dan kehilangan alasan untuk hidup. Di pinggir kota dia mengeluh dan masih menunggu apa yang akan terjadi terhadap kota itu.

Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia. Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.” Tetapi firman TUHAN: “Layakkah engkau marah?” – Yunus 4: 1-4

Meskipun Yunus taat melakukan perintah Tuhan, tapi hatinya menolak keputusan Tuhan. Yunus berbuat baik kepada Niniwe, meskipun di hatinya yang terdalam dia tetap membenci Niniwe. Jelas Niniwe adalah musuh yang kejam bagi Israel. Menyelamatkan Niniwe sama saja artinya dengan membunuh bangsanya. Yang Yunus inginkan adalah menghabisi musuh Israel, sekalipun dia taat kepada perintah Allah untuk menyerukan pertobatan.

Dalam bukunya The Prodigal Prophet, Tim Keller mengatakan ada sebuah filosofi kuno yang berbicara tentang cinta akan kebajikan. Filosofi itu berkata kita bisa melakukan hal baik dan berguna kepada orang sekalipun kita tidak menyukai mereka. Itu adalah manifestasi dari kekuatan kehendak kita, sehingga kita mampu melakukan aksi cinta kasih sekalipun tidak ada ketertarikan afeksi di hati kita pada seseorang.

Sedangkan, Tuhan mengharapkan lebih dari itu. Lewat peristiwa pohon jarak yang layu karena ulat, Tuhan hendak mengajarkan kepada Yunus untuk memiliki hati yang mengasihi musuh. Jadi, berbuat baik bukan sekadar karena tahu itu adalah hal yang baik, melainkan dimotivasi oleh kasih.

Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” – Yunus 4: 11

Pengalaman Yunus sedikit banyak mencerminkan sikap hatiku juga. Aku mendoakan teman sepelayananku yang kubenci, tapi hatiku menginginkan hal yang buruk baginya. Di permukaan aku seolah sedang menunjukkan perbuatan kasih, sedangkan di kedalaman hatiku, aku membenci temanku. Namun, aku pun tidak bisa segera mengubah hatiku untuk mengasihinya. Itu bukanlah proses semudah membalik telapak tangan. Apa yang aku tunggu tetaplah keadilan ditegakan untukku.

Waktu berlalu dan perlahan Tuhan melembutkan hatiku. Aku mulai menyadari, bahwa sejatinya diriku pun tidak lebih baik dari rekan sepelayananku itu. Keburukan apa yang pernah dia lakukan, aku juga pernah melakukannya. Kalau aku menuntut keadilan terjadi atasnya, bukankah seharusnya aku pun tak luput diadili? Akhirnya dalam doa-doaku aku mengubah fokusku kepada karya salib Yesus Kristus. Di situlah keadilan dan anugerah Tuhan bertemu. Aku gagal mengasihi temanku dan hanya cenderung menginginkan keadilan. Namun, di atas kayu salib kesalahanku dan temanku telah mendapatkan bentuk keadilannya.

Kesalahanku dan temanku telah dihukumkan kepada Kristus. Sedangkan kasih-Nya jelas terpancar bagiku dan temanku. Aku tahu membentuk hati yang mengasihi memang butuh proses. Aku tidak berhenti mendoakan rekanku itu, tapi kini aku tidak lagi berfokus pada rasa sakit hatiku dan perbuatannya melainkan berfokus kepada keadilan dan kasih Tuhan di atas kayu salib. Usahaku lebih banyak digunakan untuk mengingat pengorbanan Yesus ketimbang perbuatan rekanku, yang sebenarnya jika aku pikirkan ulang sekarang, ternyata aku saja yang enggan mengalah dan tidak mau berusaha lebih untuk memahami pribadinya.

Ketika berfokus kepada Kristus aku tidak lagi berbuat baik hanya karena aku tahu itu baik, melainkan lebih dari itu, aku berbuat baik karena hatiku melimpah kasih yang dari pada-Nya. Begitu melimpah sehingga aku tidak bisa menampungnya bagi diriku sendiri.

Semoga Tuhan terus menolong hatiku dan hati kita yang lamban mengasihi ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menghadapi Pandemi: Kita Butuh Lebih Dari Sekadar Berani

Kisah Gideon memberi ketenangan di tengah kekalutanku menghadapi pandemi yang rasanya tak kunjung berakhir. Masa pandemi ini mungkin bisa kita ibaratkan seperti sedang ‘berperang’ melawan musuh-musuh yang tak terkira jumlahnya.

Obat untuk Rasa Kecewa

Sebagai manusia, kita berekspektasi. Kita ingin dimengerti, dikasihi, dan dikukung oleh orang-orang di sekitar kita.

Tapi, ketika keinginan itu terjadi sebaliknya, kita pun kecewa. Kita membanding-bandingkan balasan yang kita dapat dengan aksi yang kita berikan. Atau, tak jarang juga kita menghakimi, menganggap mereka yang telah mengecewakan kita sebagai orang yang kurang peka atau bahkan tidak punya hati.

Kecewa adalah respons alamiah manusia, tetapi berlarut-larut di dalamnya memberi efek yang buruk. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Artspace ini dibuat oleh Agnes Yustivani.