Posts

4 Pergumulan yang Kita Hadapi dalam Pelayanan

4-pergumulan-yang-kita-hadapi-dalam-pelayanan

Oleh Abigail L.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Struggles We Face In Ministry

Melayani orang lain bisa menjadi pekerjaan yang berat, baik di dalam maupun di luar gereja.

Dalam gereja, aku bersyukur atas dukungan yang aku peroleh dari keluarga dan teman-temanku selama aku melayani. Namun ada saat-saat di mana aku merasa tidak mampu untuk melanjutkan pelayananku—dan hal ini kebanyakan disebabkan karena orang lain. Dalam saat-saat demikian, aku berusaha menghibur diriku dengan berkata: “Kalau tidak sulit, bukan pelayanan namanya.”

Tetapi, aku juga percaya bahwa Allah mau mengajarkan sesuatu melalui pergumulanku.

1. Orang-orang yang tidak tertarik

Apakah kamu sedang memimpin sebuah kelompok sel, membuat sebuah acara dan merencanakan kegiatan penjangkauan, dan menemukan bahwa anggota kelompokmu atau para pemimpin lain dalam kelompokmu tidak menunjukkan ketertarikan? Kadang, aku merasa paling tidak dihargai dan jengkel saat orang lain tidak bekerja dan tidak mendukungku sebanyak yang menurutku seharusnya mereka lakukan.

Namun Allah mengingatkanku untuk berhenti sejenak agar aku tidak melupakan tujuan dari pelayanan—pelayanan adalah tentang orang-orang, bukan tentang program-program dan rencana-rencanaku. Pelayanan adalah tentang menolong orang lain bertumbuh dalam iman dan kasih kepada Kristus, dan tentang mempedulikan kebutuhan mereka.

Jadi, aku pun belajar untuk memperhatikan orang-orang daripada program-program, dengan menunjukkan ketertarikan pada hidup mereka dan masalah yang sedang mereka hadapi. Aku juga belajar untuk terbuka terhadap masukan, dan belajar untuk membuat acara dan pertemuan kelompok sel yang dapat menjawab kebutuhan mereka.

2. Orang-orang yang mematahkan semangat

Kadang kita mendapatkan tanggapan yang mengecewakan atas pelayanan yang kita lakukan, atau masukan dari para pemimpin yang terkesan keras dan tidak adil. Terkadang pula, teman-teman kita bisa menjadi sangat mengkritik atau bahkan tidak membantu sama sekali. Ketika hal itu terjadi, aku dapat merasakan benih ketidakpuasan bertumbuh menjadi kepahitan dan membuat aku menyimpan dendam kepada mereka.

Namun Allah mengajarkanku untuk menunjukkan kasih—kepada para pemimpin, teman-teman, dan junior-juniorku. Aku menemukan bahwa orang-orang yang telah mengecewakanku ini ternyata memiliki kisah di balik layar yang menjelaskan tindakan mereka. Suatu kali, aku merasa amat malu terhadap diriku sendiri ketika seorang rekan kerjaku—yang aku kira bermalas-malasan—mengatakan bahwa orang tuanya yang belum percaya melarang dia terlibat aktif di gereja. Aku sadar bahwa aku sudah bersikap tidak adil dan menghakimi dia berdasarkan sikapnya, dan bahwa sikapku terhadapnya mungkin saja telah membuatnya semakin patah semangat.

Selama aku belum pernah menempatkan posisiku di sepatu orang lain, aku takkan pernah tahu seberapa berat pergumulan, perjuangan, dan usaha mereka untuk mengasihi Allah. Jadi, aku belajar untuk menunjukkan kasih karunia kepada orang lain, sama seperti Kristus telah menunjukkan kasih karunia-Nya kepadaku.

3. Orang-orang yang berbeda

Apakah kamu menghadapi perbedaan dalam doktrin, kepercayaan, atau fokus pelayanan dengan sesama orang percaya? Apakah perbedaan ini menyebabkan perselisihan dan kesalahpahaman yang menghambat kemajuan pelayananmu dan mempengaruhi “efisiensi”-mu?

Mungkin ini adalah cara berpikir yang salah. Aku belajar bahwa perbedaan pendapat dapat memperluas dan memperkaya perspektifku—jika saja aku menyingkirkan kesombonganku. Aku adalah orang yang cenderung tidak sabar dengan orang-orang yang terlalu bersemangat tentang hal-hal yang berkaitan dengan karunia rohani, tetapi suatu hari salah seorang temanku berkata, “Kamu tidak akan pernah memahami mereka kalau kamu selalu lebih dulu menghakimi mereka!”

Kata-katanya menempelakku: dia mengingatkanku mengenai sikapku yang menghakimi orang-orang yang tidak memiliki ide yang sama dengan aku. Aku bersyukur atas teman-teman dan rekan-rekan kerja yang selalu ada untuk menolongku melihat suatu hal dari sisi yang berbeda.

4. Orang-orang yang menghakimi kita berdasarkan pelayanan kita

Apakah aku melayani terlalu banyak atau terlalu sedikit? Apakah aku orang yang suka mendominasi atau orang yang terlalu gampang dipengaruhi? Hal-hal demikian melintas dalam pikiranku setiap kali aku berusaha melakukan sesuatu. Aku tahu bahwa menjaga fokusku pada Kristus itu lebih penting, tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal ini dan melihat kekuranganku.

Dulu aku biasa menilai keefektifan pelayananku dari jumlah orang yang datang dalam persekutuan, acara, atau apapun yang aku rencanakan, dan merasa kecewa setiap kali jumlah tersebut tidak mencapai target atau ketika orang-orang datang terlambat. Namun, aku belajar untuk mengingatkan diriku bahwa penilaian orang lain terhadap acara yang kubuat bukanlah merupakan penilaian terhadap karakter atau kepribadianku, dan bahwa tanggapan yang buruk terhadap acara yang kubuat bukanlah karena kurangnya iman atau keefektifanku. Setelah Allah mengubah diriku, aku dapat bersukacita melayani sekalipun ketika jumlah orang-orang yang hadir tidak banyak. Melayani menjadi jauh lebih mudah dan menyenangkan ketika aku berhenti mengkhawatirkan apa yang orang-orang pikirkan tentang aku.

 

Merasa kecewa dalam pelayanan merupakan hal yang normal; tidak ada seorang pun yang kebal terhadapnya. Namun, melalui kekecewaan-kekecewaan inilah Allah mendorong kita untuk lebih bergantung pada-Nya. Allah tidak butuh kita membantu Dia melakukan pekerjaan-Nya, tetapi Ia disukakan ketika kita bergantung kepada-Nya ketika kita melayani orang lain. Allah lebih tertarik pada siapa kita, daripada apa yang dapat kita lakukan untuk-Nya.

Baca Juga:

Ketika Saudara Seiman Mengganggumu

Di mana terdapat relasi, di sana selalu ada gesekan—bahkan juga relasi di dalam gereja. Satu alasan mengapa kita merasa terganggu oleh saudara seiman kita sebenarnya sederhana: kita mempunyai cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu. Joshua pernah mengalami gesekan ini. Bagaimana respons yang dia berikan? Temukan dalam artikel ini.

Ketika Pemimpin Gereja Kita Jatuh, Inilah yang Dapat Kita Lakukan

ketika-pemimpin-gereja-kita-jatuh

Oleh Kezia Lewis, Thailand
Artikel Asli dalam Bahasa Inggris: When Our Church Leaders Fail

Akhir-akhir ini, berita tentang kegagalan moral para pemimpin gereja semakin banyak terdengar. Kita mendengar para pendeta yang melakukan penipuan, menggelapkan uang gereja, atau terlibat di dalam skandal seputar pornografi atau hubungan tidak sehat di luar pernikahan.

Ketika kita mendengar berita-berita seperti itu, seringkali kita “menyalibkan” para pemimpin ini. Kalau kita ada di dalam gereja-gereja tempat mereka melayani, kita mungkin menyangkal mereka, atau mengkritik mereka di depan seluruh dunia. Kita terluka, dan reaksi alami kita adalah membalas luka tersebut. Seperti seorang teman pernah berkata, “Orang yang terluka akan melukai orang lain.” Karena para pemimpin ini telah jatuh dan mengecewakan kita, kita merasa benar untuk menghukum mereka atas rasa sakit yang telah mereka perbuat kepada kita.

Namun mungkin, ada cara-cara yang lebih baik untuk meresponi kekecewaan kita.

Tunjukkan Kasih kepada Mereka

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34-35)

Ketika para pemimpin gereja jatuh, kita seharusnya menunjukkan kasih kepada mereka. Kita tidak membenarkan dosa-dosa mereka; kita juga tidak melindungi mereka dari konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka. Tapi kita tidak perlu menginjak-injak mereka, atau membuat mereka terlihat lebih buruk.

Bagaimana kita dapat mengaplikasikan hal ini? Dengan tidak menggosipi mereka. Kita dapat mulai dari rumah, dengan menunjukkan kasih persaudaraan kepada keluarga kita. Ketika hal-hal yang buruk seperti ini terjadi, kita cenderung untuk bergunjing dan ingin tahu lebih jauh tentang “kekurangan” para pemimpin gereja ini. Atau, mungkin kita berkumpul di dalam sebuah kelompok di dalam gereja atau komsel dan mengatakan bahwa kita ingin mendoakan mereka, namun akhirnya malah mengatakan hal-hal yang buruk tentang mereka.

Ketika kita melakukan hal buruk tersebut di depan anak-anak, sebenarnya kita seperti memberitahu mereka bahwa kita boleh-boleh saja menjelek-jelekkan saudara-saudara seiman kita. Kita menggambarkan mereka seperti penjahat yang selalu merencanakan malapetaka bagi gereja kita, seolah-olah mereka adalah monster. Kita melupakan hal-hal baik yang telah mereka lakukan dan hanya mengingat kesalahan-kesalahan mereka. Kita mengubur mereka hidup-hidup di dalam dosa-dosa mereka—dan lupa siapa diri mereka di dalam Tuhan.

Berdoa untuk Mereka

Para pemimpin gereja lebih mudah diserang secara spiritual karena mereka ada di garis depan. Sang musuh akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan mereka, karena dia tahu bahwa ketika dia dapat menghancurkan seorang pemimpin di dalam gereja Tuhan, dia dapat melemahkan orang-orang yang dipimpin sang pemimpin tersebut. Ketika seorang pemimpin gereja jatuh, kita bahkan dapat kehilangan saudara-saudari kita di dalam Kristus, yang meninggalkan Tuhan dan gereja-Nya secara total.

Jadi kita harus mendoakan para pemimpin gereja kita—selalu. Dan ketika mereka jatuh, kita seharusnya mendoakan mereka lebih lagi. Jangan biarkan sang musuh menang dan jangan masuk ke dalam taktiknya; jangan kita serahkan para pemimpin kita kepada sang musuh ketika mereka tersandung. Sebaliknya, kita dapat mengangkat mereka kembali kepada Yesus.

Para pendeta dan pemimpin gereja adalah sesama manusia sama seperti kita: mereka juga memiliki pergumulan-pergumulan di dalam hidup mereka, dan mereka juga menghadapi berbagai pencobaan sama seperti kita. Sama seperti keputusan-keputusan kita tidak menunjukkan siapa diri kita sesungguhnya, keputusan-keputusan yang buruk tidaklah menjadi identitas para pemimpin gereja kita—indetitas sejati kita ada di dalam Yesus. Benar, kita dapat membuat kesalahan dan dapat membuat keputusan-keputusan yang buruk, tapi kesalahan-kesalahan bisa jadi sebuah awal dari hubungan yang lebih erat dengan Yesus. Marilah berdoa agar kiranya hal itu yang terjadi bagi para pemimpin kita juga.

Ada di Samping Mereka

Ketika para pemimpin gereja kita jatuh, kita perlu hadir bagi mereka sebagai saudara-saudari yang juga pernah terjatuh. Ini adalah sebuah cara menunjukkan kasih bagi mereka. Kita dapat mendatangi mereka, berdoa bersama mereka, dan menolong mereka untuk pulih dari segala kekacauan sehingga mereka dapat bangkit kembali. Jangan menyingkirkan mereka dari hidup kita atau gereja kita, karena di saat-saat seperti ini, mereka membutuhkan Yesus lebih daripada segalanya.

Seorang teman pernah berkata kepadaku: “Suamimu bukanlah Tuhan. Dia akan membuat kekacauan dan dia akan menyakitimu, sama seperti kamu juga akan membuat kekacauan dan menyakitinya juga. Bagaimanapun juga, dia adalah manusia.” Nasihat ini telah memberikanku kekuatan untuk lebih berbelas kasih kepada suamiku, sama seperti dia yang juga telah berbelas kasih kepadaku. Hubungan kami bersama dengan Yesus membuat kami dan hubungan kami menjadi kuat; Yesus adalah satu-satunya Pribadi yang sempurna dan tidak bercela.

Aku percaya kita juga dapat mengaplikasikan hal ini bagi para pemimpin gereja kita. Mudah bagi kita untuk melihat mereka sebagai orang-orang yang tidak dapat jatuh dan orang-orang yang sempurna—kita tidak menyangka mereka dapat membuat kesalahan, dan kita lupa bahwa mereka bukan Tuhan. Kita lupa bahwa mereka adalah orang-orang yang cacat dan mereka akan membuat kesalahan, bagaimanapun juga mereka adalah manusia.

Maka ketika mereka membuat kesalahan, janganlah terkejut dan menahan-nahan kasih kita. Daripada lari dari mereka seakan mereka terlalu kotor, hampirilah mereka dan angkatlah mereka kepada Yesus. Lihatlah diri kita sendiri dan ingatlah bahwa kita juga tidak lebih bersih, namun Yesus mau berkorban bagi kita.

Yesus mengasihi para pemimpin gereja kita bahkan ketika mereka jatuh; Dia akan mengampuni mereka dan ada untuk mereka di masa-masa tergelap dalam hidup mereka. Kita juga dapat melakukan hal yang sama.

Baca Juga:

Karena Perubahan Ini, Doa-Doaku Begitu Cepat Dijawab Tuhan

“Dalam berdoa tidak jarang kita menyatakan undangan kepada Tuhan untuk datang dan berkarya dalam hidup kita. … Belakangan sebuah kesadaran menyentakku. Di balik kalimat yang tampaknya penuh kerendahan hati dan penyerahan diri itu, aku sedang menempatkan Tuhan pada posisi pembantu, bukan pemilik hidupku.”

Bagaimana Claudya mengubah doa-doanya? Temukan kesaksiannya di dalam artikel ini.

Aku Kecewa Dan Meninggalkan Gerejaku, Tapi Satu Hal Membuatku Kembali

aku-kecewa-dan-meninggalkan-gerejaku

Oleh Amy J.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why I Hated The Youth Ministry

Setelah 6 tahun ada di Sekolah Minggu, aku merasa sudah tidak cocok lagi di sana. Menyanyi dengan bergaya yang aneh-aneh. Panggung boneka cerita Alkitab. Bahkan hadiah permen untuk menghafalkan ayat Alkitab mingguan sudah tidak menarik lagi buatku yang telah beranjak remaja.

Di sisi lain, komisi pemuda terlihat menarik. Beberapa kali, mereka datang untuk memimpin puji-pujian di kelas kami. Lagu-lagu yang mereka nyanyikan sangat hidup dan bersemangat; mereka berpakaian rapi dan bernyanyi dengan penuh semangat. Singkat kata, aku menganggap mereka sangat keren.

Namun ketika akhirnya aku cukup dewasa untuk bergabung dengan mereka, aku hanya butuh waktu 3 minggu untuk sampai pada sebuah kesimpulan: Aku membenci komisi pemuda.

Di minggu pertama, gadis-gadis yang duduk di belakangku saling “membisikkan” komentar-komentar yang merendahkan tentang gaya berpakaian dan gaya rambutku yang tomboi. Di minggu kedua, teman baikku punya pacar dan mengabaikanku. Di minggu ketiga, aku tidak sengaja mendengar beberapa pembina pemuda berdiskusi tentang bagaimana “menghadapi” diriku yang “hiperaktif”. Menurut mereka, aku “tidak cocok” di komisi pemuda. Aku terlalu berisik dan mengganggu untuk mereka.

Jadi aku pergi meninggalkan mereka semua.

Beberapa bulan kemudian, aku kehabisan alasan untuk tidak datang ke kebaktian pemuda. Daripada mendengar ocehan ibuku, aku mulai mengunjungi kebaktian di gereja-gereja lain yang waktunya mirip-mirip dengan gerejaku. Setidaknya aku tidak berbohong ketika aku mengatakan kepadanya bahwa aku pergi ke gereja. Dan aku berharap bahwa pada akhirnya aku menemukan satu gereja yang cocok denganku—di mana aku akan dikasihi dan diterima sebagaimana adanya diriku.

Hal ini berlangsung selama sekitar satu setengah tahun. Mengunjungi gereja baru, menemukan teman-teman baru, menemukan masalah-masalah—siklus ini seakan terus berulang. Siklus ini tidak hanya membuat aku lelah, tapi juga mempengaruhi imanku kepada Tuhan. Apa yang tadinya terasa baru dan menarik kemudian menjadi melelahkan—sampai kepada sebuah titik di mana aku mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan imanku sepenuhnya.

Di saat inilah, ketika aku merasa ada di persimpangan, seorang pembina pemuda dari gereja asalku mengundangku untuk mengikuti sebuah kamp kepemimpinan Kristen. Dia telah mendengar dari seorang temanku tentang pergumulanku dalam perjalanan imanku dan penolakanku untuk kembali ke komunitas pemuda, maka dia tidak memaksaku. Yang dia lakukan adalah meyakinkanku bahwa kamp ini adalah kamp “eksternal” dan “interdenominasi”; hanya dua atau tiga orang lainnya dari gereja asalku yang mengikutinya. Awalnya aku menolak undangannya, namun kemudian aku memutuskan untuk mendaftarkan diriku setelah aku tahu bahwa beberapa teman-teman sekolahku juga mengikuti kamp itu.

Sejujurnya, aku tidak ingat lagi khotbah-khotbah yang disampaikan atau permainan-permainan yang dimainkan, namun ada satu sesi yang memberikan kesan yang begitu mendalam bagiku.

Pada malam kedua, ketika kami memasuki ruangan ibadah, kami terkejut ketika melihat panggung yang kosong dan banyak alat musik telah lenyap. Setelah menyanyi tiga lagu dengan hanya diiringi sebuah gitar, kami diminta untuk tetap diam, dan membayangkan bahwa kami ada sendirian di dalam ruangan itu bersama dengan Tuhan, dan membaca apapun ayat Alkitab yang ada di pikiran.

Ini membuat banyak dari kami menjadi bingung. Pertama, menyanyikan lagu-lagu dengan hanya diiringi sebuah gitar adalah sebuah hal yang tidak biasa kami lakukan. Selain itu, karena kami ada di sebuah tempat yang jauh dari kebisingan perkotaan, suasana menjadi sangat hening sampai-sampai kami dapat mendengar suara jarum yang jatuh. Keheningan ini membuatku tidak nyaman, dan setiap menit yang berlalu menjadi seakan satu jam.

Setelah sekitar setengah jam mencoba untuk tidak tertidur, angka “27” dan “4” tiba-tiba muncul di pikiranku. Aku tidak tahu kitab apa yang harus kubuka, jadi aku buka saja kitab Mazmur—tepat di tengah-tengah Alkitab.

Ini adalah ayat yang aku baca:

Satu hal telah kuminta kepada TUHAN,
itulah yang kuingini:
diam di rumah TUHAN seumur hidupku,
menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya.
(Mazmur 27:4)

Ketika aku membaca kata-kata itu, aku langsung merasa tertegur. Apa sebenarnya yang menjadi alasanku pergi ke gereja? Siapa yang aku ingin lihat? Siapa yang aku sembah? Apa yang sebenarnya aku cari?

Tanpa kusadari, air mata mulai menggenangi mataku. Aku langsung berdiri dan menghampiri pintu. Di luar, aku duduk dan menangis dengan lepas.

Malam itu, melalui kata-kata di dalam Mazmur 27:4, Tuhan membukakan kepadaku bahwa apa yang menjadi alasanku dahulu untuk menghadiri kebaktian pemuda adalah salah. Tidak peduli berapa banyak kebaktian pemuda yang berbeda yang aku kunjungi dan tidak peduli berapa banyak gereja yang aku coba, aku tidak akan pernah menemukan komunitas pemuda yang “sempurna”.

Pada malam yang sama, aku mengakui keegoisanku dan kesombonganku kepada pembina grupku di kamp tersebut. Aku juga meminta pengampunan Tuhan—untuk kepahitan yang aku miliki terhadap mereka yang mengkritik atau mengabaikanku. Seketika itu juga, aku merasa tenang dan damai bersama dengan Tuhan; itu adalah rasa damai yang sudah lama sekali aku tidak rasakan.

Momen tersebut mengajarkanku bahwa gereja ada bukan untuk melayani apa yang menjadi keinginanku. Jemaat mula-mula berkumpul untuk berdoa, memuji Tuhan, dan belajar firman Tuhan. Kita juga dipanggil untuk melakukan hal yang sama, sehingga kita bisa mengenal Tuhan dengan lebih baik, menyembah Dia, dan memberitakan tentang Dia.

Seminggu kemudian, aku kembali ke gereja asalku dan mulai melayani sebagai seorang pemimpin kelompok kecil di komisi pemuda. Aku sudah melayani di sana selama 15 tahun hingga sekarang … dan masih terus kulakukan.

Artikel Lain:

Pergumulanku sebagai Seorang Kristen-Generasi-Kedua

Kesaksian dari seorang “Kristen-generasi-kedua” yang merasa semua hal yang berbau kekristenan sudah terlalu biasa dan membuatnya mati rasa. Namun sebuah lagu mengubahkan pandangannya dan membuatnya menyadari hak istimewa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya. Temukan kesaksian lengkapnya di dalam artikel ini.

4 Ciri Para Pendosa di Dalam Gereja

4-Perbedaan-dari-Pendosa-di-Dalam-Gereja

Oleh Charles Christian

“No perfect people allowed.”
(“Orang sempurna dilarang masuk.”)

Ini adalah motto sebuah gereja yang aku rasa menarik. Motto ini mengingatkanku bahwa tidak ada orang yang sempurna di dunia ini—termasuk juga orang-orang yang ada di dalam gereja. Jika hanya orang-orang sempurna saja yang boleh masuk ke dalam gereja, gereja akan menjadi kosong, karena tidak ada seorangpun yang dapat memenuhi syarat itu.

Namun, banyak dari kita yang sulit menerima fakta bahwa gereja berisi orang-orang yang tidak sempurna. Aku mempunyai teman-teman yang meninggalkan gereja mereka karena kekecewaan mereka terhadap orang-orang di dalamnya. Ayah dari seorang temanku bahkan tidak mengizinkan anaknya untuk terlibat terlalu banyak di dalam gereja, karena dia telah mengetahui “sifat asli” dari orang-orang yang ada di dalam gereja. Menurutnya, gereja hanya berisi orang-orang yang munafik. Bukankah itu menyedihkan?

Ketika kita baru memasuki sebuah gereja, mudah bagi kita untuk berpikir bahwa gereja hanya berisi orang-orang baik yang mengasihi Tuhan, mengasihi sesama, dan membenci dosa. Namun, apakah mungkin itu karena kita melihat gereja itu dari jauh? Cobalah lihat lebih dekat, dan kita akan menyadari bahwa itu begitu berbeda dari yang kita pikirkan. Tidak ada gereja yang sempurna, karena Alkitab berkata bahwa semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Gereja berisi orang-orang yang berdosa. Ya, setiap dari kita adalah seorang berdosa.

Namun kalau begitu, mungkin kamu berpikir, kalau kita semua adalah orang-orang berdosa lalu apa bedanya mereka yang ada di dalam gereja dan mereka yang tidak ada di dalam gereja? Aku percaya para pendosa yang ada di dalam gereja menjadi berbeda karena 4 ciri berikut ini.

1. Para pendosa di dalam gereja mengakui bahwa mereka adalah pendosa

Di dalam Lukas 18:9-14, Yesus menceritakan sebuah perumpamaan tentang orang Farisi dan dengan pemungut cukai:

Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:

“Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.

Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.

Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.

Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Di dalam cerita ini ada 2 orang—yang satu adalah seorang pengajar agama yang sangat dihormati, yang lain adalah seorang pemungut cukai yang dibenci banyak orang. Namun meskipun ada perbedaan status sosial yang begitu jelas di antara mereka, yang Yesus tekankan dalam perumpamaan tersebut adalah perbedaan respons mereka. Sang pemungut cukai mengetahui dan mengakui bahwa dia adalah seorang pendosa. Di sisi lain, sang Farisi berpikir bahwa dirinya begitu baik di hadapan Tuhan. Yesus membenarkan respons sang pemungut cukai, dan berkata bahwa dia “dibenarkan Allah”.

Orang-orang Farisi yang merasa diri mereka benar telah menjadi buta dan tidak menyadari bahwa mereka adalah “orang sakit” dan membutuhkan seorang tabib (Markus 2:17; Matius 9:12-13). Dan itu adalah sesuatu yang berbahaya yang beberapa dari kita—bahkan yang ada di dalam gereja—dapat jatuh jika kita tidak berhati-hati.

Apakah kita menyadari betapa dalamnya kita telah jatuh di dalam dosa dan maukah kita datang kepada Tuhan dengan pertobatan yang sepenuh hati?

2. Para pendosa di dalam gereja mengandalkan Tuhan

Para pendosa di dalam gereja percaya kepada Tuhan dan tahu bahwa mereka tidak dapat menyelamatkan diri mereka sendiri—hanya Tuhan satu-satunya yang dapat menyelamatkan mereka.

Kita hidup di dalam kebergantungan kepada Tuhan, yang juga berarti jujur dalam mengungkapkan pergumulan-pergumulan terdalam dan tergelap kita kepada-Nya dan senantiasa datang kepada Tuhan untuk memohon pertolongan dan pengampunan-Nya.

St. Teresa dari Avila, seorang biarawati Spanyol di abad ke-16, pernah berdoa kepada Tuhan dengan sebuah kejujuran yang luar biasa: “Oh Tuhan, aku tidak mengasihi-Mu, aku bahkan tidak ingin mengasihi-Mu, tapi aku ingin untuk punya keinginan untuk mengasihi-Mu!”

Apakah kita mengungkapkan isi hati kita dengan jujur kepada Tuhan dan mengandalkan Dia setiap hari?

3. Para pendosa di dalam gereja berjuang melawan dosa setiap hari

Kita tidak imun terhadap dosa. Kita masih dapat jatuh ke dalam dosa, namun kita terus kembali dan bertobat, dan terus berjuang melawan dosa. Ini bukanlah sebuah perjuangan yang mudah. Tuhan memperingatkan kita untuk berjaga-jaga, karena lawan kita, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya (1 Petrus 5:8).

Hanya ketika kita mengandalkan Tuhan dan terus dekat dengan-Nya, kita dapat mengalahkan godaan-godaan yang ada dalam hidup kita sehari-hari. Dan setiap kali kita jatuh, kita dapat—dengan anugerah Tuhan—bangkit kembali.

Apakah kita berjuang melawan dosa setiap hari dan meminta kekuatan daripada Tuhan untuk melepaskan dosa-dosa kita?

4. Para pendosa di dalam gereja mengasihi pendosa-pendosa lainnya

Para pendosa di dalam gereja tahu bahwa Tuhan mengasihi pendosa-pendosa lainnya sama seperti Dia mengasihi kita. Dan karena Tuhan mengasihi pendosa-pendosa lainnya, kita juga mengasihi mereka. Kita tidak menghakimi kesalahan mereka atau mengabaikan mereka. Namun, kita berdoa untuk mereka, mengingatkan mereka di dalam kasih, dan membantu mereka untuk kembali ke jalan yang benar dan menjadi orang yang lebih baik.

Apakah kita mengasihi sesama kita seperti Tuhan mengasihi kita?

Penulis Morton Kelsey berkata: “Gereja bukanlah museum untuk orang-orang kudus tapi rumah sakit untuk para pendosa.” Bukankah benar demikian? Tapi jangan berhenti sampai di sana. Karena apa yang telah Yesus lakukan, kita bukan hanya para pendosa di dalam gereja, kita adalah para pendosa yang telah diselamatkan di dalam gereja.

3 Alasan Orang Menjauhi Gereja

Penulis: Yosua Andreas
Ilustrator: Armitze Ghazali

Tiga-Alasan-Orang-Menjauhi-Gereja

Sejak sekolah hingga kuliah, aku banyak menjumpai orang yang menolak Yesus dan menjauh dari gereja. Saat pertama kali mendengar dan memikirkan pandangan mereka yang menjauhi gereja, aku tidak tahu bagaimana harus berespons. Tetapi pandangan-pandangan yang pernah kudengar itu kemudian mendorongku untuk lebih banyak merenungkan tentang kehidupan dan tentang firman Tuhan. Meski aku bukan mahasiswa sekolah teologia, aku ingin bisa siap menjawab pergumulan mereka yang mungkin kecewa dengan kekristenan dan menjauhi gereja.

Tiga alasan yang paling sering kutemukan dari orang yang menolak Yesus dan menjauh dari gereja adalah sebagai berikut:

1. Orang yang rajin ke gereja itu adalah orang yang lemah dan penakut, tidak bisa apa-apa.
Seorang teman yang dulu pernah sangat rajin ke gereja memberi penjelasan yang cukup mengejutkan tentang mengapa ia kini tidak pernah datang lagi: “Berteman dengan orang-orang di gereja itu tidak enak. Mereka itu diajak bolos gak berani, keluar malam gak bisa, kerjasama waktu ujian gak mau, mereka gak bisa apa-apa. Beda dengan teman-temanku yang sekarang. Mereka adalah orang-orang yang berani dalam menjalani hidup. Mereka membuatku juga merasa lebih kuat dan berani. Bersama mereka, orang-orang pasti segan dan tidak berani menggangguku.”

Aku mencoba memahami maksud kata “kuat dan berani” yang ia katakan. Sepertinya yang ia maksudkan adalah berani melanggar aturan yang berlaku demi bisa diakui dan dipandang hebat oleh orang lain. Benarkah itu yang namanya kuat dan berani?

Ketika aku membaca Alkitab lebih banyak, aku menemukan orang-orang yang juga kuat dan berani. Paulus dan Stefanus misalnya. Akan tetapi keberanian mereka ditunjukkan bukan dengan cara menentang aturan demi mengikuti apa yang keliru. Mereka adalah orang-orang yang memilih untuk menjalani hidup sesuai kebenaran firman Tuhan, apapun risikonya. Mereka adalah orang-orang yang memilih untuk mengendalikan tutur lakunya sesuai firman Tuhan, memilih untuk mempertahankan iman, sekalipun harus bertaruh nyawa.

Ketika kita datang ke gereja dengan kerinduan untuk menyelaraskan hidup dengan kebenaran firman Tuhan, kita akan senang memiliki sahabat-sahabat yang berani menolak perbuatan-perbuatan yang tidak benar atau tidak bermanfaat. Tetapi, ketika kita datang dengan harapan orang akan mengiyakan keinginan kita dan membuat kita terlihat hebat, cepat atau lambat kita pasti akan kecewa.

2. Orang yang rajin ke gereja itu adalah orang-orang yang munafik.
“Males ah ke gereja, orang-orangnya munafik, pendetanya juga!” Aku sering menjumpai teman-teman, bahkan banyak orang yang sudah berkeluarga, punya pandangan demikian. Sebab itulah mereka menjauhi gereja. Memang tidak bisa dimungkiri, gereja bukanlah kumpulan orang yang sempurna. Banyak orang Kristen yang kelakuannya tidak mencerminkan imannya.

Akan tetapi, bukankah orang yang munafik ada di mana-mana, tidak hanya di gereja? Apakah misalnya, kita berhenti kuliah hanya gara-gara di kampus ada banyak teman yang “nakal” dan dosen yang “malas”? Oke, mungkin kita bisa memilih untuk pindah, tetapi apakah ada jaminan bahwa kampus lainnya bebas dari orang-orang yang demikian? Kemungkinan besar tidak. Kita akan selalu bertemu dengan orang-orang yang sulit, yang munafik, yang membawa masalah dalam hidup ini. Kalau hidup kita bergantung pada perilaku orang-orang di sekitar kita, maka dengan cepat kita akan meyerah dan menjauh. Kita perlu punya alasan atau tujuan yang jelas, mengapa kita memilih untuk melakukan sesuatu. Ketika tujuan akhir kita adalah meraih gelar sarjana misalnya, kita tidak akan berhenti kuliah hanya karena punya teman yang menjengkelkan.

Ketika kita datang ke gereja dengan kesadaran bahwa kita semua adalah orang berdosa yang membutuhkan Tuhan, kita akan lebih bisa menerima orang lain dengan segala keterbatasan mereka. Tetapi, ketika kita datang dengan harapan semua orang yang ada di gereja haruslah bertutur laku sempurna, cepat atau lambat kita pasti akan kecewa.

3. Orang yang rajin ke gereja itu adalah orang-orang yang tidak bisa berpikir logis.
Seorang tetangga pernah berkata bahwa menurutnya, Allah itu tidak ada dan Yesus itu hanya manusia biasa. “Kalau Tuhan benar ada, mengapa Dia membiarkan aku tetap miskin dan anak-anakku jadi pembangkang?” katanya kepada ibuku. Ia menganggap kekristenan tidak masuk akal, dan karenanya ia menjauh dari gereja.

Bicara bukti logis, sebenarnya para ilmuwan pun mengakui bahwa keberadaan Tuhan itu sudah sangat jelas. Aristoteles pernah berkata bahwa “Segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada yang menggerakkan.” Kalau melihat ponsel yang canggih, apakah kita berpikir bahwa ponsel itu terjadi secara kebetulan? Tentu tidak. Kita tahu ada yang membuatnya secara khusus. Demikian juga, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini menunjukkan keberadaan Tuhan yang sangat nyata.

Lalu, mengapa kita menderita? Mengapa ada doa-doa yang sepertinya tidak dijawab Tuhan? Aku menemukan jawabannya dalam kitab Ayub. Seperti yang dilakukannya kepada Ayub, Iblis berusaha membuat kita meragukan Tuhan karena mengizinkan penderitaan datang. Akan tetapi, Ayub menyadari bahwa keberadaan Tuhan tidak ditentukan oleh situasi hidupnya. Tuhanlah yang memberi kehidupan, Tuhanlah yang berhak mengatur apa yang terjadi, termasuk mengizinkan penderitaan datang. Ayub yakin bahwa Tuhan adalah pemilik hidupnya, dan dalam keyakinan itu Ayub tidak meragukan Tuhan meski masalah demi masalah terus menimpanya.

Ketika kita datang ke gereja dengan rasa lapar dan haus untuk mengenal Tuhan dan kebenaran-Nya, kita akan dipuaskan oleh Tuhan sendiri (Matius 5:6). Tetapi, jika kita datang dengan tujuan membenarkan pemikiran kita sendiri, cepat atau lambat kita pasti akan kecewa.

 
Untuk direnungkan lebih lanjut
Adakah orang-orang di sekitarmu yang sedang kecewa dan menjauhi gereja? Apa penyebabnya? Bagaimana kamu bisa menolong mengarahkan mereka kembali kepada Tuhan?