Posts

Tersesat di Dunia yang Kosong

Oleh Rosi L. Simamora

“Aku… tersesat di dunia yang kosong.” Malam itu ucapan Lara tersebut terngiang di telingaku.

Kedatanganku di rumahnya siang tadi disambut potret hitam-putih yang membuat jantungku tergeragap. Selama satu-dua detik aku seolah lumpuh, terlalu syok untuk dapat mengalihkan pandangan.

Lara, si tuan rumah, menoleh dan langsung mengerti. “Itulah harga yang kubayar. Pengingat yang pahit, aku tahu,” ucapnya.

Kutatap potret itu: wajah Lara sengaja dibiarkan kabur, sepasang tangannya yang terulur ke kamera dihiasi garis melintang panjang bekas irisan. Tipis, namun tetap terlihat. Seperti jeritan tanpa suara yang memekakkan. Kerongkonganku tersekat. Aku… sama sekali tidak tahu. Dunia tidak tahu. Bahwa di balik Lara yang selalu tampil sempurna dan bahagia di medsos-nya, ada Lara yang ini.

“Apa yang terjadi?” bisikku.

“Aku… tersesat di dunia yang kosong,” jawab Lara.

Pelan, sesekali berhenti di tengah ucapannya, Lara mengisahkan perjalanannya hingga menjadi seleb medsos tersohor. “Awalnya sederhana. Aku hanya ingin didengar. Dilihat. Diakui. Aku ingin orang tahu siapa aku,” ucapnya. “Aku kepingin membuktikan, dengan menjadi diri sendiri, kita bakal bahagia.”

Dunia maya langsung menyambut Lara. Apa pun yang ia pasang di akun medsosnya, dunia langsung menyambarnya. Mengapa tidak? Lara tampil unik. Percaya diri. Bahagia. Cerdas. Sukses. Pokoknya sempurna, khas figur idaman dunia.

“Hanya butuh beberapa ratus hari, angka-angka, dan barisan kotak komentar, maka moto ‘jadilah diri sendiri’ yang kujunjung pun rontok,” ucapnya tersenyum kecut.

“Angka-angka?” tanyaku, tapi langsung mengerti. “Ah, angka-angka subscriber, follower, like, maksudmu?” Lara mengangguk. “Tapi kenapa harus begitu? Bukannya dunia memujamu?”

Lara menggeleng muram. “Tidak juga. Dunia rupanya tidak pernah puas sampai dia berhasil mengubahmu,” bisiknya. “Walaupun postinganku menuai puja-puji, selalu saja ada yang berkomentar miring. Mengkritik ini. Membahas itu. Mengomentari hal-hal remeh.” Lara menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. “Tapi aku terobsesi dengan angka-angka itu. Dan aku membutuhkan restu dunia untuk menaikkan jumlahnya. Jadi ya… begitulah. Aku tak lagi bebas memasang konten yang ‘gue banget’. Karena salah konten sedikit saja, angka-angka itu langsung berkurang drastis. Dan kalau angka itu berkurang, aku cemas.”

Tanpa benar-benar menyadarinya, Lara pun mengunci kebahagiaannya pada angka-angka tersebut. “Akhirnya… angka-angka itulah yang menentukan citra diriku,” ujarnya.

“Kepuasan dan kebahagiaanku jadi semakin singkat dan dangkal, hanya dari satu konten ke konten.” Ia memandang ke dinding di belakangku, tempat potretnya tergantung. “Dan tidak berbeda dengan dunia, egoku juga tak kenal puas. Haus popularitas, haus perhatian, haus pengakuan…,” bisiknya pelan.

Lara ganti menatapku, dan salah satu ayat dalam Amsal 27 muncul begitu saja di benakku. “Di dunia orang mati, selalu ada tempat; begitu pula keinginan manusia tidak ada batasnya”(Amsal 27:20, BIS).

“Bayangkan, aku sampai rela tidak lagi menjadi diriku sendiri, dan ganti menjadi versi Lara yang dicintai dunia,” akunya. “Dengan penuh perhitungan, kususun ulang citra diriku. Kuatur sedemikian rupa, supaya cocok dengan kotak medsos tempat aku memasang potongan kehidupanku. Aku mulai memilah dan memoles sisi mana saja dari diriku yang ingin kutampilkan, menyesuaikannya dengan selera dan minat dunia.

“Tapi tahu tidak? Meski aku berhasil memperoleh semua yang kuinginkan, aku tidak bahagia.

Aku sudah mencoba menjadi diriku sendiri, tapi kepuasan yang kudapatkan hanya sebentar. Aku juga sudah mencoba menjadi versi yang dunia inginkan, tapi itu pun tidak mendatangkan sukacita. Semua yang kulakukan… seperti sia-sia,” bisiknya.

Hari lepas hari ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan menggerogoti Lara, menciptakan lubang besar yang semakin mengisapnya. Dunia masih gaduh dengan pendapatnya yang berubah-ubah dan cetek, tapi di tengah semua kebisingan itu, Lara merasa… Kosong. Tersesat.

Kosong. Tersesat.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang pernah kubaca di buletin gereja. Ingin rasanya aku berkata ke Lara, “Kalau saja kamu tahu, Ra, tidak ada satu pun pencapaian maupun harta kita yang bisa benar-benar mengisi kekosongan dalam hati kita. Kalau saja kamu tahu, bahwa kepuasan hati kita, nilai diri kita, dan makna hidup kita harus datang dari Allah. Kenapa? Karena sesungguhnya hanya Dia yang menciptakan kita yang tahu apa yang sejatinya kita butuhkan .” Tapi aku menahan diri dan tidak melontarkannya, aku ingin ia melanjutkan ceritanya.

“Dan malam itu aku merasa sangat sendirian. Kosong. Tersesat. Aku hanya melihat satu jalan keluar untuk mengakhiri penderitaanku…” bisik Lara, ujung jemarinya menyusuri garis di pergelangan tangannya. Sekujur tubuhku bergidik.

“Apa… persisnya yang terjadi malam itu, Ra? Apa yang akhirnya menyelamatkanmu?” tanyaku.

“Tuhan,” jawab Lara, matanya berlinang. “Tepat setelah aku melukai diriku dan terbaring di lantai, mataku menangkap poster berbingkai yang kamu kirim tahun lalu. Tulisan di poster itu membuatku marah waktu itu, karena berasa kamu menghakimiku.”

Tentu saja aku ingat. Poster itulah yang membuat Lara memutuskan persahabatan kami.

“Aku merasa aneh saat itu, karena seingatku poster itu sudah kusingkirkan di celah antara lemari dan dinding kamar. Namun pagi itu rupanya ART kami membersihkan celah itu dan lupa mengembalikannya ke tempat semula. Jadi di sanalah poster itu menatapku, seolah Tuhan memakainya untuk menyadarkanku.”

“Kamu tahu kan momen ketika kita mengalami Tuhan?” tanyanya. Aku mengangguk. “Nah, itulah yang terjadi padaku malam itu. Aku tiba-tiba sadar apa yang menjadi sumber ketidakbahagiaanku: aku mencoba mengandalkan diriku sendiri, padahal aku takkan mampu. Aku mengira dengan ‘jadilah diri sendiri’, semua akan beres dan aku bisa mengubah dunia. Padahal itu tidak benar. Dan malam itu, tulisan di poster itu memberiku harapan.

Ia tersenyum lebar sekarang. “Tuhan sungguh baik. Waktu kupikir aku sangat sendirian malam itu, aku keliru. Karena meski aku telah meninggalkan Tuhan, Tuhan tidak pernah meninggalkan aku. Dan meski aku telah berpaling dari-Nya untuk mencari kesukaan manusia dan bukan kesukaan-Nya, Dia tetaplah Allah yang maha pengasih.” Ia memelukku erat-erat sambil membisikkan terima kasih dan meminta maaf karena pernah menolak persahabatanku. “Kamu mau terus menolongku dengan jadi temanku, kan?” ia bertanya.

Aku mengangguk sepenuh hati, mataku menangkap poster yang terpajang jauh di dinding di belakangnya. Walaupun tulisan pada poster itu terlalu kecil untuk dapat kubaca, aku hafal setiap katanya, yang dikutip dari tulisan Greg Morse: “Don’t ‘ just be yourself’. Be something greater. Be the version of you that Jesus died to create”—“Jangan ‘jadilah dirimu sendiri’, tetapi lebih dari itu. Jadilah dirimu yang ingin diciptakan Kristus lewat kematian-Nya.

Malam ini, di kamarku yang senyap, akhirnya air mataku luruh. Sepotong tulisan C.S. Lewis di Mere Christianity terbit dalam ingatanku. “Cari dirimu sendiri, maka ujung-ujungnya kamu hanya akan menemukan kebencian, kesepian, keputusasaan, kemarahan, kehancuran, dan kebusukan. Namun, carilah Kristus, maka kamu akan menemukan Dia, dan bersama Kristus akan engkau temukan segalanya.”

Untuk pertama kali, aku bersyukur pernah mengirimkan poster itu kepada Lara. Meski persahabatan kami sempat terputus, kini aku tahu, Tuhan punya rencana-Nya sendiri. Perjalanan Lara selanjutnya pastinya bukan hal mudah. Namun, aku akan menemaninya. Dan aku akan memulainya dengan berdoa agar Lara terus mengizinkan Roh Kudus melepaskan dirinya dari pengaruh dunia. Dan agar Roh Kudus terus mengubahnya hingga menjadi versi dirinya yang ingin diciptakan Kristus melalui kematian-Nya.

3 Akibat yang Kurasakan Ketika Aku Terlalu Terobsesi dengan Drama Korea

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Jalan cerita yang menarik dan para pemainnya yang rupawan merupakan daya tarik tersendiri dari drama Korea. Aku suka drama Korea yang bergenre romantis dan komedi. Hingga saat ini, mungkin sudah ada puluhan drama Korea yang kutonton.

Kesukaanku pada drama Korea bermula ketika aku duduk di bangku SMA. Waktu itu aku menyukai sebuah drama berjudul “Dream High” yang bercerita tentang pencarian jati diri seorang remaja dan bagaimana dia meraih mimpinya. Drama ini membuatku jadi semangat untuk juga meraih mimpiku. Kemudian, aku mulai mengidolakan beberapa aktor Korea dan mendengarkan lagu yang mereka nyanyikan berulang-ulang. Terkadang, aku begitu tenggelam dalam chemistry yang diperankan oleh sepasang sejoli di drama tersebut dan mulai berkhayal bagaimana seandainya jika aku yang menjadi pemeran utama.

Setelah aku mengenal Kristus secara pribadi, aku masih menyempatkan diri untuk menonton drama Korea di waktu senggangku. Namun, seiring berjalannya waktu aku menyadari ada beberapa hal tentang drama Korea yang dapat mengganggu pertumbuhan imanku jika aku tidak bijak menyikapinya.

Inilah 3 dampak negatif drama Korea menurutku yang dapat mengganggu pertumbuhan imanku:

1. Terlalu terobsesi dengan drama Korea membuatku tidak bijak menggunakan waktu

Jalan cerita dalam drama Korea sering membuatku penasaran. Akibatnya, aku ingin terus menerus menontonnya sampai tamat secepat mungkin. Drama Korea yang memiliki 16-20 episode itu biasanya dapat selesai kutonton selama 4-7 hari. Bahkan jika ditonton berturut-turut tanpa melakukan pekerjaan apapun, hanya memerlukan waktu 3 hari untuk menuntaskan seluruh episodenya.

Secara tidak sadar, rasa penasaran akan kelanjutan cerita dalam drama Korea membuatku menggunakan sebagian besar waktuku hanya untuk menonton. Aku pernah ditegur oleh orangtuaku karena obsesiku yang berlebih terhadap drama Korea membuatku tidak membantu pekerjaan rumah. Ketika seluruh anggota keluarga sedang membersihkan rumah, aku malah asyik sendiri di depan laptop. Aku sadar aku telah bersalah karena tidak mempedulikan keadaan di sekitarku.

Bahkan di saat aku bersaat teduh, aku jadi tergoda dan terus memikirkan tentang bagaimana kelanjutan drama Korea yang aku tonton. Aku jadi tidak berkonsentrasi dalam membaca firman Tuhan dan terburu-buru karena tidak sabar untuk menonton drama Korea.

“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Menonton drama Korea di waktu senggang sejatinya bukanlah masalah. Akan tetapi, apabila seluruh waktuku kugunakan untuk menonton dan mengabaikan tanggung jawabku, maka tindakan ini bukanlah sesuatu yang bijak.

Aku pun belajar untuk mengatur waktuku dengan lebih bijak, tidak seluruh waktu luangku kuhabiskan dengan menonton drama Korea. Jika aku sedang di rumah dan kedua orangtuaku membutuhkan bantuan, maka aku akan membantu mereka lebih dahulu daripada menonton drama Korea.

2. Terlalu terobsesi dengan drama Korea membuatku memuja ilah romantisme

Ada banyak jenis berhala di dunia ini. Salah satunya adalah imaji akan cinta yang romantis. Dunia menanamkan nilai-nilai pada diri kita bahwa kita tidak akan bahagia jika tidak memiliki kisah cinta yang romantis. Kemudian, inilah yang dikejar oleh banyak orang, perasaan cinta yang menggebu-gebu atau mabuk kepayang.

Tanpa kusadari, dulu aku pernah mengingini cinta romantis seperti yang banyak diceritakan dalam drama Korea. Cinta yang terlihat begitu sempurna, padahal pada kenyataannya setiap hubungan dalam dunia tidak sepenuhnya romantis seperti diceritakan dalam drama Korea. Aku bersyukur karena di kemudian hari Tuhan menyadarkanku. Cinta romantis dalam suatu hubungan memang indah. Tapi, tanpa adanya Allah dalam hubungan itu, cinta romantis tidak akan bertahan lama, segera hilang.

“Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yohanes 4:9). Kasih Allah adalah satu-satunya kasih yang sejati. Dan, karena kasih Allah inilah kita dimampukan untuk mengasihi orang lain apa adanya, bukan karena penampilan orang itu yang menarik, ataupun karena kekayaannya. Kita mengasihi orang lain karena Allah telah mengasihi kita terlebih dahulu.

3. Terlalu terobsesi dengan drama Korea membuatku merasa rendah diri

Selain jalan ceritanya, hal lain yang paling menarik dari drama Korea adalah aktor dan aktris yang memainkannya. Semuanya terlihat tampan dan cantik. Aku pikir tidak ada yang salah dengan hal ini. Namun, seringkali kita malah jadi mulai membandingkan diri kita sendiri dengan mereka. Kita jadi mengasihani diri sendiri atau merasa tidak puas; Kenapa aku tidak sekurus itu? Mengapa kulitku hitam?

Aku pernah merasa frustrasi karena merasa berat badan dan warna kulitku tidak ideal. Namun, firman Tuhan dalam Yesaya 43:4 dengan jelas menyatakan bahwa di mata Tuhan aku begitu berharga dan Dia mengasihiku. Mengetahui kebenaran bahwa aku dikasihi oleh Sang Pencipta memulihkan caraku memandang diriku.

* * *

Sampai saat ini, drama Korea masih menyenangkan buatku dan aku menontonnya sebagai hiburan di sela-sela waktu senggangku. Hanya saja, sekarang aku jadi lebih bijaksana dalam menggunakan waktu. Bagaimana pun, hubungan dengan Allah harus menjadi prioritas utamaku. Aku juga belajar untuk bisa menyaring nilai-nilai apa yang seharusnya tidak kutanam dalam pikiranku dan kutiru. Mari kita berdoa supaya kita bisa bersikap bijaksana dalam mengisi waktu-waktu luang kita dan terus belajar untuk mengutamakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengajarkanku untuk Terlebih Dahulu Meminta Maaf

Secara tidak sengaja, teman dekatku menyinggungku. Karena kesal, aku membalasnya dengan berdiam diri dan menganggapnya seolah tak ada. Tapi, melalui sebuah peristiwa, aku sadar bahwa tindakanku itu bukanlah yang paling tepat dan Tuhan memprosesku untuk menundukkan rasa egoisku.

5 Hal yang Menolongku Lepas dari Kecanduan Bermain Game

lepas-dari-kecanduan-bermain-game

Oleh Charles Christian

Beberapa tahun yang lalu, aku mengenal sebuah game ponsel yang bernama “Temple Run”. Cara bermain game itu begitu sederhana: Larilah sejauh yang kamu bisa (jangan sampai jatuh ke jurang, menabrak penghalang, atau diterkam oleh monster) sambil menyelesaikan berbagai misi yang ada. Setiap hari, aku menghabiskan berjam-jam bermain dengan ponselku, mencoba untuk menyelesaikan beberapa misi dan mengumpulkan “koin-koin” sehingga aku bisa mendapatkan power-up dan berbagai karakter yang baru. Singkatnya, aku jadi kecanduan.

Setelah sebulan, aku menyadari ada sesuatu yang salah. Aku tidak menjawab ibuku yang meminta pertolonganku secepat biasanya. Aku tidak berdoa dan berelasi dengan orang-orang sebanyak biasanya. Aku juga jadi kurang tidur dan mataku seringkali menjadi lelah karena terus-menerus menatap layar ponselku—setelah 8 jam aku menatap layar komputer di kantor. Meskipun aku harus mengakui bahwa game ini sangat menyenangkan, aku tahu aku tidak boleh terus-menerus seperti ini. Game ini telah menyita terlalu banyak waktu-waktuku yang berharga.

Jadi aku memutuskan untuk berhenti bermain game itu sama sekali. Aku mempertimbangkan untuk membuang game tersebut dari ponselku, tapi memikirkan bahwa aku akan kehilangan dalam sekejap semua pencapaian yang telah susah-payah aku raih membuatku membatalkan niat itu. Tapi akhirnya, dua alasan yang meyakinkanku untuk membuang game itu: Itu adalah cara yang pasti untuk menghilangkan godaan secara total dan itu membantu menambah memori ponselku.

Sejak saat itu, aku mulai menggunakan waktu-waktu yang ada untuk membaca Alkitab dan belajar membuat aplikasi web. Ketika aku melihat lagi ke masa-masa itu, aku menemukan beberapa hal yang menolong melepaskanku dari kecanduan bermain game ini.

1. Pahami akar masalahnya

Masalah di balik kecanduan bermain game bukanlah game itu sendiri. Masalahnya adalah diriku—kekeliruanku dalam menentukan apa yang menjadi prioritasku. Mencari kesenangan telah menjadi prioritasku di atas hal-hal lain yang lebih penting seperti hubunganku dengan Tuhan dan keluargaku.

Yesus berkata, “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Matius 6:24). Meskipun Yesus sedang berbicara tentang uang di dalam ayat tersebut, aku percaya prinsip ini berlaku untuk untuk apapun yang mengambil alih tempat Tuhan di dalam hidup kita.

Aku tahu aku perlu mengatur ulang prioritasku, menempatkan Tuhan sebagai yang pertama di atas segala hal lain dalam hidupku. Namun itu adalah sesuatu yang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, dan kita membutuhkan pertolongan Tuhan dan butuh diingatkan secara rutin untuk membuat prioritas yang benar di dalam hidup kita.

2. Timbang keuntungan dan risiko jangka panjangnya

Secara alami kita akan mempertimbangkan keuntungan-keuntungan dan risiko-risiko jangka pendek, dan berpikir bahwa kita baik-baik saja. Jika kita melihat jangka pendek, keuntungan-keuntungan yang ada akan selalu lebih besar daripada risiko-risiko yang ada. Pada awalnya, aku tidak melihat ada risiko yang signifikan dari bermain “Temple Run”—bagaimanapun juga, game ini begitu menyenangkan.

Tapi ketika aku mulai melihat risiko-risiko jangka panjang yang ada dan membandingkannya dengan keuntungan-keuntungan jangka panjangnya, aku menyadari betapa banyak hal yang aku korbankan. Dalam jangka panjang, aku akan membuang banyak waktu, melewatkan banyak kesempatan, memperburuk banyak hubungan, dan bahkan, merusak kesehatanku. Adakah keuntungannya? Yah, mendapatkan kesenangan. Tapi itu tidak sebanding dengan apa yang harus aku korbankan.

Kita perlu untuk secara sengaja mempertimbangkan dampak-dampak jangka panjang yang mungkin muncul dari tindakan kita. Inilah yang Yesus katakan tentang diri-Nya ketika Dia tahu bahwa Dia harus mati di atas kayu salib. Ibrani 12:2 memberitahu kita, “Yesus … dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.” Meskipun memikul salib adalah sebuah penderitaan bagi-Nya, Dia melihat keuntungan jangka panjang yang ada—sukacita yang dihasilkan dari pengorbanan-Nya—dan dengan setia dan taat memikul salib tersebut.

3. Berhenti sepenuhnya

Beberapa orang percaya bahwa menghilangkan kebiasaan buruk adalah sebuah proses sedikit demi sedikit. Contohnya, jika kamu ingin menghilangkan kebiasaan bermain game di ponselmu, mulailah dengan mengurangi jumlah jam bermain setiap minggu: 5 jam minggu ini, lalu kurangi jadi 4 jam pada minggu berikutnya, dan seterusnya. Pada akhirnya, kamu akan berhenti bermain sepenuhnya. Meskipun beberapa orang berhasil menggunakan cara ini, cara ini tidak berhasil untukku. Cara ini hanya membuatku mencari alasan untuk tetap bermain “satu kali lagi”.

Berhenti sama sekali adalah cara yang paling efektif bagiku. Itu menghindariku dari lingkaran “bermain-satu-kali-lagi-saja” yang membuatku jauh lebih sulit untuk berhenti. Selain itu, aku juga mendapatkan keuntungan instan. Tiba-tiba, aku mempunyai begitu banyak waktu kosong!

Untukku, pertemuan Yesus dengan perempuan Samaria yang berdosa telah menolongku untuk mengambil keputusan ini. Ingat apa yang Yesus katakan di akhir kisah tersebut? Yesus berkata kepada perempuan itu, “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yohanes 8:11). Itu adalah sebuah perintah untuk berubah 180 derajat. Tuhan ingin kita meninggalkan dosa-dosa kita sepenuhnya.

4. Ganti kebiasaan lama dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik

Dengan waktu kosong yang kini kamu peroleh, penting untuk menemukan sebuah hobi baru atau kebiasaan baru yang memungkinkanmu menggunakan waktumu dengan bijak dan tidak tergoda untuk kembali kepada cara hidupmu yang lama. Dalam pengalamanku, aku memutuskan untuk menggunakan waktuku untuk membaca Alkitab dan mempelajari keahlian baru, yaitu membuat aplikasi web.

5. Cari orang yang kamu percaya untuk membantumu

Alkitab memberitahu kita bahwa kita menjadi lebih kuat ketika kita berjalan bersama-sama. Pengkhotbah 4:9-10 berkata, “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!” Aku percaya ada banyak manfaat yang kita dapatkan dari mempunyai seseorang yang dapat kita percayai untuk membantu kita, seseorang yang dapat kita ajak berbagi pergumulan-pergumulan kita dan menolong kita mengatasi tantangan-tantangan yang ada. Kita juga dapat menjadi bagian dari sebuah kelompok yang saling mendukung satu sama lain.

Sebagai seorang introvert, tidak mudah bagiku untuk menceritakan masalahku dengan orang lain. Jadi awalnya, aku belajar untuk menceritakan pergumulanku dengan Tuhan di dalam doa. Dan oleh karena anugerah-Nya, Dia memberikanku beberapa teman yang dapat dipercaya. Mereka telah menjadi bagian penting dalam menolongku untuk tetap setia dalam komitmen yang telah aku buat.

Apakah kamu ingin lepas dari kecanduanmu juga? Satu hal penting yang perlu kita ingat adalah ini: tindakan-tindakan kita tidak hanya mempengaruhi diri kita sendiri. Pikirkanlah orang-orang yang kita kasihi dan pikirkanlah bagaimana tindakan-tindakan kita mempengaruhi mereka jika kita tidak berubah. Namun di atas segalanya, pikirkanlah segala hal yang telah Tuhan berikan bagi kita dan harga yang telah Yesus bayar di atas kayu salib untuk menyelamatkan kita.

Karena Dia, hidup kita diubahkan. Dan kiranya kita dapat terus diubahkan oleh-Nya menjadi pribadi yang lebih baik.

Baca Juga:

Sebuah Pesan Berharga dari Christina Grimmie

Berita pembunuhan Christina Grimmie, penyanyi Amerika berusia 22 tahun yang begitu terkenal di YouTube dan finalis The Voice USA (Musim ke-6), begitu mengejutkan. Dunia berduka mendengarnya. Namun, ada satu pesan berharga yang ditinggalkan oleh Christina.

Bergumul Dengan Kecanduan

Senin, 1 Desember 2014

Bergumul Dengan Kecanduan

Baca: Ibrani 4:14-16

4:14 Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita.

4:15 Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.

4:16 Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.

Sebab Allah setia. —1 Korintus 10:13

Bergumul Dengan Kecanduan

Eric sedang bergumul menghadapi kecanduan, dan ia menyadarinya. Para sahabat dan keluarga telah mendorongnya supaya berhenti. Ia tahu bahwa menghentikan kecanduannya adalah yang terbaik demi kesehatannya dan relasinya dengan sesama, tetapi ia merasa tidak berdaya. Ketika orang-orang menceritakan kepada Eric bagaimana mereka dapat berhenti dari kebiasaan buruk mereka, ia menjawab, “Aku senang kalian bisa berhenti, tetapi sepertinya aku takkan bisa berhenti! Andai saja aku tak tergoda sebelumnya. Aku ingin sekali Allah melenyapkan hasratku saat ini juga.”

Memang ada orang yang dapat lepas dari kecanduan dengan seketika, tetapi kebanyakan dari kita terus bergumul dari hari ke hari. Meskipun kita tidak selalu mengerti mengapa godaan itu tidak pergi juga, kita dapat datang kepada Allah bagaimanapun keadaan kita. Mungkin itulah aspek yang terpenting dari pergumulan kita. Kita belajar mengganti usaha kita yang sia-sia untuk berubah dengan sikap yang sepenuhnya bergantung kepada Allah.

Yesus juga dicobai, sama seperti kita, sehingga Dia memahami apa yang kita rasakan (Mrk. 1:13). Dia ikut merasakan pergumulan-pergumulan kita (Ibr. 4:15), dan kita dapat “dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya” (ay.16). Dia juga memakai orang lain, termasuk para konselor yang terampil, untuk menolong kita di tengah pergumulan.

Apa pun pergumulan yang kita hadapi hari ini, kita tahu bahwa Allah mengasihi kita jauh melebihi yang dapat kita bayangkan, dan Dia selalu siap untuk menolong kita. —AMC

Untuk Direnungkan
Baca Matius 4:1-11 tentang cara Yesus mengatasi pencobaan.
Baca juga 1 Korintus 10:11-13 untuk mengenali bagaimana Tuhan
dapat menolong kita ketika kita dicobai.

Kita dicobai bukan karena kita jahat; kita dicobai karena kita hanyalah manusia biasa.