Posts

Kebohongan yang Kita Genggam, Membuat Kita Mudah Menyerah

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

“Kuliah jangan di perguruan tinggi swasta, nanti kamu susah dapat kerja.”

“Jurusan untuk perempuan itu bagusnya ambil pendidikan atau keguruan, supaya bisa bekerja sambil mengurus keluarga.”

“Untuk apa lanjut kuliah S2? Nanti ujung-ujungnya kamu di rumah saja. Toh juga yang mencari nafkah kelak adalah tugas suamimu.”

“Duh, ngapain pacaran jarak jauh, nanti ujung-ujungnya putus.”

Itu adalah beberapa pernyataan yang pernah disampaikan orang-orang kepadaku. Aku tidak tahu apa yang mendasari mereka mengatakan hal tersebut. Kadang aku beranggapan mungkin mereka pernah melihat orang yang mengalami hal yang sama atau mungkin mereka sendiri pernah mengalaminya. Di awal aku sempat kepikiran dengan pernyataan-pernyataan tersebut. Aku takut melangkah karena bisa jadi yang mereka katakan itu benar, apalagi yang mengatakannya adalah orang-orang yang sudah dewasa atau berpengalaman.

Namun, kembali ke tulisanku dua bulan lalu, “Membuat Pilihan yang Berkenan pada Tuhan”, sejatinya yang penting adalah bagaimana kita bergumul terlebih dahulu kepada Allah saat membuat keputusan. Orang lain tidak mengambil andil sepenuhnya dalam setiap hal yang kita putuskan. Jika Allah meyakinkan kita untuk membuat pilihan tersebut, lakukanlah, sambil terus senantiasa bergumul dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Sekalipun kita gagal, Allah pun akan turut campur tangan menggunakan kegagalan tersebut untuk kebaikan buat hidup kita.

Kita sering diperhadapkan dengan pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diuji kebenarannya. Misalnya: kalau aku kuliah di perguruan tinggi swasta aku susah dapat kerja. Nyatanya, aku bisa dapat kerja yang baik walaupun aku lulusan perguruan tinggi swasta. Kadang kala, pernyataan-pernyataan itu malah membuat kita jadi menyerah duluan. Bayangkan, jika ada beberapa orang yang lulusan perguruan tinggi swasta mendengar pernyataan tersebut lalu menelannya mentah-mentah. Mereka mungkin menjadi tidak bersemangat, enggan berusaha dengan lebih lagi, hingga akhirnya jadi sungguhan kesulitan mendapat kerja.

Pernyataan yang tidak bisa diuji kebenarannya sesungguhnya sangat berbahaya dan bisa membuat orang lain menyerah dalam mengerjakan setiap hal dalam hidupnya.

Kyle Idleman, dalam bukunya yang berjudul Don’t Give Up mengatakan bahwa dalam kehidupan, kita sering sekali diperhadapkan dengan berbagai kebohongan. Karena kita mempercayai kebohongan itu, maka kita pun menjadi hidup sesuai dengan kebohongan tersebut. Mungkin bukan masalah besar jika kita menghabiskan waktu kita dengan kebohongan yang terbilang tidak serius, misalnya: jangan potong kuku di malam hari. Tetapi, bagaimana jika kita diperhadapkan dengan kebohongan yang lebih serius?

Menurut Kyle Idleman, ada tiga kebohongan yang sering kita percayai dan mari kita pelajari kebenaran Firman Allah yang mampu membebaskan kita dari kebohongan tersebut:

1. Kita tidak punya kemampuan yang dibutuhkan untuk berhasil

Ketika Allah mempercayakan kita sesuatu untuk dikerjakan, maka Dia akan memberikan kita kemampuan untuk mengerjakannya. Misalnya: kita sedang bergumul untuk mengerjakan tugas akhir. Allah mempercayakan kita untuk sampai ke tahap mengerjakan tugas akhir, artinya Dia akan menolong kita untuk mengerjakannya.

Baru-baru ini, aku mendapatkan tanggung jawab yang baru di pekerjaanku. Awalnya aku merasa tidak sanggup, pekerjaan itu menurutku sangat berat untuk aku lakukan, tetapi aku tidak bisa menolak karena itu sudah keputusan dari pimpinan di tempat kerjaku. Aku berdoa dan bergumul sama Tuhan. Dalam saat teduhku, Allah mengingatkanku dari Filipi 4:19 “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.” Pagi itu aku diingatkan, keperluanku bukan hanya soal uang, makan, minum atau kebutuhan jasmani lainnya. Keperluan disini juga termasuk kemampuan yang akan diberikan Tuhan agar aku dimampukan mengerjakan tanggung jawab yang baru dipercayakan kepadaku.

Bersama Tuhan, kita memiliki segala sesuatu yang kita perlukan untuk melakukan segala sesuatu yang perlu kita kerjakan.

2. Kita bisa memperbaikinya sendiri

Bagian ini berlawanan dengan poin yang pertama, tetapi ini pun masih sebuah bentuk kebohongan. Kita sering beranggapan bahwa kita bisa menyelesaikan sendiri setiap hal yang terjadi dalam hidup kita. Kita merasa tidak perlu memerlukan bantuan orang lain. Kita berusaha menyembunyikan segala kelemahan dan kekurangan kita. Padahal secara tidak langsung selain sedang melakukan kebohongan, kita juga sedang melakukan kesombongan. Merasa tidak memerlukan Tuhan atau orang lain. Kondisi ini pun bisa menyebabkan kita menjadi menganggap enteng setiap masalah yang kita hadapi, merampas keintiman dalam hubungan kita dengan orang lain, dan menjadikan kita seperti munafik, karena tidak membiarkan orang lain tahu kelemahan kita dan ini merupakan suatu hal yang sangat melelahkan.

Tidak semua hal tentunya perlu kita sampaikan kepada orang lain. Yang utama yang perlu kita lakukan adalah bergumul bersama Allah lewat doa dan Firman setiap hari. Jika Allah mengarahkan kita untuk meminta bantuan orang lain, kita melakukannya. Namun pada kenyataannya, kita juga sering gagal. Kita lebih sering menyimpan sendiri atau buru-buru mencari pertolongan kepada orang lain. Kita lupa untuk terlebih dahulu bergumul kepada Allah.

3. Kita pantas bahagia

Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia (Filipi 1:29).

Keadaan yang sulit, kondisi yang tidak kita inginkan, seringkali membuat kita merasa bahwa Tuhan sedang tidak berpihak kepada kita. Tidak jarang kita bahkan menyalahkan Tuhan untuk setiap kesulitan atau penderitaan yang kita alami.

Tuhan ingin kita bahagia, tetapi kebahagiaan yang berasal dari mengejar dan mengenal Dia. Sayangnya, kita sering memandang Tuhan sebagai alat untuk meraih kebahagiaan dalam versi kita sendiri. Kita tidak memiliki Tuhan agar Dia bisa memberi kita berkat supaya kita bahagia. Kita memiliki Tuhan, dan Dia adalah kebahagiaan sejati itu.

Bahkan seringkali kesulitan dan penderitaan kita alami tujuannya adalah untuk mengenal Allah, supaya kita menemukan bahwa hanya Allah saja yang mampu membuat kita bahagia.

Sangat mudah bagi kita untuk mempercayai setiap kebohongan yang disampaikan di tengah kehidupan kita setiap hari. Bahkan kebohongan itu sering membuat kita menjadi memilih untuk menyerah.

Saat ini, aku tidak tahu kebohongan-kebohongan apa yang sudah teman-teman percayai. Jika kita tahu bahwa semua itu adalah kebohongan, maka kita tidak akan mempercayainya. Tetapi, ketika kebohongan-kebohongan itu kita percayai, maka kebohongan-kebohongan itu memiliki kekuatan atas hidup kita. Jika saat ini rasanya kita ingin menyerah, entah itu karena kondisi keluarga, kondisi studi, kondisi pekerjaan atau mungkin kondisi keuangan, mari kita coba tanyakan dalam diri kita, apakah ada kebohongan yang sedang kita genggam. Berdoalah dan minta Tuhan untuk menyatakan kebohongan apapun yang sedang kita hidupi.

Kita berharga di mata Tuhan, buktinya Dia sudah memberikan Putra-Nya Yesus Kristus untuk disalibkan menebus seluruh dosa-dosa kita. Jangan biarkan kebohongan-kebohongan yang ada di dunia ini membuat kita menjauh dari Tuhan.

Hidupmu berharga bagi Allah
Tiada yang tak berkenan di hadapan-Nya
Dia ciptakan kau seturut gambar-Nya
Sungguh terlalu indah kau bagi Dia

Dia berikan kasih-Nya bagi kita
Dia telah relakan segala-galanya
Dia disalib tuk tebus dosa kita
Karena hidupmu sangatlah berharga

Buluh yang terkulai takkan dipatahkan-Nya
Dia kan jadikan indah sungguh lebih berharga
Sumbu yang telah pudar takkan dipadamkan-Nya
Dia kan jadikan terang untuk kemuliaan-Nya

Baca Juga:

Kemenangan Melintasi Jalur Sunyi

“Kuliah itu kudu di negeri.”
“Ah, anak kota mah manja, mana sanggup jauh dari orang tua”
“Masih fresh graduate, susah cari kerja.”

Pernyataan di atas mungkin kita dengar ketika jalan yang kita pilih berbeda dari pilihan kebanyakan orang. Tapi, di pilihan dan jalan sunyi sekalipun, Tuhan menuntun kita.

Saat Aku Mencintainya Lebih Dari Tuhan

Penulis: By
Artikel Asli dalam Bahasa Thailand: รักเรา… พระเจ้าอยู่ไหน?

When-God-Was-Not-My-First-Love

Peristiwa ini aku alami saat masih kuliah. Pada masa-masa itu, aku selalu mengikuti kata hatiku sendiri.

Ben (bukan nama sebenarnya) dan aku sudah berteman baik selama 3 tahun. Pada tahun terakhir kuliah, hubungan persahabatan kami mulai tidak biasa. Kami lebih dari teman biasa, tetapi tidak sampai resmi berpacaran. Kami jelas saling menyukai, namun aku tahu bahwa menjalin hubungan khusus dengannya bukanlah sesuatu yang mudah karena ia suka main mata dengan perempuan.

Meski sudah sangat jelas ia orang yang seperti apa, aku memberanikan diri bertanya apakah ia akan membawa hubungan kami ke tahap selanjutnya. Jawaban singkatnya adalah: “tidak”. Ia merasa sudah puas dengan hubungan kami yang sekarang dan ia belum ingin terikat dengan siapa pun pada saat itu. Aku sebenarnya senang bisa dekat dengannya lebih dari sekadar teman biasa, sekalipun aku juga tidak yakin mau meneruskan hubungan kami yang serba tidak jelas. Namun, setiap kali aku mendoakannya, aku merasa tidak tenang, aku takut Tuhan akan menjauhkannya dari hidupku karena ia bukanlah seorang Kristen.

Sebagai orang yang baru saja menerima Kristus pada tahun kedua di kampus, aku sendiri punya banyak pertanyaan tentang Tuhan, tentang kekristenan, dan tentang cinta. Aku bertanya-tanya, “Mengapa orang Kristen tidak boleh berpacaran dengan orang non-Kristen? Bukankah Ben juga perlu diselamatkan? Bagaimana bila aku dapat meyakinkannya untuk menjadi seorang Kristen?”

Pada saat itu, aku merasa bahwa pembimbingku tidak mengerti dan tidak memberiku dukungan sama sekali. Setiap kali aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, ia akan memberi jawaban yang sama, “Terlalu berisiko berpacaran dengan orang yang tidak seiman. Kalian berdua memiliki keyakinan yang berbeda. Apakah kamu mau nekad menjalin hubungan dengannya?” Lama-kelamaan aku memutuskan untuk tidak lagi berkonsultasi dengannya. Aku yakin bahwa aku tahu apa yang terbaik untuk diriku dan aku bisa menangani masalahku sendiri.

Jadi, hubunganku yang tidak jelas bersama Ben terus berlanjut—sementara hubunganku dengan Tuhan memburuk. Yang aku pikirkan setiap hari adalah apa yang dapat kulakukan bersama Ben atau ke mana aku bisa jalan-jalan dengannya. Aku berhenti berdoa dan tidak lagi menceritakan apa-apa tentang Ben kepada teman-teman Kristen-ku. Kalau sebelumnya perbedaan iman kami membuatku ragu melanjutkan hubungan dengannya, kini aku jarang sekali memikirkan bagaimana aku bisa membawanya untuk mengenal Tuhan. Aku hanya bisa melihat segala yang baik dari dirinya. Aku benar-benar buta terhadap kesalahan-kesalahannya.

Ternyata, masa-masa bahagiaku tidak berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat masalah-masalah yang ada dengan jelas. Tuhan mengeluarkan selumbar yang menghalangi pandanganku. Aku menemukan bahwa aku bukan satu-satunya gadis yang diperhatikan Ben. Awalnya aku pikir ia akan berubah. Lambat laun aku menyadari bahwa situasinya kian memburuk. Aku tidak bisa tahan lagi—dan akhirnya aku mulai berdoa. Doa seharusnya menjadi hal pertama yang aku lakukan, namun selama ini aku menghindarinya. Namun setelah aku mulai berdoa, segala sesuatu menjadi terang benderang. Betapa bodohnya aku yang berpikir aku bisa menangani semua masalahku sendiri!

Ben ternyata mengatakan hal-hal yang buruk tentang diriku kepada gadis lain. Ia mengarang-ngarang cerita untuk membuat gadis itu merasa kasihan dan peduli kepadanya. Ia mengaku bahwa ia harus menjaga hubungan baik denganku karena aku sedang “mengandung” dan ia ingin menjadi orang yang “bertanggung jawab”. Aku merasa sangat sakit hati dengan kebohongan itu, kami tidak pernah sampai berhubungan intim. Ia berbohong karena ia tidak mau kehilangan aku maupun gadis itu.

Aku merasa sangat terpukul dengan perbuatan Ben, namun pada saat yang sama aku menyadari bahwa kejadian itu menolongku melihat siapa Ben sebenarnya. Awalnya, aku sangat marah karena ia telah mencemarkan nama baikku dan aku ingin membalas perbuatannya. Aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah memaafkannya seumur hidupku.

Pada saat itulah Tuhan membawaku, putrinya yang hilang, kembali kepada-Nya. Ketika aku mencurahkan isi hatiku kepada Tuhan dan menyerahkan hidupku kepada-Nya, Dia memulihkanku dengan anugerah-Nya. Dia menunjukkan kepadaku bahwa aku tidak perlu larut dalam kemarahan dan tidak perlu mempertahankan hubungan itu.

Hubunganku dengan Ben pun berakhir. Aku bersyukur kepada Tuhan untuk semua hal yang telah kulewati. Melalui pengalaman yang menyakitkan itu aku belajar bahwa jalan-jalan Tuhan jauh melampaui jalan-jalanku, dan bahwa kasih-Nya tidak pernah berkesudahan. Sekalipun aku telah tidak taat dan keras kepala, Tuhan tetap menunjukkan kasih dan kesabaran-Nya kepadaku.

Mengingat kembali masa-masa itu, aku menyadari betapa aku dulu telah mengutamakan Ben lebih dari hubunganku dengan Tuhan. Jelas hubunganku itu sudah bermasalah sejak awal. Aku sadar, aku tidak menaati Tuhan saat bersikeras berpacaran dengan orang yang tidak seiman. Aku juga menyadari bahayanya mengutamakan pasangan kita lebih dari Tuhan, sesuatu yang cenderung dilakukan banyak orang, termasuk dengan pasangan yang seiman.

Apakah kita memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan? Apakah kita mengasihi Tuhan lebih dari pacar kita? Apakah kita cukup rendah hati untuk memohon pimpinan Tuhan?

Ketika kita mengandalkan pikiran kita sendiri atau mencoba untuk lari dari Tuhan, ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Namun syukur kepada Tuhan yang berjanji tidak akan pernah meninggalkan anak-anak-Nya. Ketika kita datang kepada-Nya dan bertobat dari pilihan-pilihan kita yang salah, Dia akan menyertai dan membimbing kita kembali.

Jika kamu pernah mengalami apa yang aku alami, aku ingin mendorongmu untuk menyerahkan semua pergumulanmu di hadapan Tuhan dan tunduk sepenuhnya pada pimpinan-Nya. Tuhan memiliki rencana yang baik bagi setiap anak-anak-Nya, kita dapat mempercayakan hidup kita kepada-Nya.