Posts

Gagal Naik Podium Tidak Menghentikan Rencana Tuhan dalam Hidupku

Oleh Janessa Moreno, Tangerang

Aku adalah seorang atlet bulutangkis. Namaku terdaftar sebagai penerima beasiswa di salah satu klub ternama di Indonesia, pencetak para juara dunia. Namun, aku bukanlah atlet yang banyak menorehkan prestasi. Aku bisa berada di tempat ini semata-mata karena kemurahan Tuhan.

Menjadi seorang atlet membuat hidupku tidak seperti anak sekolah pada umumnya. Aku tinggal di asrama, dengan rutinitas berupa latihan bulutangkis setiap pagi dan sore. Latihan-latihan yang dijalani tentunya memiliki satu tujuan—menorehkan prestasi bagi klub dan mengharumkan nama bangsa.

Klub-klub besar menerapkan sistem promosi degradasi yang diberlakukan per enam bulan, termasuk klub tempatku dilatih. Jika tidak berhasil menampilkan performa terbaik dan meraih prestasi, maka anggota tersebut harus dikeluarkan dari pusat pelatihan impian ini. Oleh karena itu, aku selalu melakukan latihan tambahan setiap subuh ketika yang lain masih tertidur dan pulang lebih akhir dibandingkan yang lain demi meraih juara dan bertahan di klub ini. Aku percaya bahwa proses tidak akan mengkhianati akhir. Hari demi hari kulalui dengan kekuatan dari Tuhan, yang kuperoleh melalui doa dan firman-Nya dalam renungan yang kubaca.

Namun, usaha kerasku tidak membuahkan hasil sesuai harapanku.

Tahun 2017 menjadi tahun yang berat, ketika aku tidak berhasil menyumbangkan prestasi apapun. Aku selalu terhenti di babak perempat final sehingga tidak berkesempatan untuk naik podium juara sama sekali. Padahal, aku merasa sudah memberikan yang terbaik.

Tidak hanya kecewa pada diri sendiri, aku juga kecewa pada Tuhan. Aku bingung dan bertanya-tanya kepada Tuhan, “Tuhan, mengapa teman-temanku yang lain dapat dengan mudahnya mendapatkan apa yang kuusahakan dengan mati-matian, sedangkan aku tidak?”

Hari pengumuman pun tiba. Ternyata, namaku masih tercantum dalam daftar anggota klub bulutangkis ini. Tidak berhenti sampai di situ, 6 bulan demi 6 bulan selanjutnya, aku masih bertahan sebagai anggota. Bahkan, Tuhan memberiku kejutan-kejutan seperti ketika aku mengalahkan sejumlah pemain terbaik, meskipun tidak berhasil meraih juara. Aku terheran-heran, apa yang membuatku masih bisa memenuhi syarat ketika aku tidak bisa menunjukkan prestasi yang diharapkan?

Suatu malam, aku bertanya kepada Tuhan di dalam doa: “Tuhan, apa yang Tuhan lihat dalam diriku sehingga Engkau terus memilihku sebagai atlet meskipun aku bukan atlet yang berprestasi?”

Dalam perenunganku, tiba-tiba ada suara dalam hatiku yang berkata, “Semangatmulah yang membuat semuanya tidak berhenti. Belas kasih-Ku turun di saat air matamu jatuh, ketika kamu merasa tidak dihargai. Percayalah, Nak, aku ada di saat kamu melakukan pekerjaan yang tidak dilihat orang lain. Aku yang menggandengmu setiap pagi, Aku yang mengangkatmu di saat jatuh. Rencana-Ku belum selesai di dalam kamu.”

Saat itu pula aku menangis. Ternyata, selama ini ada satu Pribadi memerhatikanku. Kedamaian melingkupi hatiku ketika menyadari bahwa Tuhan selalu menopangku.

Aku merasakan penyertaan Tuhan yang begitu nyata dalam perjalananku selama menjadi atlet bulutangkis. Jika hanya mengandalkan kekuatanku sendiri, aku rasa aku tidak akan sanggup bertahan setelah berkali-kali mengalami kegagalan dan kesakitan. Ketika aku hampir menyerah, Tuhan selalu membangkitkan semangatku kembali.

Memasuki tahun 2019, aku memiliki target untuk masuk ke Pelatihan Nasional Indonesia. Aku menyerahkan semua rencanaku pada Tuhan. Apapun yang akan terjadi, aku percaya bahwa rencana Tuhan selalu yang terbaik (Yeremia 29:11). Aku percaya bahwa proses yang kujalani dalam pelatihan ini adalah cara Tuhan mengajarkanku tentang kegigihan, serta mempersiapkanku untuk menjadi kesaksian hidup dan memberi seluruh kemuliaan untuk Tuhan ketika aku berhasil meraih juara.

Mungkin di antara kamu ada yang merasa tidak berharga, tidak hebat, atau putus asa karena apa yang kamu usahakan belum berhasil dicapai. Tetapi bertahanlah, Tuhan mendengar setiap seruan doamu dan melihat air matamu karena Ia dekat kepada orang-orang yang patah hati (Mazmur 34:18). Dia akan membuat segalanya indah pada waktu-Nya, dan tidak ada satu hal pun yang dapat menggagalkan rencana-Nya (Pengkhotbah 3:11). Bagian kita adalah hidup dengan penuh semangat, dan melakukan semua hal seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23).

Baca Juga:

Belajar dari Daud: Bukan Kekuatan Kita Sendiri yang Mampu Mengubah Kita

Aku berjuang keras untuk berubah, aku merenung dan menyusun langkah-langkah praktis untuk kulakukan. Tapi, tetap saja tiap kali ada distraksi muncul, aku gagal kembali. Kurasa semua yang kulakukan tidak banyak membuatku berubah. Hingga suatu ketika, aku pun ditegur melalui respons Daud.

Tuhan, Aku Ingin Seperti Dia!

Oleh: Christin Siahaan

When-I-Wanted-to-Be-Like-Her

Orang itu keren banget! Punya banyak talenta, berprestasi, populer, dan sangat menyenangkan. Betapa aku ingin seperti dia! Pernahkah pemikiran semacam ini muncul dalam benakmu? Awalnya kamu hanya mengamati seseorang, entah itu teman baikmu atau kenalan biasa, kemudian kamu mulai mengaguminya, lalu tanpa disadari, rasa cemburu sudah menguasai hatimu.

Saat aktif melayani di kampus, seorang teman pernah membagikan pengalamannya dalam kelompok doa. Dengan sangat bersemangat ia menceritakan sahabat doanya yang baru (agar mudah, sebut saja namanya Joy), katanya: “Orang itu benar-benar hidup kudus!” Ia bukan sedang bercanda atau menyindir sikap religius Joy. Dari nadanya aku tahu ia benar-benar mengagumi sahabat yang kehidupan doanya patut diteladani itu. Aku tidak mengenal Joy secara dekat, meski ia satu fakultas denganku, tetapi aku tahu bahwa Joy sangat aktif dalam pelayanan, dan tampaknya selalu haus untuk belajar tentang Tuhan. Mendengarkan pujian tulus yang ditujukan kepadanya, rasa cemburu tiba-tiba menyelinap di benakku, “Ah Tuhan, aku juga ingin seperti dia!”

Perasaan cemburu itu membawaku memeriksa kembali hubunganku dengan Tuhan. Memang harus diakui, meski aku juga adalah seorang aktivis di kampus, aku jarang meluangkan waktu bersama dengan Tuhan. Dalam banyak hal, aku bahkan masih sering tidak taat pada firman Tuhan. Dengan sikap yang demikian, bagaimana mungkin aku bisa memiliki kedekatan hubungan dengan Tuhan seperti yang dimiliki Joy?

Tuhan mengingatkan aku pada Rasul Paulus. Ada banyak orang yang sudah lebih dulu mengikut Yesus, bahkan menjadi para rasul-Nya. Akan tetapi, Paulus tidak memusingkan dirinya dengan bagaimana ia dapat menyaingi pelayanan rasul-rasul lain, atau bagaimana ia dapat lebih dihargai oleh orang-orang yang ia layani. Sebaliknya, Paulus menetapkan hatinya untuk mengenal Kristus dan untuk hidup makin serupa dengan-Nya (Filipi 3:10). Ia mengerjakan bagiannya untuk taat dan setia, Tuhan yang mengurus hasilnya, membuat kehidupan dan pelayanannya menjadi berkat bagi banyak orang.

Teladan Rasul Paulus mengingatkan aku bahwa pada akhirnya, yang terpenting adalah penilaian Tuhan atas hidup kita. Ketika kita melihat kehidupan orang lain yang sepertinya lebih baik, jangan biarkan rasa cemburu dan iri hati menguasai kita, membuat kita bertanya mengapa Tuhan tidak membiarkan kita sukses seperti mereka. Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk mengejar keserupaan dengan orang lain. Dia memanggil kita untuk menjadi serupa dengan Kristus. Sebab itu, kita dapat merayakan proses pertumbuhan dan keberhasilan-keberhasilan orang lain sembari terus bertekun dalam proses pertumbuhan kita sendiri, dengan keyakinan bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang berbeda-beda dalam kehidupan setiap orang, untuk kebaikan kita. Dia sedang membentuk hidup kita agar dapat mempermuliakan-Nya di mana pun Dia menempatkan kita.

Berusaha Menjadi Seorang yang Hebat

Oleh: Lydia, Beijing, berdasarkan sebuah kisah nyata
(Artikel asli dalam Simplified Chinese: 小英的英雄梦)

Striving-to-be-somebody

Kamu harus rajin belajar supaya bisa menjadi orang yang hebat,” demikian nasihat orangtua yang biasa didengarnya. Dan, itulah tujuan hidup yang tertanam di benak Sammy kecil. Ia ingin suatu hari kelak bisa berhasil kuliah di Universitas Oxford seperti tetangganya. Langkah awalnya dimulai ketika ia berhasil masuk ke salah satu SMA yang bergengsi. Target selanjutnya adalah mengikuti jejak kakak-kakak kelasnya untuk bisa kuliah di universitas papan atas.

Ia belajar mati-matian di SMA, dan jerih lelahnya tidak sia-sia. Ia diterima untuk masuk ke salah satu sekolah bisnis terbaik di China. Sekolah itu terkenal telah melahirkan orang-orang terbaik di bidangnya. Banyak lulusannya berhasil meraih kesempatan studi lanjut di berbagai program pascasarjana lintas bidang studi yang bergengsi, menerima tawaran untuk masuk ke universitas-universitas Ivy League (asosiasi yang terdiri dari 8 universitas terbaik di Amerika), dan pasti diterima bekerja baik di lembaga pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan multinasional. Beberapa lulusan bahkan langsung direkrut bank-bank investasi dan mengantongi gaji lebih dari satu juta dolar setiap tahunnya. Di antara orang-orang terbaik itu, Sammy tak ingin kalah bersaing; ia berharap dapat menjadi seseorang yang diperhitungkan.

Sayangnya, pada tahun kelulusannya, krisis ekonomi menghantam negaranya. Setelah berkali-kali mengikuti wawancara kerja tanpa hasil. Sammy akhirnya menerima tawaran kerja dari sebuah perusahaan yang tidak masuk dalam daftar Fortune-500 [daftar 500 perusahaan dengan pendapatan tertinggi yang dibuat setiap tahun oleh majalah Fortune], demi bisa bertahan hidup di kota kosmopolitan, Beijing.

Setiap hari, saat istirahat makan siang, Sammy akan berjalan-jalan di taman dekat kantornya untuk menghilangkan stres sejenak. Taman itu dihiasi bunga-bunga biasa, tak ada yang seindah peony atau secantik mawar. Pada saat-saat itu, Sammy kerap berpikir, “Perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang sekarang menggunakan jasaku sama seperti bunga-bunga ini. Kami bukan perusahaan terbaik dan tidak akan pernah bisa meraih posisi itu. Mungkinkah orang-orang seperti kami bisa memiliki hidup yang dapat dibanggakan?”

Setiap kali pikiran yang demikian memenuhi benaknya, Sammy merasa tertekan. “Aku lulus dari sebuah SMA dan universitas papan atas, bagaimana bisa aku sekarang hanya bekerja di sebuah perusahaan kelas dua, melayani klien-klien kecil dan menengah yang tidak akan pernah masuk daftar Fortune 500? Jika kondisi ini terus berlanjut, mungkinkah aku bisa menjadi seseorang yang berarti? Apakah pekerjaan yang sedang kujalani ini bermakna? Dibandingkan dengan orang-orang berpengaruh dari almamaterku, aku sungguh bukan siapa-siapa.”

Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggunya hingga ia kemudian mengenal Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan. Ia bertanya kepada Yesus, “Ya Tuhan, apa yang Engkau pikirkan tentang aku dan pekerjaanku? Mungkinkah aku akan bisa menjadi seseorang yang hebat?” Saat Sammy mengarahkan perhatiannya kepada salib, perspektifnya terhadap kehidupan dan pekerjaannya pun mulai berubah.

Ketika ia merenungkan tentang Pribadi dan karya Yesus, nilai sesungguhnya dari seorang manusia menjadi jelas baginya. Yesus adalah Anak Allah yang berharga dan bahkan adalah Allah sendiri. Akan tetapi, Dia “… walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Filipi 2:6-8). Yesus mati menggantikan para pendosa supaya mereka yang telah hidup terpisah dari Allah dapat kembali kepada Allah melalui Dia. Sepanjang hidupnya, Sammy sangat ingin menjadi “orang yang hebat”, tetapi Yesus, Pribadi terhebat di jagat raya ini justru telah merendahkan derajat-Nya, menjadi seorang hamba untuk menyelamatkan semua orang.

Orang-orang yang dilayani Yesus tidak hanya terdiri dari para politisi, orang-orang yang kaya dan berhasil, tetapi juga para pelacur, penderita kusta, dan kaum papa yang tidak punya kuasa dan direndahkan orang. Sekalipun mereka miskin dan tidak dianggap di mata dunia, mereka dipandang berharga di mata Yesus. Alkitab jelas menyatakan bahwa setiap kita diciptakan dalam rupa Allah, dan itulah sebabnya setiap kita berharga.

Dengan perspektif yang baru ini, Sammy menyadari, jika Yesus sendiri tidak mengukur orang menurut kekayaan, pekerjaan, atau status sosial mereka, mengapa ia harus mengukur dirinya sendiri dan klien-kliennya menurut standar tersebut? Para klien dan dirinya sendiri berharga di mata Allah. Jika ia mengikuti pengajaran Alkitab dan melayani kliennya dengan kasih Yesus, ia sesungguhnya sedang melayani Allah.

Kini Sammy memiliki mimpi baru yang lebih besar—mengikuti jejak Kristus. Yesus berkata, “…Anak Manusia … datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45). Sammy akhirnya memahami bahwa yang lebih penting di mata Allah bukanlah usaha untuk tampil lebih hebat dari orang lain, tetapi untuk melayani mereka, sama seperti yang diteladankan Yesus.

Sammy lalu menuliskan doa berikut ini:
Tuhan yang terkasih, tolonglah aku untuk melihat sesamaku melalui mata-Mu dan memperlakukan orang lain sebagaimana Engkau akan memperlakukan mereka. Tolong aku untuk meneladani cara hidup-Mu, mengasihi dan melayani sesama dengan kerendahan hati dan kelemahlembutan, menyenangkan-Mu dalam segala sesuatu yang kulakukan.”

Apakah kamu memiliki pengalaman yang mirip dengan Sammy? Maukah kamu menjadikan doanya sebagai doamu juga?

Tetaplah Berlari

Oleh: Ade Henka Sinurat

berlarilah

Hidup ini bukan untuk membebani diri
Dengan berusaha meraih
Apa yang diraih orang lain

Setiap pencapaian
Adalah tanggung jawab tiap insan
Di hadapan Tuhan yang memanggilnya

Berlarilah dalam jalurmu
Jangan habiskan waktu
Bandingkan kiri dan kanan
Jangan sia-siakan kesempatan
Dengan menoleh ke belakang

Berlarilah…
Fokus pada tujuan

Tahukah kau
Betapa orang akan diberkati
Melihat ketekunanmu berlari
Lewati segala yang menghalangi
Hingga kau tiba di garis akhir?

Tidak harus kau jadi yang tercepat
Atau lebih cepat dari orang lain
Yang penting kau jadi yang terbaik
Yang terbaik dari dirimu sendiri

Berjalanlah sejenak jika kau lelah
Tapi, jangan pernah menyerah
Karena Penciptamu pasti memberi
Kekuatan yang kau butuh tiap hari
Hingga rencana-Nya di hidupmu digenapi

 
Yogyakarta, November 2014
Puisi ini adalah sebuah perenungan ketika aku merasa gagal. Firman Tuhan mengingatkanku untuk tidak mengukur keberhasilan dalam hidup dengan pencapaian orang lain, tetapi dengan apa yang menjadi rancangan Tuhan dalam hidupku.

“Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (Filipi 3:13b-14)