Posts

Apakah Kamu Merasa Pelayananmu di Gereja Tidak “Sukses”?

Oleh Leslie Koh
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Are You “Unsuccessful” In Church?

Kamu aktif melayani di gereja. Kamu hadir setiap Minggu pagi, datang lebih awal untuk menata bangku dan menyiapkan peralatan kebaktian, atau kamu menjemput jemaat-jemaat yang renta dari rumah mereka, lalu mengantarnya hingga mereka duduk di tempat biasa mereka di ruang ibadah.

Atau, pelayanan yang kamu lakukan secara pribadi adalah mendengarkan curhatan para remaja atau menghibur para lansia. Jadi, setiap minggunya sehabis ibadah, kamu mengobrol dengan mereka sembari menyeruput segelas teh. Kamu mendengar keluh kesah mereka, lalu berdoa bersama mereka. Dan, selama bertahun-tahun, mereka selalu datang padamu, satu per satu, untuk mengucap terima kasih dan memberitahumu betapa kamu berarti buat mereka.

Tapi, tak ada seorang pun yang tahu pelayananmu ini. Namamu tidak muncul di daftar ucapan terima kasih di buletin gereja. Ketika gerejamu mengangkat diakon dan pemimpin baru, kamu tidak masuk di antaranya. Ketika gerejamu menyebutkan nama-nama orang yang telah berjasa, namamu tak muncul pula. Sedikit orang menyapamu dengan memanggil namamu. Entahlah, padahal hampir semua orang sebenarnya tahu siapa namamu.

“Nggak apa-apa,” kamu memberitahu dirimu sendiri. “Tuhan tahu. Aku tidak butuh untuk dikenal; adalah baik untuk tetap rendah hati.”

Namun, mungkin tak selamanya kamu kuat. Setiap orang agaknya membutuhkan sekadar tepukan di punggung mereka, entah sekarang atau nanti. Tak dipungkiri, tentu ada masa-masa ketika kamu lelah; kamu merasa seolah dianggap remeh, dan sedikit pujian atau ucapan terima kasih tentu tak akan menyakitimu. Kamu tidak cemburu karena orang lain yang mendapat pujian atau ketenaran (sungguh!), tapi kamu merasa cukup lelah karena melakukan segalanya tanpa ada sedikit pun apresiasi.

Hei, kita semua sebenarnya “sukses” dalam pelayanan kita di gereja (atau juga di pekerjaan kita). Tapi, sepertinya, cara “sukses” itu bukan sesuatu yang kita nikmati.

Alkisah ada seorang pria yang pergi ke pantai untuk mengambil bintang-bintang laut yang terdampar di pasir. Dia lalu melemparkan satu per satu bintang laut itu ke laut. Seseorang lantas bertanya, “Bagaimana caranya kamu bisa menyelamatkan semua bintang laut ini? Terlalu banyak!” Dia menjawab, “Iya, susah tentunya, tapi aku memberi perbedaan untuk satu bintang laut ini.” Pelajaran umum yang bisa dipetik adalah: kita mungkin tidak mampu menyelamatkan semua orang, tapi kita bisa menyelamatkan satu orang, pada satu waktu.

Bagus. Tapi, inilah masalahnya: Tahukah kamu nama pria itu?

Kamu tentu tidak tahu. Tidak ada satu orang pun yang tahu. Dia tidak disebutkan di buletin gereja atau dipuji dalam sesi pengumuman di ibadah Minggu. Pendeta di gerejanya bahkan tak tahu namanya. Tapi, bagi setiap bintang laut yang dia lemparkan kembali ke laut, dia adalah juruselamat sejati. Tiap bintang laut itu tentu tahu siapa dia. Siapakah dia? Dialah si Pemungut Bintang Laut!

Dan itulah siapa dirimu. Hanya mereka yang kamu tolong yang mengetahuimu. Seorang perempuan yang kamu hibur ketika hatinya remuk. Seorang pria tua yang kamu tolong menaiki tangga setiap minggu. Bagi mereka, kamu adalah dunianya, karena kamulah satu-satunya yang peduli. Orang banyak mungkin tak tahu namamu, tapi mereka tahu. Kamulah “pemungut bintang laut” bagi mereka.

“Tapi, aku cuma menolong lima orang saja,” katamu. Mungkin itulah yang membuatmu berpikir kenapa sedikit orang di gereja yang menyadari pelayananmu. Tetapi, tak peduli lima orang—dua, atau satu—orang yang kamu layani, kamu adalah rahmat dari Tuhan. Di malam hari mungkin mereka mengucap syukur pada Tuhan atas kehadiranmu dalam hidup mereka. Mengapa? Karena kamulah ‘pemungut bintang laut’nya Tuhan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Kristus dan Liverpool: Pengikut Sejati atau Penggemar Belaka?

Cukup lama Liverpool puasa gelar dan tak selalu aku menggemarinya. Padahal, aku mencap diriku sebagai fans Liverpool. Aku pun terpikir, bagaimana dengan mengikut Kristus? Apakah aku sekadar penggemar atau pengikut-Nya sejati?

Terlalu Fokus Pelayanan Membuatku Lupa Siapa yang Kulayani

Oleh Diana Mangendong, Makassar

Mengisi masa muda dengan aktif pelayanan terasa melegakan, bukan? Saat generasi milenial sedang sibuk-sibuknya mendongkrak popularitas lewat media sosial, saat dunia sedang ramai berselisih paham antarlingkup perbedaan dan persaingan kekuasaan, kita justru telah dipanggil dan dipilih menjadi kawan sekerja Allah.

Seiring dengan pelayanan yang kujalani, aku menikmati berkat demi berkat yang Tuhan sediakan. Pada awalnya, Tuhan mempercayakan perkara-perkara kecil, yang perlahan-lahan dinaikkan levelnya. Kemudian, Tuhan menganugerahiku dengan talenta, membantuku menemukan potensi baru dalam diri, menumbuhkan mental pelayanan dan kepercayaan diri, serta pergaulan yang semakin meluas. Aku percaya, semua yang dianugerahkan Tuhan kepadaku harus kupersembahkan kembali bagi kemuliaan nama-Nya.

Kupikir jalan hidup yang kuambil sudah tepat—menghabiskan waktu dan tenaga untuk melakukan kegiatan pelayanan. Aku memberi diri untuk melayani sebagai pengurus komisi perkembangan anak dan remaja di gereja. Untuk tetap terhubung dengan teman-teman sebaya, aku juga melibatkan diri dalam pelayanan persekutuan pemuda. Jadi, tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa dari Senin sampai Minggu aku selalu melangkahkan kakiku ke gedung gereja untuk rapat, persiapan mengajar, persiapan liturgi dan penyataan firman saat ibadah, latihan paduan suara, dan pastinya ibadah sekolah minggu dan ibadah pemuda. Kegiatan akan menjadi semakin padat saat memasuki bulan-bulan perayaan hari anak dan hari besar gerejawi. Rasa-rasanya, program kerja tahunan penguruslah yang menyetir kehidupan pelayananku.

Hingga suatu ketika, aku merenungkan kembali segala aktivitas pelayanan yang kulakukan. Di satu sisi, mungkin aku terlihat begitu giat dan bersemangat melayani-Nya. Tapi, di sisi lainnya, kedekatan dengan Tuhan yang kubangun melalui saat teduh, doa, dan puji-pujian mulai tergantikan dengan lelahnya aktivitas pelayanan yang kulakukan. Aku pun teringat akan sebuah kutipan yang berkata: “Adalah mungkin begitu aktif dalam pelayanan Kristiani, tapi lupa mengasihi Kristus” – P.T Forsyth.

Aku terlalu banyak menerima pelayanan hingga sebagian besar waktuku terpakai untuk merealisasikan program kerja. Pelayanan yang kulakukan jadi kehilangan makna, hanya menjadi serangkaian rutinitas belaka. Kesibukanku dalam pelayanan membuatku tak sadar bahwa ada Tuhan Yesus yang menantikanku dalam saat-saat pribadi bersama-Nya.

Hari itu aku pun memohon ampun kepada Tuhan atas kekeliruan motivasiku dalam melayani-Nya. Aku memohon agar Tuhan memampukanku untuk tetap menjadikan Dia yang terutama dalam pelayananku dan aku berkomitmen untuk membangun kembali hubungan yang erat dengan-Nya. Aku menyadari bahwa Tuhan tidak menilai seberapa banyak pelayanan yang kita ambil, tetapi seberapa sungguh kita mau menggunakan pelayanan itu sebagai cara untuk terhubung dengan Kristus.

Pada akhirnya, aku tahu bahwa kelegaan yang kudapatkan di dunia pelayanan hanyalah oase dari dahaga eksistensi jiwa mudaku. Aku bersyukur Tuhan menyadarkanku bahwa langkahku sudah membuatku nyaris jatuh ke dalam jurang kesombongan. Aku belajar bahwa pelayanan itu perlu, tetapi menjadi tidak baik ketika kegiatan pelayanan membuat kita mengesampingkan hubungan pribadi dengan sang pemberi pelayanan itu sendiri: Tuhan Yesus.

Biarlah pelayanan kita menjadi bentuk ungkapan syukur kita atas karya keselamatan dan kasih setia Tuhan bagi kita, sebagai buah manis dari hubungan pribadi kita dengan Tuhan. Jangan sampai pelayanan yang kita lakukan menjadi salah tujuan, seperti untuk kebanggaan dan kepuasan diri sendiri. Hanya bagi Tuhan dan kemuliaan-Nya sajalah kiranya pelayanan kita ditunaikan. Tuhan Yesus memberkati pelayanan kita semua, di ladangnya masing-masing.

“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9).

Baca Juga:

Patah Hati Membuatku Berbalik pada Tuhan

Patah hati mungkin adalah peristiwa buruk, tetapi dari peristiwa buruk inilah aku jadi belajar untuk memperbaiki diri dan juga lebih dekat dengan Tuhan.

Pergumulanku untuk Beradaptasi di Gereja yang Baru

Oleh Chanel Geogopoulos, Afrika Selatan
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Struggled To Fit Into My New Church

Aku melihat ke sekelilingku, ke wajah-wajah jemaat yang asing bagiku, lalu aku kembali menatap ke depan, kepada pendeta yang sudah berkhotbah selama 25 menit. Aku tumbuh besar di gereja yang sesi khotbahnya biasanya berlangsung paling lama hanya 15 menit.

Selain itu, ada beberapa perbedaan lainnya. Di gerejaku yang baru, emosiku tergerak dalam cara-cara yang tidak pernah kualami di gereja lamaku. Ada tangisan air mata saat aku menyembah Tuhan, dan ada kehangatan yang memenuhi dadaku saat aku melihat para jemaat saling berinteraksi.

Tapi, ada suatu hal yang menggangguku. Meskipun aku sudah datang beribadah di gereja ini bersama pacarku selama empat bulan, aku masih merasa asing.

Sebelum pindah ke sini, aku berada di satu gereja yang sama seumur hidupku. Tapi, kemudian aku bertemu dan jatuh cinta dengan seseorang dari gereja yang berbeda. Mungkin kalau tidak bertemu dengan pacarku, aku akan tetap berada gereja lamaku seumur hidupku.

Awalnya, kami mencoba saling menghadiri ibadah di gereja masing-masing. Setelah beberapa waktu, aku memutuskan untuk pindah ke gereja pacarku karena kupikir mungkin ini adalah keputusan yang baik buatku. Selama delapan tahun terakhir, di gereja lamaku, aku melayani di paduan suara dan hanya berinteraksi dalam lingkaran pertemananku yang kecil, yang isinya sesama anggota paduan suara gereja juga. Mungkin inilah waktu bagiku untuk pindah ke “padang rumput” yang baru.

Tapi, ada satu masalah: aku merasa seperti anak baru yang asing dengan lingkungannya. Setiap Minggu, aku duduk di sisi pacarku, menghindari banyak wajah ramah yang menyapaku.

Beberapa orang mendorongku untuk terlibat dalam pelayanan. Pikiran pertamaku adalah melayani di bidang musik, di mana aku pernah melayani juga di gereja lamaku. Tapi, di sini ada banyak sekali perbedaannya. Dan, kalau aku harus mengakui, suaraku tidak pas untuk menyanyi solo. Pilihan itu pun gugur, lalu aku ditawari kesempatan untuk melayani sebagai pembuat minuman teh dan penata peralatan makan, atau membuat slide powerpoint (bukan keahlianku)—sejujurnya, aku tidak ingin melayani di semua bidang itu.

Dari pengalamanku melayani di gerejaku yang dulu, aku tahu bahwa dengan melayani, aku bisa mengubah perasaanku mengenai datang ke ibadah setiap hari Minggu. Jadi, inilah yang juga ingin aku lakukan sekarang. Tapi, aku tidak tahu bagaimana memulainya. Aku tahu Tuhan tidak ingin kalau aku cuma sekadar duduk di bangku setiap hari Minggu dan menutup diriku di balik sifat introverku. Aku harus keluar dari cangkangku.

Aku masih berusaha mencari tahu apa yang dapat kulakukan. Hingga suatu ketika, aku mulai ikut kelompok kecil bersama pacarku. Kelompok kecil yang kuikuti itu menyambutku dengan sangat baik. Sejak bergabung dengannya, aku dengan cepat bisa beradaptasi dan merasa bahwa aku juga adalah anggota dari gereja.

Di gereja lamaku, aku tidak benar-benar bersosialisasi dengan pemuda-pemudi lainnya di luar kelompok paduan suara. Tapi, di gerejaku yang baru ini, ada acara minum teh bersama seusai kebaktian yang jadi kesempatan yang amat baik untuk saling bertegur sapa. Rasanya menyenangkan ketika aku diundang untuk ikut sarapan atau pergi ke pantai bersama-sama, atau ketika seseorang menanyakanku bagaimana hari-hariku sepanjang minggu ini berlangsung.

Jika kamu baru pindah ke gereja yang baru, atau sedang bergumul untuk bisa beradaptasi dengan gerejamu, mungkin kamu juga bisa mencoba ambil bagian untuk melayani, atau bergabung dengan kelompok kecil. Inilah beberapa tips yang bisa kamu lakukan untuk dapat merasakan gerejamu menjadi seperti rumahmu:

  • Menyapa orang yang duduk di sebelahmu (seberapa sering kamu melakukan ini?).
  • Tanyakan kepada seseorang yang menurutmu mengenalmu dengan baik, tanyakan hal apakah yang sekiranya tepat untuk kamu lakukan.
  • Cari tahu siapa yang bertugas di pelayanan, dan berbicaralah dengan mereka tentang kesempatan-kesempatan melayani yang tersedia.
  • Doakan rencana-rencana pelayananmu itu.
  • Setelah kebaktian usai, janganlah langsung pulang. Jika di gerejamu ada acara ramah-tamah, ikuti.

Aku memiliki beberapa nomor kontak pemimpin gereja yang tak pernah kuhubungi di ponselku, jadi kupikir aku harus mempraktikkan poin ketiga dari tips-tips yang sudah kusebutkan di atas. Namun, syukurlah karena acara minum teh bersama seusai kebaktian jadi kesempatan yang baik untuk mengobrol dan bertegur sapa dengan jemaat-jemaat lain. Dan, dari sinilah relasiku dengan orang-orang yang kemudian menjadi satu kelompok kecil denganku bermula. Dari sekadar obrolan sambil minum teh, berlanjut jadi relasi yang erat.

Paulus mengatakan bahwa setiap anggota tubuh Kristus memiliki perannya masing-masing, ada yang berperan untuk bernubuat, melayani, mengajar, mendorong, dan bahkan menunjukkan belas kasihan (Roma 12:3-8). Mungkin kamu perlu menguji beberapa hal terlebih dulu sebelum memutuskan bergabung dengan suatu pelayanan. Tapi, mungkin juga kamu nantinya mendapati dirimu melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah kamu pikirkan, atau sesuatu yang kamu pikir bukan keahlianmu. Tidak semua orang terpanggil melayani di atas panggung dan menyanyi. Ada yang terpanggil untuk melayani di balik layar. Tapi, di atas panggung atau di balik layar, itu tidak membuat apa yang kita lakukan menjadi kurang berarti. Bahkan, percakapan sederhana dengan orang lain bisa jadi sesuatu yang berdampak besar. Yang penting adalah kita membuka hati kita untuk mau dipimpin oleh Roh Kudus dan mau bergabung dan sama-sama membangun gereja di mana kita tertanam di dalamnya.

Meskipun aku sudah menetap di gerejaku, aku merasa bahwa ini masih proses transisi. Mungkin nanti aku akan mencoba melayani sebagai pembuat teh dan menyajikan kue-kue kepada jemaat, atau mungkin juga kelak akan ada diskusi hangat yang akan memberiku petunjuk jalan apa yang harus kuambil. Yang aku tahu sekarang dengan yakin adalah kelompok kecilku telah menjadi berkat buatku, dan kepindahanku ke gereja yang baru mengizinkanku untuk Tuhan berkarya di bagian hatiku yang lebih dalam. Untuk semua hal ini, aku bersyukur.

Baca Juga:

4 Yang Aku Lakukan dan Doakan di Hari Ulang Tahunku yang Ke-22

Apa yang biasanya kamu lakukan di hari ulang tahunmu?

Apakah Denominasi Gerejaku Penting Buat Tuhan?

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Does My Denomination Matter To God?

“Apa? Kamu datang ke pendalaman Alkitab di gereja Methodist?” Suamiku terkejut ketika aku pertama kali memberitahunya bahwa aku bergabung dengan kelompok pendalaman Alkitab itu. Gereja itu jaraknya cuma 10 menit berjalan kaki dari kantorku, dan pendalaman Alkitabnya diselenggarakan setelah jam pulang kerja. Waktu yang tepat buatku.

Saat ini aku tergabung di empat gereja dan organisasi Kristen yang semuanya berbeda denominasi. Tidaklah aneh apabila suamiku mungkin merasa khawatir kalau-kalau aku jadi kebingungan secara teologis. Tapi, aku malah semakin belajar bahwa kasih Tuhan itu tidak terbatas hanya kepada satu denominasi tertentu.

Gereja asalku adalah gereja Pentakosta di bawah naungan denominasi Sidang Jemaat Allah. Aku mulai menghadiri gereja itu karena pertolongan dan dukungan yang diberikan oleh para pemimpin dan jemaat ketika aku mengalami masa-masa sulit di awal pernikahanku. Merekalah yang menolongku melihat Tuhan di masa-masa paling gelapku. Di sinilah dasar teologisku dibangun, melalui mempelajari Alkitab yang dipimpin mentorku dan pemimpin lainnya di gereja.

Gereja kami adalah gereja karismatik. Kami tidak asing mendengar orang-orang berbicara dalam bahasa Roh (1 Korintus 14:3-5) dan melihat orang-orang mengangkat tangan mereka ketika menyembah Tuhan. Kami sering menyanyikan lagu-lagu pujian dan penyembahan yang modern. Aku senang terlibat dalam ibadah yang suasananya begitu hidup.

Namun, keluarga suamiku menginginkan aku datang ke gereja bersama mereka. Jadi untuk sekarang, aku lebih sering meluangkan hari Mingguku di gereja Anglikan daripada di gereja asalku.

Perpindahan ini awalnya terasa sulit. Aku merasa kaku dengan himne-himne tradisional dan musik di gereja Anglikan, juga cara beribadah jemaat yang tenang. Aku rindu suasana kebaktian yang hidup seperti di gereja asalku. Diam-diam aku mengkritik para pemimpin gereja dan jemaatnya karena gaya ibadah mereka. Rasanya mereka itu seperti hanya mengikuti rutinitas mingguan, dan tidak sepenuhnya digerakkan oleh Roh Kudus.

Meski awalnya aku merasa tidak nyaman, tapi tiap kali aku datang ke gereja, khotbah-khotbahnya menyentuhku—sama seperti khotbah yang kudengar di gereja asalku. Aku mulai menyadari bahwa meski cara ibadah atau cara menggunakan karunia rohaninya berbeda, kami sama-sama percaya pada firman Tuhan yang sempurna. Pendeta di kedua gereja itu memberitakan pengajaran yang sehat. Kedua gereja itu sama-sama berdiri teguh di atas dasar Alkitab. Dan, Tuhan menggunakan kedua gereja itu pula untuk berbicara kepada hatiku dan menyadarkanku akan dosa-dosaku.

Daripada menghakimi pemimpin gereja dan kebaktian di gereja baruku yang kuanggap tidak karismatik, aku sadar bahwa aku harus bertobat dari menjadikan diriku sebagai hakim. Lagipula, siapakah aku hingga aku dapat menghakimi orang lain (Roma 14:4)? Jemaat di gereja suamiku adalah orang-orang yang percaya pada Tuhan. Mereka berpegang pada harapan dan jaminan yang juga kumiliki di dalam Kristus. Roh Kudus yang menginspirasi para pengkhotbah dan pemimpin di kedua gereja adalah Roh Kudus yang juga bekerja di hidupku.

Kembali ke cerita tentang reaksi terkejut suamiku, pendalaman Alkitab yang kulakukan meski bertempat di gereja Methodist, tapi bukan eksklusif untuk satu denominasi tertentu. Pemimpin kelompok kami berasal dari gereja Presbiterian, sedangkan teman-teman lainnya berasal dari gereja yang berbeda pula. Meski kami datang dari latar belakang yang berbeda-beda, kami disatukan oleh kasih Kristus, kami rindu melihat Tuhan di dalam hidup kami. Aku mendapat manfaat dari diskusi dan pengajaran di kelompok ini. Bersama saudari-saudari dalam Kristus, aku belajar lebih dalam tentang firman Tuhan dan disadarkan dari beberapa caraku yang salah.

Melalui pendalaman Alkitab ini, aku akhirnya tahu bahwa gereja Methodist menyelenggarakan kebaktian tengah minggu di saat jam makan siang untuk para pekerja kantoran di sekitar gereja. Aku mulai menghadiri kebaktian ini yang dikemas secara singkat tapi tradisional. Aku belajar bahwa apapun denominasi atau cara yang setiap orang Kristen pilih, selama pengajaran yang diberikan itu sehat, kita bisa mendapatkan manfaatnya.

Tentu ada topik-topik tertentu yang disikapi secara berbeda oleh setiap gereja atau kelompok pendalaman Alkitab—seperti bahasa Roh dan nubuatan, atau tentang apakah anak kecil boleh dibaptis atau tidak. Tapi, seiring aku meluangkan waktu lebih banyak untuk mendalami aturan-aturan itu, aku semakin menyadari bahwa meskipun isu-isu ini penting, seringkali itu tidak seharusnya diperdebatkan. Lagipula, kita menyembah Tuhan yang sama. Dan meskipun ada perbedaan-perbedaan kecil di dalam tradisi dan pengajaran gereja, kami memberitakan Injil yang sama dan membagikan tujuan yang sama untuk memuliakan Tuhan.

Karena itu, adalah salah apabila aku menghakimi denominasi lain karena cara ibadah mereka yang berbeda atau karena perbedaan minor dalam pengajarannya. Menghakimi orang lain dan gereja bisa mengakibatkan perpecahan dan bukanlah sesuatu yang menyenangkan Tuhan. Siapakah aku hingga aku bisa menghakimi hamba-hamba yang setia dan takut akan Tuhan, yang kepada mereka Tuhan berkenan?

Berbahasa Roh, menyanyikan lagu-lagu penyembahan, dan mengangkat tangan tidak membuatku jadi lebih baik daripada orang Kristen lainnya. Tuhan melihat hati kita, dan melalui ukuran inilah, aku telah gagal. Aku telah mengizinkan kesombongan merayap masuk dalam diriku daripada berhati-hati menjaga diriku di hadapan Tuhan. Meskipun aku berbicara dalam bahasa Roh, aku hanya akan sama seperti gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing kalau aku tidak dapat menunjukkan kasihku (1 Korintus 13:1-2).

Alih-alih berfokus pada perbedaan yang bisa mengakibatkan perselisihan atau perpecahan, Alkitab memerintahkan kita untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati kita, dan hukum yang kedua adalah untuk mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri (Matius 22:36-40). Kita dapat menunjukkan kasih dengan menawarkan dukungan atau menolong sesama orang Kristen yang sedang membutuhkan—apapun latar belakang gereja mereka. Pemimpin di kelompok pendalaman Alkitabku contohnya, dia menghiburku saat aku sedih dan memberiku kata-kata penguatan. Dia mengingatkanku akan kasih dan kebenaran Tuhan, dan dengan cara inilah dia mengangkat semangatku.

Memiliki pengalaman dengan beberapa denominasi membuatku menyadari bahwa kasih dan kerinduan kita kepada Tuhanlah yang menyatukan kita sebagai tubuh Kristus—juga sebagai mempelai-Nya—dengan tujuan untuk menantikan kedatangan-Nya dan masuk ke dalam Kerajaan Surga (Efesus 5:25-27). Seiring kita menanti, kita harus siap dan waspada sebagai satu tubuh Kristus dengan memfokuskan pandangan kita kepada Yesus, membagikan kasih kita kepada Kristus dengan satu sama lain, dan menyaksikan bagaimana Kristus bekerja di dalam kehidupan kita masing-masing terlepas dari latar belakang yang berbeda-beda. Betapa indahnya kasih dan harapan yang diberikan Tuhan, tidak ada bandingannya!

Baca Juga:

Hidup Ini Adalah Kesempatan, Sudahkah Aku Memanfaatkannya dengan Bijak?

Seorang teman yang dulu pernah duduk satu kelas denganku sekarang terbaring tak berdaya karena sebuah penyakit langka. Aku terdiam dan merenung. Bila aku yang berada di posisinya, apakah aku sudah menggunakan kesempatan yang ada dengan bijak?