Posts

1 Hal yang Tak Boleh Terlupakan Saat Kamu Berbuat Baik

Oleh Meili Ainun

Kita tidak asing dengan konsep “berbuat baik”. Budaya hingga agama mengajar agar sesama manusia saling berbuat kebaikan. Kita pun pasti setuju bahwa kebaikan adalah “bahasa universal” yang bisa diterima oleh semua manusia.

Namun, kebaikan seperti apa yang seharusnya kita lakukan sebagai orang Kristen? Apakah dengan memberi sebanyak mungkin? Atau, apakah dengan merelakan diri untuk selalu berkorban? Untuk menemukan jawaban spesifiknya, aku mengajakmu untuk menilik kembali suatu kisah dari Alkitab yang tentu tak asing kita dengar.

Yohanes 13:1-20 mencatat kisah tentang Yesus yang membasuh kaki para murid-Nya. Pada masa itu, membasuh kaki adalah kebiasaan umum di wilayah tempat Yesus tinggal. Orang-orang berjalan kaki dengan memakai kasut yang bentuknya tidak seperti sepatu modern sehingga debu dan kotoran bisa dengan mudah menempel di kaki. Agar debu dan kotoran itu tidak terbawa masuk, maka setiap orang harus membasuh kakinya dulu. Tuan rumah pun menyediakan wadah yang bisa terbuat dari emas, perak, besi, ataupun tanah liat berisi air di muka rumah.

Seseorang tidak membasuh kakinya sendiri. Umumnya seorang budak atau pelayan dari tuan rumah yang melakukannya. Namun, Injil Yohanes menyajikan cerita yang berbeda. “Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu” (Yohanes 13:4-5).

Momen pembasuhan kaki ini terjadi saat Yesus dan para murid sedang melakukan perjamuan Paskah, tetapi pada saat itu tidak ada pelayan di ruangan itu, dan tak ada pula satu pun di antara para murid yang berinisiatif melakukannya. Ada banyak alasasan di balik tindakan para murid itu, tetapi kita dapat melihat sikap Yesus yang luar biasa. Renungan Reforming Heart menuliskan analisis mendetail tentang sikap Yesus ini: “Kasihlah yang menggerakkan Kristus untuk menebus murid-murid-Nya. Kasih bukanlah konsep abstrak yang bisa dipisahkan dengan relasi. Kasih berarti yang mengasihi menginginkan pihak lain untuk menjadi satu di dalam relasi dengan yang mengasihi… sedangkan kasih yang palsu menginginkan kebaikan orang lain, tetapi tidak terlalu menginginkan berada di dalam relasi dengan orang lain.”

Kasih Yesus kepada murid-murid-Nya mewujud melalui tindakan kerendahan hati-Nya. Yesus yang adalah Raja, merendahkan diri-Nya dengan menjadi sosok pelayan yang membasuh kaki para murid. Kebaikan Yesus tak akan ada artinya apabila Dia tidak melakukannya dengan rendah hati. Sehingga, jelaslah bagi kita bahwa prinsip utama dari kebaikan yang kita lakukan adalah: kita melakukannya dengan rendah hati… bukan agar kita dibalas dengan kebaikan yang sama, tetapi kita ingin agar melalui kebaikan itu orang melihat kasih Bapa terpancar melalui kita.

Namun pertanyaannya, bagaimanakah kita bisa melatih diri untuk rendah hati dalam setiap perbuatan baik yang kita lakukan?

1. Latihlah diri untuk tidak bersungut-sungut

Dalam bahasa Indonesia, bersungut-sungut dapat diartikan sebagai mengomel atau menggerutu. Namun, dalam bahasa Yunani kata yang digunakan adalah “gonggusomos” yang artinya tidak sekadar menggerutu, tetapi menjurus pada tindakan memberontak.

Wow. Pengertian ini mungkin membuat kita terkejut. Bersungut-sungut agak berbeda dengan mengeluh yang kadang memang kita lakukan sebagai luapan perasaan. Bersungut-sungut itu sama dengan mengomel tetapi secara terus-menerus sembari tidak mengerjakan tanggung jawab dengan maksimal, sehingga ini dapat pula diasosiasikan sebagai sebuah pemberontakan. Bangsa Israel pun pernah bersungut-sungut dan memberontak terhadap tuntunan Allah dalam perjalanan mereka keluar dari Mesir.

Apa yang menyebabkan kita bersungut-sungut? Tentu tiap orang punya alasan masing-masing, tetapi secara umum mungkin karena kita merasa melakukan pelayanan itu sendirian, lalu merasa berat memikulnya. Lalu, bisa jadi juga karena kita mengandalkan kekuatan sendiri dan merasa mampu melakukannya sendirian. Atau, secara tidak sadar kita memelihara kesombongan. Kita merasa pekerjaan yang kita lakukan terlalu rendah nilainya dan tidak memberi manfaat apa pun. Tetapi, hendaklah kita ingat bahwa Yesus yang adalah Tuhan dan Raja telah melakukan pekerjaan yang hina dengan membasuh kaki murid-murid-Nya.

2. Latihlah diri untuk tidak mengharapkan balasan

Naluri kita seringkali menganggap kebaikan sebagai tindakan timbal balik. Jika aku memberi kebaikan pada si A, maka dia seharusnya membalasku dengan kebaikan yang sama.

Namun, marilah kita mengingat kembali bahwa pada kita telah diberi pemberian terbesar yakni Kristus yang menebus dosa-dosa kita (Yohanes 3:16), sehingga saat kita melayani-Nya dengan memberikan kebaikan bagi orang lain, lakukanlah itu dengan tulus. Dia sudah memberikan segalanya dan yang Dia mau dari kita adalah kita hidup di dalam-Nya.

3. Latihlah diri untuk tidak hitung-hitungan

Perbuatan baik yang didasari kerendahan hati tidak bicara tentang seberapa banyak dan besar kita sudah melakukan kebaikan. Kadang kita merasa sudah berbuat banyak untuk melayani-Nya. Kita aktif di gereja bertahun-tahun, mengorbankan waktu dan uang, berdoa dan baca Alkitab tiap hari. Tapi, apakah balasan Tuhan atas semua kesetiaan kita? Lantas kita pun hitung-hitungan akan hal apa saja yang telah kita lakukan untuk-Nya dan membandingkannya dengan apa yang kita dapatkan.

Bagaimana kalau dibalik? Apa yang dapat kita lakukan jika Tuhan yang hitung-hitungan dengan kita?

Alangkah malunya karena kita akan mendapati begitu sedikit yang telah kita lakukan kepada Tuhan dan begitu banyak berkat yang tidak terhitung yang telah Tuhan berikan sepanjang hidup kita. Bahkan, nyawa-Nya yang telah menyelamatkan kita tidak dapat kita balas sampai kapan pun.

Efesus 6:5-8 mengingatkan kita untuk tulus dan segenap hati dalam melayani, rela menjalankan pelayanan seperti untuk Tuhan, serta senantiasa berbuat baik. Kalau kita telah berbuat baik, kita akan menerima balasannya dari Tuhan. Namun, jangan sampai kita salah pemahaman, mengartikannya dengan berbuat baik agar mendapatkan balasan setimpal dari-Nya. Bukan itu. Perbuatan baik haruslah lahir dari rasa syukur atas hidup kita yang dipelihara oleh Tuhan. Jikalau kita mendapat balasan dari Tuhan, bersyukurlah. Karena telah dan akan selalu ada hal yang dapat kita syukuri dari-Nya. Bersyukur pun merupakan salah satu wujud sikap rendah hati.

Sesungguhnya, bersikap rendah hati ketika melayani bukanlah tugas yang mudah. Ketika kita semakin melayani Tuhan, tantangan pun akan semakin banyak dan sulit.

Maka, inilah pertanyaan untuk kita renungkan bersama: Jika melayani Tuhan adalah untuk memuliakan-Nya dan menjadi berkat bagi sesama, maukah kita merendahkan diri seperti seorang hamba ketika melayani?

Hal-hal yang Receh dan Kerap Diabaikan, Di Sanalah Ladang Subur untuk Menanam Kebaikan

Oleh Agustinus Ryanto

Hari-hari anak muda yang telah lulus kuliah dan bekerja tidak lagi seseru dulu. Meski tak semua anak muda merasa begitu, itulah yang kualami beberapa tahun ke belakang. Di umur yang masih muda ini aku sudah punya sakit lambung, dan jumlah temanku pun mulai menyusut seiring dengan banyak di antara mereka yang menikah atau merantau ke lain kota.

Tahun kemarin, untuk merayakan hari ulang tahunku, aku mentraktir diriku sendiri. “Beli burger vegan ah!” celetuk otakku. Burger ini ukurannya lumayan besar. Meskipun tidak ada daging hewani sama sekali, tapi menyantapnya sampai habis sungguh membuat perutku kenyang.

Setengah jam pasca tuntas memakan burger itu, aku merasa ada yang tidak beres dengan perutku. “Dung…dung…” suara kembung dan begah saat ditepuk. Meski kembung setelah makan adalah hal normal, tapi instingku merasa ini bukan kembung yang wajar… apalagi aku memang sejak 2019 aku mengidap gerd. Kutunggulah sampai beberapa jam ke depan, tapi kembungnya tidak hilang-hilang. Malahan, muncul rasa mual dan sesak. Napasku jadi pendek-pendek.

Sampai empat hari berselang, kembungnya tidak benar-benar hilang dan perasaanku selalu mual. Kuputuskan untuk menemui dokter spesialis langgananku.

“Hayo, kenapa lagi ini?” dokter ini sudah hafal denganku karena memang aku sering kontrol dengannya.

“Iya dok, ini, kemarin Kamis saya sesek di dada. Di tenggorokan banyak lendir. Terus perutnya kembung terus, gak enak,” tuturku mendetail sambil batuk. “Nah dok, ada batuk juga sih ini. Berasa banyak lendir tapi susah dikeluarin.”

“Jangan dipaksa. Jangan didehemin. Nanti takutnya luka tenggorokannya. Coba duduk sini.”

Di kursi yang mirip dengan kursi dokter gigi, alat seperti pistol air dengan ujung runcing dimasukkan ke mulutku. Di pucuknya ada kamera. Lalu muncullah citra isi tenggorokanku di monitor.

“Nah, ini radang. Bengkak laring kamu.”

“Kok bisa, dok?”

“Ini gara-gara lambung,” katanya. “Asam lambung kamu naik, jadi dinding kerongkonganmu itu memproduksi lendir untuk melindungi diri. Cuma lendirnya banyak, dan tenggorokanmu radang. Lendirnya jadi nyangkut, itu yang bikin sesak napas.”

“Lambung lagi lambung lagi,” gumamku. Sesi singkat di ruang praktik itu perlu ditebus dengan harga 200 ribu: 150 ribu untuk konsultasi dokter dan 50 ribu untuk endoskopi. Aku diberi resep empat obat. Total uang yang kukeluarkan hari itu 460 ribu. Angka yang cukup besar di tanggal yang hampir tua. Sialnya, bulan itu tidak ada anggaran yang kualokasikan untuk uang darurat.

Sepulang dari dokter, semua peristiwa di ruang praktik tadi kuceritakan pada kawan di grup WhatsApp yang isinya cuma tiga orang: aku, dan sebut saja Yos, dan Jon.

Yos menanggapi dengan serius. Jam sebelas malam, dia meneleponku dan mendoakanku. “Sembuh ya, udah jangan terlalu dipikirin. Nanti Sabtu pulang aja udah jangan di kosan, ketemu kita.” Tawaran yang menggiurkan, tapi kutolak lembut. “Iya pengen sih, tapi bulan depan aja deh.”

Berbeda dengan Yos, si Jon ini memang yang paling petakilan polahnya. “Lah mahal juga itu berobat. Memang gak bisa dicover asuransi?” tanyanya.

“Kaga bisa. Asuransi gua cuma bisa berlaku rawat inap. Kudu ngendog dulu di IGD minimal 6 jam.”

“Ya udah atuh lu ke RS, opname aja,” ketiknya datar tanpa emoticon apa pun.

“Pret..” balasku dengan agak kesal. Kok sakitnya orang dijadikan candaan. “Opname tuh ribet, gak gampang. Terus kerjaan gimana kalau sampai opname?”

“Wkwk” balasnya.

Aku tidak ada ekspektasi apa pun dari sesi curhat malam itu, terlebih ekspektasi kepada si Jon. Mereka membalas dan menyimak pun aku sudah senang. Jelang jam 12, aku tidur duluan.

Kira-kira tiga hari setelahnya, aku pergi ke ATM untuk menarik uang. Seingatku, jika kutarik uang hari ini saldonya harusnya di bawah 10 ribu. “Loh….kok ada segini?” Terhenyak aku. Kok saldonya jauh lebih besar dari perkiraan. Sudah kutarik kok tidak berkurang?

Kuingat-ingat apakah ada orang yang berutang lalu bayar diam-diam, rasanya tidak ada. Lalu kuceklah mutasi saldo selama seminggu ke belakang. Rupanya di malam saat aku curhat, si Jon mentransferku uang.

“Eh, lu kok transfer gua uang?” kutanya si Jon lewat WhatsApp.

“Uang apa? Gua gak tau,” jawabnya pura-pura.

Kutanya lagi, jawabannya tetap sama: “gak tau” tanpa tanda baca ataupun emoticon.

“Udah, ambil aja itu duitnya,” ketiknya lagi. “Nanti bayarnya 10 tahun lagi aja, kalau bisa bayar 10x lipat ya.”

“Ih, gak mau lah! Itu kalau elu salah transfer, gua mau transfer balik ya.”

“Nggak, itu buat elu. Terima aja.”

Dari lima bahasa kasih, temanku si Jon ini memang paling kurang di kata-kata. Dia sukanya ceplas-ceplos, tapi dia jadi orang yang tampil apa adanya, terutama dalam hal mengkritik orang lain. Karena kami telah berteman lebih dari dua puluh tahun, candaan-candaannya tak pernah lagi jadi soal yang membuatku tersinggung. Akan beda cerita jika aku baru mengenalnya kemarin sore, mungkin aku akan tersinggung dan berpikir kalau orang ini tak punya hati.

Hari itu, setelah aku pulang dari ATM untuk mengambil uang, aku merenungkan tindakan kasih yang dilakukan Si Jon. Karena harus berobat mendadak, uangku jadi berkurang dan ada pos-pos anggaran yang harus aku ubah alokasinya. Tetapi, melalui si Jon aku merasakan betapa Tuhan peduli padaku, dan Tuhan juga selalu punya cara untuk menolong umat-Nya.

Setiap kita punya cara yang berbeda dalam merespons cerita seseorang. Namun, pada hari ketika aku cuma sekadar curhat, si Jon belajar peka terhadap apa yang jadi persoalan di balik ceritaku—bahwa bulan itu aku sakit dan kekurangan dana. Curhatanku tidak dianggapnya enteng, meskipun saat itu dia mengetik guyonan yang kuanggap tak sensitif. Empatinya mewujud dalam tindakan. Dia tahu kalau dalam kisah persahabatan kami, akulah yang punya pendapatan paling rendah. Memang, uang yang kukeluarkan tidak membuatku jadi makan nasi hanya dengan garam dan kecap, tapi itu cukup menguras tabunganku yang bisa kupakai untuk banyak hal lain. Nominal uang yang ditransfernya adalah wujud ungkapan empati yang nyata.

Dari pengalaman ini aku belajar mendengarkan ketika orang lain mengizinkanku untuk menjadi tempat curhat mereka. Setelahnya, aku juga belajar peka: pertolongan apakah yang bisa kuberikan? Aku berdoa lebih dulu memohon agar Tuhan memberiku hikmat mengenai pertolongan apa yang bisa kuberi. Namun, perlu digarisbawahi di sini bahwa peka tidak berarti kita memaksa untuk memberi pertolongan apabila keadaan tidak memungkinkan atau yang bersangkutan menolak untuk ditolong. Semisal, pada saat temanku cerita akan beratnya perjuangannya merawat orang tuanya di rumah sakit dia pasti lelah dan butuh makanan sehat, tapi dia juga tentu sibuk untuk mengurus banyak urusan. Jadi, ketika aku tergerak menolongnya aku bertanya, “Aku pengen kirim sesuatu buat kamu. Kira-kira kamu lagi butuh apa?” Temanku menjawab kalau dia ingin makanan sehat dan berserat karena tubuhnya lelah, tetapi siang itu dia masih sibuk mengurus urusan administrasi jadi tak memungkinkan untuk turun ke lobi dan menemui ojol. Makanan pun kukirim di malam hari. Dia menerima pemberian itu dengan senang hati.

Menolong dan ditolong adalah dua hal yang berkenan bagi Tuhan, yang sama-sama baik nilainya. Ditolong tidak berarti kita lebih buruk daripada yang menolong, sebab semua manusia setara di mata Allah dan tolong-menolong sejatinya tidak bicara soal status. Allah selalu menolong kita melalui berbagai cara, dan bahkan Dia peduli pada setiap hal kecil yang sejatinya kita butuhkan tapi kadang tak kita sadari. Ketika Elia diutus-Nya untuk menyampaikan nubuatan berupa kekeringan hebat, Allah memelihara Elia dengan memberinya air dari anak sungai dan burung gagak membawakan makanan untuknya (1 Raja-raja 17:4). Ketika Yunus terombang-ambing di lautan yang bergelora, Allah mengirim seekor ikan besar bukan untuk membunuh Yunus, tetapi menyelamatkannya sampai ia dimuntahkan pada keadaan laut yang lebih tenang (Yunus 1:17). Ketika sepasang pengantin kehabisan anggur pada pesta perkawinannya, Yesus pun menyatakan mukjizat-Nya dengan mengubah air menjadi anggur (Yohanes 2:1-11).

Kita semua adalah perpanjangan tangan-Nya untuk menolong orang lain. Saat kita memiliki sesuatu yang lebih—tak melulu soal uang—kita bisa membagikannya kepada mereka yang Tuhan letakkan namanya di hati kita.

Seorang Tetangga yang Mengajarkanku tentang Berbuat Baik

Oleh Edwin Petrus, Medan

Sepulang kantor, kulihat langit masih cerah walaupun matahari mulai tenggelam. Suara keroncongan terdengar dari perutku. Sel-sel dalam otak pun mulai memilah-milah warung makan mana yang sudah buka di sekitar tempat kerjaku sambil aku terus berjalan ke parkiran. Setelah kutemukan motor bebek milik kantor yang dipinjamkan padaku, segera kunyalakan mesinnya. Kuoper persneling ke nomor satu, memutar handle gas, dan melaju ke warung pecel lele kesukaanku. Warung pecel lele ini terletak tidak jauh dari tempat tinggalku. Dengan kecepatan normal, kira-kira sepuluh menit aku bisa tiba..

Begitu sampai di sana, segera kupesan menu favoritku: lele goreng! Tak perlu waktu lama, sepiring lele goreng, nasi, dan es jeruk tersaji di depanku. Semuanya kulahap sampai tak bersisa. Kutepuk perut kenyangku sambil tersenyum. Memang, pecel lele tiada duanya! Setelah makan, aku pun bersiap-siap kembali ke mes karyawan yang berada di kompleks tempat kerjaku. Oh ya, kala itu aku berkarier sebagai salah seorang karyawan hotel di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

Saat sudah meninggalkan warung itu beberapa ratus meter, tiba-tiba hujan turun. Aku tidak membawa jas hujan. Langsung saja aku basah kuyup. Tapi, tetap kuputuskan untuk meneruskan perjalanan pulang karena tidak lama lagi aku akan sampai di mes dan bisa segera mandi.

Diguyur hujan, naluriku mendorongku untuk meningkatkan laju motor tanpa menyadari akan licinnya jalan yang dibasahi hujan, dan potensi kecelakaan yang bisa terjadi. Yang ada dalam pikiranku hanyalah bisa sampai di mes sesegera mungkin. Namun, tiba-tiba dalam sekejap aku merasakan kedua tanganku sudah terlepas dari motor yang aku tunggangi! Peristiwa itu terjadi begitu cepat, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa aku sudah terhempas beberapa meter dari motorku yang sudah jatuh di aspal. Tatapan mataku kabur karena kacamataku juga jatuh entah di mana. Aku berusaha mencarinya di kegelapan senja dengan bantuan cahaya dari ponsel yang masih menyala.

Ketika aku masih meraba-raba tanah di sekitar untuk mencari kacamataku, kulihat cahaya motor yang datang dari arah berlawanan. Ada seorang pria yang mengenakan jas hujan turun dari motornya dan berhenti tepat di depanku yang sedang tergeletak. Ia langsung mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Setelah itu dia maju beberapa meter untuk mengangkat motorku.

Aku tidak kenal siapa dirinya. Namun, tidak lama kemudian pria itu bertanya tentang kondisiku yang kujawab bahwa aku baik-baik saja. Lalu aku mencoba berjalan ke arah motorku dengan tertatih-tatih. Aku memang agak sulit berjalan, tapi aku terus berpikir bahwa diriku baik-baik saja. Padahal kenyataannya, aku tidak sadar bahwa beberapa bagian tubuhku mengalami luka-luka dan memar.

Pria ini sempat memberikan tawaran untuk mengantarku pulang, namun aku enggan menerima karena sungkan merepotkannya. Lantas dia memperkenalkan dirinya sebagai kakak dari salah seorang rekan kerjaku. Mungkin dia mengenaliku sebagai teman kerja adiknya dari seragam yang masih menempel di tubuhku. Kemudian dia memintaku untuk tidak merasa segan karena dia juga warga setempat.

Sambil berbicara, kucoba menyalakan motorku. Pria itu masih membantuku menahan beban motorku yang berat. Puji Tuhan, ternyata mesin motor masih bisa menyala. Aku mengatakan kepada pria itu bahwa aku masih bisa pulang sendiri, walaupun aku mulai merasakan perih di beberapa bagian tubuhku yang luka-luka. Sembari menghaturkan terima kasih atas kebaikannya, aku juga mengucapkan selamat tinggal.

Merasakan Pengalaman dari Kisah Orang Samaria yang Baik Hati

Kawan, beberapa tahun setelah peristiwa ini, ketika aku membaca kembali perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:30-35), aku menyadari bahwa aku telah merasakan kebaikan dari seorang tetangga yang tidak aku kenal sebelumnya. Tetangga ini memiliki latar belakang yang berbeda dengan diriku. Kami tidak datang dari kota yang sama, bukan suku yang sama, dan juga tidak memeluk agama yang sama. Namun, dengan tanpa pamrih, di tengah hujan yang cukup deras, dia rela berhenti untuk menolong seseorang yang jatuh dari motornya. Dan bukan itu saja, dia yang mungkin sedang dalam perjalanan ke sebuah tempat, juga rela untuk mengantarkan orang yang baru mengalami kecelakaan ini untuk pulang ke rumahnya.

Dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati, Yesus menceritakan bahwa ada seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Orang itu bertemu dengan perampok-perampok yang bukan saja mengambil seluruh hartanya, tapi juga memukulnya sampai babak belur hingga ia terkapar setengah mati.

Kemudian ada seorang imam yang kebetulan melalui jalan itu. Sang imam melihat orang yang terkapar tersebut, tetapi ia hanya melewatinya dari sisi jalan yang lain. Lalu seorang Lewi juga kebetulan melalui jalan tersebut. Dia pun tidak memedulikan orang yang sudah sekarat itu dan terus berjalan seakan tidak ada sesuatu yang terjadi. Beberapa pakar Alkitab meyakini bahwa sang imam dan Lewi tidak mau menajiskan diri setelah mereka memimpin ibadah yang kudus di Bait Allah yang berada di kota Yerusalem.

Memang benar, aku tidak berjumpa dengan seorang imam dan orang Lewi di dalam peristiwa yang aku alami. Namun, aku menemukan diriku yang sering beraksi seperti imam dan Lewi dalam cerita itu.

Aku tahu bahwa mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia adalah perintah utama dari taurat, dan kedua hal ini adalah paket yang tidak terpisahkan dalam kehidupan orang Kristen. Namun, aku gagal untuk memberikan uluran tangan sebagai bentuk kasihku kepada sesama, karena keegoisanku.

Aku menjadi seperti sang imam dan Lewi yang mencari-cari alasan untuk tidak mengulurkan tangan sama sekali. Aku berpikir terlalu keras dan mempertimbangkan terlalu banyak alasan sampai akhirnya aku mau mengatakan “iya” untuk meringankan beban orang lain. Hal tersebut membuatku sadar bahwa diriku ternyata “pilih-pilih kasih” ketika hendak menyatakan kebaikan pada orang lain. Contohnya, aku lebih dapat mengasihi orang-orang yang memiliki latar belakang yang mirip denganku, serta giat membantu teman-temanku dengan menyimpan harapan bahwa suatu hari nanti mereka juga akan membantuku. Namun, ketika aku tidak mendapatkan balasan dengan kualitas kasih dan perhatian yang sama, aku mulai merasa kecewa.

Ya, aku memiliki pandangan dan sikap yang salah. Padahal, mengasihi sesama manusia dengan berbuat baik adalah panggilan kita yang sudah terlebih dahulu menerima kasih dan kebaikan yang besar dari Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus yang melepaskan kita dari belenggu dosa dan maut. Tak sampai di situ, Tuhan juga terus memelihara hidup kita dengan menambahkan anugerah demi anugerah yang dapat kita rasakan setiap harinya.

Ketika aku merefleksikan kembali insiden yang pernah menimpaku tersebut, aku bersyukur bahwa Tuhan memberikan sebuah pembelajaran yang berharga kepadaku tentang mengasihi sesama melalui perbuatan baik. Dan melalui tetangga yang telah menolongku, aku belajar seperti apa yang dikatakan oleh John Wesley, bapak gereja Methodist,

“Lakukan semua kebaikan yang Anda bisa, dengan segala sumber daya yang Anda bisa, dengan semua cara yang Anda bisa, di semua tempat yang Anda bisa, setiap saat Anda bisa, kepada semua orang yang Anda bisa, selama Anda bisa.”

Kawan, di akhir perumpamaan Yesus memberikan sebuah ajakan kepada pendengar-Nya dan kita semua pada hari ini, “Pergi dan perbuatlah demikian.” (Luk. 10:37b). Yuk, mari kita pergi dan membagikan kasih Allah melalui hidup kita. Ya, bagikan kasih Allah kepada sesama untuk kemuliaan nama-Nya!

Ketika Perbuatan Baik Malah Disalahartikan

Oleh Agnes Lee
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When My Good Deeds Backfired

Sudah lama aku tidak bertemu dengan temanku, jadi ketika ada waktu luang kuajaklah dia untuk pergi makan bersama. Usia temanku jauh lebih tua dariku dan dia tinggal sendirian. Acara makan bersama yang kupikir akan menyenangkan berubah menjadi aneh ketika maksud baikku malah jadi bumerang.

Kami makan di pujasera. Dari banyak restoran di sana, kami memilih satu restoran yang sama. Kulihat dia cuma memesan sayur-sayuran. Dalam hati kuberpikir, “Makanan cuma segitu mana cukup buat dia?”

Ketika akhirnya kami duduk, aku mengambil dua sendok nasi dari piringku dan meletakkannya di piringnya. Kupikir dia akan berterima kasih tapi dia malah mengeluh, “Kamu tahu gak sih tadi aku nggak pesan nasi itu karena aku memang nggak mau makan nasi? Kok malah kamu kasih aku nasi? Tadi pagi aku udah sarapan banyak dan masih kenyang. Kamu harusnya tanya dulu. Kamu itu selalu melukai orang. Kamu terlalu naif.”

Gara-gara kejadian itu, temanku lalu mengomel. Dia merinci perbuatan-perbuatan baikku yang ternyata tidak bermanfaat buatnya, seperti membelikannya rak sepatu dan beberapa biskuit.

Aku terkejut dengan tanggapannya. Aku merasa sangat bersalah. Aku memberikan uang yang kudapat dari kerja keras untuk membelikannya hadiah, berpikir kalau temanku itu akan menyukai pemberianku, tapi nyatanya dia malah tidak menghargai niat baikku.

Aku ingin membela diri, tapi kuputuskan menahan ucapanku karena temanku itu sudah tua dan aku ingin menghormatinya. Tanpa bicara, kuambil lagi dua sendok nasi dari piringnya ke piringku. Kami pun makan bersama dalam keheningan. Aku tidak tahu harus bicara apa karena hatiku rasanya campur aduk. Maksud baikku disalahartikan dan aku menyesali tindakanku. Sampai akhirnya pulang pun kami tidak banyak bicara.

Sampai di rumah, kata-kata temanku itu berputar terus di otakku. Sungguhkah aku tidak peka dan menjengkelkan? Apakah aku terlalu naif dalam pikiran dan tindakanku? Apakah aku jadi pemaksa ketika aku mencoba jadi orang baik?

Aku ingat sebuah nasihat yang mengatakan agar aku bisa menetapkan garis batas antara kita dengan orang yang tidak menghargai kebaikan kita. Menjaga jarak itu dibutuhkan supaya kita tidak disalahpahami lagi. Meskipun itu kedengarannya bijak, kurasa melakukan nasihat itu hanya akan membuat kita menjauh dari rekonsiliasi dan malah membuat kita berfokus pada luka-luka saja. Jika aku akhirnya menjaga jarak, sungguhkan aku bisa menunjukkan kasih Tuhan pada temanku itu? (1 Koritnus 13:2).

Seiring aku merenung dan berdoa, aku mulai menyadari pandangan berbeda dari situasiku. Aku sadar bahwa di balik tindakan baikku atau caraku merespons temanku, aku bersadarkan pada pengertianku sendiri tanpa mencari tahu hikmat-Nya.

Temanku ialah seorang wanita tua yang tinggal sendirian. Aku ingin agar dia tahu kalau dia punya teman yang peduli padanya dan dia tidak sendirian. Tapi, dalam proses untuk mewujudkan itu, aku tidak benar-benar mengerti apa yang jadi kebutuhannya. Aku hanya berasumsi seolah aku tahu apa yang dia butuhkan dariku—dan mungkin tindakanku berlebihan sehingga bukannya membuatnya bersyukur, malah merasa tersinggung.

Setelah hatiku lebih tenang, aku pergi ke rumahnya untuk meminta maaf. Puji Tuhan, dia memaafkanku lalu menertawakanku. Katanya aku terlalu menganggap serius persoalan tempo hari. Ketika obrolan kami jadi lebih ringan, dia pun mulai terbuka tentang apa yang sungguh jadi kebutuhan dan keinginannya.

Lewat pengalaman ini, aku belajar apa artinya berbuat baik dengan hati yang murni dan iman yang tulus ikhlas (1 Timotius 1:5). Seperti yang ditulis di Kolose 3:12, aku seharusnya menunjukkan kebaikan dan belas kasih dengan cara menanyakan apa yang sungguh jadi kebutuhannya. Aku seharusnya lebih lemah lembut dan rendah hati dengan mendengarkan lebih dulu apa yang dia butuhkan, alih-alih memaksakan asumsiku yang akhirnya meletakkan dia pada posisi sulit untuk menolak. Konflik ini menolongku mengetahui apa yang dia sukai dan tidak sukai, dan mengikat kami dalam ikatan persahabatan yang lebih erat.

Tindakanku untuk berbuat baik hampir saja mengandaskan persahabatan kami. Kupikir aku sedang menolong temanku, tapi dia malah melihat hal sebaliknya. Tanpa respons temanku yang blak-blakan di pujasera, aku mungkin tidak akan menyadari betapa pentingnya melakukan kebaikan bagi orang dengan cara yang sungguh membangun mereka. Niatan kita mungkin baik, tapi jika kita tidak mencari pengertian akan apa yang sesungguhnya orang itu butuhkan, tindakan kita malah seolah menunjukkan kita sedang melayani diri sendiri.

Carilah Tuhan dengan hati dan tangan yang terbuka, agar kita diberi-Nya kesempatan untuk melayani mereka yang ada di sekitar kita. Aku berdoa agar aku juga kamu dapat peka pada pimpinan-Nya agar kita pun memiliki hati dan pikiran Kristus dalam segala aksi yang kita lakukan.

Tindakan kita sendiri bisa saja gagal, tetapi dengan Kristus yang bekerja di dalam kita, setiap tindakan kita disempurnakan-Nya agar menjadi persembahan yang harum bagi-Nya.

Baca Juga:

3 Tipe Teman yang Kita Semua Butuhkan

Tidak semua pertemanan berjalan hangat dan langgeng, tapi Alkitab mengajar kita untuk tetap saling berelasi dan tidak hidup secara terasing.

Kebaikan yang Bertumbuh

“Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik…” (Galatia 6:9).

Kebaikan adalah bahasa kasih yang universal. Setitik kebaikan yang kita berikan bisa dipakai-Nya untuk mengubah hidup orang lain, entah itu keluarga, teman dekat, orang asing, atau bahkan musuh sekalipun. Dengan tetap berbuat baik, kita sedang menunjukkan pada dunia akan Allah yang telah lebih dulu berbuat baik pada kita.

Yuk swipe artspace ini dan temukan inspirasi di dalamnya.

Artspace ini dibuat oleh Elok Bakti Pratiwi

Karunia Kemurahan Hati

Hari ke-28 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:14-17

4:14 Namun baik juga perbuatanmu, bahwa kamu telah mengambil bagian dalam kesusahanku.

4:15 Kamu sendiri tahu juga, hai orang-orang Filipi; pada waktu aku baru mulai mengabarkan Injil, ketika aku berangkat dari Makedonia, tidak ada satu jemaatpun yang mengadakan perhitungan hutang dan piutang dengan aku selain dari pada kamu.

4:16 Karena di Tesalonikapun kamu telah satu dua kali mengirimkan bantuan kepadaku.

4:17 Tetapi yang kuutamakan bukanlah pemberian itu, melainkan buahnya, yang makin memperbesar keuntunganmu.

Bingkisan makanan yang keluarga kami terima 17 tahun lalu masih menjadi sesuatu yang begitu berkesan di rumah kami.

Saat itu, aku baru saja pulang setelah menjalani operasi tulang belakang di rumah sakit di Selandia Baru. Selama hampir seminggu, orang tuaku menghabiskan waktu mereka untuk menemaniku di rumah sakit. Ketika kami pulang, tak ada bahan makanan di rumah kami. Betapa terkejut dan senangnya kami ketika pendeta Daniel Yi dan keluarganya mengunjungi kami sambil membawa bingkisan makanan.

Keluargaku baru saja pindah ke Selandia Baru. Kami masih jemaat baru di gereja dan tidak punya banyak kenalan dekat. Ketika Pendeta Yi datang membawa bingkisan makanan, kami terharu. Ada seseorang di luar sana yang rela meluangkan waktu, tenaga, dan uangnya untuk memberikan berkat buat kami, meskipun sejatinya ia belum benar-benar mengenal kami. Peristiwa ini menunjukkan pada kami bagaimana rasanya menjadi tubuh Kristus—komunitas dari orang-orang percaya yang saling mendukung dan peduli. Kehadiran orang-orang seperti itu mendatangkan penghiburan besar buat kami di masa-masa sulit.

Rasa haru yang kami rasakan terhadap Pendeta Yi mungkin mirip dengan apa yang Paulus juga rasakan ketika ia menulis ungkapan terima kasihnya kepada jemaat di Filipi atas bantuan mereka di saat ia kesusahan (ayat 14).

Pada saat itu, Paulus melakukan pekerjaan yang sulit namun berguna untuk menyebarluaskan firman Allah. Akan tetapi, Paulus hanyalah manusia biasa. Paulus punya kebutuhan yang harus ia penuhi, seperti pakaian dan makanan. Ketika berita penderitaan Paulus tersebar, jemaat Filipi adalah satu-satunya jemaat yang mengirimkan bantuan kasih kepada Paulus. Aku yakin Paulus tentu merasa senang ketika mengetahui bahwa pekerjaan yang ia lakukan dalam hidup mereka tidaklah sia-sia—dan bahwa ada orang yang memedulikannya.

Tidak hanya satu kali, jemaat Filipi mengirimkan bantuan berulang kali. Alasannya sederhana: mereka telah menerima berkat dari pekerjaan Paulus dan ingin membantunya untuk menyebarkan Injil lebih lagi (Filipi 1:5).

Aku yakin, ini bukanlah hal mudah bagi jemaat Filipi. Mereka harus mengorbankan sesuatu untuk bisa menolong Paulus. Namun, teladan mereka, juga Pendeta Yi telah mengingatkanku bahwa pengorbanan yang berasal dari hati itu adalah salah satu cara untuk kita memperhatikan anggota tubuh Kristus yang lain (Filipi 2:3-4).

Selain terharu akan kebaikan jemaat Filipi, Paulus berharap agar mereka memperoleh hasil panen yang melimpah atas apa yang telah mereka perbuat. Paulus pun berdoa agar mereka “makin diperbesar keuntungannya” (ayat 17). Mungkin berkat atau keuntungan itu bukan berupa materi, namun Paulus ingin mereka tahu bahwa apapun yang mereka tabur di dunia ini merupakan suatu pekerjaan yang memiliki nilai di surga—dan mereka akan menerima hadiah surgawi kelak.

Aku pernah bergumul dalam mengelola keuanganku, namun kebaikan Pendeta Yi telah menginspirasiku untuk membagikan kasih kepada orang lain, meskipun aku merasa kurang. Ketika aku mendapatkan pekerjaan paruh waktu, aku menyisihkan sedikit gajiku untuk membeli hadiah Natal kepada organisasi Bala Keselamatan. Sampai sekarang aku masih rutin melakukannya.

Mungkin apa yang kulakukan bukanlah hal besar, tapi aku berharap usaha untuk memberi berkat buat orang lain ini dapat menolong meringankan beban mereka.—Michele Ong, Selandia Baru

Handlettering oleh Ferren Manuela

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pikirkan suatu waktu ketika kamu terberkati karena seseorang. Tulislah surat, email, atau chat mereka sebagai bentuk terima kasihmu akan berkat yang mereka berikan!

2. Apakah ada seseorang di sekitarmu yang membutuhkan bantuan dan dapat kamu bantu, entah itu secara finansial atau lainnya?

3. Bagaimana fakta bahwa kita akan mendapat hadiah surgawi atas kebaikan yang kita lakukan memotivasimu untuk menjadi berkat bagi orang lain?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Michele Ong, Selandia Baru | Michele pernah bercita-cita jadi perenang handal. Michele senang mendengar cerita-cerita tentang kehidupan yang Tuhan ubahkan ketika seseorang berada di titik nadir.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Jatuh Bangun Mencari Pekerjaan, Ada Rencana Tuhan Di Balik Setiap Kegagalan

Oleh Josua Martua Sitorus, Palembang

Siang itu, aku tengah menunggu giliran wawancara user di salah satu perusahaan ritel swasta terkemuka. Di saat yang sama jiwaku bergejolak karena sudah tidak sabar menunggu pengumuman akhir di sebuah perusahaan BUMN besar di negeri ini, untuk menempati posisi staf akuntansi dan keuangan. Aku sibuk mengecek kotak masuk emailku melalui HP sambil berdoa di dalam hati. Aku sangat berharap bisa masuk ke perusahaan itu, apalagi setelah melalui delapan tahap seleksi masuk yang cukup berat. Orang tuaku juga sangat mendukungku, bahkan memiliki firasat bahwa aku akan lolos ke perusahaan itu.

Sekitar pukul sebelas, email yang kutunggu-tunggu pun masuk. Jantungku berdegup kencang dan jari-jariku dengan segera membuka lampiran email yang tercantum. Aku melihat satu per satu nama yang berhak lolos untuk tanda tangan kontrak. Halaman demi halaman terlewati, tetapi aku tak kunjung menemukan namaku. Aku mulai gusar, lalu mencoba memeriksa kembali dari awal. Namun, hasilnya tetap sama. Namaku tidak tercantum dalam daftar tersebut.

Mataku sontak berair, tetapi berusaha kututupi karena malu dengan pelamar lain yang ada bersama denganku saat itu. Aku diam sejenak, pandanganku gelap seketika. Hatiku meronta-ronta, tidak percaya akan hasil yang baru saja kuterima. Serangkaian tahapan rekrutmen yang kulalui dengan usaha keras seakan terbuang sia-sia. Namun, di saat yang sama, aku teringat pada Tuhan dan kebaikan-Nya padaku dalam setiap langkah kecil di kehidupanku. Beberapa kali Tuhan tidak mengabulkan apa yang aku harapkan dalam pengalaman-pengalaman sebelumnya, tetapi Tuhan selalu memberi apa yang sesuai dengan porsiku. Aku merasakan Tuhan sedang memelukku saat itu dan berusaha menghilangkan kedukaanku. “God is good all the time, God is good all the time”, bisikku dalam hati.

Sepuluh menit kemudian, namaku dipanggil untuk masuk ke ruang wawancara. Aku sudah tidak fokus, langkahku sedikit goyah. Ingin rasanya aku pulang dan meninggalkan proses wawancara. Tetapi, hati kecilku bicara agar aku tetap maju karena sesungguhnya tidak ada usaha yang sia-sia. Aku melewati proses wawancara dengan tidak lupa untuk berdoa sebelumnya. Sepanjang perjalanan kembali ke koss, aku terus dihinggapi pikiran tentang kegagalan yang harus kuhadapi.

Di kamar, aku langsung berdoa pada Tuhan sambil menangis. Aku menceritakan seluruh isi hatiku pada-Nya dan berusaha meneguhkan hatiku bahwa kegagalanku untuk lolos ke perusahaan itu tidak luput dari rancangan Tuhan. Aku meminta Tuhan untuk memberikanku jalan yang terbaik dan menguatkanku agar tidak patah semangat. Setelah itu, aku langsung menelepon orang tuaku. Mereka memberiku semangat agar pantang menyerah dalam mencari pekerjaan. Puji Tuhan!

Aku bersyukur Tuhan langsung memulihkan semangatku. Malam itu juga, aku memberanikan diri untuk mendaftar ke beberapa perusahaan BUMN yang masih membuka kesempatan. Ada yang sudah mencapai hari terakhir pendaftaran, sehingga aku segera melengkapi seluruh berkas yang diminta.

“Ku tak akan menyerah
Pada apapun juga
Sebelum ku coba
Semua yang ku bisa
Tetapi kuberserah
Kepada kehendakMu
Hatiku percaya
Tuhan punya rencana”

Lagu Angel Pieters dan Jeffry S. Tjandra ini menjadi backsound-ku malam itu yang memberiku kekuatan untuk menantikan janji Tuhan yang sempurna.

Hari-hari selanjutnya kuhabiskan dengan melamar ke berbagai perusahaan serta mengikuti rangkaian demi rangkaian tahap rekrutmen. Puji Tuhan, hampir semua perusahaan yang kulamar memberikanku kesempatan untuk mengikuti proses rekrutmen. Tak kusangka, perusahaan BUMN yang kulamar tepat di hari terakhirnya juga memanggilku untuk tes di Jakarta. Aku menumpang di kos temanku selama proses rekrutmen.

Doa dan usaha mengiringi langkahku dalam melewati tahapan demi tahapan di perusahaan tersebut selama tujuh hari berturut-turut. Aku berhasil lolos hingga tahap ketujuh, dan pelamar-pelamar yang lolos sampai tahap ini akan dikabari dalam waktu satu minggu lolos atau tidaknya ke tahap akhir, yakni wawancara dengan direktur.

Sesuai waktu yang dijanjikan, aku mendapatkan telepon yang menyatakan bahwa aku lolos ke tahap akhir. Tuhan memberikanku kesempatan lagi. Peluang di depan mata tentu tidak akan kusia-siakan. Aku mempelajari mata kuliah akuntansi dengan lebih sungguh serta mempelajari sikap wawancara yang baik. Kucoba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sebelumnya. Aku juga berdoa puasa dua hari sebelum tes dan meminta dukungan doa dari orang tua.

Ketika tiba saatnya untuk wawancara, aku berusaha sedapatnya untuk menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan oleh Bapak Direktur di hadapanku. Setelah selesai, aku masih kurang puas karena ada pertanyaan yang tidak kujawab dengan tepat karena sesungguhnya aku tidak tahu jawabannya. Aku merasa terpuruk dan berpikir bahwa aku akan kembali gagal masuk ke perusahaan BUMN impianku.

Dalam perjalanan pulang ke Bandung, aku mendengarkan lagu-lagu rohani sembari terus berdoa dalam hati agar diberikan ketenangan dan damai sejahtera dari Tuhan. Aku sudah mengerahkan usaha yang terbaik dari diriku, aku hanya perlu percaya bahwa Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik, tidak pernah tidak.

Dua hari setelahnya, aku dinyatakan lolos menjadi pegawai di BUMN tersebut. Aku amat bersyukur kepada Tuhan! Aku sampai berteriak kegirangan dan langsung mengabari orang tuaku untuk menyampaikan kabar baik ini.

Tuhan memperhitungkan setiap perjuangan dan jerih lelah yang kulakukan dan menganugerahiku buah yang manis tepat satu bulan setelah kegagalan yang kualami. Aku mengucap syukur pada Tuhan atas kasih setia-Nya yang tak henti-hentinya dalam hidupku. Sejak saat itu, aku berjanji untuk menjadi pegawai yang berkinerja baik dan disiplin, serta senantiasa rindu untuk dipakai Tuhan menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarku.

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan” (Matius 7:7-11).

Baca Juga:

Keluargaku, Ladang Pelayananku

Memiliki kampung halaman yang jauh sering menggodaku untuk tidak pulang. “Kirimkan saja uang untuk orang tua di rumah, itu cukup,” begitu pikirku. Tapi, apakah itu sungguh-sungguh pelayanan yang bisa kuberikan buat keluargaku?

SinemaKaMu: Cinderella, Benarkah Keajaiban Itu Ada?

Oleh: Lisa Jong, China
(artikel asli ditulis dalam bahasa Mandarin: 有美德的地方就有奇迹——《灰姑娘》观后感)

SinemaKaMu-Cinderella

Sebuah cerita lama yang selalu disukai, berkali-kali dikemas untuk penonton yang berbeda. Ya, Cinderella kembali merebut perhatian banyak orang, kali ini dengan sentuhan baru dari studio Disney. Aku sangat senang ketika tahu film ini akan tayang, karena aku sendiri adalah penggemar berat dongeng tentang para peri. Tanpa membuang waktu, aku segera memesan tiket bioskop untuk menontonnya. Tidak sabar rasanya melihat Cinderella dengan gaun dan sepatu kacanya! Aku juga penasaran ingin melihat bagaimana ibu tiri dan kedua saudara tiri Cinderella akan mendapat ganjaran atas perbuatan mereka di akhir cerita.

Sekalipun sebagian besar alur film ini sama dengan dongeng aslinya, tema yang ditonjolkan kali ini agak berbeda. Keajaiban yang dibuat ibu peri tetap dihadirkan, memunculkan kereta labu dan sepatu kaca yang pada akhirnya membawa sang pangeran bertemu dengan gadis yang tepat, Ella. Tetapi, ada penekanan-penekanan khusus yang diberikan di sepanjang cerita, misalnya potongan kalimat: “milikilah keberanian dan kemurahan hati”, “di mana ada kemurahan hati, di situ ada kebaikan”, “di mana ada kebaikan, di situ ada keajaiban”. Selain itu ditegaskan bahwa yang menarik hati sang pangeran bukanlah gaun baru atau sepatu kaca Ella, tetapi keberanian dan kemurahan hatinya.

Jika kamu pernah diperlakukan tidak adil dan direndahkan seperti Ella, atau diremehkan saat kamu menunjukkan keberanian dan kemurahan hati, mungkin kamu sangat mendambakan cerita seperti Cinderella ini menjadi kenyataan. Melihat Ella yang tampak begitu mempesona di dalam balutan gaunnya yang indah, akan menghangatkan hatimu. Melihatnya menarik perhatian banyak orang di tengah pesta, terutama perhatian sang pangeran, akan menyemangati jiwamu. Bukankah setiap kita pada titik tertentu dalam hidup kita pernah berharap bahwa keajaiban yang sama juga bisa terjadi dalam hidup kita? Bukankah akan luar biasa jika ada seorang pangeran yang dapat membebaskan kita dari segala derita, rasa malu, dan putus asa dalam hidup ini?

Tahukah kamu bahwa sekalipun keajaiban ala Cinderella itu tidak nyata, sosok pangeran—atau Raja, lebih tepatnya—itu benar-benar ada. Pangeran itu, Yesus Kristus, adalah Pemilik langit dan bumi, dan Dia datang ke dunia ini untuk mencari kita (tanpa perlu mengecek ukuran sepatu kita). Dia bahkan rela menderita untuk menggantikan kita. Dia menanggung hukuman maut yang seharusnya ditimpakan kepada kita (Yesaya 53:4) sebagai ganjaran terhadap dosa yang dilakukan oleh manusia pertama, Adam, yang membuat kita semua menjadi budak dosa. Yesus membayar harga untuk memerdekakan kita dari perbudakan dosa dengan darah-Nya, dengan hidup-Nya (Roma 6:23). Lebih hebat lagi, Dia mengenakan pakaian yang baru untuk kita, yang membuat kita dapat kembali serupa dengan Dia—bukan hanya keberanian dan kemurahan hati seperti yang dikenakan Ella, tetapi juga kekudusan, kebenaran, kelemahlembutan, dan kerendahan hati (Roma 13:14). Dia menjadikan kita sebagai mempelai-Nya, ikut memerintah di dalam kerajaan-Nya yang kekal, mengangkat kita sebagai anak-anak Allah dan ahli waris dari janji-janji-Nya (Galatia 4:7).

Kedatangan Yesus memberitahu kita bahwa kita tidak perlu lagi menjadi budak dari “ibu tiri” dosa. Kita diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, yang telah datang dalam rupa manusia untuk membebaskan kita dari belenggu dosa. Dia mengundang kita untuk menjadi mempelai-Nya dan masuk dalam kerajaan-Nya. Aku telah menerima undangan-Nya beberapa tahun silam, dan sejak saat itu, aku menanti-nantikan tibanya hari istimewa, saat aku, seperti Cinderella, akhirnya dapat mengenakan gaun putih dan tinggal bersama Sang Pangeran, Sang Anak Domba, selamanya (Wahyu 19:7-9)

Bersediakah kamu juga menerima undangan-Nya?

 
Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah. (Yohanes 1:12-13)

Kebaikan Yang Tersebar Luas

Kamis, 15 Januari 2015

KomikStrip-WarungSateKamu-20150115-Tempat-Bersandar

Baca: Markus 10:13-16

10:13 Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu.

10:14 Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.

10:15 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya."

10:16 Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.

Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. —Markus 10:14

Kebaikan Yang Tersebar Luas

Berita tentang suatu perbuatan baik sederhana yang terjadi dalam suatu gerbong kereta bawah tanah di New York telah tersebar ke seluruh dunia. Seorang pria muda sedang terlelap, dengan tudung kaos menutupi kepalanya. Kepalanya itu juga bersandar di bahu seorang penumpang yang lebih tua. Ketika seorang penumpang lain tergerak untuk membangunkan pria muda itu, pria tua tadi berkata perlahan, “Ia pasti telah melalui suatu hari yang berat. Biarkan ia tidur. Kita semua pernah mengalami hal serupa.” Pria tua itu membiarkan penumpang yang kelelahan tadi tidur di bahunya selama hampir satu jam, sampai ia perlahan-lahan bangkit dari duduknya karena hendak turun di stasiun tujuannya. Sementara itu, seorang penumpang mengabadikan kejadian itu dan memasang fotonya pada media sosial, dan foto itu pun tersebar luas.

Kebaikan yang ditunjukkan pria tua tersebut seakan menggaungkan apa yang kita semua dambakan—suatu kebaikan yang mencerminkan hati Allah. Kita melihat kebaikan yang lemah lembut itu dalam diri Yesus ketika murid-murid-Nya mencoba untuk menjaga-Nya dari keriuhan dan kerumunan anak-anak. Yesus justru berkeras untuk memeluk anak-anak itu dan memberkati mereka (Mrk. 10:16). Lewat peristiwa itu, Yesus mengundang kita semua untuk beriman kepada-Nya selayaknya seorang anak kecil (ay.13-16).

Yesus memberitahukan kepada kita bahwa kita semua aman bersama Dia. Baik kita terbangun atau tertidur, kita dapat bersandar kepada-Nya. Ketika kita lelah pun, Dia menyediakan tempat perteduhan yang aman bagi kita. —MRD II

Di bawah naung sayap-Hu terpelihara
Meski g’lap malam angin ributlah.
Demi iman aku dilindungkan-Nya
‘Ku ditebus jadi anak-Nya. —Cushing
(Nyanyian Kemenangan Iman, No. 88)

Allah adalah tempat berlindung yang aman.

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 36-38, Matius 10:21-42