Posts

Penderitaan yang Membingungkan dan Yesus yang Kukenal

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Kita hidup dalam dunia yang telah berteman akrab dengan penderitaan. Ketika dosa masuk ke dalam dunia ini, dimulailah konsekuensi yang saat ini kita tanggung. Ada derai air mata kepedihan, jerit kesakitan, dan berbagai luka kehancuran.

Ketika persoalan hidup seolah lebih banyak dari pasir di laut, kita masih bisa bersyukur karena firman Tuhan terus tersedia, menjadi pegangan yang kokoh dan tak tergoyahkan. Tetapi, jika kita harus bersikap jujur, bukankah kita tetap dibingungkan oleh pertanyaan hidup seputar penderitaan? Di satu sisi kita tahu Allah itu baik, tetapi di satu sisi yang lain, bertumpuklah pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di pikiran dan mungkin pula menggores hati.

Mengapa Allah yang baik mengizinkan penderitaan terjadi pada kita semua? Itulah inti semua pertanyaan kita.

Suatu kali seorang teman yang kukasihi datang kepadaku dan bercerita tentang kehidupannya yang berat. Dia dan keluarganya telah melayani Tuhan cukup lama. Di suatu malam yang disertai guyuran hujan, dia dengan nada pelan dan gaya bicaranya yang lembut mengisahkan bagaimana dia dan keluarganya harus melewati masa sulit terkait kehidupan ekonomi yang sangat memprihatinkan. Temanku itu seorang yang suka menolong. Sudah banyak orang yang menerima kebaikannya. Tetapi, suatu kali dia dirugikan oleh seorang yang telah dianggapnya sebagai keluarga. Akibatnya, mereka bergumul untuk biaya hidup sehari-hari. Kondisi keuangan yang berada pada titik nadir membuat kebutuhan dasar keluarganya susah dibeli. Aku berusaha tidak ikut menangis ketika mendengarkan cerita pilunya.

Sejujurnya aku kaget dengan keputusannya menceritakan sebuah hal yang benar-benar sangat pribadi itu. Tetapi aku memahami perasaannya. Dia tak mampu menanggungnya sendiri. Sebagai seorang pria yang merasa gagal bertanggungjawab atas istri yang dicintainya, dia membutuhkan tempat berkeluh kesah. Setelah percakapan emosional itu, dalam kebingungan aku bertanya, “Di manakah Engkau Tuhan? Mengapa Engkau mengizinkan mereka yang mengasihi-Mu mengalami penderitaan-penderitaan seberat ini?”

Pemahaman kita tentang kebaikan Allah

Sebagai orang percaya kita berkali-kali diajarkan tentang kebaikan Allah. Aku rasa pemahaman itu telah lama masuk dalam daftar utama pengetahuan kita. Bahkan mungkin sejak kita berada di sekolah Minggu, inilah yang paling sering disampaikan oleh para pengajar. Tetapi, mengapa Allah yang baik itu mengizinkan penderitaan, bahkan yang sangat berat, terjadi kepada kita anak-anak-Nya? Betapa hancurnya kehilangan seorang yang dicintai, divonis penyakit mematikan, melihat orang tersayang terkapar tak berdaya, dan dikhianati orang yang dipercaya. Semua itu benar-benar menyesakkan dada, juga menimbulkan jutaan pertanyaan membingungkan yang tak mungkin diabaikan begitu saja. Kita menantikan jawaban atasnya.

Tetapi sebelum masuk dan membahas masalah ini lebih jauh, aku berharap kita bersepakat dan mengakui satu hal terlebih dahulu. Meskipun tidak pada semua kasus, faktanya ada juga banyak penderitaan yang terjadi pada kita karena kecerobohan dan kelalaian kita sendiri. Dalam keadaan seperti ini kita harus dengan rendah hati mengakui kesalahan kita di hadapan Allah dan meminta-Nya agar menolong kita berubah menjadi lebih baik. Maafkan aku untuk memberikan contoh ini, namun kita yang tidak suka menjaga kesehatan dan yang senang berkendara dengan ugal-ugalan, lalu mendapat akibat buruk, tidak layak mempersalahkan orang lain, termasuk Allah. Karena sering kali kita yang menancapkan banyak pedang di hati Allah lalu menuduh-Nya jahat padahal hati kita tergores oleh pisau kecil yang kita pegang sendiri.

Tetapi bagaimana jika kasusnya lain? Bagaimana jika kita telah berusaha hidup benar tetapi masih tetap dihantam oleh gelombang penderitaan? Apakah itu adil? Jika kanker menyerang tubuh seorang seperti Adolf Hitler yang telah merenggut lebih dari sepuluh juta nyawa manusia demi ambisinya yang jahat, aku rasa banyak dari kita yang tidak akan merasa heran. Menanggapinya, mungkin kita dengan ketus akan berkata, “itu sebuah karma”.

Untuk membantu kita mendalami persoalan yang tidak mudah ini, sebenarnya kita bisa melihat ada begitu berlimpah tokoh hebat dalam Alkitab yang hidupnya dipenuhi dengan penderitaan. Dari kisah dan kesaksian mereka semua kita bisa melihat cara kerja dan karakter Allah. Karena aku yakin kehidupan mereka masing-masing akan membawa kita pada kesimpulan yang sama. Salah satunya Ayub. Dia bukan orang jahat. Kitab Ayub memberikan keterangan tentangnya membuat kita kagum. Ayub adalah orang saleh. Tetapi dia mengalami penderitaan hebat.

Namun dalam tulisan ini, aku tidak akan mengajak kita semua untuk membedah kisah Ayub atau tokoh lain dalam kitab Perjanjian Lama. Aku hanya akan membawa kita untuk secara khusus mengarahkan lampu sorot kepada kehidupan seorang rasul bernama Paulus dengan melihat sedikit perkataan dalam sebuah suratnya, kemudian mengaitkannya dengan sebuah peristiwa sejarah yang paling penting yang telah mengubah peradaban dunia, yaitu salib Yesus Kristus.

Dalam suratnya kepada Timotius yang merupakan seorang anak rohani yang dikasihinya, Paulus memberikan dorongan dan penghiburan yang memang sangat dibutuhkan di masa-masa sulit itu. Pada saat itu, menjadi orang Kristen sama saja dengan membawa diri pada bahaya-bahaya yang serius. Paulus bahkan sudah lebih dulu mengalaminya. Mengetahui bahwa sang murid juga nantinya akan menghadapi semuanya itu, Paulus tidak tinggal diam. Dia mengirimkan surat keduanya untuk Timotius. Demikian penggalan tulisannya:

“Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan” (2 Timotius 1:12).

Seperti yang kita tahu, Paulus adalah seorang yang sangat akrab dengan penderitaan. Semenjak dia “ditangkap” oleh Tuhan dalam perjalanan ke Damsyik dan memutuskan untuk melayani-Nya, dia mulai berteman dekat dengan kepedihan. Dia kelaparan, kedinginan, dianiaya, dan dipenjarakan karena Kristus. Sampai di sini, aku yakin—sama seperti kita dan para tokoh Alkitab lainnya—Paulus karena keterbatasannya mungkin tidak dapat memahami secara utuh maksud dan rencana Tuhan. Namun dalam suratnya itu, dia berkata bahwa dia tahu kepada siapa dia percaya.

Mari perhatikan dengan cermat perkataannya. Ketika ia berkata, “Aku tahu kepada siapa aku percaya”, dia sedang menegaskan pengenalannya akan sosok yang dia sebutkan, yaitu Yesus Kristus.

Mengapa hal ini menjadi penting? Karena poin inilah yang dapat membawa kita pada kelegaan.

Seperti yang telah sedikit aku singgung sebelumnya, dalam kehidupan kita seringkali pertanyaan-pertanyaan yang sulit muncul dan membelenggu kita. Kita tak bisa memahami rencana Allah dalam hidup kita secara utuh dan jelas. Ada banyak hal yang tersembunyi, dan keterbatasan kita seakan membuat kita tak berdaya hingga menjadi berpasrah diri dengan wajah lesu dan kecewa. Tetapi, beruntunglah kita karena pengenalan yang benar akan Yesus Kristus yang akan memberikan pijakan yang tak dapat menggoyahkan kaki kita. Inilah yang Paulus ingin agar kita lakukan, yakni mengenal siapa yang kita percayai. Walaupun mengetahui atau mengenal siapa yang kita percaya tidak lantas melenyapkan deretan pertanyaan membingungkan yang ada di kepala kita, namun itu akan menentukan cara kita melihat sesuatu dengan lebih baik.

Biarkan sebuah cerita pendek ini membantu menjelaskan hal ini.

Ada sebuah pasangan suami istri yang memiliki seorang bayi kecil yang cantik. Di suatu pagi sang istri mendapatkan tugas untuk membeli makanan bagi bayi mereka dan sang suami mendapat tugas untuk menjaga bayi itu di rumah. Tetapi setelah berjam-jam meninggalkan rumah, si istri tak kunjung kembali. Bayi kecil yang mulai menangis kelaparan mulai membuat sang ayah menjadi cemas, khawatir, dan marah. Dia khawatir dengan bayinya yang kelaparan itu. Dia marah dengan istri yang tak tahu ada di mana. Dia cemas dan menimbun banyak pertanyaan di kepalanya. Dengan wajah kesal dia mulai bergumam, “di mana wanita ini?”

Meskipun ada begitu banyak dugaan, dia tidak dapat memastikan keberadaan istrinya saat itu. Dia benar-benar tidak tahu. Tetapi teringatlah dia pada satu hal. Dia tahu siapa istrinya. Dia kenal siapa istrinya. Istrinya adalah seorang yang telah “meninggalkan” keluarganya demi menikah dengannya dan merawat dia dengan kasih sayang. Istrinya adalah seorang yang telah mempertaruhkan nyawanya pada saat melahirkan bayi mereka itu. Berkali-kali dia melihat istrinya memaksakan diri, melawan kantuk, untuk bangun di tengah malam, menggantikan popok, membuatkan susu, dan menyanyikan lagu dengan suaranya yang jelek itu demi menidurkan bayi yang dikasihi itu. Semuanya dilakukan dengan ketulusan dan tanpa keluhan, bahkan di saat istrinya sedang sakit. Sang suami tahu persis, istrinya mencintai bayi itu, bahkan melebihi nyawanya sendiri.

Tetapi kembali terbesit pertanyaan menjengkelkan itu. “Mengapa istriku belum kembali?” Dia tidak tahu! Tetapi ada satu hal yang dia tahu. Dia tahu dan mengenal baik siapa istrinya. Untuk semua yang pernah istrinya lakukan bagi bayi mereka, untuk segala kesetiaan dan pengorbanan yang tak kecil, dia yakin tak mungkin istrinya mau mencelakakan bayi itu. Lalu mengapa istrinya belum kembali? Ada di mana dia?” Jawabannya adalah “Tidak tahu!” Tetapi sekali lagi ada suara dari lubuk hati paling dalam yang berbisik dalam batinnya, “Untuk semua yang telah istriku lakukan bagi aku dan anakku, aku tahu siapa istriku! Aku tahu dia punya alasan.” Tetapi apa alasannya? “Aku tidak tahu! Tapi aku tahu dan aku kenal siapa dia.”

Sama seperti sang suami yang tidak mengetahui dengan pasti keberadaan istrinya, kita juga mungkin tidak memahami bagaimana cara Allah bekerja. Kita tidak mengerti mengapa Dia mengizinkan kita mengalami luka yang sedemikian menyakitkan. Kita benar-benar tidak tahu. Kita dibingungkan dengan sederet pertanyaan “mengapa”. Mengapa ini, mengapa itu, mengapa aku begini, mengapa terjadi begitu? Mengapa orang lain yang mendapatkannya padahal aku yang telah melakukan lebih baik? Mengapa bukan orang jahat itu yang menanggung semua beban ini? Begitulah keadaannya. Tetapi jika satu dari pertanyaan sulit itu dijawab, muncul lagi pertanyaan membingungkan lainnya. Terus-menerus begitu.

Lalu di mana kita harus berhenti? Mari menjawab satu pertanyaan penting ini:

Tahukah kita siapa Yesus Kristus? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin tidak melenyapkan pertanyaan-pertanyaan membingungkan sebelumnya. Tetapi aku percaya jawaban itu akan menjadi seperti air segar yang tercurah dari langit di tengah terik yang kering. Yesus Kristus adalah Pribadi Allah yang meninggalkan surga yang mulia dan memilih lahir di palungan sebuah kandang domba untukmu dan untukku. Dia ditelanjangi dan diludahi oleh mereka yang dikasihi-Nya. Tangan yang dikasihi-Nyalah yang menancapkan paku ke dalam tangan dan kaki-Nya. Dia yang tak bersalah bersedia mati bagi kita yang selalu menyakiti hati-Nya.

Apakah masuk akal jika Pribadi yang pernah terhina seperti itu, Pribadi yang menyerahkan nyawa-Nya supaya kita menerima pengampunan dan jaminan keselamatan, Pribadi yang membuktikan cinta tanpa syarat bagi kita, berniat mencelakai kita? Tidak mungkin!

Lalu mengapa Dia mengizinkan semua kepedihan ini menimpa kita? Aku tidak tahu! Tetapi aku tahu siapa Dia! Sama seperti Paulus berkata, aku juga akan mengatakan hal yang sama, “Aku tahu kepada siapa aku percaya”.

Allah yang aku percaya adalah Allah yang telah mengorbankan diri-Nya demi aku. Ia mencintai aku. Aku kenal siapa Dia. Dia adalah Allah yang punya rencana indah bagi anak-anak yang dikasihi-Nya.

Hari ini, saat ini, aku tidak memahami cara kerja-Nya. Aku dibingungkan dengan keputusan-keputusan-Nya. Tapi imanku tidak goyah. Tidak akan pernah. Karena aku tahu kepada siapa aku percaya!

Dia adalah Allah yang bisa dipercaya dan diandalkan. Dialah yang berkata kepada Yeremia, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yeremia 29:11).

Tuhan Yesus memberkati kita. Amin

(Segala kelemahan dari tulisan ini berasal dariku, berkatnya berasal dari Dia)

Baca Juga:

Mengalami Kehadiran Allah Ketika Menghadapi Bullying

Teman-temanku menuduh dan menjulukiku sebagai “tukang ngadu”, akibatnya aku dijauhi dan dirundung secara mental dan fisik. Masa-masa sekolah jadi momen yang menyakitkan. Namun, Tuhan menolongku melalui masa-masa ini.

3 Alasan Mengapa Allah Mengizinkan Orang Saleh Mengalami Penderitaan

Oleh Priscilla G, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When Good People Suffer

Pernahkah kamu menyesal karena memberikan sebuah kesaksian?

Aku pernah. Ketika aku berusia 19 tahun, aku berdoa sungguh-sungguh supaya bisa mendapatkan beasiswa dan diterima di sebuah universitas lokal. Setiap tahunnya, dari seluruh siswa yang mendaftar, hanya tiga persen saja yang bisa diterima di sana. Di luar dugaanku, aku diterima padahal aku sendiri tidak yakin dengan hasil ujian yang kuikuti. Jadi, aku memberikan kesaksianku di sebuah kelompok sel, berterima kasih kepada Tuhan atas kesempatan yang Dia berikan.

Akan tetapi, setelah melewati dua semester pertama, nilai-nilaiku tidak cukup baik hingga aku diberikan surat peringatan dua kali. Isi dari surat peringatan itu adalah: tingkatkan nilaimu atau kamu akan dikeluarkan dari universitas. Aku berasumsi nilai jelek ini kudapat karena aku belum menyesuaikan diri sepenuhnya dengan lingkungan kampus di semester awal.

Aku mengintrospeksi cara belajarku dan berjuang lebih keras di semester selanjutnya. Sebelum ujian dilaksanakan, aku sudah mempersiapkan diriku jauh-jauh hari dan sebisa mungkin menerapkan manajemen waktu yang terbaik. Aku pikir cara-cara ini akan mengubahkan keadaan.

Tapi, kenyataannya, nilai-nilaiku tak kunjung membaik. Surat peringatan kedua pun datang dan menjadi pukulan telak buatku. Semasa sekolah dulu aku belum pernah menerima satu pun surat peringatan, tapi sekarang aku malah menerimanya dua kali.

Segala cara sudah kulakukan. Aku sudah memacu diriku untuk berjuang keras supaya nilai-nilaiku bisa membaik di semester kedua ini. Tapi, hasil yang kuterima malah berbanding terbalik dengan segala usaha yang telah kulakukan.

Aku gagal untuk memahami mengapa nilai yang kuraih tidak sesuai dengan usaha yang sudah kulakukan. Sejujurnya, aku tidak mengharapkan nilai yang sempurna, nilai yang biasa-biasa pun sudah cukup untukku. Aku menyelidiki hatiku dan yakin bahwa apa yang sudah kulakukan adalah yang terbaik. Kemudian, aku mulai menyalahkan dosen-dosenku. Bahkan, aku pernah meminta mereka untuk mengoreksi ulang ujianku, tetapi nilaiku tetap saja tidak berubah. Akhirnya, aku menyalahkan Tuhan yang kepada-Nya aku berdoa supaya bisa mendapatkan nilai yang baik.

Saat itu, aku menyesali keputusanku untuk memberikan kesaksian di masa-masa awal kuliahku. Aku berjuang untuk memahami kondisi yang sedang terjadi kepadaku. Aku tidak meremehkan kesempatan yang Tuhan berikan untuk masuk ke universitas ini. Namun, mengapa Dia malah mengizinkan ini terjadi? Jika ada sebuah lagu yang mengatakan “Dimuliakanlah nama Tuhan”, hatiku memilih untuk tidak memuliakan nama-Nya.

Aku mengakui bahwa ketika peristiwa ini terjadi, aku tidak mencari pertolongan dengan cara membaca Alkitab atau pergi ke gereja. Aku tidak yakin dengan tanggapan orang-orang ketika aku berkata bahwa aku menyalahkan Tuhan. Jadi, aku beralih ke Google dan mengetikkan “kecewa pada Tuhan”. Kemudian aku menemukan sebuah buku yang ditulis oleh penulis Kristen di Amerika, Philip Yancey.

Buku yang ditulis oleh Yancey itu membahas tentang kitab Ayub dan juga kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama di mana nabi-nabi berseru kepada Allah. Buku ini memberiku pemahaman baru tentang bagaimana cara Allah bekerja.

1. Allah menggunakan penderitaan sebagai sarana untuk kita berserah pada-Nya

Yancey menuliskan bahwa kitab Ayub “menggambarkan hal terburuk yang bisa terjadi kepada orang terbaik”. Ayub tidak bersalah, seorang yang jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayub 1:1). Bahkan, Tuhan sendiri berkata bahwa tidak ada orang lain yang begitu saleh seperti Ayub (Ayub 1:8, 2:3).

Namun, hanya dalam sekejap, Ayub kehilangan lembu, keledai, domba, unta, dan semua anak-anaknya (Ayub 1:14-19). Tak berhenti sampai di situ, kemudian Ayub pun menderita sakit borok yang menggerogoti sekujur tubuhnya dari ujung rambut hingga kuku (Ayub 2:7).

Tiga teman Ayub, Elifas, Bildad, dan Zofar mengatakan bahwa penderitaan Ayub terjadi karena dosa-dosa Ayub. Akan tetapi, Allah menegur mereka karena mereka telah mengasumsikan yang salah (Ayub 42:7). Allah tidak menyebutkan bahwa penderitaan yang Ayub alami terjadi karena dosa-dosa yang telah dia lakukan.

Tidak semua penderitaan yang kita alami itu terjadi karena akibat dosa yang kita lakukan.

Terkadang, memang ada orang-orang yang mendapatkan prestasi buruk di sekolah atau tempat kerja karena mereka kurang berusaha, tetapi pada kenyataannya tidak selalu demikian. Mungkin kamu pernah memiliki pengalaman serupa denganku: kamu sudah belajar sekuat tenaga, mempelajari kisi-kisi, bahkan melakukan apapun sebisamu, tetapi hasil yang kamu dapat tetap tidak memuaskan. Di dalam dunia sekolah, meluangkan waktu lebih banyak untuk belajar bukan jaminan bahwa nilai-nilai yang kita dapatkan akan memuaskan.

2. Allah ingin kita merespons setiap penderitaan dengan sikap yang benar

Penderitaan Ayub dimulai karena percakapan antara Allah dengan Iblis. Yancey menuliskan bahwa dalam percakapan itu Iblis mengajak Allah untuk bertaruh.

Iblis menganggap bahwa Ayub itu setia hanya karena Allah terus menerus memberkatinya (Ayub 1:10-11). Oleh karena itu, Iblis menantang Allah untuk mengambil segala kepunyaan Ayub supaya dia mengutuki Allah (Ayub 1:11, 2:5). Kemudian Allah mengizinkan Iblis untuk mencobai Ayub, tetapi tidak membolehkan Iblis mengambil nyawanya (Ayub 1:12, 2:6).

Yancey menuliskan bahwa ketika Ayub kehilangan segalanya, sesungguhnya dia sedang tampil dalam sebuah pertarungan di hadapan penonton-penonton yang tidak terlihat di dalam dunia roh.

Alkitab mencatat contoh-contoh lain dari peristiwa yang membuat dunia roh terguncang. Ketika Yesus mengutus murid-murid-Nya pergi ke kota-kota, Iblis pun takluk. Bahkan, Yesus mengatakan bahwa Dia melihat Iblis terjatuh seperti kilat dari langit (Lukas 10:1-18). Selain itu, ketika ada satu orang yang bertobat, maka seisi surga pun bersukacita (Lukas 15:7).

Rasanya sulit untuk membayangkan bahwa respons seseorang bisa begitu berdampak pada dunia roh, tetapi inilah yang ditunjukkan oleh Ayub. Respons kita terhadap penderitaan itu begitu penting. Ketika pencobaan itu datang, Ayub meresponsnya dengan tetap percaya pada Allah terlepas dari segala kemalangan yang menimpanya. Ayub memilih untuk memelihara imannya.

Dalam kasusku, aku percaya bahwa bagian dari ujian hidupku adalah ketika aku harus berjuang supaya tidak dikeluarkan dari program beasiswa yang amat aku dambakan. Akankah aku tetap setia? Atau, akankah aku hanya akan jadi orang yang setia kalau Allah memberkatiku saja?

Aku tidak tahu apakah responsku terhadap ujian hidup ini akan mempengaruhi dunia roh atau tidak. Tetapi satu yang aku tahu adalah bahwa ketika aku memilih tetap beriman, aku berkenan kepada Allah (Ibrani 11:6). Aku percaya bahwa responsku terhadap ujian hidup ini adalah salah satu cara untuk memurnikan iman dan relasiku kepada Allah.

Sekarang, bertahun-tahun setelah peristiwa di mana usahaku yang begitu keras seolah sia-sia berakhir, aku dapat mengatakan bahwa aku bisa merespons tiap penderitaan yang datang dengan lebih baik. Memang, aku masih menangis ketika pembimbing rohaniku di gereja meninggalkan pelayanan dan imannya. Aku juga menangis ketika kerabatku mengalami keguguran kandungan. Jika imanku diibaratkan seperti sebuah rumah, tentu aku terguncang ketika hari-hari yang berat menghadang, tetapi aku tidak hancur karena aku mendasari pondasiku pada Allah, sehingga hari demi hari aku pun semakin kuat.

3. Allah ingin mengajar kita bahwa Dia Mahakuasa

Allah tidak memberikan alasan mengapa Dia mengizinkan Ayub menderita. Malah, Allah menggunakan ketidaktahuan Ayub akan betapa rumitnya alam semesta ini untuk menyatakan kemahakuasaan-Nya (Ayub 38-41).

Ayub menjawab Allah: “Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (Ayub 42:3).

R.C. Sproul dalam bukunya yang berjudul “Surprises by Suffering”, menuliskan demikian: “Pada akhirnya, satu-satunya jawaban yang Allah berikan kepada Ayub adalah pewahyuan tentang diri-Nya sendiri. Seolah-olah Allah berkata kepadanya, ‘Ayub, Aku adalah jawabannya.’ Ayub tidak diminta untuk mempercayai sebuah rencana, tetapi dia diminta untuk mempercayai seorang pribadi, yaitu pribadi Allah yang berdaulat, bijaksana, dan baik.”

Jadi, seperti yang telah dilakukan Ayub, aku belajar untuk mengakui kekecewaanku, keraguanku, dan segala pertanyaanku hanya kepada Allah (Ayub 7:11-21, 10:2-18). Sekalipun aku takut apabila nilai-nilaiku tidak mengalami perubahan, aku belajar untuk melayani-Nya, menuntaskan tanggung jawabku dalam pelayanan di gereja. Hanya oleh karena anugerah-Nya saja, nilai-nilaiku membaik di semester ketiga, semester di mana aku menyerahkan kekecewaanku kepada Allah dan memilih berjalan bersama-Nya.

Kita adalah manusia, bukan Allah. Persepsi kita tentang ruang dan waktu tentu amat berbeda dari Allah yang Mahakuasa, yang memandang waktu sebagai sebuah kekekalan yang tiada berakhir.

Yancey menuliskan demikian: “Tak peduli sebagaimanapun kita berusaha untuk merasionalkan Allah, terkadang kita tetap melihatnya sebagai sosok yang tidak adil….Hingga waktu berjalan dan sejarah membuktikan, kita akan mengerti bahwa segala sesuatu terjadi untuk mendatangkan kebaikan” (Roma 8:28).

Hanya oleh karena anugerah Allah, aku dapat memberikan kesaksian lagi di semester ketiga. Kesaksian itu bukan hanya bicara tentang berkat-berkat Allah seperti nilaiku yang meningkat, tetapi juga tentang bagaimana Dia menopang dan memurnikan imanku lewat setiap peristiwa yang terjadi.

Baca Juga:

Aku Bergumul Karena Kehilangan Papa, Namun Jawaban Allah Membuatku Tertegun

16 Mei 2017 adalah hari yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Tepat pukul 08:52, ketakutan terbesarku terjadi. Aku kehilangan Papa untuk selama-lamanya. Di dalam ruang ICU, di tengah deru mesin ventilator dan alarm monitor jantung, di samping ranjang tempat Papa terbaring, pikiranku kosong. Yang aku tahu, selepas peristiwa ini, hidupku takkan lagi pernah sama.

Ketika Tuhan Mengizinkan Hal-hal yang Kurang Baik Terjadi

ketika-tuhan-mengizinkan-hal-hal-yang-kurang-baik-terjadi

Oleh Gracella Sofiani Mingkid, Surabaya

Aku mengernyit tatkala mendengar seorang temanku berkata, “Aku tidak bisa menyebutkan momen yang menyedihkan dalam hidupku, rasanya tidak ada.” Waktu itu, kami sedang berada dalam sebuah kelompok kecil dan diminta untuk menyebutkan sedikitnya 3 kejadian yang membuat kami tidak bahagia. “Wow, luar biasa sekali jika hidupnya selalu bahagia,” pikirku. Tapi, dalam hati aku jadi bertanya, “Masa sih? Atau, mungkin memang ada orang yang hidupnya seperti itu ya, Tuhan?”

Aku tidak dapat memungkiri bahwa hidupku juga pernah dihiasi kejadian-kejadian yang tidak membahagiakan. Ketika aku duduk di kelas XI SMA dulu, untuk pertama kalinya aku mendapatkan juara 3 umum. Padahal, sebelumnya aku selalu mendapatkan juara 1 umum. Mungkin ini terdengar lebay, tapi secara psikologis saat itu aku merasa begitu down. Sedih bukan main. Aku terus menyalahkan diriku: kamu kurang belajar!

Saat itu aku memang sangat perfeksionis, terutama apabila menyangkut soal nilai. Harus menjadi yang terbaik, pikirku. Tapi, karena kejadian itu, aku bahkan sempat mengurung diri di kamar dan menangis tanpa diketahui orangtuaku. Ketika aku menceritakan kesedihan itu kepada beberapa teman, sontak mereka berkata, “Kamu lebay ah! Toh turunnya juga hanya dua tingkat, Ella. Kenapa mesti sedih begitu?” Tapi, bagiku dua tingkat itu sangatlah berarti. Mungkin karena aku tidak terbiasa berada di posisi bawah.

Ketika tahun ajaran baru dimulai, aku berusaha membangkitkan semangatku kembali. Namun, hal ini tidaklah mudah. Aku jadi tidak percaya diri dan merasa tidak lagi diandalkan oleh teman-temanku. Beberapa dari mereka mulai pindah ke kelompok belajar lain. Sepanjang semester, aku tidak menikmati proses belajar di sekolah. Ketika sekarang aku mengingat bagaimana peristiwa itu terjadi, ada tawa kecil dalam hatiku. Tapi, pengalaman itu membuatku mengerti akan satu hal. Kita tidak selalu berada di atas. Kadang-kadang, Tuhan memakai momen-momen saat kita berada di bawah untuk membentuk kita.

Saat kuliah, perlahan aku mulai mengerti. Tuhan kembali mengizinkan aku untuk mengalami momen-momen berada di bawah. Ada kalanya ketika aku membuka kartu hasil studi, nilai sempurna yang aku dapat. Tapi, ada kalanya juga meski aku sudah berusaha sekuat tenaga, hasil yang kudapat tetap tidak sesuai harapanku. Harus kuakui, ketika hal ini terjadi, aku tidak serta merta menerimanya dengan lapang dada. Sifat perfeksionisku sejak dari SD hingga SMA dulu sedikit banyak masih menempel di hidupku hingga masa kuliah.

Seiring berjalannya waktu, dari hal-hal yang kurang baik yang terjadi dalam hidupku, Tuhan mengajarku untuk memiliki sikap hati yang benar saat apa yang aku harapkan tidak terjadi, bahkan berbanding terbalik. Pengalaman-pengalaman inilah yang perlahan mengubah orientasiku dari yang semula berfokus pada hasil, menjadi seorang yang memahami bahwa proses itu sungguh berharga. Aku jadi lebih mudah menerima dan merespons hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan atau ekspektasiku, termasuk nilai-nilai yang tidak selalu sempurna.

Banyak hal yang bisa kita banggakan dari hidup ini. Entah itu kekayaan, ketenaran, prestasi, keluarga yang bahagia, ataupun relasi yang luas dan harmonis. Tapi, kadang kala semua itu bisa jadi memanjakan kita. Kita gagal untuk belajar bahwa hidup ini tidak selalu berjalan mulus. Saat kondisi menjadi tidak seperti yang kita harapkan, kita mulai mengeluh. Kenapa seperti ini? Biasanya kan tidak begini? Bahkan, mungkin dengan mudahnya kita juga berkata, “Ah, Tuhan tidak mengasihiku!”

Waktu itu, ketika prestasiku turun, aku tidak berani bersaksi. Padahal, biasanya aku selalu bersaksi di ibadah-ibadah rayon ketika Tuhan terasa begitu baik dengan menganugerahkan prestasi yang gemilang kepadaku. Ketika aku merenungkannya kembali, memang sebagian besar kesaksian anak Tuhan yang aku dengar, dan yang juga pernah aku ucapkan biasanya hanya berbunyi demikian, “Puji Tuhan aku selalu berkecukupan. Puji Tuhan aku diberikan kesehatan. Puji Tuhan aku lulus dengan nilai tertinggi”. Semua hal luar biasa ini kita ceritakan dengan memuji-muji Tuhan atas campur tangan-Nya yang ajaib. Hal ini memang benar dan seharusnya menjadi kesaksian kita. Tetapi, bagaimana jika seseorang yang baru saja di PHK datang dan bertanya: berarti Tuhan tidak baik padaku? Atau seorang yang menderita kanker stadium akhir datang dan bertanya: berarti Tuhan tidak mengasihi aku? Atau seorang mahasiswa yang tidak lulus sidang akhir dan bertanya: berarti Tuhan tidak mengasihiku? Buktinya, Dia tidak menolongku untuk lulus. Bagaimana kita akan menjawabnya?

Seorang hamba Tuhan dalam khotbahnya pernah memberi masukan supaya kita dapat menambahkan beberapa kata dalam kesaksian kita menjadi salah satu bukti kebaikan Tuhan adalah Dia memberikanku nilai-nilai yang bagus. Salah satu bukti dari kasih Tuhan adalah Dia memberikanku kesehatan. Salah satu bukti bahwa aku dikasihi Tuhan adalah aku mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal baik yang terjadi dalam kehidupan kita itu hanyalah salah satu dari sekian banyak karya Tuhan yang terjadi dalam kehidupan kita. Dengan berkata bahwa segala hal baik yang terjadi itu sebagai salah satu dari karya Tuhan, kita sedang membantu diri kita untuk belajar memahami bahwa Tuhan tidak selalu memberikan hal-hal yang menurut kita baik dan luar biasa. Bahkan, lewat hal-hal yang kurang baik seperti kekecewaan, sakit hati, kekalahan, dan kerugian, Tuhan hendak menunjukkan bahwa Dia tetap mengasihi kita. Ketika Ayub sedang terpuruk dan istrinya memintanya untuk menyangkal Allah, Ayub berkata, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10). Kita tahu bahwa Allah bekerja dalam segala perkara untuk mendatangkan kebaikan bagi kita.

Cerita tentang anak SMA yang pernah terpuruk karena sifat perfeksionisnya ini mungkin terlihat kecil. Namun, karena itulah dia belajar tentang kesabaran, ketulusan, kerendahan hati, penguasaan diri, dan sikap hati yang benar. Dia belajar betapa Tuhan sangat mengasihinya, dan bahwa Tuhan berdaulat penuh mengatur dan membentuk hidupnya menjadi semakin murni. Dia belajar untuk mengandalkan hikmat dan kekuatan Tuhan. Apa jadinya jika dia tidak pernah berada di “bawah”? Mungkin saja dia akan semakin bermegah dengan kekuatannya sendiri.

Baca Juga:

Kita Harus Berhenti Memasarkan Kekristenan

Di Sabtu pagi yang tenang, seorang temanku mengajukan pertanyaan di grup Whatsapp yang kebanyakan anggotanya bukan orang Kristen. Dari pertanyaan itu, lahirlah diskusi panjang yang akhirnya berakhir dengan aman dan damai. Tapi, hasil diskusi itu mengagetkanku. Ada banyak kesalahpahaman antara persepsi teman-temanku mengenai Kekristenan.

Allah di Balik Kabut Asap

Penulis: Markus Boone

kabut-asap-2015
Sumber foto: daerah.sindonews.com, 22 Oktober 2015

Kemarau panjang beberapa bulan kemarin mungkin membuat hati kecil kita bertanya-tanya, mengapa Allah tidak kunjung mendatangkan hujan; mengapa Dia membiarkan bencana asap melanda dan menyebabkan jutaan orang menderita sakit karena asap yang begitu pekat masuk dalam hidung, tenggorokan dan paru-paru mereka. Pertanyaan senada mungkin pernah (dan akan) terbersit di benak kita ketika hujan terus turun dan bencana banjir menyapa. Mengapa Allah membiarkan bencana datang? Apakah Allah kurang berkuasa? Ataukah mungkin Dia kurang peduli?

Setidaknya ada beberapa hal yang menurutku bisa kita renungkan tentang pribadi Allah di balik bencana kabut asap yang hampir setiap tahun terjadi.

1. Allah konsisten dengan hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya

Bayangkanlah seorang guru yang membuat peraturan dalam kelas, tetapi sangat sering mengubah-ubah peraturan yang dibuatnya sendiri. “Hari ini peraturan nomor satu tidak berlaku ya, besok saja berlakunya.” Lalu seminggu kemudian ia berkata, “Minggu ini peraturan yang kemarin saya umumkan tidak jadi berlaku karena ada murid-murid yang tidak setuju.” Apa kesan kita terhadap guru yang demikian?

Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika setiap kali kita berdoa Allah mengubah hukum-hukum alam yang dirancang-Nya sendiri. Kekacauan! Begitu gereja berdoa, Allah langsung memadamkan api di hutan. Orang-orang yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan tidak jadi dihukum. Pemerintah tidak merasa perlu berusaha keras memperbaiki sistem pengawasan dan pelestarian lingkungan. Penduduk tidak akan sadar betapa pentingnya menjaga alam yang dikaruniakan Allah. Apapun yang dilakukan orang dengan hutan setiap tahunnya, semua akan baik-baik saja. Tidak ada panggilan pertobatan.

Di balik kabut asap kita melihat Allah yang konsisten dengan apa yang sudah dirancang-Nya. Dia bukan Allah yang kebingungan dalam menegakkan aturan untuk alam ciptaan-Nya sendiri (Mazmur 119:89-91). Bencana kabut asap, sebagaimana halnya masalah lubang ozon dan pemanasan global, terjadi karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Tidak bisa dibereskan hanya dengan mengeluh dalam doa dan menuntut Allah melakukan “hal-hal ajaib”. Perlu ada refleksi sekaligus reformasi dalam kehidupan setiap kita, bagaimana kita menyikapi alam yang dikaruniakan Tuhan. Polisi, jaksa, dan hakim harus menegakkan keadilan bagi orang-orang yang merusak alam. Pemerintah harus membuat peraturan yang lebih jelas serta menciptakan infrastrukur yang dapat mencegah terulangnya kebakaran hutan dalam skala masif.

2. Allah baik dan panjang sabar terhadap umat manusia

Mengapa kita dan jutaan orang lainnya merasa prihatin sekaligus marah dengan munculnya kabut asap? Pertama-tama tentunya karena kabut asap membawa dampak yang buruk. Tiba-tiba kita merasa sangat terganggu karena ada begitu banyak hal baik yang direnggut dari kehidupan kita (atau sesama kita) oleh asap. Kebebasan beraktivitas, jarak pandang yang jauh ke depan, udara yang bersih dan segar, kesehatan, keindahan alam, bahkan nyawa orang-orang yang kita kasihi. Anugerah yang mungkin kerap kurang kita sadari dan syukuri ketika semua baik-baik saja.

Kedua, kita prihatin dan marah karena tahu bahwa bencana asap tidak tidak terjadi dengan sendirinya. Pepatah lama berkata, “di mana ada asap di situ ada api”. Memang ada faktor cuaca yang membuat bencana ini berkepanjangan. Namun, penyebab utamanya adalah ulah pihak-pihak tertentu yang sengaja merusak dan membakar hutan untuk kepentingan mereka.

Kalau kita saja prihatin dan marah, tidakkah Allah, Pemilik alam ini jauh lebih berhak untuk prihatin dan marah? Tidak hanya kepada para pembakar hutan, tetapi kepada setiap manusia yang tidak menghargai dan memelihara alam ciptaan-Nya dengan baik. Bencana asap terjadi bukan karena Allah mengabaikan manusia, melainkan karena manusia mengabaikan Allah dan tidak peduli kepada alam semesta yang dipercayakan-Nya kepada manusia.

Di balik kabut asap kita melihat Allah yang sesungguhnya telah mencurahkan banyak hal baik dalam hidup manusia, sekaligus yang sabar terhadap manusia yang tidak menghargai segala pemberian baik-Nya. Allah bukannya menutup mata terhadap dosa. Ada hari yang telah ditetapkan-Nya untuk menghakimi dan menghukum semua orang yang melawan Dia (Kisah Para Rasul 17:31). Namun, saat ini, Dia masih memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk bertobat (2 Petrus 3:9).

3. Allah menyediakan pilihan bagi manusia dan pemulihan bagi seluruh ciptaan-Nya

Menyadari bahwa banyak bencana yang terjadi—termasuk bencana kabut asap—bersumber dari pilihan-pilihan yang diambil manusia sendiri, pertanyaan yang mungkin timbul adalah: mengapa sejak awal Allah memberikan manusia kebebasan untuk memilih? Bukankah Allah tahu kalau manusia kerap salah memilih? Tidakkah lebih baik bila manusia tidak diberi pilihan?

Bayangkanlah sebuah dunia tanpa pilihan. Mungkin tidak ada bencana kabut asap di sana. Tetapi tidak ada pula kegairahan mengeksplorasi alam dan mengembangkannya. Berbagai pengembangan varietas tanaman baru yang tahan hama dan kaya nutrisi kini bisa dinikmati dan mencukupkan kebutuhan pangan banyak orang di dunia. Hal-hal luar biasa ini terjadi ketika manusia memilih untuk menjadi rekan dan bukan musuh alam. Allah menciptakan manusia untuk menyatakan kehadiran, pemeliharaan, dan kebijakan-Nya kepada segenap ciptaan lainnya (Kejadian 1:26-28). Sebab itu kita diciptakan berbeda, punya akal budi, bisa memilih.

Benar bahwa pilihan-pilihan manusia yang telah jatuh dalam dosa tidak lagi mencerminkan tujuan Sang Pencipta, dan justru kerap membawa bencana (seperti bencana kabut asap). Namun, Alkitab memberitahukan kita sebuah kabar baik. Allah menyediakan pemulihan bagi setiap orang yang mau bertobat (2 Tawarikh 7:14). Dan, pertobatan manusia akan membawa pemulihan juga bagi segenap alam, karena manusia yang bertobat kini kembali akan menjalankan perannya sebagai pengelola yang baik dari alam ciptaan Allah. Bahkan suatu hari kelak, ketika Kristus datang kembali, kita akan hidup bersama-Nya dalam langit dan bumi yang baru (Wahyu 21). Sebuah pemulihan total!

Di balik kabut asap, kita melihat Allah yang menciptakan kita secara istimewa di antara segenap ciptaan-Nya. Dia memberi kita kemampuan untuk berpikir, memilih, berkreasi, menyatakan kehebatan dan kebijaksanaan-Nya di tengah alam semesta. Kita juga melihat Allah yang pemurah, yang menyediakan pemulihan bagi setiap manusia yang mau bertobat, dan bagi segenap ciptaan-Nya.

Bagaimanakah kita akan menanggapi Allah di balik kabut asap?

 

Walau banyak mulut yang meratap
Karena siksaan dari serbuan asap
Janganlah berpikir Allah tidak mendekap
Oleh karena Dia tetap Allah yang mantap

Manusia jangan hanya meratap
Tapi pikir baik-baik kenapa ada asap
Yang tak bertobat jangan merasa mantap
Oleh karena penghukuman datang berderap

Jika Allah itu Baik, Mengapa Ada Begitu Banyak Kejahatan dan Penderitaan?

Penulis: Adriel Yeo, Singapura
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: If God is good, why is there so much evil and suffering?

If-God-is-good,-why-is-there-so-much-evil-and-suffering-

Ini mungkin adalah salah satu pertanyaan yang paling membingungkan bagi orang Kristen. Kenyataan bahwa dunia ini penuh dengan kejahatan dan penderitaan telah membuat sebagian orang meninggalkan iman mereka, sebagian lagi ragu-ragu untuk datang kepada Tuhan, dan sebagian lagi kehilangan semangat untuk bertumbuh dalam perjalanan mereka mengikut Tuhan.

Ketika aku mulai menjajaki iman Kristen, aku punya banyak pertanyaan. Salah satunya adalah tentang bagaimana iman Kristen menanggapi rupa-rupa kejahatan dan penderitaan yang ada di dunia. Aku membaca beberapa buku apologetika Kristen yang mencoba menjawab pertanyaan ini dan menggumulkannya cukup lama—dan aku masih tetap punya sejumlah pertanyaan.

Sebagian dari kita mungkin memilih untuk tidak membicarakannya, tetapi aku pikir tidaklah bijaksana bila kita mengabaikan masalah ini sama sekali. Kejahatan dan penderitaan adalah masalah yang nyata-nyata kita hadapi setiap hari. Jika Allah itu Mahabaik dan Mahakuasa, bukankah seharusnya Dia tidak akan membiarkan kejahatan tetap merajalela? Jika Dia membiarkannya, bisa jadi Dia tidak Mahabaik atau Dia tidak Mahakuasa.

Para filsuf seperti Alvin Plantinga, Peter Van Inwagen, dan William Lane Craig memberikan sejumlah argumen yang menunjukkan bahwa kejahatan bisa saja tetap ada sekalipun Allah Mahabaik dan Mahakuasa. Plantinga dalam salah satu argumennya tentang kehendak bebas, berpendapat bahwa selama Allah memberikan kehendak bebas kepada manusia, maka akan selalu ada kemungkinan bagi manusia untuk melakukan kejahatan—yang tidak akan diintervensi oleh Allah. Jika diintervensi artinya manusia tidak punya kehendak bebas.

Lalu mengapa Allah kemudian mengizinkan adanya kehendak bebas? Plantinga membahas isu ini panjang lebar dalam bukunya, God, Freedom, and Evil. Menurutnya, dunia yang manusianya diberi kehendak bebas bisa lebih baik daripada yang manusianya tidak diberi kehendak bebas. Misalnya saja dalam hal cinta. Tidak ada cinta dalam dunia tanpa kehendak bebas, karena cinta harus merupakan pilihan sukarela yang dibuat seseorang, tidak bisa dipaksakan. Ia menjelaskannya lebih jauh demikian:

“Untuk menciptakan makhluk yang punya kapasitas untuk berbuat baik, Allah harus menciptakan makhluk yang juga punya kapasitas untuk berbuat jahat. Dia tidak bisa memberi mereka kebebasan bertindak dan pada saat yang sama menghalangi mereka untuk bertindak. Sayangnya, sebagian ciptaan Allah menyalahgunakan kebebasan yang diberikan. Inilah sumber munculnya kejahatan. Meski demikian, kenyataan bahwa makhluk-makhluk yang diberi kehendak bebas bisa bertindak keliru, tidak bertentangan dengan kemahakuasaan dan kebaikan Allah. Dia dapat saja mencegah terjadinya perbuatan jahat, namun itu berarti Dia juga meniadakan kemungkinan terjadinya perbuatan baik.”

Penjelasan ini menolong kita memahami mengapa ada begitu banyak kejahatan di dunia sekalipun Allah Mahabaik. Namun, penjelasan ini tidak memadai bagi sebagian orang. Kenyataannya, meski hampir semua temanku yang pernah mendengarkan argumen Plantinga setuju dengannya, mereka masih punya masalah. Mereka merasa tidak nyaman dengan fakta bahwa ada begitu banyak kematian di seluruh dunia, yang sepertinya tidak perlu terjadi. Sulit untuk memahami mengapa ada ketidakadilan di mana-mana, sebaik apa pun penjelasan yang diberikan.

Aku pun mulai berpikir bahwa pertanyaan ini mungkin tidak sepenuhnya membutuhkan jawaban yang bersifat intelektual. Masalah ini sepertinya lebih banyak berkaitan dengan faktor emosional. Tidak ada jawaban yang mudah karena ini bukan masalah logika belaka. Ini adalah masalah hati—kita ingin memahami mengapa umat manusia harus melewati berbagai kesulitan hidup. Sesungguhnya, mendengarkan jeritan mereka yang menderita dan merasa terbeban untuk menolong mereka keluar dari penderitaan itu mengungkapkan sisi kemanusiaan kita. Dan, itu adalah hal yang baik. Aku sendiri tidak yakin ada jawaban yang benar-benar bisa memuaskan. Pernyataan umum seperti, “Dosa adalah penyebabnya”, tidak akan banyak menolong orang yang sedang menderita.

Mungkin kita perlu melihat masalah ini dari sudut yang berbeda. Saat bertanya mengapa Allah itu baik namun membiarkan penderitaan ada, bagaimana kalau kita juga bertanya: mengapa ada Yesus dalam sejarah, mengapa ada peristiwa penyaliban yang diikuti dengan kubur yang kosong?

Ketika kita melihat penyaliban Yesus dan kebangkitan-Nya, yang kita lihat bukanlah Pribadi Allah yang tidak peduli. Yang kita lihat adalah Pribadi yang peduli dan yang berkomitmen untuk memperbarui segenap ciptaan-Nya. Sebab itulah Dia mengutus Putra-Nya, Yesus, ke dalam dunia, mati menggantikan kita di kayu salib, supaya kita dapat diampuni dari dosa-dosa kita. Dia juga membangkitkan Yesus dari maut, supaya kita memiliki pengharapan akan hidup yang kekal.

Terkadang aku bertanya-tanya, berapa banyak orang yang akan berbalik kepada Allah karena jawaban iman Kristen terhadap isu kejahatan dan penderitaan. Aku sendiri menjadi seorang Kristen karena aku yakin dengan bukti-bukti sejarah tentang kebangkitan Yesus, dan pada saat yang sama aku juga sadar sepenuhnya bahwa aku telah berdosa, tidak mengakui keberadaan Allah yang menciptakan semesta ini. Meski aku masih punya banyak pertanyaan tentang kejahatan dan penderitaan, aku kini menyadari bahwa aku tidak bisa memahami segala hal dengan mengandalkan pengertian dan sudut pandangku yang terbatas. Aku tetap memegang imanku karena kebenaran tentang siapa Yesus.

Menurutku, jika dalam penderitaan kita berfokus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti, “Mengapa aku?” “Mengapa sekarang?” “Mengapa ini harus terjadi?” kita tidak akan pernah mengerti, apalagi dilegakan oleh jawaban yang diberikan. Aku yakin menjadi orang Kristen berarti mengalihkan fokus kita dari pertanyaan “Mengapa aku?” menjadi “Mengapa Yesus?” Dialah pengharapan kita.

Kita tidak akan pernah memahami isu ini sepenuhnya, namun kita tahu satu hal—dan bisa berlega hati karenanya—Allah peduli dan seluruh pribadi Yesus membuktikan kebenaran ini.

Pertanyaan tentang kejahatan dan penderitaan akan selalu mengusik hati kita, dan kita akan selalu bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan tentang penderitaan. Namun kita tahu bahwa kejahatan dan penderitaan terjadi bukan karena Allah tidak peduli. Dia peduli dan Dia telah mengambil tindakan untuk memulihkan dunia ini.

N.T.Wright memberikan kesimpulan yang serupa:

“Ketika kita belajar membaca kisah tentang Yesus dan memahaminya sebagai sebuah kisah tentang kasih Allah, yang melakukan bagi kita apa yang tidak bisa kita lakukan bagi diri kita sendiri—pemahaman itu akan terus-menerus memberikan kita rasa syukur yang disertai kekaguman luar biasa, sebuah pengalaman yang sangat dekat di hati seorang Kristen sejati.

Remedial (Bagian 2 – selesai)

Oleh: Hana Maria Boone

Cerita sebelumnya …

Remedial Bagian2

Setelah sekitar tiga minggu dirawat, aku akhirnya diizinkan pulang ke rumah. Seperti yang sudah kuduga, aku segera diminta untuk membagikan kisahku. Kerabat, tetangga, teman-teman sekolah dan gereja, berkumpul untuk sebuah ibadah syukur.

Kisah apa yang akan aku katakan? Panggung sudah siap untuk menjadi tumpuanku berbagi cerita penuh mukjizat. Ibuku duduk di sampingku, berusaha menguatkanku, “Kamu sang penerima mukjizat!” katanya.

Aku menghela napas panjang, “Ya! aku sang penerima mukjizat, dan aku siap berkata-kata!” Aku berdiri di atas panggung, sedikit canggung, memegang mikrofon dengan linglung. Aku menyendengkan kepalaku ke kiri sesaat, kemudian kembali ke posisi semula. Semua orang menatapku. Aku tidak pernah bicara di depan orang sebanyak ini.

“Hari itu…”

Kronologis peristiwa mulai mengalir keluar dari mulutku, dan orang-orang berseru “Haleluya, halelulya!” padahal aku belum menyentuhkan nama Tuhan sedikit pun pada ceritaku. Aku tahu apa yang mereka harapkan, tetapi itu belum tentu apa yang Tuhan harapkan. Jadi aku bicara apa adanya, tentang semua yang aku pikirkan, setelah mengisahkan apa yang aku alami.

“Aku mungkin salah satu orang yang paling tak beruntung di antara mereka, karena aku harus menunggu kereta lain untuk membawaku bertemu Tuhan….”

Ruangan itu mendadak jauh lebih senyap.

“Tetapi, aku pikir, aku juga adalah salah satu orang yang paling beruntung karena diberi kesempatan untuk memperbaiki hidupku.”

Aku berhenti sebentar untuk menata emosiku.

“Peristiwa ini membawa aku merenungkan jalan hidup manusia yang berbeda-beda. Apakah aku dicintai Tuhan? Apakah mereka yang telah pergi tidak dicintai Tuhan? Apakah keluargaku dicintai Tuhan? Apakah keluarga-keluarga yang saat ini hanya bisa bertemu dengan yang mereka kasihi dalam memori, tidak dicintai Tuhan?”

Aku memandang seluruh ruangan. Semua mata memperhatikanku. Aku menelan ludah. Mengeluarkan secarik kertas dari saku celana.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. Yesaya 55:8-9.”

“Aku selamat bukan karena aku lebih suci atau lebih dicintai Tuhan daripada mereka. Hanya, dalam rancangan-Nya yang tidak seluruhnya kupahami, Tuhan memandang mereka lebih baik di sana, dan aku lebih baik di sini.”

“Apa bedanya keluargaku dan keluarga mereka? Dalam kebijaksanaan Tuhan, keluargaku diminta untuk menerimaku kembali, dan keluarga mereka diminta untuk melepaskan mereka, sehingga nyata betul betapa kami tidak memegang kendali atas hidup ini, dan betapa kami membutuhkan Tuhan untuk bahagia yang sejati.”

Suaraku mulai bergetar, aku dapat merasakan air mata membasahi pipiku. Dengan tangan yang juga gemetar aku mengusap kasar pipiku dan terdiam sejenak. Membayangkan kembali apa yang kulihat hari itu. Setelah merasa mendapatkan kekuatan kembali, aku pun melanjutkan.

“Hari itu di tempat kejadian aku melihat tangan Tuhan memegang mereka ketika mereka pergi. Aku melihat ibu yang kuberi tempat duduk, aku melihat para suster, aku melihat seorang ibu yang mendekap anak balitanya, aku melihat seorang pemuda dari Universitas Indonesia, mereka semua dipeluk oleh Tuhan. Aku melihat tangan Tuhan memegang tangan mereka, dan bukan hanya mereka.”

“Aku pun teringat ada janji Tuhan dalam Alkitab, bahwa barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak akan binasa, tetapi akan memasuki kehidupan kekal bersama Tuhan selamanya. Bukankah itu adalah janji untuk kehidupan baru setelah waktu kita di bumi ini selesai? Bukankah kebahagiaan dan kejayaan yang tidak akan berakhir adanya bukan di dunia ini, tetapi di surga nanti?”

Hening. Beberapa orang mulai menangis, beberapa memandangku tanpa ekspresi yang jelas, beberapa mengernyitkan dahi, dan beberapa memasang wajah simpatik. Tak ada lagi yang berani berteriak “Haleluya” atau “Puji Tuhan.” Semua diam seribu bahasa.

“Aku teringat pada guruku yang baik hati. Hari itu aku memohon kepadanya untuk membantuku dalam ujian, dengan memberikan bocoran jawaban, tetapi pada saat ujian ia hanya mendampingiku dan tersenyum. Selama ini aku berpikir bahwa ia tidak sedang membantuku. Kini aku ingat, bahwa dua minggu sebelum masa ujian tiba, ia meluangkan waktunya setiap hari memberi pelajaran tambahan khusus untukku. Ia melakukan semua itu tanpa mengharapkan imbalan, untuk membantu aku dengan cara yang benar.” Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Berharap bisa melihat sosok yang baik hati itu.

“Guru yang baik tidak menjanjikan ujian yang mudah, tetapi ia menjanjikan kelulusan bagi mereka yang mengerjakannya sesuai dengan apa yang diajarkan. Guru yang baik tidak akan membuat anak-anak didik mereka malas belajar dengan memberi bocoran jawaban. Guru yang baik akan melepas murid-muridnya untuk berjuang menghadapi ujian yang sulit, setelah sebelumnya memberikan semua persiapan yang dibutuhkan. Ia akan mendorong mereka untuk meraih apa yang dijanjikannya, kepintaran dan kelulusan jika mereka sungguh-sungguh melakukan apa yang ia ajarkan.”

“Aku sadar sikapku kepada Tuhan seringkali sama seperti sikapku terhadap guruku yang baik hati itu. Well, mungkin bukan hanya aku. Jujur saja, bukankah seringkali kita menjadi murid-murid yang culas? Meminta jalan pintas yang mengenakkan kita saja, bahkan seringkali berusaha menyuap Tuhan untuk melakukan apa yang kita mau…”

Aku memandang ibuku menyeka matanya yang basah. Lalu tanteku, orang-orang gereja, teman-temanku. Semua yang hadir.

“Aku merasa tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua ini…”

“…tetapi selama aku masih diizinkan Tuhan berada dalam sekolah kehidupan, aku ingin menjadi murid yang terbaik. Saat kelak giliranku tiba memasuki kehidupan yang baru itu, aku ingin menghadap-Nya dengan hati lega, aku ingin sudah siap menerima mahkota. Inilah mukjizat yang Tuhan sudah berikan untukku… sebuah remedial.”

Remedial (Bagian 1)

Oleh: Hana Maria Boone
Mengenang para korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501

Remedial Bagian1

Aku mencoret-coret kertas buram di hadapanku. Belum, belum ketemu. Aku melihat jam yang bertengger di tangan kiriku, waktuku semakin menipis. Aku merasakan pori-pori pelipisku tergelitik oleh embun-embun keringat yang merembes keluar dari bawah kulitku. Sulit sekali. Aku sedikit melirik ke arah guruku, salah satu guru yang sangat baik hati, berharap ia melihat aku begitu kesulitan dan akan membantuku. Tidak ada respons.

“Aku duduk di paling belakang, Pak, tidak akan ada yang tahu bila Bapak menyelipkan sesuatu ke bawah kertasku!” aku menggerutu dalam hati.

Namun, sampai alarm berdering, ia tak jua melakukannya. Aku menyerah. Aku tak dapat menyelesaikan soal terakhir. Jadi, kutuliskan saja angka asal dari perhitunganku yang kacau balau, lalu kuserahkan padanya. Ia tersenyum ketika menerima lembar jawabku. “Well done!” katanya, sambil menepuk ringan pundakku. Aku tersenyum masam, bukan karena tak senang akan perkataannya, tetapi karena malu, aku tahu betul apa yang kuserahkan tidak cukup “well done”.

Sepanjang sisa hari itu di sekolah aku tidak bisa berhenti memikirkan sikap guruku. Aku sudah belajar semampuku, dan ia mengetahuinya. Mengapa ia tidak membantuku barang sedikit saja? Bisa dibilang aku ini salah satu murid terbodoh di kelas fisika. Belajar sampai jungkir balik pun, paling banter aku hanya dapat nilai 50.

Dua minggu yang lalu—ini sebenarnya rahasia—aku menawarkan sejumlah uang kepadanya, memohon dengan sangat agar ia membantuku untuk ujian kali ini. Ia menolak uang itu dan mengatakan bahwa ia pasti membantuku menghadapi ujian itu. Aku sudah menantikan bantuan itu dari tadi, tetapi mana?? Meski kulirik berkali-kali, ia hanya tersenyum dan kembali berkeliling. Mungkin itu sebabnya ia tidak mau menerima uangku. Yah, lumayanlah orangnya masih baik, daripada mau terima uang dan tidak membantu.

Kriiiiiiinnnngggg!!!

Aku terperanjat dan air liurku terjuntai panjang ketika aku mengangkat kepala. Iyuuuuh… buru-buru aku mengelapnya berharap tidak ada yang memperhatikan. Aku mengantuk sekali, dan sangat bersyukur jam-jam siput ini akhirnya berlalu juga. Bergegas aku meraih ranselku dan bersiap pulang. Perjalanan masih panjang, aku masih harus naik kereta untuk tiba di rumah. Aku berharap bisa segera sampai di rumah, cuci kaki dan ganti baju santai, kemudian membiarkan diriku ambruk di atas puluhan kilogram kapuk.

Dengan langkah agak diseret akhirnya aku tiba di stasiun kereta. Ketika pintu terbuka; aku membayangkan betapa enaknya jika pintu ini sama lebar dengan gerbongnya sehingga kami tidak perlu berdesak-desakan masuk seperti orang berebut sembako. Rasanya penat sekali, seperti mau pingsan. Masih bisa mendapatkan tempat duduk membuatku sangat senang, meski hanya sebentar. Segera aku melihat seorang perempuan setengah baya membawa dua kantong plastik besar yang terlihat cukup berat. Sebagai seorang pria, rasanya tak jantan bila membiarkannya berdiri dengan kedua kakinya yang sudah tidak kokoh lagi. Aku pun berdiri, mempersilakan ibu itu duduk di tempatku. Dengan wajah penuh syukur ia menatapku, mengucapkan banyak terima kasih.

Untuk menghapus rasa kantuk dan bosan, aku mengamat-amati orang-orang yang ada di kereta. Beberapa suster dari biara sedang asyik bercakap-cakap di seberangku.

“Mengapa ya wanita-wanita ini ingin menjadi suster? Apakah mereka begitu putus asanya tidak mendapatkan pasangan?” aku cekikikan dalam hati.

Di belakang mereka ada anak kecil yang lucu. Wajahnya bulat berseri dalam dekapan ibunya. Lalu, pandanganku menyapu beragam wajah lainnya. Humm…. ekspresi mereka tak cukup menjelaskan apa latar belakang mereka; dalam hati aku menerka-nerka mana yang baik dan mana yang jahat.

Iseng-iseng aku melirik penumpang yang duduk di sebelahku, seorang pemuda yang cukup tampan dan terlihat cerdas. Entah ia memang pintar atau persepsiku agak terpengaruh oleh jas almamater Universitas Indonesia yang dipakainya. Dari posisiku berdiri, layar ponselnya tampak jelas.

Jenny: Jadi aku harus ngapain donk?
Johan: Maafin dia Jen …

Sudah, cuma itu yang aku lihat, aku tidak terlalu kepo kok.

“Rasanya 5 menit lagi samp….”

Sebelum kalimat itu selesai melintasi otakku, roda kereta api telah melintas keluar dari rel, melindas tanah berbatu. Yang kuingat saat itu hanyalah suara yang sangat bising, semua orang berteriak, sementara aku sendiri terlontar, terbentur, dan semua terasa kacau.

Sesaat semua menjadi gelap. Ketika aku membuka mata, aku melihat tubuhku sendiri tergeletak di hamparan darah. Ada banyak orang yang berteriak dan menangis, namun lebih banyak yang tergolek tak berdaya.

Suara ambulans terdengar samar-samar. Entah bagaimana aku bisa melihat semua dengan jelas, termasuk bagaimana kemudian dua pasang tangan mengangkatku, menaikkan tubuhku yang berdarah-darah ke atas tandu, dan membawaku pergi. Seperti tersihir, mataku tak bisa beralih dari tontonan mengerikan ini. Lalu, aku melihat sesuatu. Pemandangan yang begitu indah, tak terlukiskan oleh kata-kata, beberapa saat sebelum semuanya kembali menjadi gelap.

Entah berapa lama aku tertidur. Belakangan aku diberitahu itu adalah hari kesepuluh aku di rumah sakit. Tanganku mulai bergerak, dan itu membuat semua orang di ruangan berseru, “Haleluya!” Telingaku dapat mendengarnya, tetapi aku sendiri masih seperti berada di dunia lain hingga sebuah suara menyuruhku kembali.

Saat itu juga mataku terbuka dan aku melihat ibuku menangis. Seruan “Haleluya!” kembali memenuhi ruangan. Tanteku segera mendekapku dan berkata “Tuhan itu baik, menyelamatkan kamu.”

Spontan muncul pertanyaan dari dalam diriku, “Apakah Tuhan menjadi tidak baik, jika Dia tidak menyelamatkan diriku?” Namun, aku masih terlalu lemah untuk mengucapkan apa-apa.

Semua yang sempat kulihat pada hari kecelakaan itu mengalir deras dalam pikiranku. Begitu juga hal-hal yang aku “lihat” selama aku terbaring koma. Menurut berita, 98 orang dinyatakan meninggal dalam kecelakaan kereta itu. Semua orang di gerbongku meninggal, kecuali aku.

“Mengapa Tuhan selamatkan aku? Mengapa bukan orang yang lain? Masih banyak orang di gerbong itu yang jauh lebih baik daripada diriku.” Air mataku menetes. Aku terisak. Bukannya aku tak bersyukur karena Tuhan telah menyelamatkan aku. Tetapi, apa yang harus aku katakan pada dunia? “Tuhan sangat mengasihiku, sebab itu aku dilindungi-Nya”? Itukah yang harus aku katakan? Di benakku membayang wajah-wajah mereka yang kutemui di kereta. Tidakkah Tuhan mengasihi mereka juga?

Bersambung …

Baik & Banyak

Rabu, 12 September 2012

Baik & Banyak

Baca: Mazmur 16

Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau! —Mazmur 16:2

Saya harus mengakui bahwa saya suka makanan manis. Dari semua permen yang saya suka, permen bermerek Good & Plenty (Baik & Banyak) berada di dekat peringkat teratas dari daftar kesukaan saya. Hidup terasa indah ketika saya memiliki segenggam permen bersalut gula yang lezat tersebut!

Ada banyak hal yang baik dalam hidup ini. Namun seperti menikmati permen Good & Plenty, kebaikannya dengan segera berakhir. Yang terbaik dari hal-hal yang baik pun pada akhirnya dapat menyisakan perasaan kosong dan bahkan penyesalan diri. Jadi ketika pemazmur menyatakan, “Aku berkata kepada Tuhan: ‘Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!’” (Mzm. 16:2), saya pun tergugah. Kita semua tahu bahwa Allah itu baik. Namun kapan terakhir kalinya kita menerima Dia sebagai yang paling baik dalam hidup kita?

Pemazmur menjelaskan betapa baiknya Allah itu sesungguhnya: Dialah penjaga kita (ay.1), pemberi kebaikan yang sempurna (ay.2), penasehat dan pengajar kita (ay.7), dan Pribadi yang memberitahukan “jalan kehidupan” dan memenuhi kita dengan sukacita di hadapan-Nya (ay.11). Itu baru namanya baik!

Sayangnya, terlalu sering kita membiarkan “hal-hal baik” yang bersifat sementara mengalahkan penerimaan kita akan kebaikan yang kekal dari Allah dalam hidup kita. Percayalah, kefanaan dari hal-hal baik yang bersifat sementara itu pasti akan mengecewakan kita akhirnya. Hanya Allah yang benar-benar baik! Dan Dia lebih baik daripada apa pun yang kita perlukan. —JMS

Mari rasakan kebaikan Tuhan
Dan kecaplah segala yang telah Dia lakukan;
Mendekatlah dan berilah pujian kepada-Nya—
Hanya Dia yang kudus, berkuasa dan setia. —Sper

Hanya Allah yang baik. Jangan mau selain dari itu.

Mata Untuk Melihat

Sabtu, 11 Agustus 2012

Mata Untuk Melihat

Baca: Yosua 3:1-11

Aku menadahkan tanganku kepada-Mu, jiwaku haus kepada-Mu seperti tanah yang tandus. —Mazmur 143:6

Pertama kalinya melihat Tanah Perjanjian dari atas perbukitan Moab, saya merasa kecewa. “Apakah tempat ini kelihatan jauh berbeda dibandingkan ketika bangsa Israel tiba di sini?” tanya saya kepada pemandu wisata saat kami memandang ke arah Yerikho. Saya mengharapkan pemandangan yang sangat berbeda dari sisi timur Sungai Yordan. “Tidak,” jawabnya. “Tempat ini kelihatan persis sama seperti ribuan tahun yang lalu.”

Saya mengulang pertanyaan itu dalam bentuk yang lain. “Jadi, apakah yang dilihat bangsa Israel ketika mereka tiba di tempat ini?” “Oasis terbesar yang terdapat di seluruh permukaan bumi,” jawab si pemandu.

Saat itulah saya memahaminya. Saya baru saja melintasi padang gurun yang gersang itu dalam kemewahan dari sebuah bus dengan penyejuk udara dan persediaan air minum dingin yang melimpah. Bagi saya, sebuah oasis bukan sesuatu yang luar biasa. Bangsa Israel telah menghabiskan waktu bertahun-tahun berkelana di padang gurun yang panas dan gersang. Bagi mereka, padang rumput hijau yang terhampar di kejauhan berarti air menyegarkan yang dapat menunjang kehidupan mereka. Mereka terpanggang matahari; saya merasa sejuk. Mereka sangat kelelahan; saya bersantai. Mereka memerlukan 40 tahun untuk bisa tiba di tempat itu; saya hanya memerlukan 4 jam.

Seperti sebuah oasis, kebaikan Allah dapat ditemukan di tengah situasi yang gersang dan sulit. Saya membayangkan, betapa seringnya kita gagal melihat kebaikan-Nya karena kepekaan rohani kita ditumpulkan oleh kenyamanan yang kita nikmati. Terkadang anugerah Tuhan dapat terlihat dengan lebih jelas ketika kita merasa lelah dan haus. Kiranya kita selalu haus akan Dia (Mzm. 143:6). —JAL

Tuhanku, kiranya hasrat kami akan Engkau sama seperti seekor rusa
merindukan air yang sejuk dan menyegarkan. Tolong jangan biarkan
keberhasilan duniawi atau kenyamanan menghalangi kami
untuk melihat-Mu di setiap bagian hidup kami.

Yesus adalah satu-satunya sumber air yang dapat memuaskan jiwa yang dahaga.