Posts

3 Prinsip yang Kupelajari dalam Mempersiapkan Masa Depan

Penulis: Jie-Ying Wu, Taiwan
Artikel asli dalam Bahasa Mandarin: 未來,路在何方?

3-Ways-to-Face-Your-Future

Apa yang terlintas di benakmu saat memikirkan masa depan?

Bagi banyak orang, masa depan berarti rangkaian peluang tanpa batas, harapan-harapan yang besar, mimpi-mimpi untuk diraih, dan cita-cita untuk diwujudkan. Banyak yang percaya bahwa masa depan yang cerah bisa dicapai jika kita memiliki sarana yang tepat—uang, kualifikasi akademik, kemampuan pribadi, dan sebagainya. Orang pun rela menginvestasikan semua waktu dan tenaga mereka untuk memiliki semua itu, dengan harapan bisa memastikan masa depan yang cerah. Sebuah usaha yang masuk akal, bukan?

Namun, jika kita pikirkan kembali, ada bahaya laten keangkuhan yang bersembunyi di balik berbagai mimpi yang kita punya. Ini bisa mempengaruhi hubungan kita dengan Tuhan, dan menghambat kita untuk menjalani kehidupan yang mencerminkan Kristus.

Bagaimana kita bisa mencegah keangkuhan bertumbuh? Berikut ini beberapa prinsip yang kupelajari saat aku berusaha menemukan dan membangun masa depanku.

1. Periksalah motivasi kita, pastikan setiap hal dilakukan atas dasar kasih.

Saat masih SMU, aku mengukur diriku dengan nilai-nilai yang kuperoleh. Ketika aku mendapat nilai-nilai yang baik, diriku pun merasa sangat baik. Begitu nilai-nilaiku jelek, aku merasa bodoh dan tidak berarti. Menurutku, masa depanku hanya bisa terjamin bila aku bisa meraih nilai-nilai yang baik. Pemikiran ini membuat aku memiliki obsesi yang tidak sehat terhadap nilai-nilaiku. Aku juga menjadi orang yang tidak peduli dengan teman-teman sekelas yang memiliki kesulitan dalam pelajaran.

Di perguruan tinggi, aku memutuskan untuk mengambil jurusan hukum. Aku merasa bidang itu sesuai dengan kekuatanku dan menganggap bidang tersebut dapat menjamin masa depanku. Namun, banyak hal tidak berjalan sesuai dengan rencanaku. Aku mengalami kesulitan dalam kuliah dan mulai kehilangan minat belajar. Aktivitas kampus juga tidak menarik buatku. Perlahan-lahan impianku mulai buyar.

Pada satu titik, aku menyadari bahwa aku tidak memegang kendali atas hidup ini. Segala sesuatu tampaknya tidak berarti dan hatiku sangat kosong. Pada saat itulah aku memutuskan untuk datang ke gereja, mencari pertolongan Tuhan. “Masa depan seperti apa yang akan Engkau berikan kepadaku, Tuhan? Masih adakah masa depan yang tersisa untukku?” aku bertanya kepada-Nya.

Tuhan tidak menjawabku saat itu. Sebaliknya, hingga dua tahun kemudian, Dia menghancurkan keangkuhanku dan dengan sabar mengajariku pentingnya memiliki kasih. Aku diingatkan oleh firman Tuhan dalam 1 Korintus 13:1-3:

“Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.”

Ayat-ayat firman Tuhan ini menolongku memeriksa motivasiku saat mencari arahan Tuhan bagi masa depanku. Aku jadi menyadari, sehebat apapun bakat yang dimiliki seseorang, bakat itu harus digunakan atas dasar kasih. Bakat yang digunakan untuk tujuan lainnya (misalnya untuk pamer), akan menjadi sesuatu yang hampa dan tidak ada artinya. Aku perlu belajar untuk menjadikan kasih sebagai dasar atas segala sesuatu yang aku lakukan, supaya hatiku bisa dipenuhi dengan kerinduan untuk menyenangkan Tuhan dan bukan diriku sendiri.

2. Serahkanlah keinginan kita kepada Allah dan biarkanlah Dia mengarahkan masa depan kita.

Setelah lulus kuliah, aku berusaha mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang studiku. Ternyata, Tuhan malah menuntunku untuk bekerja sebagai seorang asisten guru sekolah dasar. Awalnya, aku merasa sangat takut tidak bisa melakukan pekerjaan itu dengan baik. Namun, atas kasih karunia Tuhan, aku kemudian belajar untuk berinteraksi dengan anak-anak dan bahkan mengasihi mereka. Seiring berjalannya waktu, aku pun ditolong untuk memahami diriku sendiri dengan lebih baik. Tuhan perlahan-lahan mengubah hatiku yang tadinya dingin dan tidak punya ruang buat orang lain menjadi hati yang mengasihi Tuhan dan sesama. Tuhan bahkan meletakkan beban khusus di hatiku untuk anak-anak, sehingga aku kemudian bergabung dengan pelayanan anak di gerejaku.

Sungguh, jalan Tuhan itu jauh melampaui jalan kita. Meski kita tidak dapat memahami rencana-Nya secara penuh, namun Dia senang melibatkan kita di dalam prosesnya. Ketika kita mau hidup menurut jalan-Nya, kita akan melihat apa yang telah disediakan-Nya bagi kita. Amsal 3:5-6 berkata,

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”

Dalam pengejaran kita akan masa depan, godaan untuk mengandalkan diri sendiri itu sangat besar. Lebih mudah untuk membuat rencana-rencana kita sendiri daripada menantikan Tuhan dan rencana-Nya. Perkenankan aku mendorongmu untuk mengingat bahwa kita ini adalah buatan Allah, dan Dialah satu-satunya Pribadi yang paling tahu jalan terbaik untuk kita tempuh. Ketika dengan rendah hati kita mencari dan menaati kehendak-Nya, kita akan dimampukan-Nya untuk hidup menurut rancangan-Nya—hidup dalam iman dan ketaatan kepada-Nya.

3. Belajarlah memperhatikan kebutuhan orang-orang di sekitar kita, jangan hanya sibuk dengan ambisi masa depan kita.

Aku pernah sangat sibuk berusaha menggapai impian-impianku sendiri dan sebagai akibatnya aku banyak mengabaikan bahkan menyakiti orang lain.

Alkitab mengajar kita dalam Filipi 2:3-4 untuk “tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”

Kebenarannya, dunia ini tidak berputar mengitari kita. Masa depan tidak hanya akan melibatkan diri kita sendiri, tetapi juga orang-orang di sekitar kita. Daripada menghabiskan seluruh waktu dan energi hanya demi mengejar kehidupan yang kita anggap lebih baik—yang adakalanya menimbulkan konflik dengan orang lain—akan jauh lebih baik bila kita belajar menyampingkan kepentingan diri sendiri dan melayani sesama dengan rendah hati.

Filipi 2:5-7 juga berkata,

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”

Ketika Yesus datang ke dunia ini, Dia dengan rendah hati menjadikan dirinya sebagai seorang yang melayani dan menyelesaikan misi yang diberikan Allah Bapa—menggantikan kita yang seharusnya dihukum di kayu salib, supaya kita dapat diperdamaikan dengan Allah dan kembali menikmati hubungan pribadi dengan-Nya. Saat kita mengikuti jejak teladan Yesus, kita akan menjadi lebih peka dengan kebutuhan sesama dan dapat belajar mengasihi orang lain sebagaimana Yesus mengasihi mereka. Aku pribadi mengalami sukacita dalam proses belajar menyampingkan keangkuhanku, belajar memberi dan mengasihi orang lain.

Masa depan yang Tuhan sediakan bagi kita jauh melampaui masa depan di dunia yang sekarang kita tempati. Dia merancang kita untuk hidup dalam kekekalan, dan apa yang ada di dalam hati kita jauh lebih penting bagi-Nya daripada yang kita tampilkan di luar. Inilah perspektif yang perlu terus kita ingat saat menguji hati kita sendiri; perspektif yang akan menolong kita memiliki motivasi-motivasi yang benar dalam mempersiapkan masa depan.

Setiap kali kita tergoda dengan janji-janji kosong yang diberikan dunia ini, ingatlah apa yang dikatakan Paulus dalam Roma 12:2,

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”

5 Hal Baru yang Kupelajari dari Kisah Orang Samaria yang Murah Hati

Oleh: Tri Setia Kristiyani

5-pelajaran-dari-orang-samaria

Apa yang kamu pelajari dari “Kisah Orang Samaria yang Murah Hati” yang terkenal itu? Biasanya aku mendengar nasihat untuk berbuat baik tanpa membeda-bedakan latar belakang orang yang ditolong. Namun, ketika aku membaca sendiri catatan Alkitab tentang kisah tersebut (Lukas 10:25-37), ternyata ada banyak hal menarik yang bisa kupelajari.

1. Berbicara tentang kebenaran tidak menjamin seseorang memiliki hati yang benar.
Menarik untuk memperhatikan bahwa kisah ini ternyata merupakan sebuah perumpamaan yang diceritakan Yesus sebagai jawaban atas “pertanyaan tidak tulus” dari seorang ahli Taurat (Lukas 10:25). Pakar Kitab Suci itu sengaja hendak mencobai Yesus! Ia tidak benar-benar ingin tahu tentang kebenaran, ia hanya ingin menguji Yesus di depan banyak orang. Dalam catatan Lukas sebelumnya, ahli-ahli Taurat dan orang Farisi memang bermaksud mencari-cari kesalahan Yesus (Lukas 6:7,11). Hari ini, kita pun bisa berdiskusi tentang kebenaran dengan motivasi keliru. Kita tidak sungguh-sungguh ingin tahu tentang kebenaran, tetapi hanya ingin memuaskan hasrat intelektual kita, menjebak lawan bicara kita, atau bahkan mempermalukannya di depan orang.

2. Khatam Kitab Suci tidak menjamin perubahan karakter
Dari percakapan yang dicatat Lukas, kita tahu bahwa sang ahli Taurat sangat menguasai isi Kitab Suci-nya. Ia bisa mengutip dengan benar hukum yang utama, yang merangkum semua hukum lainnya (lihat Matius 22:37-40). Namun, ketika ia diminta menerapkan apa yang diketahuinya, ia malah berkelit. “Siapakah sesamaku manusia?” katanya “untuk membenarkan diri” (ayat 29). Bisa jadi kita pun sudah mendengar kebenaran berkali-kali, namun terus mencari pembenaran diri untuk tidak melakukannya.

3. Aktif melayani tidak sama dengan menaati Firman Tuhan
Sang ahli Taurat mungkin terperangah dengan jawaban yang diberikan Yesus. Dua tokoh dalam perumpamaan Yesus adalah orang-orang terkemuka dalam komunitas Yahudi. Seorang imam, dan seorang Lewi, suku yang dikhususkan untuk melayani Bait Allah. Mereka tahu betul tentang hukum-hukum Allah, bahkan selalu memperkatakan kebenaran di depan umat Allah. Sayangnya, keterlibatan aktif dalam pelayanan tidak berarti seseorang menaati Firman Tuhan. Ketika diperhadapkan pada kebutuhan sesamanya, baik sang imam maupun orang Lewi, sama-sama tidak mau mempraktikkan kebenaran yang mereka ketahui dan beritakan. Mungkin mereka takut mengambil risiko menolong orang yang belum mereka kenal. Lagipula, mungkin mereka sangat sibuk dan sedang terburu-buru. Bukankah kita pun kerap demikian? Keaktifan kita melayani bukan jaminan bahwa kita selalu menaati Firman Tuhan.

4. Tuhan menghendaki kita mengasihi sesama manusia, bukan manusia yang sama dengan kita.
Perumpamaan ini adalah jawaban Yesus atas pertanyaan sang ahli Taurat: “Siapakah sesamaku manusia?” Ia mungkin berharap Yesus akan menyebutkan kriteria tertentu, yang kemudian bisa disanggahnya. Tetapi, Yesus malah memberikan perumpamaan yang mengejutkan. Orang Samaria adalah keturunan Yahudi yang sudah berdarah campuran, sehingga dihindari oleh orang Yahudi asli. Namun, ketika mendapati seorang Yahudi yang sekarat, justru orang Samaria yang memberikan pertolongan. Sungguh sebuah contoh yang dramatis! Orang yang ditolongnya bukan hanya berasal dari kaum yang berbeda, tetapi yang selama ini juga menghina dan mengasingkan kaumnya! Sebagai pengikut Kristus, kita pun dipanggil melakukan hal yang sama. Mengasihi sesama manusia bukan karena mereka sama dengan kita, atau berbuat baik kepada kita, tetapi karena Tuhan menghendaki kita menyatakan kasih-Nya kepada sesama kita. Dan, itu berarti termasuk orang-orang yang pernah menyakiti kita.

5. Kita membutuhkan kasih karunia Tuhan untuk memampukan kita mengasihi orang lain.
Yesus meminta sang ahli Taurat meneladani perbuatan orang Samaria yang murah hati (ayat 37). Sebuah perintah yang tidak mudah. Jangankan mengasihi orang yang memandang kita sebelah mata, orang dari kelompok yang sama pun belum tentu mudah untuk dikasihi. Betapa kita semua butuh kasih karunia Tuhan untuk dapat menaati perintah-Nya. Kupikir, sulit untuk benar-benar mengasihi jika kita sendiri belum mengalami kasih Allah. Kita hanya akan baik kepada orang yang juga baik terhadap kita, atau karena kita punya kepentingan tertentu. Namun, ketika kita mengingat kasih Allah kepada kita yang berdosa—Kristus mati ganti kita yang seharusnya mendapat hukuman kekal—kita pun digerakkan dan dimampukan untuk mengasihi sesama dengan tidak tanggung-tanggung, termasuk mereka yang dalam pandangan dunia tidak layak untuk dikasihi.

Kisah “Orang Samaria yang Murah Hati” bukan sekadar kisah teladan menolong orang lain tanpa pamrih. Kisah ini seperti cermin yang menunjukkan tembok-tembok keangkuhan diri yang membuat kita cenderung mencari pembenaran diri, tidak menjalankan kebenaran yang sudah berkali-kali kita dengar, menutupi ketidaktaatan kita dengan berbagai aktivitas pelayanan, atau mendefinisikan perintah Tuhan sesuai dengan standar penilaian kita sendiri. Betapa perlu Tuhan menghancurkan tembok-tembok keangkuhan itu agar kita dapat benar-benar mengasihi sesama seperti diri sendiri, sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan.

Perisai Baru

Oleh: Tini Telnoni
perisai-baru

ku langkahkan kaki ini
tegap bersama perisai keangkuhan
menatap ke depan dengan penuh keyakinan
tak peduli yang terlibas di sana sini
aku terus melangkah
melangkah
dan melangkah
perisai ini pelindungku

hingga akhirnya aku tersandung
jatuh di atas duri dan batu-batu
pecah perisaiku
tak dapat lagi lindungiku
aku menjerit perih
sakitnya tak tertahankan
inikah aku?
mana hebatku?

namun hari itu juga
dunia kecil yang di sekelilingku terlihat jelas
mereka yang merawat lukaku dengan perhatian
yang melantunkan namaku dalam doa
yang mewarnai hariku dengan senyuman
ambisiku yang pernah melibas mereka
dibalas dengan kasih yang menghangatkan jiwa

bukan tanpa alasan aku tersandung
dan pecah perisai andalanku
Dia yang menyayangiku telah menyelamatkanku
dari keangkuhan yang membuat hati beku
kasih-Nya kini jadi perisaiku
perisai yang akan selalu melindungiku
dan orang-orang di sekelilingku
selamanya