Posts

Memang Lidah Tak Bertulang, Tapi Firman-Nya Ada di Lidahku

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Banyak cara bisa kita lakukan untuk menikmati quality time bersama orang-orang terkasih: jalan-jalan ke tempat wisata, bertemu sanak keluarga untuk melepas rindu, atau menikmati makan malam bersama. Namun, apa pun dan di mana pun acara quality time itu berlangsung, ada satu aktivitas yang pasti kita lakukan, yaitu berbicara.

Ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa setidaknya manusia mengucapkan sekitar 7.000 kata dalam sehari. Dengan jumlah kata yang begitu banyak, apakah ada aturan yang jelas untuk kita berkata-kata?

Alkitab memberikan penekanan yang jelas pada pentingnya menjaga perkataan. Menurut studi yang dilakukan para penafsir, ketika Yakobus menulis suratnya kepada kedua belas jemaat di perantauan, jemaat Kristen mula-mula pada saat itu suka bergosip. Di pasal 3 ayat 1-2, Yakobus menekankan pentingnya anggota gereja yang tersebar di luar Israel atau Palestina untuk menyatakan iman mereka lewat perbuatan-perbuatan, atau tindakan sehari-hari, termasuk tutur kata.

Dari apa yang Yakobus tuliskan, kita mendapati fakta bahwa meskipun seseorang sudah berstatus Kristen, itu tidak menjadikan kita otomatis bisa bertutur kata dengan bijak dan tanpa salah. Kadang, karena sudah kebiasaan, kita bisa saja tidak menganggap salah cibiran, guyonan, makian, atau bahkan kebiasaan bergosip yang kita lakukan secara sengaja atau keceplosan. Kata-kata yang diucapkan sejatinya bukanlah sekadar ucapan, Yakobus berkata kata-kata kita bisa berkuasa memberikan berkat tapi juga bisa merusak (Yakobus 3:9-10).

Lantas, kata-kata seperti apa yang seharusnya keluar dari mulut kita?

Untuk menjawabnya, aku mengajakmu untuk menelaah tiga ayat dari firman Tuhan berikut ini:

1. Kata-kata yang jujur (Amsal 2:7)

“Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya.”

Berkata jujur merupakan salah satu wujud dari penguasaan diri yang kita miliki. Dalam Mazmur 15:1-3, Daud menulis bagaimana Allah berkenan bagi orang-orang yang mengatakan kebenaran dan yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya.

Allah berkenan kepada Ayub yang jujur dan menghukum Akhan yang tidak jujur. Dalam Yosua 7 dituliskan bahwa Akhan adalah seorang Yehuda yang mencuri barang jarahan dan menyembunyikannya dalam kemah. Selain Akhan, Allah juga menghukum Kain (Kejadian 4), juga Ananias dan Safira (Kisah Para Rasul 5:3-4) yang bersikap tidak jujur.

Menjaga kejujuran seperti yang Alkitab tuliskan berarti kita perlu jujur tak cuma dalam perkataan verbal, tetapi juga dalam perkataan yang dituangkan dalam bentuk teks. Ketidakjujuran adalah akar dari menyebarnya berita bohong, gosip, dan fitnah.

2. Kata-kata yang membangun (Efesus 4:29)

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”

Ketika sedang sesi sharing dengan kelompok PA di kampus, seorang rekanku bercerita bahwa dia merasa terganggu ketika disinggung tentang rambutnya yang keriting. Komentar teman-temannya pernah membuat dia ingin segera ke salon untuk smoothing dan meluruskan rambutnya. Dari ceritanya, aku mendapati bagaimana kata-kata yang kesannya biasa saja, atau sekadar basa-basi, ternyata bisa menganggu orang lain bahkan bisa membuat seseorang jadi insecure, apalagi jika basa-basinya menyangkut dengan kondisi fisik seseorang.

Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus menekankan bagaimana setelah hubungan kita dnegan Allah dipulihkan, atau ketika kita hidup sebagai manusia baru, roh dan pikiran kita juga harus diperbaharui sehingga kita boleh dikembalikan dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati, yang mengubah cara hidup kita dalam berelasi dengan sesama, termasuk berbicara (Efesus 4:29).

3. Kata-kata yang berkenan bagi Tuhan (Mazmur 19:15)

“Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku.”

Ketika orang lain sedang berbicara, alih-alih mendengarkan dengan fokus, seringkali kita malah sibuk memikirkan bagaimana kita akan meresponsnya. Amsal 10:19 berkata, “Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi.”

Surat Yakobus pada pasal pertamanya juga mengingatkan kita untuk cepat mendengar dan lambat berkata-kata. Maksud dari ayat ini bukan berarti kita harus diam dan tidak berkata-kata sama sekali, namun kita diminta untuk bijak dalam berbicara karena perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak (Amsal 25:11) dan tentunya berkenan bagi Allah.

Sebagai penutup, dalam Matius 12:34-37 disebutkan bahwa apa yang diucapkan mulut meluap dari hati. Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik, dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Hal ini serupa ketika kita menyajikan makanan atau minuman untuk tamu atau orang-orang yang kita kasihi. Makanan enak yang tersaji merupakan hasil dari kombinasi bahan-bahan yang berkualitas baik. Juga minuman, jika kita mengisi cerek/teko dengan gula dan kopi maka rasa pahit dan manis dari kopi dan gula tersebutlah yang kita kecap. Demikian halnya dengan perkataan kita, jika kita sering mengisi hati kita dengan kebaikan-kebaikan dari pembacaan, pendengaran maupun perenungan firman Tuhan, maka hal itu jugalah yang akan terpancar lewat kata-kata kita.

Mazmur 141:3 (Awasilah mulutku, ya TUHAN, berjagalah pada pintu bibirku!) kiranya menjadi permohonan kita kepada Tuhan agar Tuhan semakin dimuliakan lewat kata-kata kita.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Hanya Sekadar Baca Alkitab Tidaklah Cukup

““Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Setelahnya, dia bergegas ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.

Kata-katanya seperti tamparan di wajahku. Tadi pagi aku baru saja baca Alkitab. Namun, ketika kesalahpahaman muncul, aku menyerah pada pencobaan dan meresponsnya dengan marah. Aku terdiam.”

Seberapa Serius Perkataanmu?

Hari ke-28 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Seberapa Serius Perkataanmu?

Baca: Yakobus 5:12

5:12 Tetapi yang terutama, saudara-saudara, janganlah kamu bersumpah demi sorga maupun demi bumi atau demi sesuatu yang lain. Jika ya, hendaklah kamu katakan ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak, supaya kamu jangan kena hukuman.

Seberapa Serius Perkataanmu?

Beberapa tahun lalu, aku ikut melayani di Sekolah Minggu. Suatu hari, koordinator guru bertanya apakah aku bisa membantunya menuliskan lirik lagu anak-anak di karton manila untuk digunakan beberapa waktu mendatang. Aku segera mengiyakan tugas itu dan berjanji menyelesaikannya dalam beberapa minggu. Namun, aku tidak melakukannya.

Berbulan-bulan kemudian, guru itu menanyakan hasilnya. Aku benar-benar sudah lupa dengan pembicaraan kami (sampai-sampai aku menyangkal bahwa guru itu pernah memintaku melakukannya). Selama berhari-hari aku bersikeras bahwa guru itu keliru …. Hingga kemudian aku menemukan bahwa CD lagu, karton-karton manila, dan spidol-spidol yang tidak pernah digunakan ada di sudut kamarku.

Dengan malu aku mengembalikan semua barangnya, tugas itu tidak selesai, dan kredibilitasku tercoreng. Saat aku berkata “ya”, aku sungguh berniat mengerjakannya. Namun, kenyataan bahwa aku kemudian melupakannya, menunjukkan bahwa sebenarnya aku tidak memandang perkataanku itu sebagai sesuatu yang serius.

Aku yakin banyak di antara kita yang pernah asal bicara. Mungkin kamu setuju untuk mendoakan seorang teman, tetapi kemudian kamu melupakannya sama sekali.

Atau, kamu mungkin ada di pihak yang menerima janji, temanmu setuju menolongmu di sebuah acara gereja, tetapi mereka tidak muncul di menit-menit terakhir. Apakah kita sungguh-sungguh memikirkan apa yang kita ucapkan? Mungkinkah sebenarnya kita tidak berniat melakukan apa yang kita ucapkan?

Dalam bagian ini Yakobus mendesak para pembaca suratnya untuk selalu jujur dengan perkataan mereka. Ini adalah sebuah panggilan bagi setiap orang Kristen untuk hidup benar secara radikal. Kita harus jujur karena kita diciptakan dalam rupa dan gambar Tuhan. Tuhan selalu bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakan-Nya. Tidak ada perkataan kosong yang pernah Dia ucapkan, semua janji-Nya benar dan pasti ditepati (2 Korintus 1:20; Yesaya 55:11). Sebagai para saksi Tuhan, apakah kita mencerminkan Dia dalam hal ini?

Ataukah kita mendapati diri kita suka asal mengumbar janji, misalnya dengan berkata, “Sumpah, aku akan melakukannya!” supaya kita bisa mendapatkan kepercayaan orang? Di zaman Yakobus, sumpah kerap diucapkan untuk memastikan ucapan atau janji seseorang dapat dipercaya. Namun di sini, Yakobus menentang praktik yang demikian dan menyarankan bahwa hal tersebut hanya boleh dilakukan bila kita akan selalu menepati apa yang kita ucapkan.

Saat kita selalu menepati janji, orang akan memperhatikan dan mengakui integritas kita; mereka tahu bahwa mereka bisa memegang ucapan kita. Kepercayaan ini berharga dalam segala situasi, baik itu dalam bekerja, studi, atau dalam hubungan-hubungan kita. Sebagian orang juga bisa terkesan dengan sikap kita yang demikian jujur dan saat mereka bertanya mengapa kita bersikap demikian, dengan senang hati kita bisa mengarahkan mereka kepada Tuhan dan kebenaran Injil.

Sebagai para pengikut Kristus, mari kita memilih untuk hidup jujur. Baik itu dalam menjaga janji-janji kita atau memilih untuk mengatakan apa yang benar dalam segala situasi. Mari menghormati Tuhan setiap hari dengan berkata “ya” jika ya dan “tidak” jika tidak. —Charmain Sim, Malaysia

Handlettering oleh Mesulam Esther

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pernahkah kamu tidak mempercayai perkataan seseorang karena kamu tahu orang itu tidak pernah serius dengan perkataannya. Bagaimana sikapnya mempengaruhi pandanganmu tentang orang itu dan apa yang ia imani?

2. Apa yang kamu pelajari dari ayat ini tentang perkataanmu sendiri? Apa saja yang bisa kamu lakukan untuk menghormati Tuhan dengan perkataanmu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Charmain Sim, Malaysia | Charmain sekarang tinggal di Singapura, dan dia sedang belajar bahwa pemuridan yang sejati itu ditandai dengan kesetiaan dan ketaatan. Dia suka menulis karena inilah yang menolongnya menikmati pengalamannya, dan juga karena Tuhan telah memanggilnya untuk melakukan ini. Jika tidak sedang bermimpi kala malam, Charmain suka menyantap semangkuk es krim, menonton televisi, dan membaca buku.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Ketika Doaku Hanyalah Berisi Kata-Kata yang Indah

ketika-doaku-hanyalah-berisi-kata-kata-yang-indah

Oleh Wendy W.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Praying: For Whose Ears?

Telapak tanganku berkeringat. Jantungku berdegup kencang. Pikiranku kacau.

Bukan, aku bukan sedang gugup karena akan menghadapi ujian atau menyampaikan presentasi. Aku gugup karena harus berdoa bersama.

Meskipun aku tumbuh di lingkungan keluarga Kristen, aku belum pernah benar-benar berdoa bersama dalam sebuah kelompok sebelumnya. Paling jauh yang pernah aku lakukan hanyalah memimpin doa makan singkat dalam sebuah perayaan keluarga.

Sebagian besar doaku adalah doa pribadi, sebuah percakapan yang pribadi antara aku dengan Bapa—bisikan kata-kata yang hanya untuk didengarkan oleh-Nya. Namun, setelah aku sungguh-sungguh menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku, aku bergabung dalam sebuah gereja kecil di mana berdoa bersama teman-teman di sekitar adalah sesuatu yang biasa dilakukan. Hal itu membuatku menjadi gugup dan takut.

Aku tidak pernah mendengar orang yang berdoa dengan bersuara sebelumnya. Aku merasa berdoa dengan bersuara itu seperti sedang membeberkan sebuah percakapan rahasia. Sebenarnya aku tidak masalah ketika orang lain yang berdoa, tapi begitu tiba giliranku untuk berdoa, aku menjadi amat gugup.

Aku mengingat satu kejadian ketika aku berdoa dengan terbata-bata dengan dua orang lain yang lebih tua dariku yang baru saja kukenal. Aku berusaha keras untuk berkonsentrasi sampai mukaku memerah. Aku merasa bodoh tidak tahu bagaimana caranya berdoa, dan merasa malu ketika membandingkan doaku dengan doa mereka; kata-kata yang kuucapkan tidaklah sebagus mereka.

Seiring waktu, aku lebih sering mendengar doa-doa orang lain, dan mau tidak mau aku jadi memperhatikan cara mereka berdoa. Ada yang berdoa dengan kata-kata yang sering diulang-ulang (seperti “um” atau “ya”). Ada juga yang mampu merangkum isi khotbah yang baru disampaikan ke dalam sebuah doa yang tersusun sempurna. Ada juga yang berdoa dengan sangat cepat. Mereka dapat mengucapkan beberapa kata dalam sebuah tarikan napas. Ada yang berdoa dengan nada suara yang membosankan, dan ada pula yang berdoa dengan menggebu-gebu.

Aku kagum dengan doa teman baikku yang indah, penuh dengan kata-kata yang bagus dan ayat-ayat Alkitab. Aku iri melihat betapa mudahnya dia merangkai kata-kata dengan penuh percaya diri. Aku merasa Tuhan lebih senang mendengarkan doanya daripada doaku —setidaknya itulah yang aku pikirkan.

Semakin sering aku mendengar doa-doa mereka, aku pun mulai mendapatkan kalimat-kalimat yang kemudian aku gunakan dalam doa-doaku. Tanpa kusadari, aku jadi terlalu memperhatikan pikiran orang lain ketika mendengarkan doaku—dan bahkan mulai menilai doa-doa orang lain dan membandingkannya dengan doa-doaku.

Suatu hari Minggu, aku mendapakan kesempatan berdoa bersama seorang saudari yang usianya lebih muda dariku. Dia adalah seorang pendiam yang tidak terlalu kukenal. Meskipun dia berasal dari lingkungan berbahasa Mandarin dan tidak fasih berbahasa Inggris, doanya amatlah indah. Dia berdoa kepada Tuhan dengan sederhana, kalimat-kalimat yang pendek, dan nada suara yang penuh dengan kerendahan hati. Dan meskipun dia tidak banyak berkata-kata, aku dapat mendengar dan merasakan kasihnya kepada Tuhan.

Saat itu juga aku langsung merasa malu dengan doa-doaku, yang meskipun disampaikan dengan baik, tapi tidak lahir dari sebuah ketulusan. Aku malu ketika menyadari bahwa selama ini tanpa kusadari yang menjadi motivasiku dalam berdoa adalah sebuah keinginan untuk dianggap telah berdoa dengan “benar” oleh orang lain. Aku ingin doaku terdengar bagus, suci, dan sempurna, karena aku pikir seperti itulah seharusnya orang Kristen berdoa. Aku telah salah karena menganggap pendengar utama doaku adalah orang-orang yang berdoa denganku. Aku lupa bahwa meskipun kata-kata yang kuucapkan dalam doaku bisa menguatkan mereka, tapi mereka seharusnya bukan menjadi motivasi utamaku dalam berdoa. Saudari kecilku dalam Kristus ini menyadarkanku bahwa tidak ada kalimat indah yang sebanding dengan sebuah doa yang rendah hati dan yang lahir dari sebuah ketulusan hati.

Yesus dengan jelas mengatakan bahwa Dia tidak terkesan dengan doa-doa indah yang meninggikan Dia di permukaan saja tapi sesungguhnya yang ditinggikan adalah pendoa itu sendiri (Matius 6:5-13; 23:5-12). Doa yang menyenangkan-Nya dan yang diterima-Nya adalah doa yang memanggil nama-Nya dalam sebuah pertobatan (Lukas 18:10-14).

Sekarang, aku telah belajar berdoa dengan lebih sabar dan penuh perhatian, untuk menyampaikan kata-kata sederhana dari dalam hati bagi Bapa di sorga, meskipun ketika aku sedang berdoa bersama-sama. Bagaimanapun, doa-doa kita adalah bagi Dia, satu-satunya yang mendengar dan menjawab doa-doa kita sesuai dengan kehendak-Nya dan waktu-Nya yang sempurna.

Baca Juga:

Apakah Kita Mencari Tuhan?

Dalam beberapa hari terakhir, aku sedang mendalami kitab Yesaya dan berusaha sebaik mungkin untuk memahami apa yang Nabi Yesaya maksudkan. Tapi aku menjadi semakin galau, karena aku sepertinya tidak belajar banyak; tidak ada hal praktis yang dapat aku aplikasikan. Aku dengan mudah melupakan apa yang telah aku baca.

Mengapa Aku Memutuskan untuk Mengendalikan Lidahku

mengapa-aku-memutuskan-untuk-mengendalikan-lidahku

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 你们都去健身了,我准备制伏口舌

Aku adalah orang yang lugas dan suka berbicara blak-blakan. Kalau mood-ku sedang bagus, aku akan berbagi rasa senangku dengan orang lain. Tapi, jika sesuatu tidak berjalan sesuai rencanaku dan membuat mood-ku jadi jelek, orang lain juga harus tahu apa yang menjadi keluhanku itu.

Sejak lama, ketika aku merasa kecewa, aku akan mengeluh dan menyalahkan diriku sendiri. Dulu, ketika kecewa itu datang aku sering menanggapinya dengan melontarkan candaan kalau aku akan “menusuk diriku dengan pisau”. Awalnya kupikir candaan itu keren.

Aku tidak pernah merasa ada yang salah dengan setiap kata-kata yang kuucapkan sampai aku mulai mengerti bahwa perkataan kita memiliki kuasa. Alkitab memberitahu kita kalau “hidup dan mati dikuasai lidah,” (Amsal 18:21). Jika kita melihat kembali ke proses ketika dunia diciptakan, Allah menciptakan segalanya dengan kata-kata-Nya. Allah berkata, “Jadilah terang”—dan jadilah terang itu. Ada kuasa yang teramat besar dalam kata-kata Allah. Kita diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian 1:27), mungkin karena itulah Alkitab mengatakan kalau lidah kita memiliki kuasa atas hidup dan mati.

Lama-kelamaan aku mulai menyadari kalau kata-kata yang sering kukatakan itu berdampak tak hanya buatku sendiri, tapi juga untuk orang-orang di sekelilingku. Dulu aku sering mengatakan kalau aku tidak ingin hidup lebih dari usia 40 tahun dan aku adalah seorang yang depresi. Waktu itu aku tidak menyadari kalau kata-kata itu seolah menjadi kutukan atas diriku sendiri.

Ketika kita tidak bijak dalam berkata-kata, di situlah kita membuka celah untuk Iblis menanamkan pengaruhnya dalam hidup kita. Pengaruh itu semakin kuat ketika kita mulai bergosip, mengeluh, berbohong, dan sebagainya. Tentu banyak dari kita tahu betapa sulitnya mengendalikan lidah kita, namun seringkali kita malah berkata-kata tanpa memikirkan dampaknya terlebih dahulu—sehingga kita menyesal kemudian. Mungkin itulah yang menjadi penyebab kita tidak mengalami pertumbuhan rohani.

Alkitab mengatakan, “Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu. Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya” (1 Petrus 3:10-11).

Aku menjadikan ayat Alkitab itu sebagai pengingatku supaya aku lebih bijaksana dalam berkata-kata. Ketika aku coba untuk mengintrospeksi diriku sendiri, aku menyadari kalau di dalam pikiranku ada banyak sekali kata-kata yang bersifat merusak. Seringkali aku kehilangan kendali atas emosiku sehingga aku terjebak dalam kekhawatiran dan rasa depresi. Kata-kata yang kuucapkan telah menyakitiku dan juga orang lain. Aku menegur diriku kembali. Aku merasa tidak layak menjadi seorang Kristen. Bahkan aku merasa sangat malu untuk menghadap Tuhan.

Ketika aku memutuskan untuk mengendalikan lidahku, ada banyak cobaan yang menggodaku untuk kembali ke cara hidupku yang lama. Namun, dengan segera aku akan mengingatkan diriku sendiri supaya tidak jatuh ke dosa yang sama dan mencari cara lain yang lebih baik untuk mengungkapkan hal yang ingin kukatakan. Hal ini menolongku untuk menghindari konflik yang tidak perlu dan mengontrol emosiku.

Dulu aku sering terlibat perang mulut dengan ayahku hingga aku mulai melatih diriku untuk lebih bijak berkata-kata. Setiap kali kami berbicara, suasana menjadi tegang dan hal kecil sekalipun dapat membuat kami segera terlibat konflik. Ayahku itu memang cerewet dan tak jarang perkataannya seringkali membuat urat sarafku naik dan aku ingin membalasnya dengan berkata, “Berisik!” atau “Lebih baik aku pergi dari sini sekarang!” Perang kata-kata yang terjadi di antara kami tentunya telah menyakiti hati satu sama lain.

Sejak aku belajar untuk lebih bijak dalam berkata-kata, kini aku bisa berbicara lebih santai kepada ayahku, bahkan aku bisa menyemangatinya juga. Karena kasih Tuhan, sekarang aku dan ayahku bisa menikmati hubungan yang harmonis.

Aku belajar untuk menjadi teladan bagi orangtuaku ketika mereka berkata-kata kasar. Aku mendorong mereka untuk tidak berkata-kata kasar supaya itu tidak dijadikan celah oleh Iblis untuk menanamkan pengaruhnya di hidup kita. Sekarang, aku telah melihat banyak perubahan positif dalam setiap perkataan yang diucapkan oleh orangtuaku. Bahkan ketika kami memiliki waktu luang, kami meluangkan waktu untuk berdoa dan mempelajari Alkitab bersama-sama.

Mengendalikan lidah kita mungkin terdengar sebagai pekerjaan yang sulit, tetapi ingatlah bahwa kita memiliki Roh Kudus yang memampukan dan sanggup menolong kita. Roh Kudus itu tidak hanya mendorong kita untuk berbuat baik, tapi juga memampukan kita untuk mewujudkan perbuatan itu. Jadi, apa yang harus kita lakukan adalah memiliki kemauan untuk berubah dan berdoa supaya Roh Kudus menguatkan kita. Di dalam Kristus, kita sudah menang!

Baca Juga:

Mengapa Aku Senang dengan Status Singleku

“Waktu aku masih kecil, aku lihat orang dewasa pacaran. Waktu aku dewasa, aku lihat anak kecil pacaran.” Begitulah isi tulisan yang kutemukan dalam sebuah meme saat aku sedang asyik menjelajah timeline Instagram-ku. Apa yang baru saja kulihat itu membuatku tertawa. Ya, sampai hari ini aku belum pernah berpacaran sama sekali.

Ucapan Yang Terkendali

Selasa, 11 Maret 2014

Folder Kemarahan
Cerita & Ilustrasi komik strip oleh Heri Kurniawan

Baca: Yakobus 3:1-12

3:1 Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.

3:2 Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.

3:3 Kita mengenakan kekang pada mulut kuda, sehingga ia menuruti kehendak kita, dengan jalan demikian kita dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.

3:4 Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil menurut kehendak jurumudi.

3:5 Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar.

3:6 Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.

3:7 Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia,

3:8 tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan.

3:9 Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah,

3:10 dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.

3:11 Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama?

3:12 Saudara-saudaraku, adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara? Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar.

Buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai. —Yakobus 3:18

Ucapan Yang Terkendali

Mantan Presiden AS Harry Truman mempunyai aturan: Setiap surat yang ditulisnya dengan perasaan marah harus ditaruh di atas mejanya selama 24 jam sebelum dikirim. Jika setelah masa “menenangkan diri” itu usai dan ia masih memendam rasa marah tersebut, ia akan mengirimkan surat itu. Ternyata pada akhir hidupnya, sebuah laci besar pada meja Truman penuh berisi surat yang tak terkirim.

Dalam zaman komunikasi serba cepat dewasa ini, ada banyak peristiwa memalukan yang sebenarnya bisa kita hindari seandainya kita dapat mengendalikan diri selama 24 menit saja! Dalam suratnya, Yakobus berbicara tentang kerusakan yang dapat disebabkan oleh suatu hal yang terus-menerus menjadi pergumulan di sepanjang sejarah umat manusia, yaitu lidah yang tidak terkendali. Ia menulis, “Tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan” (3:8).

Ketika kita bergosip atau berbicara dengan penuh kemarahan, kita sedang berjalan di luar kehendak Allah. Kita perlu lebih menahan diri dalam perkataan yang kita ucapkan, ketik, atau tuliskan, sembari mengucap syukur dalam hati untuk penguasaan diri yang Allah mampukan. Sayangnya, kita lebih sering menunjukkan kebobrokan kita sebagai manusia kepada orang-orang yang mendengar ucapan kita.

Jika ingin memperlihatkan sikap diri yang telah diubahkan Kristus, mungkin yang perlu kita lakukan hanyalah mengendalikan lidah dan ucapan kita. Orang lain pasti akan memperhatikan ketika kita memuliakan Allah lewat perkataan yang kita ucapkan—atau yang tidak kita ucapkan. —RKK

Tolonglah aku, ya Tuhan, supaya perkataanku tidak kugunakan untuk
menjatuhkan orang lain atau membangun nama baikku sendiri,
tetapi supaya kugunakan untuk mengutamakan kebaikan orang lain,
sehingga dengan demikian aku melayani-Mu dan kerajaan-Mu.

Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran. —Amsal 21:23