Posts

Bukan Cuma Tentang Romantis, Inilah Sesungguhnya Kasih Itu

Oleh Aldi Darmawan Sie

Hari Valentine atau dikenal sebagai hari kasih sayang, sering kali menjadi momen yang dinanti, khususnya bagi kita para kaum muda. Kepada orang-orang yang kita kasihi, di tanggal 14 Februari kita mengungkapkan perasaan kasih itu, entah dengan sekadar ucapan selamat, atau juga dengan coklat.

Nuansa yang muncul pun identik dengan romantisme dan kemesraan. Di media sosial, orang-orang menyatakan kasih sayangnya dengan mengunggah gambar atau cerita romantis. Secara sederhana, hari Valentine membuat perasaan cinta diidentikkan dengan ungkapan perasaan suka atau sayang kepada seseorang. Bertepatan dengan momen hari kasih sayang inilah aku ingin mengajak kita memikirkan kembali tentang bagaimana Allah menyatakan kasih-Nya kepada kita. Apakah cinta Allah kepada kita hanya sekedar suatu perasaan suka atau sayang?

Di dalam Alkitab, terdapat suatu model relasi yang Allah gunakan sebagai landasan untuk berhubungan dengan umat-Nya. Model relasi itu adalah perjanjian atau kovenan. Model relasi ini sangat kuat mewarnai Alkitab, dimulai dari masa Perjanjian Lama hingga diperbarui di dalam dan melalui Yesus Kristus pada masa Perjanjian Baru. Segala rencana dan karya Allah bagi umat-Nya selalu berdiri di atas dasar kovenan. Perjanjian adalah inisiatif Allah. Tujuannya adalah agar umat Allah dapat menikmati kasih dan persekutuan dengan-Nya. Salah satu ide yang menggaung kuat dari konsep perjanjian ialah komitmen. Dua pihak yang terikat di dalam sebuah kovenan akan berkomitmen untuk melakukan sesuatu yang telah disepakati di dalam perjanjian tersebut. Sederhananya, kasih Allah di dalam kerangka konsep perjanjian, bukan hanya berbicara mengenai ungkapan perasaan yang muncul dari hati, melainkan terkandung suatu komitmen untuk mengasihi umat-Nya di dalam situasi apapun.

Hal ini secara konsisten Allah tunjukkan kepada bangsa Israel. Meskipun Alkitab secara gamblang mengungkapkan sederet kegagalan bangsa Israel dalam mengasihi Allah dan memelihara perjanjian-Nya, tetapi seruan kasih Allah terus bergema untuk menarik mereka kembali menikmati kasih dan persekutuan dengan-Nya. Seruan kasih Allah tentu saja tidak terlepas dari janji-Nya untuk menjadikan umat Allah sebagai milik kepunyaan-Nya. Salah satu seruan kasih Allah telah disampaikan melalui Nabi Yeremia kepada bangsa Israel, “Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer. 31:3).

Kasih yang kekal. Begitulah kasih Allah kepada umat-Nya. Seruan kasih Allah inilah yang dinyatakan secara sempurna di dalam dan melalui pengorbanan Tuhan Yesus di atas kayu salib. Salib menjadi sebuah “pertunjukkan” kasih Allah yang paling agung kepada manusia. Melalui salib, jelas bahwa kasih Allah tidak dapat kita maknai sekadar ungkapan perasaan belaka, tetapi sebagai komitmen nyata untuk mengasihi, bahkan hingga titik darah penghabisan.

Belajar dari Perjanjian Allah

Jika menilik kembali betapa indahnya kasih Allah yang terbingkai di dalam perjanjian-Nya, maka aku seolah ditarik untuk memikirkan kembali tentang apa artinya kasih. Aku merenungkan bagaimana model kasih yang sering kali dipertontonkan, entah itu melalui film, sinetron, atau lagu-lagu. Model kasih itu adalah kasih yang bersyarat. “Kamu cantik, karena itu aku jatuh cinta kepadamu. Kamu pintar, karena itu aku menyukaimu.” Mungkin saja itu membuat orang-orang terobsesi untuk tampil cantik atau tampan, hanya demi supaya dirinya dikasihi. Tentu saja, menjaga diri untuk tetap cantik atau tampan bukanlah suatu hal yang salah di dalam lensa kekristenan. Namun, ketampanan atau kecantikan seseorang seharusnya tidak menjadi dasar kelayakan mutlak agar seseorang dapat dikasihi. Model kasih seperti ini membuat kita perlu memenuhi standar yang menurut dunia sebagai suatu hal yang berharga dan diagung-agungkan, maka baru kemudian kita akan dikasihi. Jikalau model kasih ini yang diambil Allah, maka aku yakin sudah lama Allah tidak lagi mengasihi kita, karena kita jauh di bawah standar kasih Allah.

Lantas, mungkin kita bertanya-tanya, “mungkinkah ada kasih yang tak bersyarat di dunia? Mungkinkah ada kasih yang menerimaku apa adanya?”

Pencarian akan jawaban dari pertanyaan itu membuatku mengingat kembali pertunjukkan kasih Allah yang kekal, yang terekam jelas melalui pengorbanan Tuhan Yesus di atas kayu salib. Dari sanalah tampak riil sebuah pernyataan kasih yang tidak didasari dengan apa yang kita miliki, tetapi sebuah pertunjukkan kasih yang tak bersyarat. Meskipun kita sebagai umat-Nya sering kali gagal mengasihi-Nya, tetapi Allah tidak pernah berhenti mengasihi kita. Kasih Allah yang kekal itu, tidak pernah berhenti hanya sebatas ungkapan perasaan kasih sayang yang romantis, tetapi melampaui itu, adalah suatu demonstrasi kasih yang penuh komitmen yang begitu deras membanjiri diri kita melalui perjanjian-Nya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Secuplik Mitos tentang LDR

Banyak survey bilang bahwa pasangan LDR lebih berisiko mengalami kandasnya hubungan. Tetapi, itu tidak selalu berarti bahwa LDR adalah bentuk relasi yang buruk. Yuk kenali mitos-mitos apa saja yang sering muncul tentang LDR.

Ketika Tuhan Mengajarku Melalui Anakku yang Cacat Mental

Ketika-Tuhan-Mengajarku-Melalui-Anakku-yang-Cacat-Mental

Oleh Tilly Palar, Jakarta

Sharon Putri. Dia adalah anak bungsu dari tiga orang bersaudara yang sangat aku kasihi. Waktu itu, ketika Sharon baru berumur satu tahun, dia belum mampu berjalan dan sulit berbicara. Aku khawatir melihat perkembangan fisiknya yang cukup terlambat itu, tapi teman-temanku menyemangatiku bahwa terlambat berjalan dan bicara adalah hal biasa untuk seorang balita.

Setiap hari, aku mengajari Sharon untuk melangkahkan kakinya perlahan-lahan dan mengucap beberapa kata sederhana. Lambat laun usahaku mulai membuahkan hasil. Sharon mulai mampu berjalan walaupun sering terjatuh. Sharon juga bisa berbicara walau seringkali ucapannya terdengar kurang jelas. Melihat perkembangan fisiknya, aku merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan darinya.

Tibalah masanya untuk Sharon belajar di bangku sekolah. Aku mendaftarkannya ke sebuah sekolah swasta dekat rumahku. Namun, hanya satu minggu berselang, aku dipanggil oleh kepala sekolah. “Ibu, maaf, anak ibu ternyata tidak bisa mengikuti kelasnya. Dia mengacaukan kelas dan memukul teman-temannya. Kami sangat menyesal anak ibu tidak bisa melanjutkan sekolah di tempat ini.” Aku terkejut mendengar kata-kata itu. Aku terduduk diam dan tidak tahu harus menjawab dengan kata-kata apa. Kemudian, kepala sekolah itu melanjutkan bicaranya, “Coba ibu bawa Sharon ke dokter spesialis untuk diperiksa.”

Pembicaraan yang baru saja berlangsung itu membuatku begitu terpukul, tapi aku juga menyadari bahwa saran yang diberikan kepala sekolah itu ada benarnya juga. Aku memutuskan untuk membawa Sharon ke sebuah rumah sakit. Di sana, Sharon menjalani begitu banyak pemeriksaan hingga akhirnya dokter spesialis memberikan kesimpulan bahwa Sharon adalah seorang anak dengan cacat mental. Sharon dikategorikan sebagai seorang anak yang tergolong mild mentally retarded atau retardasi mental ringan.

Vonis dokter bahwa Sharon adalah anak cacat membuatku terkejut. Aku termenung sejenak, mengapa ini semua harus terjadi? Di tengah perenungan itu, aku mengingat bahwa bagaimanapun juga, Sharon adalah anak yang kulahirkan sendiri. Penyakit ini datang bukan karena kesalahan Sharon. Oleh karena itu, tak peduli apapun keadaannya, aku berjanji untuk selalu mengusahakan yang terbaik untuknya.

Karena permasalahan keluarga, aku terpaksa pindah ke luar negeri dan bekerja untuk menghidupi Sharon dan dua orang kakaknya. Aku tidak tahan dengan omongan-omongan negatif yang sering dilontarkan oleh keluarga dan teman-temanku mengenai Sharon. Mereka seolah tidak mendukungku ataupun menerima Sharon sebagaimana adanya.

Setelah kepindahanku ke luar negeri, aku menyekolahkan Sharon di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak yang mengalami retardasi. Di usianya yang semakin menanjak, Sharon harus menjalani banyak terapi. Bahkan, sampai ketika Sharon duduk di kelas 5, cara berpikir Sharon masih sama seperti balita yang belum bersekolah.

Suatu ketika, sekolah tempat Sharon belajar mengadakan sebuah pentas seni yang dilakukan oleh anak-anak dengan retardasi mental. Bersama teman-temannya, Sharon memberikan sebuah persembahan tarian di hadapan orangtua murid. Anak-anak dengan retardasi mental itu berlatih selama berminggu-minggu hingga bisa menampilkan tarian yang amat indah bagiku.

Penampilan Sharon di panggung itu membuatku takjub. Aku kagum atas kegigihan guru-guru di sekolah itu. Dengan sabar mereka melatih anak-anak yang sejatinya berbeda dari anak-anak umumnya. Walau dengan retardasi mental, anak-anak itu mampu menari bergandengan tangan, bergerak seirama dengan lagu. Semua anak-anak itu menari dengan ekspresi datar, tanpa senyum sama sekali. Tapi, itulah yang membuatku dan penonton lainnya menangis terharu. Perasaan kami bercampur aduk, antara rasa gembira melihat penampilan anak-anak itu, namun juga ada perasaan sedih karena belum semua orang mau memandang mereka dengan positif.

Sharon adalah anugerah dari Tuhan

Harus kuakui, sebagai seorang ibu, ada kalanya aku merasa lelah dan bertanya-tanya apa maksud Tuhan atas semua ini. Apabila seseorang mengalami cacat pendengaran, ada alat bantu dengar untuk menggantikan fungsi telinga mereka. Atau, paling tidak ada bahasa isyarat. Apabila seseorang mengalami cacat tangan atau kaki, ada tangan-tangan dan kaki-kaki palsu untuk menolong mereka beraktivitas. Akan tetapi, apabila seseorang mengalami cacat mental, apakah yang dapat menggantikan fungsi otak mereka? Atau, alat apakah yang dapat menolong mereka?

Aku tidak memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Aku hanya mampu terdiam. Aku teringat akan beberapa peristiwa yang pernah membuatku pedih. Suatu ketika, aku sedang berada di sebuah rumah duka dan mendengar suara tangis yang disertai teriakan seorang anak. Aku mengenali dengan jelas bahwa itu adalah tangisan dari seorang anak yang mengalami retardasi mental. Kepada kerabat yang turut hadir di rumah duka itu aku bertanya, “Siapa yang menangis berteriak-teriak itu?” Kerabatku itu menjawab, “Oh, itu anak cacat, bodoh, disuruh minum tapi menolak sampai kayak gitu.” Jawaban kerabatku itu membuatu tertegun. Aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa ada orang-orang yang tidak menghargai mereka yang terlahir dengan cacat mental? Bahkan, keluarga dan teman-teman dekatku sendiri pun sering berkata-kata hal yang buruk mengenai Sharon. Mereka mengatakan bahwa cacat mental yang diderita Sharon adalah kutukan.

Pandangan-pandangan buruk itu ada dalam pikiranku hingga aku bertemu dengan orang-orang lain yang ternyata memiliki pandangan berbeda. Setelah aku pindah ke luar negeri dan mendaftarkan Sharon ke sebuah sekolah, aku bertemu dengan salah seorang gurunya. Guru itu berkata bahwa anak-anak yang tampaknya cacat ini sesungguhnya adalah anak-anak yang istimewa. Anak-anak ini hanya diberikan Tuhan kepada orangtua yang juga istimewa, yaitu orangtua yang memiliki hati yang besar. Kata-kata itu sungguh bermakna buatku. Sejak saat itu aku berkomitmen untuk tidak menghiraukan komentar-komentar negatif tentang Sharon.

Aku menyadari bahwa hal yang paling dibutuhkan Sharon adalah memberinya pendidikan dengan kasih sayang yang tulus. Sepulang sekolah, aku mengajarinya untuk melakukan aktivitas-aktivitas sederhana. Aku mengajarinya bagaimana memakai sabun, mencuci piring, juga mengajaknya berjalan-jalan untuk bergaul dengan orang-orang lain. Aku tidak malu apabila orang-orang lain melihat Sharon itu mengalami retardasi mental.

Setelah bertahun-tahun menetap di luar negeri, aku memutuskan untuk membawa Sharon pulang kembali ke Indonesia dan mengasuhnya setiap hari.

Waktu terus berjalan. Aku melihat Sharon dan kedua orang kakaknya terus beranjak dewasa. Ketika kakak-kakaknya mulai mampu hidup secara mandiri, aku masih tetap mengasuh Sharon dengan penuh kasih. Namun, seiring usiaku yang terus beranjak, tak kusangka aku mengalami serangan jantung. Aku tidak lagi seprima seperti dahulu, dan akibat serangan penyakit itu, aku dan keluarga harus membuat suatu keputusan besar. Aku tak dapat lagi mengasuh Sharon sehingga kami sepakat untuk menitipkannya ke sebuah rumah pemulihan.

Sejak bayi aku telah merawat Sharon. Dia selalu ada dalam dekapanku tatkala air mata mulai menetes membasahi pipinya. Dia tidak pernah lepas dari pengawasanku. Sekarang, semua itu menjadi sebuah kenangan yang amat manis untuk dikenang. Aku tidak lagi sedih karena di rumah pemulihan tempat Sharon bernaung, dia menemukan banyak teman-temannya yang mengalami retardasi serupa dengannya.

Ketika Tuhan mengizinkan Sharon hadir dalam kehidupanku, aku beroleh kesempatan untuk belajar banyak hal. Aku belajar tentang apa arti kasih yang tulus. Aku belajar untuk tidak malu atas cacat mental yang dialami oleh Sharon. Kemanapun aku pergi, termasuk ketika aku harus bekerja dan menemui klien-klienku, Sharon selalu bersamaku. Aku belajar untuk bersyukur dan menerima hal-hal yang memang tidak dapat kuubah.

Tuhan Yesus amat mengasihi kita. Seharusnya kita dihukum karena dosa-dosa kita, akan tetapi Dia memberikan nyawa-Nya sebagai ganti atas dosa-dosa kita (Yohanes 3:16). Pengorbanan Tuhan Yesus adalah teladan sejati bagi hidupku. Sebagaimana Dia mengasihi kita dengan tulus, aku belajar mengasihi Sharon sebagaimana adanya.

Sharon adalah hadiah amat indah yang Tuhan boleh berikan untukku. Sebagai seorang ibu, aku bangga memiliki anak seperti Sharon, dan aku juga teramat bangga memiliki Tuhan yang adalah Yesus Kristus.

“Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1 Korintus 13:13).

Baca Juga:

Persahabatan di Era Digital: Erat di Dunia Maya, Renggang di Dunia Nyata

Menurutmu, teman seperti apakah kamu? Apakah kamu hanya sekadar teman di Facebook yang mencurahkan perhatianmu hanya lewat tombol “Like” di tiap-tiap postingan temanmu tapi tidak pernah menemui mereka secara langsung?