Posts

Bagaimana Jika Orang yang Kukasihi Tidak Diselamatkan?

Penulis: Joawen Ho, Singapura
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: What If a Loved One is Not Saved?

What-if-a-Loved-One-is-Not-Saved

Pada bulan Mei 2006, peristiwa kematian pertama terjadi di tengah keluargaku. Adik laki-laki dari ibuku menjadi korban dalam sebuah kecelakaan tabrak-lari. Istrinya harus membesarkan kelima anak mereka yang masih kecil sendirian.

Sebagai seorang yang belum mengenal Kristus pada saat itu, aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang yang seperti pamanku, seorang ayah yang baik dan pengusaha yang sukses, bisa kehilangan nyawanya dalam sekejap. Jika hidup ini begitu sementara, apa sebenarnya arti dan tujuan hidup manusia? Pertanyaan itu mengawali perjalananku untuk menemukan tujuan hidupku sendiri.

Dibesarkan dalam masyarakat yang menganut berbagai macam agama, aku percaya bahwa Allah itu ada. Tetapi, aku tidak tahu mana sebenarnya Allah yang sejati. Jadi suatu malam, aku mulai berdoa kepada Allah yang tidak kukenal itu. Doaku kurang lebih seperti ini, “Jika Engkau sungguh ada, nyatakanlah diri-Mu. Di mana pamanku berada sekarang dan apa yang sedang dilakukannya?”

Beberapa waktu kemudian, seorang teman memberiku sebuah buklet kecil tentang penderitaan. Entah bagaimana, aku merasa ingin tahu lebih banyak setelah membacanya. Jadi, aku mulai ikut kelompok pendalaman Alkitab bersama temanku dan teman-teman gerejanya.

Pada 11 November 2007, aku berdoa menerima Yesus Kristus ke dalam hidupku. Jujur saja, aku belum benar-benar memahami siapa Allah pada saat itu. Bahkan sebenarnya aku belum sepenuhnya bisa menerima semua penjelasan yang diberikan. Namun, aku menyadari bahwa sebanyak apapun aku belajar, aku tidak akan pernah bisa memahami Allah secara sempurna—aku punya terlalu banyak pertanyaan yang selalu kuajukan tentang dunia ini, tentang kehidupan, dan tentang Allah sendiri. Jadi, aku memutuskan untuk mengambil langkah iman dan memilih untuk percaya, karena sulit untuk tidak mempercayai pernyataan Kristus tentang identitasnya sebagai Anak Allah dan tentang penyaliban-Nya.

Orang bisa berpendapat bahwa menyerahkan diri kepada Kristus itu adalah pengorbanan yang sia-sia jika kelak ternyata Kristus bukanlah Allah yang sejati. Tetapi, sebenarnya jika Kristus ternyata adalah Allah, jika Dia adalah “jalan dan kebenaran dan hidup” sebagaimana yang Dia katakan, kerugian yang harus ditanggung karena tidak mengikuti Dia itu jauh lebih besar.

Seiring dengan bertumbuhnya pengenalanku akan Tuhan, aku mulai mengagumi keagungan-Nya. Dialah Pribadi yang menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Namun, karena kasih-Nya yang besar kepada manusia, Dia memilih untuk menebus kita yang berdosa dan memberi kita pengharapan akan keselamatan. Aku juga mulai melihat kasih Kristus kepada umat-Nya yang ditunjukkan melalui komunitas yang saling mengasihi.

Namun, imanku kepada Allah yang Mahakasih ini tergoncang hebat pada bulan Mei 2010, ketika pamanku yang lain meninggal dunia—juga dalam sebuah kecelakaan tabrak lari. Paman Richard sudah seperti ayah bagiku, ia menyayangiku seperti anak perempuannya sendiri, dan selalu ada bagiku pada saat-saat yang penting dalam hidupku. Sayangnya ia bukanlah seorang Kristen.

Sebagai orang yang sudah mengenal berita keselamatan, aku tahu bahwa kematian Paman Richard berarti kami akan terpisah selama-lamanya. Aku mulai menyesal karena kurang banyak membagikan imanku semasa ia masih hidup. Aku mulai marah kepada Tuhan, merasa Dia tidak memberiku cukup waktu. Aku mulai bertanya: Mengapa Allah lagi-lagi membiarkan seorang yang begitu baik meninggal seperti ini? Jika Allah itu adil, bukankah seharusnya Dia tidak mengizinkan penderitaan dan ketidakadilan terjadi? Pertanyaan demi pertanyaan ini sangat menggangguku dan aku hampir saja meninggalkan imanku.

Pada bulan itu juga, dalam kamp yang diadakan gereja, aku membaca Yohanes 3:16-18 dalam Waktu Teduh-ku.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.

Merenungkan bagian firman Tuhan ini, aku tertegun menyadari betapa besarnya kasih Allah. Kasih itulah yang membuat-Nya mengaruniakan Anak-Nya yang terkasih untuk mati di atas kayu salib—betapa besar derita yang harus ditanggung Allah. Jelas Dia sangat mengerti apa yang aku rasakan saat kehilangan pamanku.

Dengan pemahaman yang baru tentang apa yang telah dilakukan Allah, sekali lagi aku berdoa untuk menerima Yesus dalam hidupku. Aku memperbarui komitmenku untuk mengenal Kristus. Dan perlahan-lahan, aku mulai memahami hati-Nya untuk manusia yang terhilang. Dalam Yohanes 10:16 misalnya, aku belajar bahwa Allah menghendaki domba-domba lain juga menjadi bagian dari kawanan domba-Nya:

“Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.”

Melalui perumpamaan Yesus yang dicatat Lukas 15:5-7, aku mengerti bahwa Tuhan bersukacita untuk setiap orang yang menerima keselamatan:

“Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan. Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.”

Aku rindu untuk menjalani hidup lebih dekat dengan Bapaku yang di surga, dan aku berdoa agar aku akan bertumbuh untuk bisa makin sungguh-sungguh mendengarkan suara-Nya dan mengikuti Dia. Aku juga berdoa agar hidupku dapat dipakai-Nya untuk membawa banyak orang lain mengenal Dia.

Sahabatku, Keluargaku

Artikel oleh: Yosua Andreas
Ilustrasi oleh: Armitze Ghazali

Sahabatku-Keluargaku

Setahun menghirup udara Jatinangor membuatku makin menghargai dan mensyukuri kehadiran sahabat-sahabat seiman. Masih lekat dalam ingatan saat pertama kali aku menginjakkan kaki di kampus Unpad sebagai anak rantau yang menargetkan sukses di tanah orang. Hari itu hari pertama Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek). Pagi-pagi benar aku harus berangkat ke kampus. Tidak ada orang yang kukenal saat itu, perasaanku campur aduk.

Tanpa diduga, beberapa orang teman baru menyambutku dengan ramah. Mereka memperkenalkan diri sebagai Komunitas Mahasiswa Protestan Katolik (KMPK) di kampusku. Aku sangat terkesan. Keramahan mereka menyambutku membuatku segera merasa nyaman di tempat yang baru. Tak hanya saat Ospek, mereka terus menjadi teman yang baik selama aku kuliah.

Teman-teman dari KMPK ini berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Jelas kami punya banyak perbedaan. Tiap orang unik, karakternya beda-beda. Namun, kasih Kristus mengikat kami.

Rutinitas untuk kuliah dan mengerjakan tugas tiap hari kadang terasa berat dan melelahkan. Kehadiran KMPK ibarat aliran air yang menyegarkan pikiran dan jiwaku, karena mereka selalu mendorongku untuk berakar dan bertumbuh di dalam pengenalan akan Tuhan. Kami mengerjakan tugas bersama, bermain bersama, menanggung susah senang bersama, melayani Tuhan bersama. Kami merayakan ulang tahun bersama. Kami saling mendukung dan mengingatkan agar hidup kami menjadi garam dan terang bagi sesama. Meski kami jauh dari keluarga masing-masing, kami merasa sudah seperti keluarga bagi satu sama lain.

Kelihatannya mungkin sepele. Memperhatikan teman. Merayakan ulang tahun. Mendengarkan keluh kesah. Mendoakan. Menemani belajar bersama. Makan bersama. Membaca dan merenungkan firman Tuhan bersama. Hal-hal yang tampak kecil di sela rutinitas sehari-hari. Akan tetapi melalui hal-hal kecil itu, aku ditolong untuk makin mengenal Tuhan dan bertumbuh dalam karakterku. Aku bahkan juga melihat banyak teman yang mengalami hal serupa.

Betapa aku bersyukur untuk KMPK. Abang, kakak, adik, sahabat-sahabat yang sudah seperti keluarga bagiku. Mereka mengajariku apa artinya hidup baru sebagai orang yang telah dikuduskan dan dikasihi Allah (Kolose 3:12-17).

 
Untuk direnungkan lebih lanjut
Berada dalam sebuah komunitas yang menunjukkan kasih Kristus secara nyata dapat membuat perbedaan dalam hidup seseorang. Bagaimana kamu dapat memulai komunitas semacam itu di lingkungan sekolah, kampus, atau tempat kerjamu?

Persahabatan Semu

Renungan-Khusus-Persahabatan-dan-Cinta-Hari02

Baca: Yohanes 15:9-17

15:9 “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu.

15:10 Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.

15:11 Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.

15:12 Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.

15:13 Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.

15:14 Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.

15:15 Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.

15:16 Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.

15:17 Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”

 

Belum lama ini, aku menerima telepon dari seseorang yang suaranya sangat bersahabat. Ia menyapa nama kecilku dan dengan hangat menanyakan kabarku hari itu. Kemudian, ia memberi tahu bahwa ia dapat menolongku menghemat jutaan rupiah dalam setahun jika aku mau memperbarui kredit rumahku dengan perusahaan tertentu. Namun, begitu ia menangkap bahwa aku tidak tertarik dengan tawaran itu, keakrabannya pun menguap.

Sering kali, berpura-pura akrab sudah dianggap sebagai sikap yang seharusnya ditunjukkan untuk membuat orang lain terkesan atau untuk mendapatkan sesuatu dari mereka. Betapa kontrasnya sikap yang mementingkan diri sendiri itu dengan persahabatan sejati yang dinyatakan Yesus kepada kita. Dia berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Lalu Dia menunjukkan kasih yang rela mengorbankan diri, dengan mati di kayu salib untuk mengampuni dosa-dosa kita.

Saat mempercayai Yesus sebagai Juruselamat dan belajar menaati-Nya, kita akan menjadi sahabat-Nya. Mengalami persahabatan dengan Yesus akan menolong kita untuk dengan sungguh-sungguh dan tulus menunjukkan sikap bersahabat kepada sesama.

Tuhan, tolonglah kami untuk tidak menunjukkan sikap bersahabat yang semu demi memperoleh apa yang kami inginkan dari orang lain. Ajar kami untuk memancarkan hangatnya sikap bersahabat yang serupa Kristus kepada setiap orang yang kami temui.—DCE
 

Sikap bersahabat yang tulus dapat membawa orang mendekat kepada Kristus.

 
Untuk direnungkan lebih lanjut:
Pernahkah kamu “memanfaatkan” orang lain untuk mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan? Apa artinya seseorang “memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” dalam kehidupan sehari-hari?