Posts

Pahamilah Arti Kasih yang Sejati

Oleh Alvin Nursalim, Jakarta

Sang bapak terlihat lelah, namun semangatnya tidak hilang. Dia mengambil nasi bungkus yang dibelinya di warung di depan rumah sakit dan mencuri waktu untuk makan di samping tempat tidur anaknya. Ketika anaknya mengerang kesakitan, dia dengan sabar mengucapkan kata-kata penyemangat sembari mengelus tangan sang anak.

Bapak itu bukan orang yang asing dengan rumah sakit. Sejak anaknya kecil, dia sudah rutin bolak-balik ke rumah sakit. Anaknya menderita hemofilia, gangguan darah yang mengakibatkan tubuh mudah mengalami pendarahan. Salah satu efek dari penyakit ini adalah gangguan pada sendi-sendi tubuh. Kala si anak beranjak dewasa, penyakit ini tidak sirna, malah serangan pendarahan yang nyeri semakin sering terjanji. Nyeri ini semakin sering jika obat khusus yang menolong pembekuan darah terlambat disuntikkan.

Walau demikian, kedua orangtua dari si anak setia mendampingi proses perawatannya. Sang bapak bukan dari kalangan berada. Proses perawatan dilakukan di bangsal kelas tiga, yang berisi enam pasien dalam satu kamar, bukanlah kondisi yang nyaman bagi pasien dan keluarga yang menjaga. Tetapi, sang ayah rela mengorbankan waktu dan kenyamanannya. Dia bersama istrinya terkadang meringkuk di karpet tipis di samping ranjang.

Begitu besar kasih sayang orangtua pada anaknya. Sakit yang diderita sang anak menjadi kesakitan yang nyata pula, yang turut menyakiti orangtuanya.

* * *

Tiga paragraf di atas adalah sepenggal dari banyak kisah yang kusaksikan dalam keseharianku di rumah sakit. Kala itu aku sedang belajar menjadi dokter dan pengalaman-pengalaman itu membuatku menyadari bahwa yang paling penting selama pendidikanku menjadi seorang dokter bukanlah teori-teori kedokteran, tetapi bagaimana aku bisa berbagi nilai kasih sayang dan kemanusiaan kepada sesamaku.

Kisah sang bapak yang menyayangi anaknya itu menggemakan kembali ingatanku akan kisah yang tertulis dalam Lukas 15, kisah tentang seorang anak yang mengambil harta warisannya, lalu pergi berfoya-foya. Ketika hartanya habis, ia pun mengalami kesusahan. Segala cara ditempuhnya untuk bertahan hidup, sampai akhirnya dia teringat betapa nyamannya kehidupannya dahulu di rumah ayahnya. Dia lantas memberanikan diri untuk pulang. Respons yang mengejutkan terjadi di sini: alih-alih mengusir sang anak karena merasa sakit hati, sang ayah malah menyambutnya dengan pelukan hangat.

Sosok ayah dalam perumpamaan tersebut hendak menunjukkan pada kita akan besarnya kasih Allah. Jika kita bicara tentang Allah, kita tentu akan bicara pula tentang kasih, sebab Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:8). Kasih Allah begitu panjang, lebar, dalam, dan tak terselami oleh pemikiran kita. Dan, kasih Allah itu adalah kasih yang kekal dan tidak berubah. Kendati kita seringkali terhilang seperti si anak bungsu yang berfoya-foya, Allah tidak mencampakkan kita. Dia menyambut kita bilamana kita bersedia berpaling dari cara hidup kita yang sesat.

Namun, mungkin yang menjadi pertanyaan kita adalah: bagaimana mungkin kita bisa mempraktikkan kasih yang mulia, seperti yang diteladankan oleh Allah sendiri?

Alkitab dalam 1 Korintus 13:4-8 memberikan gambaran yang lebih spesifik dari kasih yang bisa kita wujud nyatakan:

“Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.”

Bagiku pribadi, ayat ini terasa begitu dalam. Aku sendiri merenungkan: apakah bisa manusia dengan segala kekurangannya mengasihi dengan standar tersebut? Secara manusiawi mungkin kita berkata mustahil, tetapi sebagai orang yang telah ditebus oleh Kristus, meneladani kasih tersebut bukanlah kemustahilan, sebab barangsiapa di dalam Kristus ia adalah ciptaan baru (2 Korintus 5:17). Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk hidup kudus dan sesuai dengan kehendak-Nya.

Ketika ayat di atas berkata bahwa kasih itu tidak cemburu, kita bisa menerapkannya dalam langkah yang sederhana, semisal tidak membiarkan diri kita jatuh pada iri hati dan tidak puas ketika melihat postingan seorang teman di media sosial.

Ketika ayat di atas berkata bahwa kasih tidak bermegah diri dan sombong, kita bisa menahan diri untuk memamerkan pencapaian-pencapaian kita.

Ketika ayat di atas berkata bahwa kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri, kita bisa menawarkan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan, kendati mungkin saat itu kita sendiri merasa lelah atau kekurangan.

Sedikit tindakan kasih yang kita lakukan tentulah tidak sebanding dengan apa yang Allah telah berikan pada kita, tetapi tindakan kasih itulah yang menunjukkan pada dunia bahwa kita telah dikasihi lebih dulu oleh Allah, dan Dia jugalah yang memampukan kita untuk meneruskan kasih itu kepada sesama kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Saat Hidup Tidak Terasa Wah

Suatu pertanyaan membekas di hatiku: sungguhkah aku telah berubah? Hidupku tidak terasa wah dan aku jadi gelisah. Namun, lewat satu pertemuan dengan kakak rohaniku, Tuhan memberiku jawaban.

Tidak Sempurna, Tetapi Diberikan-Nya Tepat Buatku

Oleh Wisud Yohana Sianturi, Sidikalang
Foto diambil dari Pexels

Cerita antara aku dan ayahku bisa dibilang bukanlah kisah romantis. Hubunganku dengan ayah tidak terlalu dekat karena trauma masa kecil yang masih membekas, tetapi aku bisa memahami kasihnya.

Sehari-harinya, aku memanggil ayah dengan sebutan “bapak”. Dia orang yang tegas dan cukup keras. Ketika kecil, bapak pernah memukulku di depan banyak orang. Ketika aku beranjak besar, dia beberapa kali menolak memberiku uang jajan, sehingga untuk memenuhi kebutuhanku waktu itu aku cuma berani minta ke ibuku. Kejadian-kejadian yang menurutku buruk itu sering kuingat, tapi bapak selalu berkata bahwa sikap kerasnya itu untuk mendidikku.

Sampai akhir hidup bapak, aku tidak menjalin relasi yang hangat dengannya. Kata-kata terakhir yang dia ucapkan padaku adalah, “Nang, pasti kau merasa aku tidak peduli kepadamu, cuek sama kamu. Tapi bapak sayang sama kamu, Nang.” Seketika air mataku pecah. Aku menyesal, tidak bisa lagi menjalani hari-hari dengan melihat wajahnya.

Dalam penyesalan itu, aku bilang pada ibuku kalau aku mau berhenti berdoa dan beribadah, tapi ibuku menjawab, “Tuhan itu tidak pernah berbuat buruk. Tuhan selalu berlaku baik. Apa pun itu pasti untuk kebaikan.”

Sepeninggal bapak, aku melanjutkan kuliahku dan aku jadi sering merenungkan kebaikan bapak yang selama ini kuabaikan. Memang bapak tidak pandai mengutarakan kasih sayangnya. Tapi aku ingat, pernah suatu kali, ketika aku berangkat ke luar kota untuk melanjutkan studi, sekilas aku melihat bapak menghapus air matanya. Dia lalu masuk ke mobil tanpa melihatku lagi. Aku mengabaikan air matanya, malah berfokus pada bapak yang melengos saja masuk ke mobil tanpa melihatku lebih lama.

Sampai suatu ketika, ibuku pun pergi menyusul bapak di surga. Kakakku lalu bercerita tentang masa-masa kecilku, saat dia bertugas menjagaku. “Aku ingat dulu waktu kamu kecil, aku harus menghabiskan makanan sisamu, karena kalau nggak, aku pasti kena marah sama amangboru dan namboru. Karena si Wisud ini ga banyak makan, ga boleh ada nasi yang sisa. Udah gitu harus lengkap makanannya: harus pakai wortel, ikan, digiling lagi. Setiap hari pasti ditanya nasinya habis atau gak, terus dilihat benar habis atau gaknya.” Aku tertawa mendengar cerita itu, tapi hatiku menangis. Aku menyesal baru mendengarnya sekarang, bukan ketika bapak dan ibu masih ada di bumi ini. Tetapi, aku bersyukur tetap bisa mendengar kisah ini yang akhirnya mengubah cara pandangku. Momen ini adalah titik balik aku memahami bagaimana bapak menyayangiku, sebagaimana Bapa di surga pun memelihara hidupku.

Rasa ego dan kepahitan yang kupendam membuatku buta akan kasih sayang yang sejatinya tercurah dari bapakku. Ketika aku merasa trauma karena dipukul sewaktu kecil, aku tidak mau mengerti bahwa ada alasan di balik tindakan bapak itu. Saat itu aku berteriak keras memanggil ibu untuk meminta kunci rumah, padahal aku bisa menemuinya langsung tanpa berteriak. Untuk mendidikku, bapak memukulku. Ada momen-momen ketika aku tidak mengerti alasan di balik tindakan bapak, yang kulakukan bukannya mempercayai bahwa dia bertujuan baik, malahan aku sibuk menyusun daftar kepahitan dalam hatiku.

Ada banyak kebaikan bapak yang tak bisa kuceritakan satu-satu, sebagaimana dia juga banyak berbuat salah karena dia hanyalah manusia biasa. Tetapi, aku menyayanginya. Aku tak bisa mengatakan itu ketika dia masih ada di dunia, tetapi dalam hatiku dan doaku, aku kini mengatakannya.

Kasih bapakku tidak sempurna, tetapi kasih Allah Bapa menyempurnakannya. Kepada Allah, aku mengucap syukur untuk kedua orangtuaku. Mereka tidak sempurna, tetapi merekalah orangtua yang tepat buatku.

Semoga kesaksian sederhana ini dapat menolong kita untuk semakin mengasihi orangtua kita, juga memaafkan kesalahan yang pernah mereka lakukan. Kesalahan mereka bukan kepastian bahwa mereka tidak mengasihi kita, mungkin kita cuma tidak mengerti atau tidak mau mengerti alasan mereka melakukannya.

Tuhan Yesus memberkati.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Diam, Tak Bisa Melawan

Ketika aku dihina karena penampilan fisikku, aku sempat kecewa pada Tuhan . Tetapi kemudian, rasa sakit itu digantikan-Nya dengan perasaan kagum: bahwa cara Allah memandangku tidaklah sama dengan cara dunia.

Mendambakan Kasih Seorang Ayah

Oleh: J. Leng, Malaysia,
(Artikel asli dalam Simplified Chinese: 从无到有的父爱)

Craving a Father's Love

Setiap kali melihat ada ayah dan anak yang bisa mengobrol dan bercanda dengan akrabnya, aku selalu merasa agak iri. Aku tidak pernah punya kenangan seindah itu. Ketika aku berusia 11 tahun, kedua orangtuaku bercerai karena ayahku berselingkuh. Menurut ibuku, ayah tidak menginginkan hak pengasuhan atas kami karena ia tidak suka anak-anak. Ketika ayah menikah lagi, ia pun tidak memiliki anak samasekali.

Aku dan kakak perempuanku dibesarkan oleh ibu. Hubungan kami dengan ayah sangat minimal, kebanyakan hanya untuk meminta uang saku. Kadang-kadang saja ia berbasa-basi menanyakan kabar kami. Ia sangat jarang mengajak kami keluar untuk makan malam atau meluangkan waktu bersama kami. Yang namanya “kasih ayah” tidak pernah benar-benar bisa kami alami di sepanjang tahun-tahun pertumbuhan kami.

Aku bisa merasakan bahwa ibu sinis dan benci kepada ayah setelah perceraian itu, terutama dari cara bicaranya setiap kali menyebut ayah. Ia kerap mengingatkan aku dan kakakku untuk tidak menjalin hubungan dengan pria yang seperti ayah.

Apa yang ia katakan tahun demi tahun, ditambah pengalamanku sendiri dalam berinteraksi dengan ayah, membuat aku kemudian merasakan hal serupa. Aku merasa ayah menghindari tanggung jawabnya terhadap keluarga. Ia hanya menunjukkan tanggung jawabnya hanya bila sudah tidak ada pilihan lain.

Perlahan-lahan, aku juga mulai percaya bahwa semua laki-laki pada umumnya tidak dapat diandalkan dan tidak dapat dipercaya. Sama seperti ibu, aku memandang rendah ayahku.

Aku ingat suatu kali saat liburan SMA, aku minta tolong ayah untuk membantuku pindah dari asrama. Ia tidak muncul. Akhirnya, aku terpaksa mengangkut semuanya sendirian dengan pertolongan beberapa teman.

Ketika aku masuk universitas, ayah berkata bahwa ia tidak sanggup membayari biaya kuliahku secara penuh, dan memintaku untuk mencari jalan keluar sendiri. Aku sangat kecewa kepadanya. Itu adalah masa-masa yang paling sulit dalam hidupku—aku sendirian di tempat asing, dan tidak tahu harus minta tolong kepada siapa.

Tertekan karena tidak bisa membayar uang sekolah, aku mengalami depresi. Pada saat itu aku merasa tidak ada bedanya aku punya ayah atau tidak. Aku harus menjalankan beberapa pekerjaan paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Dan aku merasa semua kesulitan yang kuhadapi itu disebabkan oleh ayah.

Namun, pada masa-masa itu jugalah aku mengenal Yesus dan menerima anugerah keselamatan-Nya.

Dalam Matius 11:28 aku membaca, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Selain itu, Ulangan 31:8 berkata, “Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.”

Kedua ayat ini sangat menghiburku. Allah menyadarkanku bahwa aku tidak perlu menanggung semua beban sendirian. Aku dapat mempercayakan semua kekhawatiran dan ketakutanku kepada Tuhan, yang dapat diandalkan. Mungkin aku bahkan perlu berterima kasih kepada ayahku karena situasi yang disebabkannya membuatku aku akhirnya percaya kepada Tuhan.

Setelah aku menjadi seorang Kristen, aku mulai belajar bagaimana membangun hubungan dengan Allah, dan secara bertahap mulai memahami kasih Bapa di surga yang luar biasa. Salah satu kekecewaan terbesar dalam hidupku adalah tidak bisa mengalami kasih seorang ayah, namun kini aku mendapatkan kasih terbesar yang bisa diberikan seorang ayah, yaitu kasih dari Bapaku yang di surga.

Melalui doa dan pembacaan Alkitab, aku juga mulai memahami kehendak Allah bagiku dalam Matius 6:15, “Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”

Jujur saja, mengampuni ayah yang telah menggoreskan luka dalam hidupku, bukanlah hal yang mudah. Tetapi setiap hari, aku memohon agar Allah memampukanku untuk memahami dan memaafkan ayahku. Meski tidak mudah, Allah menghendaki kita tidak hanya berdamai dengan-Nya, tetapi juga dengan sesama kita.