Posts

Komik Strip Mr. Bilbo: Love Story

Oleh Rizky Prima

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23)

Curhat: Kasih Tak Sampai

Oleh Reza Adipratama

“Kali ini Fey mau membacakan kiriman dari seorang pendengar Care FM, Zizi.”

“Entah berapa kali lagi aku harus pindah gereja. Aku cuma pengen cari keluarga. Orang yang care satu sama lain. Tapi, kenapa ya, aku nggak bisa nemuin itu ? Kemarin, sempet senang juga sih, waktu nemuin suasana kekeluargaan di komunitas youth sebuah gereja.

“Ni aku mau dibawa kemana ? Ruangannya kok gelap banget sih…” tanya Oshin.

Tiba-tiba aja…

“Happy birthday to you… Happy birthday to you..” ujar teman-teman di komunitas youth itu.

“Wow! Mereka care banget sama teman mereka. Ini dia ‘keluarga’ yang aku cari-cari! Sayang banget kalo cuma aku aja yang bergabung di situ. Yup! Aku mulai rajin cari jiwa. Jiwa-jiwa baru itu pun, rajin datang ke acara youth. Mereka betah persekutuan di sana. Aku senang karenanya. Bukan hanya itu. Kadang, aku juga mengcover kekurangan anak-anak. Tatkala ada yang menyendiri dan merasa terasing, aku yang menemani mereka. Mengajak mereka ngobrol biar mereka homy. Aku juga pernah ngadain ulang tahun buat salah satu anak youth yang baru aja bergabung. Supaya mereka merasa mereka punya saudara di sini. Namun, lama-kelamaan semangat itu memudar.

“Satu, dua, tiga. Asyik, 3 hari lagi aku ulang tahun. Menurut kebiasaan teman-teman sih, Minggu besok aku bakal dapat kejutan dari mereka. Hmm… jadi nggak sabar nunggu !!” khayalku.

Hari pun berganti dan akhirnya, saat yang dinanti-nantipun tiba. Tanggal 27 Mei.

“Zi, jangan lupa lho besok Sabtu kita ada rapat. Dateng ya, daag… ” ujar Sarah anak youth terakhir yang kutemui habis kebaktian.

Aku cuma melongo. What? Cuma begitu aja? Nggak, nggak mungkin! Pasti ini trik mereka buat ngerjain aku. Liat aja, bentar lagi mereka bakal bawain kue ulang tahun buat aku. Aku menunggu hingga semua orang sudah pulang. Aku menanti di depan pintu lift.

Satu menit.

Dua menit.

Lima belas menit pun berlalu. Namun, tidak terjadi apa-apa. Tidak ada teriakan, ”Surprise!!” Apalagi kue ulang tahun. Ya ampun. Aku pulang dengan perasaan gondok. Kirain mereka akan mengingat ulang tahunku. Secara, aku ini aktivis gereja gitu loh. Ternyata, aku nggak penting di mata mereka. Ini dosa mereka yang kesekian. Selama di persekutuan, aku juga dicuekin sama mereka. Nggak pernah di ajak ngomong, apalagi disapa. Biasalah, nge-gank!

Waktu pun berlalu. Hingga akhirnya ada seorang cowok yang nembak aku. Meski beda keyakinan, dia itu care banget sama aku. Lama kelamaan, aku bisa melupakan kekecewaanku. Dan kayaknya, Aku mulai tertarik sama keyakinan cowokku itu. Karena kasih itu nyata di dirinya.

Kristen dan kasih. Huh ! Udah basi tau!?! Katanya ini tahun belas kasih dan kepedulian. Mana buktinya ? Dari: Zizi the stranger.”

“Okey, itu tadi curhatan dari Zizi. Mungkin ada teman-teman yang punya solusi atau komentar buat Zizi; Fey tunggu ya jawaban teman-teman. Tetep stay tune di ‘Aku Peduli’ Care Radio Karena Kamu Begitu Berharga”

Kamu punya solusi atau komentar buat Zizi? Ayo bagikan di kolom komentar di bawah ini!

Ibadah Sejati

Kamis, 26 April 2012

Ibadah Sejati

Baca: Yakobus 1:19-27

Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia. —Yakobus 1:27

Baru-baru ini saya melihat suatu iklan dari merek pakaian yang ditujukan untuk kawula muda. Merek ini terdiri dari blue jeans dan aksesoris yang dirancang untuk melengkapinya. Semua ini tidaklah unik. Namun merek pakaian ini, yaitu “True Religion” (ibadah sejati) membuat saya berhenti sejenak dan berpikir. Mengapa nama itu yang dipilih? Apakah saya harus memahaminya lebih jauh dari sekadar nama? Apa kaitan antara merek jeans itu dengan ibadah yang sejati? Apa maksud mereka menggunakan nama itu? Pemikiran saya itu menimbulkan banyak pertanyaan yang saya sendiri tidak tahu jawabannya.

Saya bersyukur, kitab Yakobus berbicara dengan jelas ketika menjabarkan tentang ibadah atau iman yang sejati: “Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia” (1:27). Sungguh menyegarkan. “Ibadah sejati” atau iman yang murni merupakan ungkapan dari cara kita berhubungan dengan Allah kita. Salah satu bukti dari identitas kita yang baru dalam Kristus adalah cara kita memperhatikan seorang dengan yang lain—dengan jalan menjangkau sesama kita yang paling lemah dan rentan, serta melakukannya bagi mereka yang sangat butuh pertolongan.

Ibadah sejati bukanlah suatu pakaian yang dapat kita pakai, lalu lepas. Ibadah sejati merupakan suatu tantangan yang mulia terhadap cara hidup kita di hadapan Allah yang Mahakudus dan di hadapan sesama. —WEC

Ibadah sejati adalah mengenal
Kasih yang Kristus berikan;
Ibadah sejati adalah menunjukkan
Kasih-Nya bagi yang berbeban berat. —D. De Haan

Ibadah Anda terlihat bukan karena Anda memamerkannya, tetapi karena Anda menghidupinya sehari-hari.

Terlalu Ringan Tangan?

Sabtu, 7 April 2012

Terlalu Ringan Tangan?

Baca: 1 Korintus 13:4-8

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah apakah jalanku serong. —Mazmur 139:23-24<

Mungkinkah kita bersikap terlalu ringan tangan? Mungkinkah pertolongan kita justru membuat hidup orang lain menjadi lebih sulit? Bisa saja, ketika sikap kita ternyata mempersulit, mengekang, mengganggu, memanipulasi, atau mengendalikan hidup orang itu. Jika bantuan yang kita berikan hanya didorong oleh kecemasan diri kita, bisa jadi yang kita ringankan hanya beban kita sendiri.

Lalu bagaimana kita mengetahui bahwa hati dan tindakan pelayanan kita benar-benar menjadi gambaran kasih Allah yang tanpa pamrih? Bagaimana kita bisa mengasihi dengan motivasi yang murni? (Ams. 16:2; 21:2; 1 Kor. 4:5).

Dalam doa, kita bisa meminta Allah untuk menunjukkan kepada kita dalam cara apa kita telah menyakiti atau menghalangi orang lain (Mzm. 139:23-24). Kita dapat meminta Allah untuk membantu kita menunjukkan kasih yang “sabar; . . . murah hati; . . . tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain” (1 Kor. 13:4-5).

Upaya kita untuk menolong orang lain, terutama yang paling kita kasihi, tak akan pernah sepenuhnya bebas dari kecemasan. Namun oleh anugerah Allah, kita bisa mulai mengasihi dengan bebas tanpa pamrih, sebagaimana Allah mengasihi. Tentu saja, pertumbuhan kita dinilai dan diukur dari cara kita bereaksi ketika “pertolongan” yang kita berikan tak dianggap atau tak mendapat balasan (lih. Luk. 14:12-14).

Tuhan, tolonglah kami untuk mengasihi dengan motivasi yang murni dan untuk kebaikan orang lain. Tolong kami untuk mengasihi tanpa pamrih, dengan tidak mengharapkan balasan apa pun. —DHR

Tolong aku, Tuhan, dalam segala yang kulakukan
Untuk bertindak dan berpikir dengan motivasi murni;
Dan oleh kasih-Mu ungkapkanlah kepadaku
Dosa yang hanya terlihat oleh mata-Mu. —D. De Haan

Kiranya kerinduan kita untuk menolong diwujudkan dalam kasih dengan motivasi yang murni.

Yang Terutama

Senin, 12 Maret 2012

Baca: Matius 22:34-40

“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. —Matius 22:37-38

Hal apa yang terutama dalam dunia olahraga? Apakah kejuaraannya? Rekor? Piala? Di Palestra, arena basket di Universitas Pennsylvania, ada sebuah plakat yang memberikan sudut pandang berbeda tentang hal yang terutama dalam olahraga. Tertulis: “Memenangi pertandingan adalah hal yang baik. Terlibat dalam permainannya adalah hal yang hebat. Namun mencintai permainannya adalah yang terutama dari segalanya.” Hal ini kembali mengingatkan kita bahwa sesungguhnya, olahraga adalah permainan yang kita mainkan dengan sukacita ketika kita masih kanak-kanak.

Seorang pemimpin agama pernah bertanya kepada Yesus tentang hal yang terutama: “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” (Mat. 22:36). Yesus menanggapinya dengan menantang si pemimpin untuk mengasihi, yakni mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Yesus berkata, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:37-39).

Apa pun yang digerakkan oleh iman kita di dalam Kristus untuk kita lakukan, tidak ada hal yang lebih utama selain menunjukkan kasih—karena kasih mengungkapkan sifat hati Bapa surgawi kita. Lagipula, “Allah adalah kasih” (1 Yoh. 4:8). Kita memang mudah teralihkan oleh hal-hal yang sepele, tetapi fokus kita haruslah tetap pada hal yang terutama, yaitu mengasihi Allah kita. Hal itu memampukan kita untuk mengasihi sesama. Tidak ada lagi yang lebih utama. —WEC

Ketika terkagum oleh kasih-Nya kepadaku,
Balas mengasihi-Nya menjadi doaku.
Aku mencari jawabannya dengan sungguh—
Mengasihi sesamaku itulah tugasku. —Verway

Bukti kasih kita kepada Allah adalah kita taat pada perintah-perintah-Nya.

Dingo Si Anjing

Selasa, 6 Maret 2012

Baca: Filipi 2:1-4

Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. —Filipi 2:4

Harry Tupper adalah seorang pemancing ikan legendaris di Idaho, Amerika Serikat, tempat saya tinggal. Ada suatu tempat di Danau Henry yang terletak di bagian timur Idaho yang menyandang namanya: “Tupper’s Hole” (Lubang Tupper).

Hal yang paling saya ingat tentang Harry, selain kemampuan langkanya untuk menangkap ikan besar di danau itu, adalah anjingnya, Dingo. Anjingnya itu hebat! Dingo biasa duduk di sisi Harry dalam perahunya dan mengawasi keadaan. Ketika ada ikan yang terpancing oleh Harry, Dingo akan menggonggong keras sampai ikan itu dimasukkan dalam jaring dan dilepaskan kembali.

Antusiasme Dingo mengajarkan saya sesuatu: Lebih baik merasa bersemangat dengan apa yang dilakukan orang lain daripada dengan apa yang kita lakukan.

Ketika membaca Filipi 2:4 dan memikirkan tentang Dingo, saya bertanya kepada diri sendiri: Apakah saya menyediakan waktu untuk memikirkan “kepentingan orang lain”? Apakah saya merasa bersemangat tentang apa yang dilakukan Allah dalam dan melalui diri seorang sahabat sama terhadap apa yang dilakukan-Nya dalam dan melalui diri saya? Apakah saya rindu melihat orang lain bertumbuh dalam kasih karunia dan berhasil, meski mungkin usaha saya yang menyebabkan keberhasilannya?

Kebesaran jiwa kita diukur dari hal ini, karena kita meneladani Allah ketika kita lebih memperhatikan sesama daripada kepada diri sendiri. Paulus mengatakannya dengan tepat: “Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri” (2:3). Apakah kita menjalani hidup seperti itu? —DHR

Kasih merasakan kesedihan sesama,
Kasih rindu memberi dukungan,
Dan kasih cepat untuk bersukacita
Atas setiap kabar baik. —D. De Haan

Hidup yang berkelimpahan adalah hidup yang dipenuhi kasih untuk Tuhan dan sesama.