Posts

Aku, Si Pembunuh yang Diberi Ampun dan Kesempatan Baru

Oleh Mayang*
*bukan nama sebenarnya

Jika kepada setiap orang ditanyakan dosa terberat apakah yang pernah mereka lakukan, kurasa akulah yang paling malu dan gentar untuk mengungkapkannya.

Masa muda yang seharusnya indah menjadi kelam karena dosa yang kulakukan. Saat itu aku duduk di bangku SMA dan berpacaran dengan seseorang. Tanpa benar-benar memikirkan akan risiko, aku dan pacarku melakukan hubungan intim. Setelah beberapa waktu, betapa kaget dan hancurnya aku ketika tahu bahwa aku hamil, terlebih lagi sikap pacarku yang posesif dan abusif membuatku merasa tidak mencintainya lagi, demikian juga sebaliknya. Aku berada pada dilema: apakah aku harus menikahi laki-laki itu dan mengizinkan anakku hidup? Atau, menggugurkannya? Aku memutuskan pilihan yang kedua. Hari ini, empat belas tahun kemudian, tanganku pun masih gemetar mengingat kejadian itu. Akulah si pembunuh yang seharusnya diganjar hukuman berat.

Setelah keputusan berat itu kuambil, aku memutuskan untuk melarikan diri. Aku meninggalkan mantan pacarku. Aku pergi ke kota yang lain dengan alasan melanjutkan pendidikan, padahal jauh dalam lubuk hatiku aku sadar bahwa itu adalah pelarian. Aku berusaha lari dari kenyataan bahwa aku adalah pembunuh dan aku mencoba menjalani hidup dengan tidak berharap sama sekali bahwa aku akan menjadi manusia yang baik. Dalam bayanganku, aku akan kembali jatuh dalam seks bebas dan dunia malam di kota metropolitan. Begitulah aku memberikan harga pada diri dan masa depanku.

Namun, dalam pelarianku itu ternyata Tuhan menangkap dan memenangkan aku. Tuhan bahkan tidak membiarkan aku menyentuh gemerlap dunia di kota itu. Dengan cara-Nya yang unik, Dia mengubahkan hidupku, mengizinkan aku mengenal Dia, membuat aku jatuh cinta pada-Nya. Aku yakin bahwa sejak semula Tuhan telah memilihkan kampus yang kujadikan tempat melanjutkan studi untuk aku bertemu dengan-Nya. Sebagai mahasiswa baru, aku diwajibkan memilih salah satu dari organisasi-organisasi kemahasiswaan yang ada sebagai syarat agar nanti aku dapat diwisuda. Setelah diskusi dengan teman baikku, kami memilih masuk organisasi kerohanian dengan pemikiran bahwa tidak akan banyak kegiatan yang menyita waktu kami sehingga kami bisa bersenang-senang. Ternyata pikiran kami meleset. Justru melalui organisasi inilah kami malah diinjili dan menerima Kristus. Dan kami ternyata harus mengikuti begitu banyak kegiatan yang menyita waktu kami, seolah Tuhan tidak membiarkan kami untuk terjerat dalam pergaulan lain yang salah. Melalui berbagai camp, seminar, fellowship, dan kelompok pemuridan selama 3 tahun kami menerima proses yang membuat kami terus dibaharui dan sungguh-sungguh menyerahkan hidup kami bagi Tuhan.

Tuhan Yesus menjagai aku dengan memberikan orang-orang baik yang mengasihi Dia di sekitarku. Aku tidak hanya mendapatkan teman, namun sahabat dan mentor yang mau berjalan bersama-sama dalam perjalanan rohaniku. Dua orang senior perempuanku bahkan membantu aku memulihkan diri dan berdamai dengan masa laluku. Melalui mereka aku belajar memiliki hati melayani yang benar. Tidak hanya itu, Tuhan memberikan aku kesempatan-kesempatan besar untuk melayani-Nya. Semua itu membuktikan apa yang dikatakan Daud dalam Mazmur 31 : 22 “Terpujilah Tuhan, sebab kasih setiaNya ditunjukkan-Nya kepadaku dengan ajaib pada waktu kesesakan”.

Namun pada suatu titik aku bertanya “Tuhan, dari sekian banyak perempuan muda di dunia ini, di negara ini, di kota ini, di kampus ini, mengapa aku yang adalah pembunuh ini yang Engkau pilih?”

Aku tidak menemukan jawaban spesifik untuk pertanyaan ini. Semua jawaban yang aku dapat terlalu umum. Sampai suatu hari, bertahun-tahun setelah itu, salah satu temanku memilih aku untuk menceritakan pergumulan hidupnya. Dia sedang berjuang untuk melepaskan laki-laki yang sudah terlanjur dia berikan segalanya. Dia begitu mencintai laki-laki itu sehingga tidak ingin kehilangan bahkan meski sudah diselingkuhi. Dia ada dalam bayangan kegelisahan kalau-kalau tidak lagi akan ada laki-laki lain yang dapat menerima dirinya. Terlebih dia juga ketakutan akan murka Tuhan yang mungkin akan dia terima sebagai balasan untuk dosa yang sudah dia lakukan. Dia terlalu malu untuk menyentuh Tuhan dalam doa, meskipun dia sangat sadar hanya Tuhan yang dapat menolong kehancurannya ini.

Keberaniannya menceritakan hal itu padaku membuat aku terbuka mengenai apa yang pernah aku lakukan di masa lalu. Aku pun bersaksi tentang bagaimana Yesus mau mengampuni dan memulihkan aku yang dosanya pun sama mengerikannya itu. Kisahku adalah aib yang memalukan, namun dengan pertolongan Roh Kudus, aku diberikan keberanian untuk menceritakan bagian paling bobrok dalam hidupku untuk temanku. Cerita itu kusampaikan bukan untuk menujukkan hebatnya diriku atau berbangga atas besarnya dosaku, tetapi kasih Allah jauh melampaui segalanya. Tak ada dosa yang terlalu kelam untuk disentuh dengan terang-Nya. Membagikan kisah kasih Allah itu membuatku merasakan sukacita yang luar biasa.

Setelah malam itu aku mengerti mengapa Tuhan memilih aku yang adalah seorang pembunuh ini untuk diselamatkan. Tuhan Yesus mau aku untuk jadi alat-Nya melayani perempuan-perempuan muda yang mengalami apa yang pernah aku alami. Dalam kehancuran dan kegagalanku, Dia mau dan mampu menatanya menjadi indah dan melayakkanku supaya setiap orang yang melihat dan mendengarkan aku yang jahat ini, dapat melihat dan mendengarkan Yesus yang penuh kasih itu.

Aku sangat bersyukur atas apa yang Yesus kerjakan dalam hidupku. Aku tidak dapat berbohong bahwa aku masih terus hidup dalam rasa bersalah dan penyesalan. Namun, rasa itu yang membuat aku mampu mengasihi banyak orang tanpa alasan. Rasa itu membuat aku tidak mampu untuk menyangkal unconditional love yang aku terima dari Tuhan, tidak peduli seberapa sulit pun hidup yang aku jalani.

Akibat perbuatanku itu jugalah sampai hari ini membuat aku kesulitan memulai sebuah hubungan baru dengan orang lain. Sulit bagiku untuk bisa percaya bahwa akan ada laki-laki baik yang mau menerima aku dengan masa laluku. Namun, aku bersyukur karena penerimaan Yesus sudah cukup bagiku. Aku akan tetap bersukacita seperti yang tertulis dalam Mazmur 13:6 “Tetapi aku, kepada kasih setiaMu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk Tuhan, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.

Kini aku sadar, melayani orang yang sedang berada dalam posisi terburukku adalah bagian dari panggilan hidupku.

Kulihat Betapa Baiknya Tuhan Melalui Sakitnya Papaku

Oleh Agustinus Ryanto

Tahun 2022 tak pernah kubayangkan akan semengerikan ini. Setelah serangkaian kejadian yang memahitkan hati, di akhir Maret kudapati telepon mendadak di tengah malam yang mengabariku kalau papaku yang bertubuh prima tanpa ada riwayat sakit apa pun kini tergolek tak berdaya, di batas antara hidup dan maut. Dia dilarikan ke ICU setelah kecelakaan tiga hari sebelumnya. Nyawanya ditopang oleh deru ventilator dan alat monitor jantung.

Telepon itu kuterima jam sebelas malam. Sudah tak ada lagi kendaraan antarkota yang bisa membawaku pulang ke. Sembari menunggu bus pertama yang akan berangkat jam lima subuh, pikiranku kacau. Tak menyangka apabila peristiwa yang musababnya terdengar konyol bisa menghancurkan hidup papaku. Kisah nahas ini bermula saat papaku beserta istri dan anaknya yang lain tengah berjalan-jalan di kompleks perumahan. Karena melihat ular, dia melompat dan terperosok ke selokan sedalam kira-kira tiga meter. Bonggol sendi yang menghubungkan tulang paha dan pinggangnya patah. Setelah serangkaian pengobatan non-medis yang dilakukan, keadaannya terus memburuk sehingga dia pun dilarikan ke ICU. Patah tulang itu turut membangkitkan penyakit lain dalam tubuhnya. Dia didiagnosis Pneumonia dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), komplikasi pada paru-paru yang diakibatkan paparan asap rokok dan polusi, juga infeksi pada ususnya.

Dua belas malam kuhabiskan menemaninya di tepi ranjang. Banyak orang datang memberiku penghiburan dan dukungan, tetapi itu tak menghilangkan rasa heran dalam benakku.

Papaku bukanlah orang yang dekat dengan Tuhan. Di balik tubuh tegapnya, dia memang seorang perokok berat yang bisa menghabiskan tiga bungkus rokok dalam sehari. Keluarga kami pun retak setelah keputusan papa untuk meninggalkan kami dan membangun hidup barunya bersama orang lain. Beberapa orang yang dulu pernah disakiti olehnya menyebut bahwa sakit ini adalah karma atas tindakan papa, tetapi hatiku menolak konsep itu.

Sungguhkah Tuhan menghukum papa dengan intensi untuk membalaskan dendam?

Cara pemulihan yang tak terbayangkan

Hingga hari ini, papaku masih tergolek lemah tak berdaya. Kondisi fisiknya yang telah membaik, kembali memburuk. Namun, pengalamanku selama 12 hari berada di sisinya memberiku sebuah pemahaman baru tentang apa itu pemulihan yang sejati, yang datangnya dari Sang Ilahi.

Dunia memaknai konsep pulih berdasarkan ekspektasi manusia. Yang rusak menjadi utuh. Yang hilang menjadi ditemukan. Yang sakit menjadi sembuh. Pemulihan yang setiap kita harapkan adalah sebuah keadaan yang secara kasat mata berbalik 180 derajat. Tetapi, tak selalu pemulihan itu memberikan hasil yang demikian. Alkitab mencatat akan kisah Lazarus yang sakit hingga ia pun meninggal.

Kabar sakitnya Lazarus telah disampaikan oleh Maria dan Marta. Mereka berseru, “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit.” (Yohanes 11:3). Kita bisa menerka bagaimana perasaan kedua wanita tersebut menghadapi saudara mereka yang kesakitan. Mungkin mereka panik, gusar, dan berharap agar mukjizat kesembuhan segera dinyatakan oleh Yesus. Ketika mendengar kabar itu, Yesus pun merespons. Kata-Nya, “Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan” (ayat 4). Alih-alih segera berangkat, Yesus malah sengaja tinggal dua hari lebih lama, dan ketika Dia tiba, Lazarus telah terbaring empat hari lamanya dalam kubur. Maria dan Marta mengungkapkan rasa sedih dan kecewanya pada Yesus dengan berkata, “Tuhan sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati” (ayat 21&32).

Yesus mengerti dukacita yang Maria dan Marta alami sehingga Dia pun turut menangis (ayat 35). Syahdan, mukjizat pun terjadi. Oleh kuasa-Nya, Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian. Kita tidak tahu bagaimana respons Maria dan Marta terhadap kebangkitan saudaranya itu sebab Alkitab tidak mencatat lebih detail. Tetapi, kebenaran yang kupetik dari kisah Lazarus ini begitu menguatkan hatiku.

Betapa Tuhan bekerja dengan cara-Nya sendiri yang tak mampu kita jelaskan dengan jalan pikiran kita. Pemulihan yang sejati, yang datang dari Tuhan bukanlah membalikkan keadaan agar sesuai dengan harapan dan kehendak kita, tetapi agar Allah dimuliakan dan kemuliaan-Nya itulah yang akan membawa orang-orang percaya kepada Dia yang diutus Bapa (ayat 42). Ada kalanya cara pemulihan-Nya membuat kita tak percaya. Mungkin Tuhan mengizinkan sakit berat, kehilangan, atau dukacita terjadi, tetapi jika itu adalah kehendak-Nya, maka biarlah itu terjadi, sebab kita tahu bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:16) dan segala jalan-jalan-Nya sempurna (Mzm 18:31). Bukan untuk membawa kecelakaan bagi kita, tetapi untuk mendatangkan kebaikan. Bukan sebagai karma dan hukuman agar kita menderita tak berdaya, tetapi sebagai dekapan kasih-Nya agar kita tahu bahwa di tengah dunia yang telah jatuh dalam dosa, segala hal buruk bisa menimpa, tetapi orang yang percaya dan dikasihi-Nya dipelihara-Nya selalu dalam segala musim kehidupan.

Di tengah malam, kala kuusap rambut papaku, kuajak dia berdoa dan bernyanyi. Dengan suara lemah dan tetesan air mata, dia mengikuti ucapan doaku. Dia yang menghilang jauh dari keluarga dan Tuhan Yesus, kembali mengucap lewat mulutnya bahwa Kristus adalah Juruselamat dan dia pun bersemangat untuk pulih, untuk kelak dalam tubuhnya memuliakan Tuhan.

Hingga hari ini papaku masih tergolek lemas di rumah sakit. Operasi telah dilakukan, bahkan sudah dibolehkan pulang, tetapi ada penyakit lain yang menggerogoti tubuhnya yang membuatnya kembali lagi dilarikan ke bangsal perawatan, dengan selang oksigen dan sonde yang masuk ke dalam tubuhnya.

Masa-masa ini sungguh tidak mudah, tidak hanya untuk papaku, bahkan untuk aku cerna juga. Rasanya seperti masuk ke dalam terowongan yang gelap dan aku belum bisa melihat cahaya di ujung sana. Namun satu yang aku percaya, apabila Tuhan berkenan memberikan kesembuhan saat ini juga, maka mudah bagi-Nya seperti membalikkan telapak tangan. Namun, apabila Dia mengizinkan papaku melewati proses yang lebih berat dan lama, maka aku percaya tentunya Tuhan punya maksud, dan maksud-Nya selalu baik. Jadilah kehendak-Nya di bumi seperti di surga. Hanya, kumohonkan dalam hati agar dalam segala keadaan, kami tak pernah melepaskan iman percaya kami kepada-Nya. Sebab iman itulah yang menjadikan kami hidup, dan iman itu jugalah yang kelak akan membawa kami menyaksikan kemuliaan-Nya dinyatakan bagi kami maupun semua orang yang percaya kepada-Nya.

Dua Arti Pawang Hujan Bagi Kita

Oleh Agustinus Ryanto

Dalam acara akbar, kadang ada saja kisah renyah yang lebih heboh daripada peristiwa utamanya. Di gelaran MotoGP Mandalika Minggu (20/03) lalu, perhatian publik tertuju pada Rara Isti Wulandari. Rara bukan pembalap, tapi seorang pawang hujan yang seketika terkenal karena aksinya memutar-mutar pengaduk pada mangkok sambil merapal doa muncul di banyak media.

Pro kontra pun bermunculan. Yang pro mengelu-ngelukan kesuksesan Rara, sementara yang kontra menganggap menggunakan jasa pawang hujan itu klenik, tidak berdasar sains, ritual kuno, dan lainnya.

Jika kita melihat sedikit pada peta sejarah, keberadaan pawang hujan di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara mengenal ritus Kadiano Ghuse, di Banten ada tradisi Nyarang Hujan, dan banyak lainnya. Kepulauan Nusantara ada di wilayah tropis dengan dua musim: hujan atau kemarau. Jika hujan datang, tanah akan berlumpur. Acara besar bisa terkendala. Oleh karena itulah jasa pawang hujan menjadi penting.

Okeh, meskipun sepertinya asyik kalau saja kita membahas bagaimana mekanisme atau cara kerja pawang hujan itu beraksi, tulisan ini tidak akan mengarah ke sana.

Terlepas dari pro dan kontranya, aksi pawang dan hujan bisa merefleksikan kita akan dua hal:

1. Alam semesta tidak sepenuhnya ada dalam kendali kita

Mengutip dari tulisan Masruri yang berjudul “12 Macam Ilmu Pawang Hujan”, sebenarnya pawang hujan tidak bertugas untuk melenyapkan hujan, tapi menggeser awan hujan (dengan ritual mereka) itu untuk menjatuhkan airnya di tempat lain. Intinya: hujan tetap jatuh. Atau, di negara lain yang lebih maju, ‘ritual’ memindahkan hujan ini bisa dilakukan dengan cara yang lebih saintifik. Mengutip dari CNN, perusahaan di Inggris bisa melakukannya, namun butuh waktu 6 minggu persiapan dan biayanya US$150,000 alias lebih dari dua milyar rupiah!

Alam semesta dengan segala siklus dan fenomenanya adalah karya Allah yang agung dan sungguh amat baik (Kejadian 1:31). Untuk menatalayani segala ciptaan itu, Allah lantas menciptakan manusia sebagai ciptaan yang diciptakan-Nya di hari terakhir. Allah memberikan berkat sekaligus mandat untuk beranak cucu, memenuhi dan menaklukkan bumi, dan berkuasa atas segala binatang (ayat 28). Namun, pemberian mandat ini tidaklah menghilangkan fakta bahwa kendati manusia memiliki kuasa, manusia bukanlah pemilik dari alam semesta ini. Allah adalah pemilik dan pencipta, kita adalah orang yang diutus untuk menatalayani ciptaan-Nya.

Alkitab memberi kita contoh-contoh menarik tentang bagaimana Allah menggunakan alam semesta untuk menunjukkan kasih-Nya bagi manusia. Dalam kisah Yunus, Allah mengizinkan badai hebat menghantam perahu yang sedang berlayar ke Tarsis. Ke dalam laut bergelora itu, Yunus diceburkan dan kemudian ditelan oleh ikan raksasa. Sekilas kisah ini terkesan ngeri. Kok Allah yang baik malah menginisiasi badai dahsyat dan ikan raksasa. Namun, jika kita lihat dari sisi kasih Allah, kehadiran badai ini adalah ‘penyelamat’ untuk meraih Yunus kembali dari pelariannya, yang akan semakin menjauhkan dia dari rencana dan kasih Allah. Untuk menyelamatkan nyawa Yunus dari amukan badai, syahdan hadirlah ikan raksasa yang menelannya, yang memberi perlindungan sementara sampai Yunus dimuntahkan. Tim Keller dalam bukunya “The Prodigal Prophet” menyebutkan bahwa berada dalam perut ikan itu memberikan Yunus kesempatan untuk ‘berjumpa’ kembali dengan Allah, menerima kembali panggilan-Nya, untuk kelak tiba pada tujuan-Nya: mempertobatkan Niniwe.

2. Hujan adalah rahmat bagi bumi dan kita

November 2021 lalu, dalam perjalananku motoran dari Jakarta ke Malang, aku meraih pemahaman baru tentang hujan. Perjalanan hampir 1000 kilometer itu kuawali dengan doa, “Tuhan, jangan hujan ya.” Ketika awan kelabu pekat sudah menggelayut, ucapan itu semakin santer aku daraskan. Hasilnya, hanya sedikit momen ketika aku berhasil melewati awan kelabu itu tanpa kebasahan.

Hingga suatu ketika, saat motorku tiba di daerah Cangar, Malang, aku menepi dan duduk di sebuah warung pinggir jalan. Jas hujan kulepas, dingin dan anyep kurasa, lalu kuseruput segelas air jahe.

Kulihat bulir-bulir air di atas rerumputan, dan kusesap aroma segarnya. Aku membatin: sebenarnya, hujan itu rahmat bagi bumi. Meski aku mengeluh karena jadi repot, tapi hujan itu justru memberi berkat bagi tanah, tumbuhan, juga makhluk lainnya. Dengan adanya hujan, tanah menjadi subur, tumbuhan terpenuhi nutrisinya, dan manusia pun mendapatkan air untuk kelangsungan hidupnya. Hujan bukanlah bencana. Apabila saat atau pasca hujan muncul bencana banjir atau longsor, kita bisa selidiki itu terjadi karena ada ulah manusia di dalamnya: perubahan iklim, alih fungsi lahan, penumpukan sampah di sungai, dan sebagainya.

Jika hujan adalah rahmat bagi dunia, lantas mengapa aku menolak berkat itu hanya demi kenyamanan pribadiku?

Dalam sisa perjalananku menyusuri pesisir selatan Jawa, kuubahlah ucapan hatiku: “Tuhan, jika hujan harus turun, turunlah. Ajarlah aku yang kerdil ini untuk menikmati apa pun yang diturunkan langit bagi segala ciptaan di atas bumi.”

Hujan pun turun, mengiringi perjalananku. Basah dan ribet karena aku harus copot-pasang jas hujan. Namun, pemahaman akan hujan yang adalah rahmat ini menjadikanku bersukacita atas tiap tetesan air yang Tuhan berikan.

***

Dalam perjalanan hidup kita, ada kalanya ‘hujan’ dalam berbagai kadar datang—entah itu gerimis, hujan sedang, sampai badai dan puting beliung. Namun, kita dapat mengingat bahwa kendati kita tak punya kuasa untuk memberhentikan hujan itu, kita punya Allah yang mengasihi dan menciptakan alam semesta. Dalam cakupan kasih-Nya, ‘hujan’ itu Dia berikan sebagai rahmat yang menyirami kita.

4 Hal Istimewa dari Kisah Yesus dan Perempuan Samaria

Oleh Paramytha Magdalena

Apa yang terlintas di pikiranmu saat mendengar Samaria?

Dari sebuah literatur yang kubaca, Samaria merupakan kata yang mengacu kepada tempat di wilayah pegunungan antara Galilea di utara dan Yudea di selatan. Orang-orang yang tinggal di sana disebut juga sebagai orang ‘Samaria’. Pada masa-masa pelayanan Yesus di bumi, orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.

Kalau kita menelisik lebih lagi, Alkitab mencatat dengan jelas bagaimana relasi antara orang Samaria dan Yahudi dalam kehidupan sehari-hari. Yohanes 4:9 menuliskan demikian: “Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.)”. Orang-orang Yahudi menganggap orang Samaria itu kafir atau ras tidak murni karena mereka melakukan perkawinan campur dengan bangsa lain.

Kisah orang Yahudi dan Samaria yang tercatat di Alkitab memunculkan paradoks, terlebih jika kita menyimak detail kisah pertemuan Yesus dengan seorang perempuan Samaria. Perempuan itu mengambil air sekitar tengah hari, mungkin maksudnya agar dia tidak berjumpa dengan banyak orang. Namun, dia malah berjumpa dengan Yesus, seorang Yahudi yang notabene bermusuhan dengan orang Samaria.

Respons Yesus kepada perempuan itu luar biasa. Alih-alih menjauhinya, Yesus malah meminta minum darinya. Di sinilah Yesus menunjukkan cinta dan kasih Tuhan yang manis itu.

Ada 4 hal istimewa yang kudapatkan dari pertemuan Perempuan Samaria dan Yesus.

1. Apa pun latar belakang kita, kita dicintai dan diterima oleh Yesus

Perempuan Samaria ini memiliki latar belakang dan perilaku yang bisa dikatakan buruk karena sering berganti pasangan. Bahkan pasangan yang saat itu bersama dengannya bukanlah suaminya (ayat 18). Jadi, bukanlah hal yang mengejutkan lagi jika sikap orang sekitarnya akan menjauhi atau bahkan memandang rendah. Akan tetapi, Yesus mau menemui secara pribadi dan menghampiri perempuan tersebut.

Betapa seringnya aku berpikir bahwa aku harus melakukan semua hal dengan baik dulu agar bisa merasa layak dikasihi dan diterima oleh-Nya. Yesus menerima kita bukan berdasarkan apa yang kita perbuat, tetapi karena kasih-Nya sajalah (Roma 5:10).

Perempuan Samaria ini tidak melakukan apa-apa untuk membuat Yesus tertarik menemuinya. Cinta dan penerimaan-Nya tidak berdasar pada moral, status sosial, latar belakang, pengalaman, maupun kegagalan seseorang. Kasih-Nya adalah sebuah pemberian dan anugerah. Jadi, setiap kita memiliki kesempatan yang sama untuk menikmatinya.

Apakah kita mau menerima cinta-Nya dan memberikan cinta kita pada-Nya?

2. Kita dicari, ditemukan, dan diselamatkan oleh Yesus

Perempuan Samaria menimba air di sumur saat siang hari. Ini bukanlah kebiasaan yang lazim. Ia menyadari keadaannya dan berusaha menghindari orang-orang dengan datang ke sumur ketika sedang sepi dari perempuan-perempuan lain. Namun, Yesus sengaja bertemu dengannya dan menawarkan air kehidupan yaitu keselamatan.

Ini mengingatkanku akan seberapa seringnya aku bersembunyi, menghindari, dan lari dari berbagai macam situasi, orang-orang, bahkan dari Tuhan karena besarnya perasaan malu dan ketidaklayakanku. Akan tetapi berita baiknya adalah Dia rela datang untuk menyelamatkan kita yang terhilang agar bisa diselamatkan (Yohanes 1:29). Tidak ada perlindungan teraman selain di dalam-Nya dan tidak ada tempat yang teramat sulit untuk Dia bisa menemukan kita. Asalkan kita mau diselamatkan oleh-Nya.

3. Tuhan rindu berelasi dengan kita

Ketika Yesus bertemu dengan perempuan Samaria, ada percakapan antara mereka berdua. Bagian ini menarik buatku karena dari sini aku melihat bahwa Yesus tidak sekadar datang ke dunia untuk menebus dosa, tetapi juga berelasi dengan manusia. Lewat percakapan sederhana itu, Dia mendengar apa yang jadi kerisauan umat-Nya.

Apakah tentang kejatuhan, kegagalan, ketakutan, atau yang lainnya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita mau bercakap-cakap denganNya? Dia siap mendengar dan menyegarkan kita dengan kebenaran-Nya.

4. Kita dapat mengakui dengan jujur isi hati kita

Dalam percakapan-Nya, Yesus menyuruh perempuan Samaria untuk memanggil suaminya, tetapi sang perempuan menjawab, “Aku tidak mempunyai suami” (ayat 17). Yesus lanjut merespons, “Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar” (ayat 18).

Coba kita perhatikan lagi ucapan Yesus. Kendati Yesus tahu bahwa perempuan Samaria itu bergonta-ganti pasangan, tetapi tidak ada penghakiman yang keluar dari mulut-Nya. Maksud Yesus di sini bukanlah dia membenarkan dosa yang diperbuat oleh sang perempuan, tetapi Dia hendak menunjukkan keselamatan yang sejati (ayat 21-24).

Sebelum sang perempuan mengakui identitasnya, Yesus telah tahu lebih dulu, tetapi Dia ingin kita mengakui dengan jujur dan rendah hati apa yang telah kita lakukan. Ini bukanlah demi kepentingan Tuhan, tapi demi kepentingan kita. Karena saat kita mengakui dengan jujur dan rendah hati kepada-Nya atas segala yang kita perbuat, dan kita menyadari kesalahan serta berbalik kepada-Nya, maka akan tersedia pemulihan dan pengampunan-Nya bagi kita.

Apakah kita mau mengakui bahwa kita telah berdosa dan membutuhkan anugerah kasih pengampunan-Nya setiap waktu?

Baca Juga:

4 Pertanyaan Penting Sebelum Memulai Hubungan yang Serius

Pernikahan adalah sesuatu yang aku inginkan sedari kecil, semenjak aku melihat dan mempelajari dari kedua orang tuaku tentang apa rasanya berada dalam pernikahan. Tapi sebelum memulai relasi yang mengarah ke sana, kuajukan dulu 4 pertanyaan ini pada diriku.

Ketika Aku Mencari Tahu Bobot Segumpal Awan

Ketika beban berat menghimpit, atau langit tampak kelabu, kita cenderung membiarkan diri kita kehilangan harapan. Padahal, Tuhan yang menciptakan kita telah berjanji bahwa Dia tahu apa yang kita sedang alami dan Dia akan menyediakan apa pun yang kita butuhkan. Dia lebih tahu daripada diri kita sendiri. ⁣⁣
⁣⁣
Kalau hatimu sedang berbeban berat, Yesus mengundangmu kembali untuk menaruh harapanmu pada-Nya. Ingatlah kembali bagaimana Dia telah berulang kali menolong-Mu. ⁣⁣
⁣⁣
Artspace ini diadaptasi dari artikel “Ketika Aku Menghitung Bobot Segumpal Awan” yang telah ditayangkan di WarungSaTeKaMu. ⁣⁣
⁣⁣

Jangan Pernah Berakhir Cerita Cinta Kita

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Akhir-akhir ini aku tengah menikmati sebuah lagu yang dibawakan oleh Arsy Widianto yang berjudul “Cerita Cinta”. Lagu ini dirilis tahun 2020 kemarin, namun lagu tersebut awalnya dipopulerkan oleh grup band Kahitna pada tahun 1994 dan diciptakan oleh Yovie Widianto, yang merupakan ayah dari Arsy Widianto.

Sama seperti lagu-lagu romantis pada umumnya, lagu ini pun menceritakan betapa romantisnya cerita cinta; betapa bahagianya mengalami perasaan mencintai dan dicintai. Tak hanya alunan melodinya yang menyenangkan dan menenangkan, lirik lagu yang diciptakan juga mampu membuat hati tersentuh.

Ketika tengah mendengarkan lagu ini di kantor, aku jadi teringat bagaimana aku juga secara pribadi menikmati perjalanan cerita cinta bersama Sang Pencipta dengan segala lika-liku yang menyertainya.

Saat Teduh: Dari Ritual Jadi Kerinduan

Pertama kali aku mengenal dan mengetahui istilah “saat teduh”, aku merasa tertekan. Mengapa? Waktu itu aku melihat aktivitas saat teduh sebagai suatu bentuk ritual ibadah tambahan yang menyita waktuku. Memang tidak cukup hanya beribadah setiap Minggu? Memang tidak cukup jika aku berdoa? Aku selalu berdoa kok; setiap sebelum makan dan sebelum tidur. Kenapa harus ditambah lagi dengan saat teduh setiap pagi? Kira-kira begitu isi pikiranku waktu itu.

Seiring berjalannya waktu, dalam anugerah-Nya aku mengerti bahwa saat teduh bukanlah salah satu dari rutinitas rohani yang harus kita lakukan karena paksaan kewajiban (mandatory). Saat teduh merupakan waktu yang kita siapkan secara pribadi untuk mendengarkan dan merenungkan apa yang mau Tuhan katakan melalui Firman-Nya untuk kita di hari itu. Namun dalam kasusku pribadi, cara Tuhan melatihku untuk disiplin ber-saat teduh sungguh unik:

Setiap kali aku menyukai seorang teman laki-laki, aku pasti berdoa tentang perasaanku, tentang teman yang tengah disukai, juga tentang kegalauanku. Semua hal ini aku doakan setiap aku saat teduh pagi hari. Tidak terluput satu hari pun. Harapannya, agar apa yang aku inginkan terkabul. Harapannya, agar si teman laki-laki pun membalas perasaanku. Singkat cerita, pengalaman menyukai teman laki-laki pada akhirnya seringkali berakhir gagal dan membawaku pada penyesalan serta sakit hati yang pemulihannya cukup memakan waktu lama. Awalnya aku berpikir bahwa aku sangat tidak pantas menjadi pacar siapapun sehingga semua teman laki-laki tidak ada yang menyukaiku. Awalnya. Namun, jika aku melihat lagi ke masa-masa itu, aku menyadari bahwa Tuhan ingin memberitahu aku bahwa:

  1. Identitas dan penerimaan sejati dalam hidupku tidak terletak pada apakah aku disukai teman laki-laki atau tidak, melainkan pada Kristus, yang telah mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Filipi 2:7).
  2. Saat teduh merupakan salah satu bentuk komunikasi kita secara pribadi dengan Tuhan. Awalnya motivasiku memang hanya ingin curhat terkait perasaan dan kegalauanku ketika menyukai seseorang. Namun lambat laun Tuhan dengan lembut dan sabar mengubah motivasi hatiku yang tadinya hanya fokus ke perasaan dan kegalauan saja, kepada fokus hati yang rindu untuk selalu menyediakan waktu berkomunikasi dengan-Nya setiap hari melalui pembacaan dan perenungan Firman Tuhan.

Terpujilah Tuhan yang selalu sabar mengajar dan mengasihi aku, kini aku dapat menikmati waktu saat teduh pribadi terlepas dari apakah aku tengah menyukai seseorang atau tidak. Bersyukur kepada-Nya ketika aku menangkap pemahaman bahwa Allah rindu berelasi dengan kita umat-Nya. Aku tidak mengatakan bahwa kegalauan akan pasangan hidup tidak boleh dibawa dalam doa ya. Tentu sangat boleh. Ia Maha Mendengar dan Mengetahui. Namun dalam kasus pribadiku, Ia mengubah fokus hatiku sampai aku benar-benar menikmati relasi pribadi dengan-Nya, menikmati berkomunikasi secara khusus dan pribadi dengan-Nya, melalui sebuah aktivitas bernama: saat teduh.

Cerita Cinta-Nya Membuatku Menerima Diri Apa Adanya

Kisah tentang pengorbanan Yesus di kayu salib sudah aku dengar sejak lama. Namun beberapa waktu terakhir ini, terlebih ketika masa-masa Jumat Agung hingga Paskah kemarin, aku kembali merenungkan peristiwa agung tersebut. Bahkan terkadang, aku bertanya-tanya sendiri:

Kenapa sih Tuhan mau mengasihi aku dengan sebegitunya? Sampai harus merasakan jadi manusia dan segala penderitaannya. Bahkan harus sampai mati menanggung murka Allah akibat dosa-dosanya aku dan manusia-manusia lainnya. Kenapa?

Kenapa aku Engkau kasihi? Aku kan berdosa.

Kenapa aku Engkau layakkan menjadi anak dan murid-Mu yang dikasihi?

Sederetan perenungan pribadi ini dijawab oleh satu lagu yang berjudul: Why Have You Chosen Me. Rodger Strader selaku penulis lagu ini mengungkapkan:

I am amazed to know that a God so great could love me so
He’s willing and wanting to bless
His grace is so wonderful, His mercy’s so bountiful
I can’t understand it, I confess

Apa yang Allah telah perbuat untuk kita ternyata memang tidak dapat kita mengerti, tidak bisa kita pahami. Di sini aku makin menghayati arti dari anugerah dan kasih karunia; bahwa semuanya itu benar-benar hanya pemberian cuma-cuma. Bukan hasil dari sesuatu yang aku lakukan, bahkan bukan dari hasil ibadahku. Memahami dan menghayati hal ini kembali membuatku merasa terenyuh dan baper (bawa perasaan) terhadap kasih Allah yang luar biasa untuk aku. Karya salib Yesus menjadi cerita cinta terindah yang tidak bisa tergantikan dengan kisah cinta apapun yang aku impikan, harapkan, atau bayangkan.

Jika Allah saja menerima diriku yang berdosa ini apa adanya, maka aku pun mulai menerima diriku sendiri juga apa adanya. Aku menerima proses memelajari diriku sendiri; mengenal kelebihanku, kekuranganku, karakterku, serta emosiku. Dari proses mengenal diriku sendiri, aku pelan-pelan juga belajar bagaimana mengasihi dan mengenal orang lain dengan hati yang tulus di dalam keberdosaan dan keterbatasanku. Aku pernah menuliskan sedikit kisahku di awal-awal proses mengenal diri sendiri di sini.

* * *

Jika kasih Allah yang sebesar itu dianugerahkan kepada kita manusia berdosa secara cuma-cuma, aku rasa ungkapan romantis dalam bagian akhir lirik lagu “Cerita Cinta” yang ditulis Yovie Widianto pun pasti diungkapkan oleh Sang Pencipta:

“Jangan pernah berakhir cerita cinta kita.”

Baca Juga:

Kejahatan ‘Terbesar’ di Dunia

Kita hidup di dunia yang jatuh ke dalam dosa, dan dosa itu pun mewujud dalam berbagai kejahatan. Tanpa kita sadari, ada satu kejahatan yang kerap tersembunyi dalam topeng rohani kita.

Kasih Yang Melukai

Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta

“Pasti kamu tidak pernah merasakan yang namanya dilukai,” saut seseorang di grup kecil kami pada suatu acara Psychological First Aid Training yang aku hadiri. Aku hanya tersenyum pada Ibu tersebut, dan berkata, “Pasti pernah dong, Bu. Semua orang memiliki pengalamannya masing-masing.” Tanpa ibu itu sadari, pada saat itu juga, persepsinya yang penuh asumsi pun telah menggores hatiku, yang merasa disalahpahami dan dianggap remeh.

Banyak dari kita beranggapan bahwa wajah yang ceria mencerminkan kehidupan yang mudah. Namun, dibalik senyuman terlebar pun, setiap orang punya cerita. Aku berharap setelah membaca ini, kita semua dapat menjadi pribadi yang lebih memiliki empati terhadap orang lain.

Ketika aku merenungkan apa yang dapat aku bagikan tentang pengalaman keterlukaanku, beberapa hal muncul di benakku. Masa-masa patah hati, pengalaman dikhianati, serta perselisihan paham yang pernah dilalui dengan orang-orang yang aku kasihi…namun tidak semuanya perlu diceritakan. Karena tujuanku menulis bukan untuk mendapat belas kasihan, melainkan untuk mengingatkan diriku kembali akan Kasih dan Pengampunan yang telah terlebih dahulu aku terima. Jika aku dituntut untuk mengampuni, sesungguhnya, Tuhan hanya memintaku untuk meneruskan kepada sesama, apa yang telah Ia berikan secara cuma-cuma kepadaku.

Luka yang Memicu Emosi Terdalam

Beberapa waktu lalu, ada suatu kejadian di mana aku mendapati diriku marah besar. Aku sendiri bahkan terkejut, tak mengira emosiku dapat terpancing sedemikian rupa sehingga aku menggebrak meja dan mengangkat suaraku. Pada saat itu, perasaanku bercampur aduk: antara amarah, kekecewaan, kesedihan, dan ketidakpercayaan atas apa yang telah orang tersebut lakukan.

Tanpa menjelaskan dengan detail apa yang orang tersebut perbuat, yang hanya perlu kukatakan adalah orang ini telah mengkhianatiku dan orang yang aku kasihi. Kami telah memberi orang ini kepercayaan yang begitu besar, namun ternyata dibalik raut wajahnya yang polos dan tutur katanya yang penuh sopan santun, ia telah mengkhianati, berbohong, dan membodohi kami selama bertahun-tahun. Dan yang paling aku sesali adalah, ia adalah seseorang yang sering mengutip Firman dan membawa-bawa nama Tuhan dalam percakapan kita. Aku pun selama ini menganggap dan mengasihi orang tersebut sebagai saudara seiman.

Aku mengingat dengan jelas kejadian di malam hari itu, ketika semuanya terungkapkan. Pada awalnya aku masih duduk tenang dan mencoba untuk mendengarkan penjelasannya. Aku pikir, mungkin ada hal yang mendesaknya untuk melakukan hal tersebut. Tetapi, setelah berbagai macam pertanyaan klarifikasi, ia malah bersifat defensif, bahkan menyalahkan keadaan dan orang lain.

Dalam Kemarahan, Berdoa dan Jangan Berdosa

Suatu prinsip yang aku pegang, dan yang kuharapkan Tuhan akan selalu beriku kekuatan dalam menjalankannya, adalah bahwa aku tidak boleh mengutarakan perkataan jahat yang bertujuan melukai orang lain dalam kemarahanku. Lebih baik aku diam sejenak, daripada mengucapkan sesuatu yang akan aku sesali. Firman mengajarkan kita, “hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah,” (Yakobus 1:19).

Tapi apakah artinya sebagai orang Kristen kita tidak boleh marah? Apalagi marah yang besar? Tentu tidak. Karena Yesus sendiri marah, bahkan sampai membalikkan meja-meja dan kursi-kursi para pedagang yang pada berjualan di halaman Bait Allah (Matius 21:12-13). Walaupun Allah memang panjang sabar (Mazmur 103:8), salah satu hal yang dapat kita pelajari dari ayat tersebut adalah bahwa Tuhan tidak mentoleransi dosa. 

Kita memang seharusnya membenci dan marah terhadap dosa—karena sesungguhnya, setiap kejahatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap yang lain, adalah kejahatan terhadap Sang Pencipta sendiri. Orang-orang yang berjualan di halaman Bait Suci bukan hanya sedang merampas orang miskin, melainkan telah mencemarkan dan merampas dari Rumah Tuhan itu sendiri.

Pada saat itu juga, ketika emosi menggebu-gebu dalam diriku, hati kecilku hanya dapat berdoa agar Tuhan juga menolongku dalam kemarahanku itu. Jangan sampai amarahku terhadap dosa orang lain membuatku malah berdosa terhadap Tuhanku sendiri.

Pengampunan Tidak Berarti Membiarkan Dosa

Yang sangat kusesali, setelah konfrontasi, orang tersebut tidak menunjukkan sedikitpun rasa penyesalan atas perbuatannya, bahkan setelah beberapa hari, mencoba untuk melarikan diri dari konsekuensi perbuatannya. Awalnya kami ingin menyelesaikannya dengan begitu saja, namun orang ini malah menunjukkan itikad tidak baik. Setelah berdoa dan bergumul dengan beberapa orang-orang yang aku percayai, kami akhirnya memutuskan untuk bertindak dengan disiplin.

Jujur, hal tersebut sangat menyedihkan bagiku. Karena harapanku adalah agar orang tersebut berpaling dari perbuatannya dan kembali pada Tuhan. Aku tidak ingin melihat orang tersebut harus mengalami yang namanya proses disiplin. Namun, jika aku diamkan dan biarkan perbuatan kejahatannya, yang telah ia lakukan berulang-ulang kali selama bertahun-tahun, berarti aku tidak peduli akan kondisinya di hadapan Tuhan. Sesungguhnya, aku juga memiliki tanggung jawab di hadapan Yang Maha Kudus, untuk menegakkan kebenaran.

Memang, pengampunan tidak bergantung pada penyesalan orang yang telah melukai kita. Sebaliknya, kita harus tetap mengampuni, bahkan jika orang tersebut tidak menyesal. Yesus mengajarkan kita untuk “[mengasihi] musuhmu dan berbuat baiklah kepada orang yang membencimu.” (Lukas 6:27).

Namun, Firman juga mengajarkan bahwa “Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya,” (Ibrani 12:6), dan kadang memang kita perlu menjalankan disiplin, untuk kebaikan orang lain. Mengampuni tidak berarti kita harus selalu diam dan menjadi orang yang nerimo, namun, mencerminkan kondisi hati kita di hadapan Tuhan yang melihat segalanya. Apakah kita bersenang-senang atas kesukaran yang dialami orang lain sebagai konsekuensi perbuatan mereka yang telah melukai kita? Atau sebaliknya—karena kita mengasihi orang yang melukai kita, kita berberat hati, dan bahkan terluka, dalam menjalankan disiplin tersebut?

Salah satu kisah dalam Alkitab yang memberikan kita pandangan sepintas pada hati Tuhan dalam menjalankan disiplin ada dalam kitab Yunus. Sesungguhnya, cerita Yunus bukan tentang seseorang yang ditelan oleh ikan besar, seperti yang banyak dari kita ketahui, melainkan menkontraskan hati seorang nabi Yunus, dengan hati Tuhan. Di mana seseorang nabi Yunus berberat hati untuk memberitakan Firman Tuhan kepada orang-orang bebal di Niniwe, Tuhan berberat hati untuk menghukum orang-orang yang tidak mengenal-Nya itu. Cerita tentang Yunus yang ditelan oleh sebuah ikan besar hanyalah sebuah gambaran kecil tentang tindakan disiplin yang Tuhan berikan, agar hamba-Nya, yang (ironisnya) juga bebal, dapat kembali pada panggilan-Nya.

Apakah hati kita telah menyerupai Tuhan, bahkan ketika kita menjalankan disiplin? Karena disiplin yang sesungguhnya harus bertujuan untuk merekonsiliasi orang yang telah menyakiti kita, bukan hanya pada diri kita sendiri, tapi juga dengan Bapa kita yang Maha Pengampun.

Kasih Yang Melukai Yang Memberikan Kita Pengampunan

Ketika kita merenungkan cerita Paskah yang kita rayakan di bulan ini, suatu hal yang perlu kita sadari: Tuhan tidak pernah mentoleransi dosa. Tidak ada dosa yang terlalu kecil untuk Tuhan abaikan dan biarkan begitu saja. Harga dosa begitu mahal, sampai Tuhan harus membayarnya dengan darah-Nya sendiri (Ibrani 9:12).

Kebenaran Firman mengajarkan kita bahwa setiap dosa memiliki konsekuensi (Roma 6:23). Namun Yesus sendiri, Sang Anak Allah yang Kudus, dengan sukarela menyerap segala dosa, segala amarah Allah Bapa yang seharusnya tertuju pada kita semua. Di atas Kayu Salib kita melihat “keadilan dan damai sejahtera [berciuman].” (Mazmur 85:10), karena disanalah murka dan kasih Allah berjumpa, merelakan Anak Allah yang tidak bercela, agar kita dapat memperoleh pengampunan dan keselamatan.

Aku yakin semua pasti pernah mengalami yang namanya dilukai. Semua orang memiliki pengalamannya masing-masing. Namun jika kita dituntut untuk mengampuni, sesungguhnya, Tuhan hanya meminta kita untuk meneruskan kepada sesama, apa yang telah Ia berikan secara cuma-cuma kepada kita di atas Kayu Salib, dimana Yesus menyerahkan diri-Nya untuk dilukai oleh ciptaan-Nya. Sekarang, dengan pengampunan yang telah Ia anugerahkan kepada kita, kita hanya diminta untuk berpaling dari kebebalan kita, dan mengikuti-Nya, dalam kasih dan kebenaran.



Baca Juga:

Satu Penyebab Kekalahan dalam Bertanding

Kita merasa hidup kita di masa kini dan masa depan bergantung pada besarnya kapasitas diri kita sendiri. Namun, di lain pihak, lubuk hati kita sadar bahwa diri ini tidak sanggup diandalkan.

Menjadi Seorang Kristen dan Gay: Bagaimana Aku Bergumul untuk Hidup Kudus Bagi Tuhan

Oleh Ryan Michael*, Jakarta

Aku pernah menyukai sesama lelaki. Perasaan itu tumbuh sejak aku masih kecil. Memoriku mengingat betul ketika aku duduk di kelas dua SD dan aku menemukan majalah yang sampulnya bergambar seorang pria topless. Aku tak bisa berhenti melihat sampul majalah itu, jadi aku menyembunyikannya di dalam lemari mainanku. Seiring berjalannya waktu, aku sadar kalau aku berbeda dari teman-teman lelakiku yang lain. Beranjak remaja, di saat teman-teman lelakiku yang lain mulai membicarakan atau berpacaran dengan wanita, aku malah tertarik dengan teman-teman lelakiku.

Aku tak tahu dengan jelas apa yang menyebabkan perasaan ini tumbuh di hidupku. Apakah karena aku tak memiliki sosok ayah sejak aku berusia 6 tahun, sehingga aku jadi tertarik kepada sesama jenisku? Tapi, jika itu jawabannya, mengapa pula ada orang-orang yang walau memiliki sosok ayah, tapi tetap tertarik pada sesama jenis? Apakah karena perkara genetik, dan ini merupakan sebuah penyakit? Kucari-cari jawaban dari semua pertanyaan ini, dari sisi psikologis, sampai ke sains. Aku pernah melihat video dokumenter yang menceritakan bagaimana seorang pemuda Tiongkok berkunjung ke dokter demi mengobati dirinya supaya menjadi ‘normal’. Aku paham betul bagaimana keinginan untuk menjadi sembuh, jika memang ketertarikan pada sesama jenis ini adalah sebuah penyakit.

Awalnya, aku tidak begitu menggumuli perasaanku. Aku tidak begitu memikirkan apa sih sudut pandang Allah mengenai ketertarikanku. Bahkan, aku enggan mendoakan hal ini pada Tuhan karena aku takut terusik dengan apa yang seharusnya Alkitab ajarkan. Aku juga takut kalau nyatanya aku harus mengorbankan ‘rasa suka’ ini demi kepentingan Tuhan.

Aku merasa akan baik-baik saja, asalkan kusimpan perkara ini dalam diriku sendiri dan tak memberi tahu siapa pun. Tapi, pemikiran ini salah. Perkara yang kusimpan sendiri ini malah membuatku makin hancur; aku semakin terbawa oleh cara pikirku sendiri, yang menjadi sasaran empuk Iblis untuk membawaku semakin membenci diriku sendiri, hingga menyalahkan Tuhan.

Perjalananku untuk menerima kasih Allah

Sebuah pertanyaan klasik bagi orang-orang yang memiliki pergumulan ketertarikan pada sesama jenis: “Aku tak pernah mau dan tidak meminta, mengapa Tuhan menciptakanku seperti ini?”, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang condong menyalahkan Tuhan.

Aku ingat kisah penciptaan. Allah menciptakan manusia seturut dan segambar dengan-Nya. Tapi, waktu itu aku jujur bertanya, apakah itu artinya Tuhan sendiri menyukai sesama jenis? Alkitab berkata Allah itu baik, kudus, dan adil. Namun, sulit bagiku untuk menerima semua sifat Allah itu. Kisah penciptaan lalu berlanjut pada kisah kejatuhan manusia, namun kisah ini tak berhenti di sini. Kita tahu, Kristus datang membawa penebusan dan pemulihan bagi kita.

Dalam kebingunganku itu, aku mendapati tulisan yang menarik dari buku “Same Sex Attraction and the Church”, dituliskan oleh Vaughan Roberts. “Banyak dari orang Kristen mengaku percaya Alkitab sebagai otoritas tertinggi, namun berhala-berhala zaman kita, disadari atau tidak, memiliki pengaruh yang besar pada sikap kita dalam menafsirkan Alkitab.”

Kutipan itu menegurku. Aku mendalami hatiku. Apakah kisah-kisah dalam Alkitab bagiku hanyalah kisah yang ada di zaman dulu dan menjadi kisah usang yang tak lagi relevan dengan masa kini dan masa depan? Aku percaya Alkitab adalah firman Allah yang diberikan pada manusia, dan Allah sendiri adalah firman (Yohanes 1:1).

Kedaginganku berkata bahwa aku perlu memenuhi hasratku, mengikuti keinginan hatiku. Tapi, aku sadar bahwa aku adalah orang percaya yang diselamatkan karena iman, bukan karena perbuatanku. Untuk aku dapat mengalahkan keinginan dagingku, aku perlu sungguh percaya pada Tuhan. Percaya di sini bukan sekadar mengaku percaya, tetapi dalam hati memiliki persetujuan yaitu: secara yakin dan dengan kesadaran emosi menyetujui bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat. Namun, tidak berhenti sampai di tahap percaya saya. Aku perlu unsur “fiducia”, yang berarti menyembah dan menyerahkan diriku sepenuhnya pada Allah. Sekadar tahu bahwa Yesus adalah Tuhan tidaklah cukup, sebab Iblis pun tahu siapa Yesus, bahkan setuju bahwa Dialah Juruselamat (Matius 8:29; Yakobus 2:19). Tahu dan setuju belum berarti menyerahkan diri sepenuhnya pada Yesus.

Ketika aku berserah, Tuhan justru menguatkanku. Dalam firman-Nya, Dia menegaskan bahwa Dia mengasihi dan memilihku sejak aku masih dalam kandungan (Yeremia 1:5). Aku dianggap agung dan diperhatikan (Ayub 7:17). Aku adalah anak-anak Allah dan tubuhku adalah bait-Nya (1 Korintus 6:19-20, 1 Yohanes 3:1).

Christopher Yuan, seorang hamba Tuhan yang pernah memiliki ketertarikan sesama jenis mengatakan:

“My identity should never be defined by my feelings. My feeling should not dictate who i am. My identity is not gay, or homosexual, or even heterosexual. But my identity ad a child of the Living God must be in Jesus Christ alone. God never told me “be heterosexual for I am heterosexual.” He said be holy for I am holy. Don’t focus on your sexuality , don’t focus upon your feelings, but focus upon living a life of holiness and living a life of purity.”

Identitasku tidak pernah ditentukan berdasarkan perasaanku. Perasaanku tidak seharusnya mendikte siapakah diriku. Identitasku bukanlah seorang gay/homoseksual atau heteroseksual sekalipun. Identitasku adalah aku sebagai anak Allah. Tuhan tidak pernah berbicara “karena aku heteroseksual, maka kamu harus heteroseksual”. Melainkan, “Kuduslah kamu , sebab Aku kudus.” (1 Petrus 1 : 16). Jangan fokus kepada perasaanmu, melainkan fokuslah kepada kekudusan hidup dalam Allah.

Lawan dari homoseksual bukanlah heteroseksual, melainkan kekudusan Allah. Aku sadar, jika aku hidup tanpa pergumulan ini dan hidup sebagai seorang heteroseksual, aku tetaplah berdosa jika aku tidak mengejar kekudusan Allah. Tidak ada dosa yang lebih besar maupun dosa yang lebih kecil. Di sinilah tahap pertamaku mulai belajar menyerahkan diri sepenuhnya kepada Yesus, walau aku sendiri melihat pergumulanku terasa tak masuk akal.

Di tahap ini jugalah iman percayaku dibentuk. Aku disadarkan bahwa Tuhan tak pernah bermaksud jahat. Dia tidak menciptakanku sebagai seorang gay, namun karena kejatuhan manusia ke dalam dosalah aku jadi bergumul dengan perkara ini. Tetapi, justru dalam pergumulan dosa yang kumiliki inilah kisah penciptaan sampai penebusan Tuhan menjadi masuk akal bagiku, bahwa dosa telah merusak hidupku dan aku sungguh membutuhkan pertolongan dari-Nya. Tanpa adanya pergumulan ini sangat memungkinkan jika aku menjadi manusia sombong dan terhalang untuk mengenal Allah yang adalah kasih.

Untuk memiliki cara pikir sekarang yang kupunya tentu tidak instan. Berulang kali di tengah ketidakpercayaanku terhadap Tuhan, Dia selalu setia memberikanku arahan. Aku ingat pertengahan tahun lalu (2019), saat aku melakukan hobiku untuk hiking sendirian. Di tengah perjalanan aku dipertemukan dengan seseorang bapak yang tidak aku kenal. Dan aku ingat betul, percakapan kami ditutup dengan beliau berkata “Prinsip hidup saya sih, The Truth will set you free” (Yohanes 8 : 31-32).

Dengan tekanan perkara yang aku miliki, tentu aku sangat ingin bebas. Dan aku diingatkan dari percakapan ‘ajaib’ tersebut. Jika aku hidup berdasarkan firman Allah, maka kebenaran itu akan memerdekakan aku yang berdosa. Semenjak itu aku baru disadarkan bahwa membaca Alkitab adalah salah satu nafas orang Kristen selain berdoa. Aku tidak dapat hidup di luar Allah atau di luar firman-Nya. Di saat itulah Tuhan perlahan mengubahkanku, aku tidak lagi hidup berdasarkan pikiran maupun perasaan yang tidak pasti, melainkan hidup berdasarkan kebenaran firman Allah (Live by faith and not by sight). Arah mataku sekarang dimantapkan lagi untuk tertuju bukan kepada hal-hal dunia, melainkan kepada kekudusan dan kebenaran Allah.

Menceritakan kisah kasih Allah

Dengan anugerah dan pertolongan Allah sajalah aku akhirnya bisa menemukan perspektif baru dalam Tuhan terkait pergumulanku. Kisah yang menurutku dulu aku adalah seorang yang dikutuk, sekarang berubah sepenuhnya menjadi kisah bahwa aku adalah seorang yang amat dikasihi Allah. Begitu juga dengan kamu, jika saat ini kamu mengalami pergumulan serupa denganku.

Aku tahu bagaimana rasanya ingin menyerah dengan Injil, merasa firman Tuhan sulit, tidak relevan, dan tidak masuk akal untuk orang-orang sepertiku. Tetapi, saudaraku, ingatlah bahwa aku dan kamu telah dibeli lunas dengan darah-Nya yang kudus, dan sekarang tidak ada yang dapat memisahkan kita dengan kasih-Nya (Roma 8:35).

Aku tahu perjalanan ini tidak mudah, tetapi bukankah sebuah anugerah ketika kita bisa memikul salib dan menyangkal diri sebagai wujud kasih kita pada kasih Allah yang begitu besar? Kita bisa menjadikan penderitaan yang sama-sama kita alami sebagai bentuk ketaatan dan kasih kita kepada Allah (Filipi 1:29). Ketertarikanku mungkin akan tetap ada, namun setiap kali ketertarikan itu muncul aku bisa memilih pilihan-pilihan yang menyenangkan hati Tuhan, bukannya memilih pilihan yang membawaku pada dosa.

Saudaraku, sekarang izinkanlah dirimu didamaikan dengan Allah. Carilah Allah selama Dia berkenan ditemui (Yesaya 55:6). Dia setia menanti aku dan kamu datang kepada-Nya. Biarlah damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal itu terus memelihara, memperbaharui hati, pikiran, dan hidup kita dalam Kristus Yesus.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Mengupas Mitos Work-Life Balance: Di Manakah Tempat Pekerjaan dalam Kehidupan?

Work-life balance. Singkatnya, pekerjaan dan hidup harus seimbang supaya kita bisa menikmati hidup. Konsep ini menarik, tapi apa sih yang Alkitab katakan tentang ini?

Dia yang Kukasihi, Dia yang Berpulang Lebih Dulu

Oleh Nia Andrei, Sampit

Kawanku terkasih, tulisan ini adalah cerita singkat dari perjalanan pernikahanku dan suamiku.

Sekitar sebulan lebih setelah pernikahan kami, barulah diketahui bahwa suamiku menderita Leukimia atau kanker darah. Selama beberapa bulan setelahnya, suamiku harus kontrol bolak-balik ke rumah sakit dan transfusi darah.

Karena kondisi sakit kankernya yang membutuhkan perawatan lebih intensif, kami sekeluarga memutuskan untuk melanjutkan perawatannya di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat. Pada hari Sabtu, 2 Februari 2019, aku mendapatkan cuti dari kantorku. Aku sengaja tidak menghubungi suamiku. Aku tidak bilang kalau aku akan menyusulnya ke Jakarta. Hari itu, aku tiba-tiba datang ke ruang perawatannya.

Aku membuka tirai ruangannya dan berkata, “Hai..”

Papa mertuaku yang sedang menemaninya di ruangan pun tersenyum ketika aku datang.

Suamiku kaget, lalu bilang, “Hah?!”

“Kamu seneng nggak aku datang?”

“Iya,” jawabnya lirih.

“Tapi kok biasa aja?”

“Memangnya aku harus loncat-loncat di ranjang?” jawabnya begitu.

Aku tertawa dan menimpalinya dengan candaan, “Iya lah, sambil loncat-loncat di bed.”

Waktu melihat keadaannya, aku hampir menangis, tapi aku tetap berusaha tegar di hadapannya. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis di depan suamiku. Aku melihat lebam besar di pergelangan tangan kanan dan di paha sebelah kirinya. Kuoleskan salep di kedua bagian itu.

Mulai hari itu, aku menginap di RS, menenami dia. Setiap hari sebelum dia tidur, aku mengelus dahinya supaya dia merasa nyaman.

Minggu, 3 Februari 2019

Kegiatanku selama di rumah sakit tiap pagi dan sore adalah mengambil air panas di sudut ruangan. Tiap subuh jam 5, perawat datang untuk mengambil darah suamiku melalui selang cvc yang terpasang di dada kanannya, diukur tekanan darahnya, dan suhu tubuhnya. Aku melap seluruh badannya menggunakan waslap dan mengganti bajunya dengan baju pasien. Sprei dan sarung bantalnya pun tak lupa kuganti. Tiap mengusap wajahnya dengan waslap, aku berkata, “Ayang… Ayang…,” inginku menangis rasanya, tapi aku selalu menahan. Setiap kali dia buang air kecil selalu kucatat berapa mililiter volumenya, demikian juga jika dia minum dan buang air besar. Dia pun rutin menggunakan pengobatan uap untuk perbaikan infeksi di paru-parunya. Kadang hanya berselang satu hari jikalau Hb dan trombositnya turun, pasti dia harus melakukan transfusi darah.

Aku membawa Alkitab pernikahan kami. Setiap pagi sesudah sarapan aku membacakan beberapa ayat Alkitab dan dia hanya memandang diriku. Aku pun memandangi dirinya. Kami berdoa dan menyanyikan lagu-lagu rohani. Rasanya kami mampu menjalani hari ke hari hanya oleh penyertaan dan kasih setia Tuhan yang begitu luar biasa bagi kami.

Senin, 4 Februari 2019

Sama seperti hari-hari sebelumnya, ambil darah setiap pagi lewat selang cvc, disuntikkan antibiotik untuk paru-paru, minum obat pagi siang sore (4 macam), tetap pakai uap untuk perbaikan paru-parunya. Pagi hari itu, aku membacakan sebagian ayat Alkitab dan berdoa bersama. Sempat aku terdiam pada ayat Alkitab dari 2 Korintus 4:16, 5:1-8. Aku menangis dan diam, lalu dia memintaku untuk membacanya sampai habis.

Aku sempat mengobrol serius dengannya, “Hun, aku mau resign dari kerjaanku.”

Dia menjawab, “Kenapa? Pikirkan juga kerjaan.”

“Tapi kamu mau aku di sini sama kamu, kan? Mengurus kamu kan?”

“Iya,”

“Ya udah, jangan dipikirkan dulu.”

Selasa, 5 Februari 2019

Menjalani hari-hari bersama dia di RS, mengurus ini dan itu kebutuhannya setiap hari. Siangnya bertemu dokter paru dan dokter mengatakan bahwa pengobatan untuk paru-parunya perlu tetap dijalankan supaya nanti bisa dilakukan kemoterapi. Dokter sempat mengatakan dia perlu keluar dahulu sejenak supaya bisa menghirup udara segar dan terkena sinar matahari, tapi kondisinya tidak memungkinkan untuk keluar karena dia masih bergantung dengan selang oksigen.

Rabu, 6 Februari 2019

Kami menjalani hari-hari seperti hari-hari sebelumnya. Kami membaca Alkitab dan berdoa bersama.

Kamis, 7 Februari 2019

Sekitar jam 5 subuh, dokter Hematologi datang dan mengatakan kalau dia perlu dibawa keluar dari ruang perawatan supaya mendapat udara segar dan terkena sinar matahari karena udara dalam ruangan tidak baik untuk paru-parunya, antibiotik pun sudah resisten. Tapi, kondisinya masih tidak memungkinkan untuk keluar dari ruangan karena dia terlihat mulai sesak nafas dan bergantung dengan selang oksigen.

Hari itu adalah hari yang berat bagiku karena aku harus kembali ke Sampit dan meninggalkan dia di Jakarta.

Aku bertanya lagi memastikan keputusanku, “Hun, aku mau nanya lagi ni, memastikan. Kamu mau aku di sini kan nemenin kamu, mengurus kamu?”

“Iya, terserah saja. Yang terbaik ya.”

Aku bilang, “Oke kamu gak usah pikirin dulu karena keputusan ada di tanganku, aku mau resign.”

Pagi itu dia sudah terlihat mulai sesak nafas dan aku tak tega meninggalkan dia. Aku menghubungi atasanku untuk memperpanjang izinku, tapi tidak diperbolehkan. Mau tidak mau aku perlu pulang ke Sampit dan bilang bahwa aku ingin resign. Waktu aku pamit pada suamiku, wajahnya memerah. Matanya menatapku seolah ingin berkata, “Hun, jangan pergi.” Tapi aku tetap pergi waktu itu dan kembali ke Sampit.

Jumat, 8 Februari 2019

Pagi harinya aku masuk kantor dan sore hari tepat di jam pulang kantor aku memberanikan diri bilang ke atasanku bahwa aku ingin resign dan keputusan ini sudah bulat. Aku mau fokus merawat suamiku. Atasanku setuju.

Malam harinya aku mendapat kabar kalau dia sudah mulai sesak nafas dan di ruang perawatan pun sudah digunakan monitor jantung dan rencananya suamiku akan segera dibawa ke ICU. Aku menangis, berlutut, dan berdoa kiranya Tuhan dapat menolong dia melewati kondisi yang harus dihadapi. Aku pun bergegas membeli tiket pesawat untuk berangkat ke Jakarta besok paginya lewat Palangkaraya. Singkat cerita, saat dia yang kukasihi sedang berjuang di ruang ICU, waktu menunjukkan pukul 23:45 dan aku mendapat kabar bahwa Tuhan Yesus telah memanggilnya pulang.

Aku tersentak. Aku menangis. Aku meraung dan malam hari itu di Sampit turun hujan yang sungguh deras.

* * *

Aku mampu melewati semuanya, sepanjang perjalanan hubungan kami hingga menikah, semuanya karena kekuatan dan penyertaan daripada Tuhan. Aku mengingat kembali semua kebaikan-Nya pada kami. Walaupun waktu-waktu kami bersama begitu singkat, tetapi aku tetap bersyukur karena Tuhan masih memberikanku waktu untuk merawat suamiku dengan intens selama 6 hari di RS Kanker Dharmais Jakarta. Tuhan Yesus, terima kasih, Engkau sangat baik.

Sampai saat ini pun, aku tetap merasakan kasih dan penyertaan Tuhan dalam kehidupanku walau terkadang aku sangat rindu dengan suamiku, dia yang kukasihi.

Semoga kesaksian tentang sekelumit kisah kehidupanku dan alharhum suamiku bisa menjadi berkat bagi semua yang membaca kisah kehidupan kami.

Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Baca Juga:

Wanita untuk Kemuliaan Allah

Pada saat Ia bangkit dari kematian-Nya, saksi pertama dari kisah yang mengguncangkan sejarah itu adalah Maria Magdalena, seorang wanita. Mengapa bukan tokoh yang dianggap penting seperti Petrus, Yohanes, Yakobus, atau murid pria lainnya?