Posts

Karuna Sankara, Ini Suratku Untukmu

Oleh Tri Nurdiyanso, Surabaya

Karuna Sankara, nama yang kupilih untuk bayi perempuanku. Dia lahir di bulan kesepuluh, hari kelima belas, pukul 04:00 pagi di salah satu klinik bidan di Surabaya. Dia anak perempuan yang menggemaskan dengan berat 3,3 kilogram dan panjang 52 cm. Sangat melegakan melihat dia lahir setelah perjuangan istriku melewati proses persalinan yang sungguh luar biasa.

Istriku merasakan kesakitan yang hebat dengan kontraksi-kontraksi yang sering bermunculan di hari Jumat sampai Senin. Selama empat hari itu, dia hampir tidak dapat tidur. Berdasarkan prediksi dokter, seharusnya Karuna lakhir tanggal 7 Oktober 2019, tetapi dia baru lahir di 15 Oktober 2019, pukul 04:00 pagi.

Beberapa jam sebelum Karuna lahir, tepatnya di hari Senin jam tiga sore kami diminta datang ke klinik untuk dilakukan tindakan pacu lewat selang infus. Tindakan ini menimbulkan rasa sakit yang lebih dalam persalinan normal. Tepat jam 12 malam, telah terjadi bukaan sempurna dan harusnya Karuna sudah siap dilahirkan.

Sebelumnya, sudah aku tanyakan berapa lama waktu untuk mengejan agar bayi kami lahir. Jawaban asisten bidan adalah maksimal dua jam, tapi dalam kurun waktu itu pun bayi kami belum lahir. Aku pun mulai panik dan tidak tega melihat istriku yang kesakitan luar biasa dengan merasakan tiap sobekannya.

Aku minta kepada asisten itu ntuk meminta rujukan saja ke rumah sakit tapi aku tidak tahu kenapa kami belum mendapatkan rujukan tersebut dan harus menunggu maksimal jam empat pagi. Aku keluar masuk ruang persalinan karena kasihan melihat istriku yang berjuang menanggung kesakitannya dalam persalinan ini. Lalu, datanglah anaknya bidan yang juga seorang bidan untuk membantu persalinan istriku.

Tepat pukul empat pagi, Karuna lahir dengan tangisannya. Namun, detak jantungnya kelihatannya tidak beres.

Aku izin pulang sebentar karena ada beberapa pekerjaan yang harus dibereskan terlebih dahulu. Agak berat bagiku untuk meninggalkan dua perempuanku sendirian. Di sini aku merasa sedikit bodoh. Meski aku tahu ada bidan yang menjaga, mengapa aku tetap meninggalkan mereka? Fatalnya, sampai di rumah aku pun ketiduran sampai jam 9 pagi. Sesegera mungkin aku kembali ke klinik dan memohon agar Karuna dibawa ke rumah sakit agar bisa ditangani lebih lanjut.

Aku bersama bidan dan asistennya membawa Karuna ke rumah sakit. Aku tahu istriku mencemaskan Karuna, karena seharusnya bayi yang baru lahir itu mendapatkan ASI dari ibunya, namun Karuna harus berjuang dahulu dengan sakitnya.

“Karuna kenapa, Hun?” pertanyaan itu selalu menempel di pikiranku.

Kucoba menenangkan diri tiap kali pertanyaan itu datang. Bidan menjawabku, “Tenang, Pak. Nanti akan baik-baik saja, karena terlalu lama dalam proses persalinannya.”

Perjuangan selama tiga hari

Setelah mendapatkan pertolongan intensif dari rumah sakit, hatiku sedikit lega. Kami menunggu, menangisi, dan menyesal mengapa ini harus terjadi kepada bayi kami. Padahal, kami selalu rutin cek kehamilan tiap bulan, bahkan seminggu sekali menjelang hari kelahiran.

Rekam medis Karuna dalam kandungan pun sangat baik. Tidak ada tanda-tanda buruk terkait kesehatannya. Namun, ketika dia lahir, yang kudapati malah hal lain. Istriku kesakitan dengan jahitan di perutnya yang cukup banyak, tapi seakan tak peduli akan sakitnya demi menemani Karuna.

Hari Jumat, kami merasa sepertinya Karuna tidak kuat bertahan dengan banyak selang di tubuhnya. Malam harinya, tubuhnya sempat drop dan dibutuhkan tindakan. Selang oksigen dipasang lewat mulutnya supaya dia tetap bisa bernafas.

Aku sungguh takut kalau-kalau memang benar Karuna meninggal. Jumat pukul 22:00, aku menulis sebuah tulisan untuknya:

Dear Karuna,

Kamu sedang apa di sana? Kenapa kamu masih suka dengan alat-alat bantu pernafasan itu? Tidakkah kamu ingin lepas itu semua untuk bermain denganku? Iya…bermain dengan bapak. Menunggumu terlahir adalah penantian terbesarku, tapi kenapa saat kamu lahir, kamu malah main sendiri dalam box itu?

Bapak gak bisa ikut main di situ, Karuna. Bapak gak mungkin bisa. Bapak melangkah masuk ruangan terluar saja sudah dilarang. Kenapa? Kenapa? Kau masih asyik di situ… AYOOO Karuna, come!

Bapak pengen pegang tangan mungilmu itu. Tapi, kenapa kamu pegang selang buat mainanmu?
Bapak pengen mencium bibirmu itu. Tapi kenapa kamu tak mau lepaskan selang itu?

Apa boleh bapak jadi selangmu, Karuna? Menggantikan apa yang kamu pegang dan kamu cium itu.

Apa boleh bapak jadi perbanmu, Karuna? Menggantikan apa yang melingkupi tubuhmu itu.

Mungkin bapakmu ini sudah gila, menginginkan dirinya menjadi benda mati hanya untuk menyentuhmu dan melingkupimu.

Mungkin bapakmu ini sudah tak waras, mengharapkan sesuatu yang mustahil dan bodoh.

Tapi, untuk apa ejekan gila dan tak waras itu jika bapakmu ini bisa menemanimu setiap waktu?

Waktu yang akan selalu berharga dan bernilai.
Tapi, ketika banyak orang ngomong, “Berarti anakmu lebih penting dari Tuhanmu ya?”
Pertanyaan itu memang tidak bisa aku jawab, karena secara teoritis pastilah Tuhan itu lebih penting darimu
Tapi hati bapakmu tidak membohongi kalau aku memilihmu.
Fakta ini menunjukkan kesalahan dalam diriku, sebagai manusia dan sebagai Bapak yang mengajarimu untuk takut akan Tuhan.

Bagian terakhir surat ini sangat berat bagiku, karena dari hal ini aku belajar memahami bagaimana perasaan Ayub yang tertulis dalam Alkitab. Benar apa yang Ayub katakan, bahwasannya manusia lahir dengan telanjang dan mati dengan telanjang pula; Allah yang memberi, Allah yang mengambil, terpujilah nama TUHAN (Ayub 1:21). Ayub mengatakan, kita harus menerima apa yang diberikan Allah, entah itu baik atau buruk menurut kita (Ayub 2:10b). Aku yang kehilangan seorang anak saja sakitnya luar biasa, apalagi Ayub yang kehilangan segalanya, sampai-sampai kesehatannya pun buruk. Namun, Ayub masih memandang Allah dengan benar.

Aku tahu aku menangisi anakku dengan keras, namun aku tahu juga Allah memiliki rencana yang baik menurut Dia, bukan menurutku. Aku belajar bersyukur di titik terendahku sekarang. Meski dulu mudah sekali aku mengucapkannya, tapi menerima kenyataan ini memang mengajarkanku banyak hal. Aku dan istriku belajar untuk tidak menyalahkan siapa pun, bahkan diri kami sendiri. Meskipun sering muncul penyesalan dan intimidasi, kami berusaha untuk mengutarakan hati kami sejujur-jujurnya dalam perbincangan kami dan dalam doa-doa kami.

Sebuah anugerah yang luar biasa untuk hadiah setahun pernikahan kami. Karuna meninggal di tanggal 19 Oktober 2019 pukul 00:00. Tangis dan kenangannya selalu kami simpan dan teladannya pun kami jaga.

Apakah Tuhan itu jahat terhadap kami? Nyatanya tidak. Tuhan tetap baik dalam ke-Mahakuasaan-Nya. Aku belajar dari anakku untuk mengampuni, sesuai dengan nama yang kami pilihkan untuknya pada bulan April 2019. Karuna berarti ‘mengampuni dan berbelas kasihan’. Karuna pergi untuk mengajari kami bagaimana untuk mengampuni diri kami, situasi, dan orang-orang yang terlibat dalam proses persalinan kemarin.

Karuna Sankara adalah anugerah indah yang Tuhan berikan kepada kami, meskipun kami mengantarkannya pergi dengan kesedihan dan tangisan.

“Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! TUHAN adalah bagianku, kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya” (Ratapan 3:22-24).

Baca Juga:

Memang Lidah Tak Bertulang, Tapi Firman-Nya Ada di Lidahku

“Kata-kata yang diucapkan sejatinya bukanlah sekadar ucapan, Yakobus berkata kata-kata kita bisa berkuasa memberikan berkat tapi juga bisa merusak (Yakobus 3:9-10).

Lantas, kata-kata seperti apa yang seharusnya keluar dari mulut kita?”