Posts

Berkat di Balik Pilihan yang Tampaknya Salah

Oleh Vina Agustina Gultom, Taiwan

Diperhadapkan dengan dua pilihan biasanya jadi momen yang memusingkan, namun bisa juga menyenangkan. Memusingkan karena mau tidak mau harus pilih salah satu, tapi satu sisi bisa jadi menyenangkan karena kita masih punya pilihan. Contoh, pilih beasiswa A atau B? Pergi ke Raja Ampat atau Perth? Abang ini atau si mas itu?

23 Mei 2019 menjadi momen memusingkan untukku karena aku diperhadapkan pada dua pilihan: ikut ujian seleksi dosen atau ujian seleksi di industri otomotif? Dua bidang pekerjaan yang berbeda, tapi sama-sama di tempat yang bergengsi.

Kalau kulihat jalinan benang merah hidupku, aku punya passion dalam mengajar. Tapi, aku tak bisa hanya melihat dari satu sisi saja. Aku berpikir, kira-kira di ujian yang mana aku paling berpeluang lolos? Jika memang aku ikut ujian dosen dan lolos, apakah ini benar-benar kehendak Allah? Bagaimana jika ikut ujian di industri otomotif yang ternyata jadi kehendak-Nya? Atau, bagaimana kalau malah bukan keduanya?

Aku pun berdoa, memohon agar Tuhan membuatku peka akan pilihan mana yang paling baik untuk kuambil. Aku juga berdiskusi dengan orang tua, kakak, dan sahabatku. Aku yakin mereka dapat dipakai Tuhan untuk memberiku jawaban. Mereka menyarankan supaya aku ikut ujian seleksi dosen, tapi tetap mencoba bernegosiasi dengan industri otomotif apakah memungkinkan jika jadwal ujianku di sana diundur.

Waktu terus berjalan, pesan dalam bentuk posel (email)tak kunjung dibalas. Dengan iman, kuserahkan pilihan ini pada Tuhan. Kusiapkan diriku sebaik-baiknya sampai akhirnya pada hari pengumuman, ternyata aku dinyatakan gagal.

Sedih. Sangat sedih. Pikiran liar pun mulai menggerogoti, “Kenapa kemarin gak pilih ujian di industri otomotif aja!” Kalimat penyesalan dan kekecewaan yang sulit untuk tidak kupikirkan dan kuucapkan.

Berkat di balik pilihan yang tampaknya salah

Di tengah rasa sedihku, aku coba mengingat perkataan sahabatku, “Jangan lihat berkat Tuhan itu hanya dari ketika kamu mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan, tapi lebih dari itu, berkat Tuhan sama indahnya di tengah kegagalanmu sekalipun. Walau kadang kamu baru menyadarinya setahun, dua tahun, atau bahkan 10 tahun setelah kegagalan itu terjadi.”

Perkataan sahabatku itu benar. Berbulan-bulan setelahnya, tepatnya pada tanggal 25 April 2020 aku merasa takjub. Meski aku tidak lolos ujian dan menjadi dosen di universitas itu, aku tetap diajak untuk mengikuti Pendalaman Alkitab (PA) dengan komunitas pasca sarjana yang berasal dari kampus tersebut. Ceritanya, pada tanggal 28 Mei 2019, waktu sebelum aku mengikuti ujian seleksi, seniorku mengenalkanku dengan alumni pengurus persekutuan mahasiswa Kristen pasca sarjana. Alumni itu rupanya ikut ujian seleksi bersamaku. Beliau bertanya, apakah aku orang Kristen atau bukan? Aku kaget, menanyakan tentang iman seseorang agaknya jarang jadi pembuka obrolan. “Ya, aku Kristen,” jawabku. Dia lalu mengajakku ikut kelompok PA di daerah Dago. Karena aku butuh oase pasca ujian, aku mengiyakan ajakan itu.

Ketika PA berlangsung, kami saling berkenalan, membahas materi, berdoa, dan foto bersama. Kegiatan-kegiatan ini sudah biasa terjadi saat ber-PA dalam kelompok. Namun, yang jarang terjadi adalah aku diundang untuk langsung masuk ke dalam grup WhatsApp mereka. Pikirku, “Untuk apa? Aku hanya ikut kelompok PA ini sekali. Aku tidak bisa ikut pendalaman Alkitab lagi dengan kalian, karena terpaut oleh jarak. Aku di Bekasi dan kalian di Bandung”. Tapi sebagai bentuk penghormatanku, aku mengiyakan undangan itu.

Meski telah berbeda kota, aku tetap berkomunikasi dengan mereka. Sampai akhirnya pada tangggal 25 April 2020, aku kembali bisa ikut PA bersama mereka walau secara virtual dari tempat kami masing-masing akibat dampak dari pandemi. Bersyukur dengan pandemi ini juga, aku diajarkan bahwasanya jarak itu bukan penghalang kita untuk melakukan PA bersama.

Dari pengalaman sederhanaku ini, aku jadi mempunyai slogan, “Gagal ujiannya, dapatin komunitasnya.” Ya bagiku ini penting, karena setidaknya walau kita gagal untuk berkarya di tempat yang kita tuju, namun kita mendapatkan komunitas yang berlatar belakang sama, yang akhirnya dapat memahami dan mengerti keadaan kita, bahkan memberikan solusi dengan saling berbagi informasi mengenai lowongan mengajar lainnya.

Mengutip sebuah kalimat dari saat teduhku tanggal 27 Juli 2019, tertulis begini:

“If you’re discouraged by some failure today, remember that Jesus may use it to teach you and lead you forward in your service for Him”

“Jika kamu kecewa karena kegagalan hari ini, ingatlah bahwa Yesus dapat memakainya untuk mengajar dan memimpin kamu melangkah maju dalam pelayananmu kepada-Nya”

Ketika pilihan yang kita ambil mengantar kita pada kegagalan, cobalah untuk melihat dari sudut pandang Allah. Segala hal dapat dipakai-Nya untuk membawa kebaikan bagi kita, selama kita bersedia untuk percaya. Jadi, kalau kamu jadi aku, kamu pilih yang mana? Larut dalam kegagalan atau dapatin komunitasnya?

Selamat memilih untukmu yang sedang di rumah aja.

Baca Juga:

Kelulusan yang Tertunda: Momen untuk Memahami Kehendak Tuhan

Ketika studi S-3ku hampir selesai, dosen pembimbing memberiku opsi untuk menunda kelulusan. Opsi ini sulit, sungguhkah ini kehendak Tuhan? Tapi, dari momen inilah aku jadi belajar bagaimana dan seperti apakah itu kehendak Tuhan.

Bekerja Layaknya Seorang Atlet

Oleh Dian, Surabaya

Aku bekerja sebagai guru. Di bulan April 2019, aku mendapatkan keputusan dari atasanku bahwa kontrak kerjaku tidak dilanjutkan lagi. Berita yang membuatku hopeless dan cukup gelisah. Teman-temanku yang mengetahui kabar ini pun sempat tidak percaya dan menyarankanku untuk bertanya lagi. Tetapi, nyatanya memang keputusan itu tidak bisa dibatalkan. Ada teman juga yang memberikan beberapa informasi lowongan pekerjaan untukku. Beberapa lowongan sudah aku daftarkan dan tak kunjung dapat balasan juga.

Hari demi hari, beberapa teman bersimpati atas kejadian ini. Tapi tak jarang, aku bilang ke teman-temanku, “Tidak apa-apa, aku bisa cari pekerjaan lain”. Tapi itu hanya ketenangan semu untuk menutupi kekecewaanku. Apalagi, kondisiku bukanlah seorang bujang, yang bekerja untuk diri sendiri. Aku punya istri yang sedang mengandung. Tentu masalah finansial memenuhi pemikiranku. Meskipun aku hafal ayat 1 Petrus 5:7 “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia memelihara yang kamu”, namun tetap saja itu tidak mampu membuat tidurku nyenyak. Apakah aku tidak bisa mengimani ayat ini? Aku juga tidak bisa menjawabnya, karena kenyataannya aku susah untuk tidur atas kekhawatiranku ini. Di sisi lain ayat ini mengatakan Tuhan akan memelihara hidupku.

Selama bekerja memang aku nampak cuek di sekitarku, aku hanya berpikir apa yang bisa kukerjakan dan tidak memikirkan yang lain. Aku juga tidak berpikir terhadap penilaian orang terhadap pekerjaanku dan apa yang kulakukan. Selama siswaku mengerti dan memahami tujuanku mengajar, itu sudah cukup. Tapi bagi atasanku itu tidak cukup untuk melanjutkan karierku bekerja di situ. Di sisi lain, beliau mungkin memiliki pertimbangan yang tidak bisa aku prediksi. Aku menghargai itu, tetapi aku cukup sulit menerima konsekuensi dari keputusannya, karena penghasilanku akan berkurang. Dengan kondisiku sekarang, aku sudah menghitung detail bahwa kemampuan finansialku tidak mampu memenuhi kebutuhan persalinan istriku dan biaya setelahnya.

Lantas apa solusinya? Utang.

Aku memikirkan kata itu untuk memenuhi semua kebutuhan keluargaku, tetapi istriku menolaknya. Ia mengingatkan bahwa kami harus menghindari utang, karena itu akan memberatkan kami dalam melunasinya. Ia selalu memintaku untuk apply pekerjaan. Aku bilang kepadanya, “mending aku kerja jadi marketing aja ya? Gak apa-apa tekanan tinggi, tetapi setidaknya bisa mengejar target finansial kita.”

Ia pun tidak mengizinkan, karena itu bukan background-ku dan kesenanganku. “Percuma kalau kamu bekerja cuma targetnya finansial”, katanya.

“Coba dulu kamu masukkan lamaran di beberapa sekolah,” tambahnya.

Bulan Juli 2019

Bulan ini ada sebuah kelegaan bagiku karena aku mendapatkan pekerjaan baru. Aku bekerja di salah satu sekolah swasta di Surabaya, meskipun sekolah ini hanya memberikan masa orientasi kerja selama 3 bulan. Ini pun membuatku berpikir, “Ternyata Tuhan masih memperhatikanku, meskipun aku sulit menaruhkan kekhawatiranku kepada-Nya”.

Apakah kekhawatiranku sudah hilang? Tidak. Aku masih khawatir apakah aku mendapatkan kesempatan bekerja setelah masa orientasi. Kekhawatiran ini membuatku sangat berhati-hati dalam bekerja. Aku mengusahakan tidak cuek terhadap orang lain, mencoba mencari tahu penilaian orang terhadapku itu seperti apa. Sehingga, secara tidak sadar aku membuat image sesuai apa yang diinginkan oleh rekan kerja, terutama atasan. Berbeda dengan pekerjaanku sebelumnya, yang tidak memedulikan omongan orang lain.

Aku bertanya kepada partner kerjaku, “Apa kriteria atau syarat supaya kontrak kerjanya lanjut di sini?”

“Ngapain dipikirkan, Pak. Yang penting kerja bener, untuk urusan dilanjut atau enggak. Itu gak usah dipikir. Aku dulu seperti itu,” Jawabnya.

Jawabannya menamparku sejenak. Jawabannya mengingatkanku bahwa aku bekerja bukan untuk dilihat oleh orang lain baik, tapi bagaimana memberi pengaruh baik. Jelas, aku sudah kehilangan esensi dan visi dalam bekerja. Aku sudah takut kehilangan pekerjaanku, bahkan hidup matiku seakan-akan hanya bergantung kepada pekerjaanku itu. Meskipun aku bisa beralasan bahwa itu untuk memenuhi kebutuhan istriku dan kelahiran anakku. Itu nampaknya bukan diinginkan Tuhan yang telah memberikan dan mempercayakan pekerjaan itu kepadaku. Pikiranku melintir menjadi 180 derajat, dari “apa yang bisa kuberikan dari pekerjaan” menjadi “apa yang bisa kudapatkan dari pekerjaanku”.

Ternyata orang bekerja itu ibarat seorang atlet yang bertanding. Meskipun ribuan penonton memberikan ejekan, hinaan, pujian, semangat atau komentar lain terhadap atlet yang bertanding, atlet yang baik pasti tidak terpengaruh oleh seluruh komentar penonton melainkan fokus pada tujuan dalam pertandingan, yaitu menang dengan sportif, respect dan penuh semangat. Walapun atlet itu mengalami kekalahan, ia pasti akan berlatih lebih keras lagi untuk mencapai tujuan kemenangan tersebut. Begitu juga pekerja yang baik adalah pekerja yang tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain, melainkan menjaga fokus terhadap tujuan dalam pekerjaan. Apalagi tujuan yang ia bawa sejalan dengan tujuan Tuhan. Aku pun masih mengusahakannya, meskipun jatuh bangun dan rasa kecewa serta was-was masih aku rasakan. Tapi setidaknya aku mencoba belajar menjadi atlet yang baik. Jika masih kalah aku untuk melatihnya lagi.

Baca Juga:

Setelah Jarrid Wilson Bunuh Diri: Ke Mana Kita Melangkah Selanjutnya?

Data WHO menunjukkan ada 800 ribu orang setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri. Kita tidak bisa diam saja menanggapi isu ini. Kita perlu beranjak dan melangkah.

Mengasihi Tuhan dengan Melakukan yang Terbaik dalam Pekerjaanku

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Setiap orang tentu menginginkan kehidupan yang berdampak bagi banyak orang. Tapi, pertanyaan yang muncul di benakku adalah: “apakah yang aku kerjakan sudah memberi dampak ya?”

Setelah masuk ke dunia kerja selama lebih kurang tiga tahun, pertanyaan itu tidak asing buatku. Kadang aku merasa kalau aku seharusnya bisa mengerjakan sesuatu yang lebih besar daripada yang aku kerjakan saat ini. Ketika aku menceritakan pemikiran ini kepada temanku, rupanya mereka juga memikirkan hal yang sama.

Aku pernah berpikir kalau aku baru bisa berdampak, atau melakukan hal-hal besar jika aku sudah memiliki posisi atau jabatan yang tinggi, entah itu aku menjadi kepala divisi, manajer, atau direktur.

Tetapi, apakah benar selalu begitu?

Sebagai seorang yang mengurusi sumber daya manusia di tempat kerjaku, kadang aku merasa belum melakukan hal-hal yang berarti. Tidak heroik, pun dramatis. Tetapi, setelah kurenungkan dengan detail, apa yang kukerjakan sejatinya menolong orang lain. Semisal ketika aku mengerjakan perihal surat menyurat, aktivitas ini tampaknya sederhana, tetapi ketika surat-surat itu tidak ada yang membuat, teman-temanku yang lain bisa-bisa tidak dapat melakukan pekerjaannya. Kadang aku berpikir pekerjaan itu hanya tentang diriku, aku lupa bahwa di balik aktivitasku, aku sedang menolong orang lain.

Saat menulis artikel ini, aku jadi teringat senyuman dari mereka yang menyampaikan terima kasih dengan sukacita. Pengalamanku, mungkin juga pengalamanmu di dunia kerja mungkin belum banyak. Tetapi, itu bukanlah alasan untuk kita berkecil hati. Aku merasakan pimpinan Tuhan dalam tiap perkara, dari yang kecil hingga Dia menambahkan perkara-perkara yang lebih besar untuk kita kerjakan kelak. Mungkin buah dari pekerjaan yang kita lakukan sekarang ini belum terlihat, tetapi jika kita dengan setia mengerjakannya, Tuhan tentu akan menyatakan hal-hal yang membuat kita bersyukur kepada-Nya.

Mungkin saat ini pertanyaan yang harus kita ajukan setiap hari usai bekerja adalah apakah aku sudah melakukan yang terbaik hari ini dengan posisi yang dipercayakan kepadaku?

Sehingga kita juga bisa belajar tidak hanya mengasihi pekerjaan kita tetapi menghargai orang-orang yang ada di pekerjaan kita apapun posisi mereka, terutama mengasihi Tuhan yang telah memercayakan pekerjaan itu kepada kita.

Arie Saptaji dalam tulisannya yang berjudul “Di Balik yang Biasa-biasa Saja” menulis: “Tidak banyak dari kita yang berkesempatan untuk berkhotbah di depan ribuan orang. Tidak banyak yang menjadi misionaris secara intensif melayani daa mengubah suatu suku bangsa. Tidak banyak yang duduk dalam pemerintahan, yang bisa mengambil keputusan yang memengaruhi banyak orang. Tidak banyak yang menjadi selebritas yang dielu-elukan penggemar. Kehidupan kita begitu biasa. Tidak banyak ledakan dramatis. Tidak heroik. Dan, kalau mau lebih jujur, membosankan.”

Lalu, apakah dengan kehidupan yang sedang kita kerjakan, yang kelihatannya sepele kita tidak sedang melakukan apa-apa? Kita tidak sedang mendatangkan Kerajaan Allah di dunia ini, di pekerjaan kita? Sejatinya tidak ada yang terlihat sepele di hadapan Tuhan, dengan hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari, dengan hal-hal rutinitas kita di pekerjaan, Tuhan melihat dan mengapresiasi hal tersebut.

Apapun yang kamu kerjakan saat ini, kamu punya peran yang sangat besar. Lakukanlah yang terbaik.

Kalimat di atas sering kurenungkan dan kutempel di komputerku, membuatku terus ditegur ketika aku mulai meragukan pekerjaanku.

Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya (Kolose 3:23-24).

Baca Juga:

Menegur dengan Maksud Baik

Menegur ataupun mengatakan kebenaran seringkali menjadi dilema bagi tiap orang, termasuk orang percaya. Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan?

Tuhan Membentukku Lewat Pekerjaan yang Tak Sesuai dengan Passionku

Oleh Gracea Elyda Safaret Sembiring, Yogyakarta

Bulan Mei 2017, aku menulis sharing mengenai panggilan dan pekerjaanku di WarungSaTeKaMu dengan judul “Pekerjaanku Bukanlah Passionku, Tapi Inilah Cara Tuhan Membentukku”. Tidak pernah terpikir olehku bahwa cerita tersebut akan bersambung, karena awalnya aku berencana untuk resign dari kantorku. Ternyata, aku masih bertahan hingga sekarang. Aku membuka lembaran baru di kantor ini pada 11 April 2016, bertahan hingga 11 April 2019, dan kini melanjutkan perjalananku. Artikel ini kutulis dalam rangka 3 tahun aku bekerja di kantor ini.

Selayang pandang, tiga tahun yang lalu aku masuk ke kantor ini—sebuah perusahaan desain interior—sebagai staf bagian keuangan. Beberapa kali aku bergumul antara bertahan atau resign karena merasa tidak bekerja sesuai passion. Pernah mencoba untuk setia, namun goyah juga. Akhirnya, aku memutuskan untuk resign setelah 1,5 tahun bekerja.

Aku masih ingat persis kapan aku mengajukan resign kepada atasanku, yaitu akhir November 2017. Permohonanku saat itu diterima. Namun, di awal Desember salah seorang rekan kerjaku tertangkap melakukan kecurangan dan dipecat di minggu yang sama. Dengan begitu, proyek yang seharusnya ia tangani menjadi sangat terbengkalai dan kacau. Saat itu pula atasanku memintaku untuk menunda resign untuk ikut membantu proyek yang ditinggalkan itu terlebih dahulu. Melihat situasi yang ada, aku pun menyetujui permintaan atasanku. Ini adalah pengalaman pertamaku terjun ke dalam sebuah proyek dengan porsi yang sebanyak ini. Sesuai permintaan, aku terlibat dalam proyek tersebut hingga akhir, yaitu di bulan Februari.

Terlibat dalam proyek tersebut selama 3 bulan membuatku belajar banyak hal dan memberiku kesempatan untuk menggali potensi diriku lebih lagi. Bahkan, aku merasa lebih menyukai dunia proyek daripada dunia finance. Menjelang akhir proyek, aku pun memberanikan diri untuk berbicara dengan manajer proyek tersebut. Aku mengatakan bahwa aku merasa tertantang untuk pindah divisi, dari finance ke proyek. Sang manajer pun menantangku kembali untuk bertahan di perusahaan ini dan pindah ke divisi yang kuinginkan, serta memberiku waktu untuk berpikir selama beberapa hari.

Setelah mendoakan pertimbangan ini dengan sungguh-sungguh dan memikirkannya matang-matang, akhirnya aku memutuskan untuk bertahan di kantorku dan mengajukan pindah divisi. Permintaanku diterima! Selama kurang lebih 4 bulan, aku masih tetap bekerja sebagai staf keuangan sambil mengerjakan proyek sampai ada yang menggantikanku di posisi ini. Setelah itu, barulah aku sepenuhnya pindah ke divisi proyek.

Pekerjaanku di divisi project tidaklah semudah menjadi staf bagian keuangan. Aku berada di posisi tengah antara klien dan supplier. Posisi ini menuntutku untuk dapat berkomunikasi dengan supplier yang karakternya berbeda-beda. Aku juga harus menguasai segala hal tentang furnitur—dari jenis-jenis kayu, jenis-jenis kain, jenis-jenis foam, jenis-jenis finishing yang digunakan, dan lain sebagainya. Hal ini tidaklah mudah, terutama ketika deadline yang diberikan klien seringkali tidak masuk akal. Secara bertahap aku belajar untuk menjalani pekerjaanku di divisi yang dinamis ini. Demi mendapatkan ilmu, aku tidak malu-malu bertanya dari supplier dan rekan kerja yang sudah lebih berpengalaman. Bahkan sampai saat ini, masih banyak yang harus aku pelajari.

Bulan ke-4, aku benar-benar lepas dari pekerjaanku di divisi keuangan. Pemilik perusahaan memberikan aku kepercayaan untuk memegang proyek all furniture sebuah vila 5 lantai di Bali. Ini adalah proyek pertamaku yang kujalani sebagai project leader. Aku sangat bersemangat sekaligus bersyukur. Aku sadar betul semua itu terjadi karena kasih karunia Tuhan. Tetapi, aku juga sadar bahwa dengan menjadi project leader, beban yang kutanggung akan lebih berat. Benar saja, proses mengerjakan proyek ini sungguh menyita pikiran dan waktu, bahkan sampai terbawa mimpi!

Dalam keadaan yang terasa sulit, untuk kesekian kalinya aku melihat bagaimana Allah menolongku. Allah mampu mengubah hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Ketika ada kesalahan, ada kalanya atasanku bersungut-sungut kepadaku. Tetapi, Allah menghiburku dan menolongku untuk tidak merasa sakit hati. Lebih dari itu, Roh Kudus bahkan memberikan aku dorongan untuk belajar lebih lagi di bidang ini. Yang selalu menjadi peganganku adalah firman Tuhan—setia dalam perkara kecil, bertekun, dan berpengharapan hanya kepada Allah.

Tuhan sungguh baik. Di luar dugaanku, saat evaluasi di akhir tahun 2018 aku mendapatkan masukan positif dan pujian dari atasanku. Tak ada satu pun hal negatif yang beliau katakan. Setelah itu, aku dipercayakan untuk terlibat dalam proyek hotel dan resort di luar negeri. Semua ini terjadi bukan karena hasil usahaku, tetapi karena kasih karunia Tuhan semata.

Dalam tulisanku sebelumnya, aku bercerita bahwa panggilanku cenderung mengarah pada mengajar di pedalaman. Namun, kini aku menyadari bahwa bagian itu belum waktunya untuk kujalani. Bagian yang Tuhan percayakan padaku sekarang adalah pekerjaan yang kujalani saat ini.

Dalam buku Visioneering, Andy Stanley mengatakan bahwa untuk sampai di sebuah tujuan (visi), kita akan melewati beberapa tujuan (visi kecil). Visi kecil diibaratkan sebagai potongan-potongan puzzle kecil yang dikumpulkan dan disusun, sehingga pada akhirnya menjadi sebuah gambaran besar yang nyata dan utuh. Andy memberi contoh tokoh Alkitab, yaitu Nehemia. Nehemia tidak pernah tahu bahwa Allah memanggilnya untuk membangun kembali tembok Yerusalem (Nehemia 1). Yang ia tahu saat itu adalah pekerjaannya sebagai juru minuman raja, dan dia bekerja dengan sebaik-baiknya. Integritasnya sebagai juru minuman raja membawanya kembali ke Yerusalem dengan bantuan raja (Nehemia 2).

Sekalipun kita memiliki profesi yang berbeda-beda, sebagai pengikut Kristus kita memiliki visi yang sama, yakni menyatakan Injil di manapun kita berada dan menjadi rekan sekerja Allah di dunia ini. Sebagai penutup, aku ingin membagikan dua ayat Alkitab yang dapat menguatkan kita dalam bekerja:

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” (Lukas 16:10)

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hambaNya.” (Kolose 3:23-24)

Selamat bermisi di profesi kita masing-masing, kawan. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Baca Juga:

Tetap Mengasihi Sahabat, Meskipun Dia Berlaku Buruk Padaku

Sahabat yang awalnya begitu karib denganku berubah jadi seseorang yang menyakiti hatiku. Meski aku kecewa, tapi aku belajar untuk tetap mengasihi sahabatku.

Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempat Tuhan Memproses Hidupku

Oleh Cana

“Oh hari ini sudah hari Senin dan aku harus masuk kerja lagi. Oh Tuhan, kapan hari Sabtu dan Minggu ya? Rasanya menyebalkan dan tidak semangat.”

Itulah sekelumit gambaran perasaanku setiap kali aku harus berangkat kerja di hari Senin. Aku baru bekerja di tempat yang baru selama dua bulan. Awalnya aku merasa sangat bersyukur dan senang diterima di sini. Bagaimana tidak, di sini aku mendapatkan gaji yang cukup baik dan posisi yang kuharapkan, yaitu sebagai dosen. Dan, terlebih lagi adalah aku bisa bekerja satu kota dengan suamiku.

Tapi, seiring berjalannya waktu, aku harus menerima kenyataan pahit bahwa posisi yang awalnya kudapatkan sebagai dosen ternyata hanyalah sebuah status yang tertera di name tag. Ada miskomunikasi saat proses perekrutan dulu. Pihak HRD kala itu menyampaikan padaku bahwa mereka membutuhkan dosen dan nantinya jika aku diterima, mereka juga memintaku untuk menolong bidang promosi di fakultas. Aku mengiyakan tawaran itu karena kupikir porsi pekerjaan utamaku adalah menjadi dosen. Namun, setelah aku bekerja di sana, rupanya bidang yang sangat mereka butuhkan adalah marketing, bukan dosen.

Para pimpinan pun menghampiriku satu per satu dan menjelaskan bahwa ilmu Kesehatan Masyarakat yang jadi latar belakang studiku kurang sesuai dengan Fakultas Kedokteran di mana aku berada. Dan, kalau aku tetap diizinkan mengajar, maka yang terjadi adalah beberapa dosen lain akan merasa tidak adil. Mereka mungkin akan keluar dan tidak mau mengajar lagi. Intinya, aku tidak bisa mengajar sebagai dosen dan mereka menyarankanku untuk mempertimbangkan ulang bidang marketing atau bagian lain yang mengurus administrasi.

Aku merasa jadi seseorang yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tertolak. Pertanyaan besar pun menggantung di benakku, “Lalu, aku bekerja di sini sebagai apa? Mengapa aku tidak layak mendapatkan posisi dosen di sini? Apakah aku tidak baik? Apakah aku bodoh? Apakah status lulusan S-2ku tidak ada artinya?”

Saat itu aku merasa stres dan ingin keluar, tapi aku sendiri membutuhkan pekerjaan. Jadi, aku coba bertahan. Namun, hari-hariku dipenuhi kebingungan, kekecewaan, dan rasa marah. Aku tidak punya jobdesc yang jelas dan karenanya aku juga tidak memiliki teman dekat. Aku sering menyendiri, diam, dan tidak berani bergaul. Bahkan, aku tidak berani memakai name tag dosen yang seharusnya kupakai setiap kerja. Aku selalu membaliknya sehingga orang tidak tahu aku bekerja di posisi apa.

Aku memendam semua perasaan ini, hingga akhirnya aku merasa tidak sanggup lagi. Aku menangis dan terus menangis di depan suamiku. Kala itu, karena aku merasa tidak dibutuhkan dan tidak berguna, aku berpikir bahwa solusi yang paling tepat adalah bunuh diri. Suamiku terkejut. Dia memelukku dan bertanya mengapa aku jadi seperti ini. Dia berusaha menenangkanku.

Saat aku lebih tenang, suamiku lalu menunjukkan foto-foto tentang kebersamaan kami yang di dalamnya juga tertulis ayat-ayat Alkitab. Aku berhenti menangis. Foto-foto itu membuatku mengingat kembali dan tersadar akan perjalanan yang telah kami berdua lalui. Tuhan telah begitu baik, Dia menyertai kami berdua di dalam setiap pergumulan studi hingga hubungan yang kami jalani.

Satu teguran yang mengubahku

Beberapa hari kemudian, aku membaca cerita tentang perumpamaan anak yang hilang yang diambil dari Lukas 15:11-32. Dalam cerita itu, si anak bungsu pergi meninggalkan rumah dan menghabiskan semua uang yang diberikan oleh bapanya. Ketika uangnya habis, si bungsu hidup menderita. Hingga suatu ketika, dia teringat akan kehidupannya semula bersama sang bapa. Dia lalu memberanikan diri untuk pulang.

Cerita itu membuatku berpikir. Betapa si anak bungsu yang memiliki sikap buruk ini punya keberanian untuk menghadap bapanya. Dia bisa saja merasa takut dan bersalah hingga pergi semakin jauh. Tapi, dia berani datang kepada bapanya seburuk apapun kondisinya, semalu dan sehancur apapun perasannya. Kupikir, si bungsu berani melakukan itu karena dia yakin bahwa bapanya tidak akan menolaknya. Dan, pada akhirnya, sang bapa pun menerimanya dengan tangan terbuka.

Aku tertegur. Selama ini, aku takut datang kepada Bapa karena kupikir kondisiku terlalu buruk dan hatiku sangat hancur. Aku menyembunyikan segala pergumulan itu dalam hatiku dan mencari-cari jalan keluar sendiri. Padahal, seperti anak bungsu yang disambut oleh bapanya, Tuhan tentu akan menerimaku dengan tangan terbuka. Aku pun meminta ampun kepada Tuhan, juga kepada suamiku karena aku telah berpikir buruk, bahkan hingga ingin mengakhiri hidupku.

Sejak saat itu, aku memohon pertolongan Tuhan untukku melalui hari-hariku. Aku mungkin belum sepenuhnya pulih dari perasaan kecewaku, tetapi sekarang aku tahu aku harus berlari ke mana dan kepada Siapa. Tuhan adalah Bapa yang menerima setiap hati yang hancur. Tak peduli apapun kondisiku, Dia selalu menerimaku. Hari-hariku kemudian menjadi momen pembelajaranku bahwa yang terpenting adalah identitasku sebagai anak-Nya, yang dikasihi dan diterima-Nya.

Aku belajar untuk memandang pekerjaanku bukan sebagai tempatku mencari nafkah semata, tetapi sebagai tempat di mana aku berproses. Meskipun terasa pahit, sakit, dan rasanya tidak sesuai dengan keinginanku, namun aku mau belajar yakin bahwa Tuhan merancangkan kebaikan di balik segala hal yang kualami.

Hingga kini memang aku belum mendapatkan kesempatan untuk mengajar, namun sekarang aku mulai dapat mengecap sedikit demi sedikit pengalaman baru yang kudapatkan dari bidang pekerjaan yang kutekuni. Aku berusaha melakukan setiap tugas yang diberikan oleh atasanku dengan baik. Aku percaya bahwa Tuhan mengetahui apa yang jadi keinginan hatiku. Pun Tuhan lebih tahu di mana tempat yang tepat untuk memprosesku, apapun jabatan yang diberikan kepadaku saat ini.

Hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah,” Mazmur 51:19b.

Baca Juga:

Saat Aku Mengizinkan Ketakutan Menguasaiku

Ketakutanku yang berlebihan itu rasanya adalah sesuatu yang konyol, sebab ketakutan itu tidak berdasar. Tapi, mengapa aku dan mungkin juga kamu dapat terjebak di dalamnya?

10 Tahun Bekerja dengan Sikap Hati yang Salah, Inilah Cara Tuhan Menegurku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: God Convicted Me Of My Bad Work Attitude

Baru-baru ini aku mendengar seorang rekan kerjaku bertanya pada manajernya tentang seorang staf lainnya. Staf itu baru bergabung dengan perusahaan kami enam bulan lalu, tapi selama beberapa waktu belakangan ini, rekan kerjaku itu tidak melihatnya.

Manajer itu menjawab, “Dia sudah mengundurkan diri. Dia selalu marah ketika aku coba mengoreksi kesalahannya.” Aku terkejut mendengar ini karena manajer itu adalah salah satu orang terbaik yang pernah kutemui.

Pernyataan manajer itu mengingatkanku pada sikap lamaku terhadap pekerjaan. Ketika aku memasuki dunia kerja pertama kali, aku tidak cukup rendah hati untuk menerima koreksi-koreksi. Ketika manajerku mengoreksi kesalahanku—entah itu kecil atau besar—aku suka membantah dan membuat banyak alasan untuk membenarkan diriku sendiri. Aku takut kalau aku dicap sebagai orang yang ceroboh dan tidak kompeten. Bukannya belajar dari kesalahan-kesalahan itu, yang ada aku malah merasa kesal.

Hasilnya, aku tidak pernah menerima penilaian yang baik dan seringkali aku berganti-ganti pekerjaan. Aku selalu berharap kalau pekerjaan baruku akan lebih baik, tapi aku tidak pernah mengubah sikapku yang keras kepala.

Hingga akhirnya perubahan sikapku terjadi ketika aku mengenal Tuhan secara pribadi melalui masa-masa pencobaan dalam hidupku. Dengan membaca Alkitab, aku belajar bagaimana seharusnya aku berperilaku sebagai orang Kristen di tempat kerja.

Aku sangat terinspirasi oleh firman Tuhan dari Filipi 2:14-15, “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia.”

Saat aku membaca ayat itu, aku menyadari bahwa aku sering membantah dan bersungut-sungut ketika manajerku menunjukkan kesalahan-kesalahanku. Bagaimana caranya supaya aku tidak beraib dan tiada bernoda? Bagaimana caranya aku bisa menjadi anak Tuhan yang tiada bercela ketika perilakuku tidak memuliakan Tuhan? Aku sangat malu dengan sikapku.

Di kesempatan yang lain, aku menemukan perkataan Yesus dalam Matius 23:12, “Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Aku diingatkan lagi bahwa Tuhan menghargai sikap yang rendah hati. Selalu membantah saat aku membuat kesalahan bukanlah tindakan kerendahan hati, dan itu tidak menyenangkan Tuhan. Memiliki kerendahan hati dan semangat untuk mau diajar adalah hal yang menyenangkan Tuhan. Karena aku adalah anak Tuhan, aku harus menunjukkan sifat-sifat yang menyenangkan Tuhan di tempat kerjaku.

Berfokus kepada masa depan

Aku pun mengubah sikap kerjaku. Awalnya aku begitu mudah merasa kecewa dan merasa lebih rendah daripada yang lain. Sikap buruk ini telah ada dalam diriku selama 10 tahun aku bekerja. Entah berapa banyak promosi dan kenaikan gaji yang aku lewatkan karena sikap burukku itu.

Namun kemudian aku menyadari bahwa berkutat pada kesalahan-kesalahanku di masa lalu tidak akan membuatku jadi lebih baik. Untuk mengubah diriku menjadi lebih baik, aku perlu move-on dari masa lalu. Aku tidak bisa mengulang kembali masa lalu dan memperbaiki kesalahan-kesalahanku dulu, tapi aku bisa memilih untuk bertindak secara positif, belajar dari kesalahan-kesalahan itu dan bekerja dengan lebih baik.

Aku juga dikuatkan melalui kisah-kisah dalam Alkitab tentang kesetiaan Tuhan kepada Israel. Meskipun mereka berpaling menjauh dari Tuhan lagi dan lagi, Tuhan tidak pernah menyerah terhadap mereka. Tuhan memberitahu mereka untuk tidak mengingat-ingat lagi masa lalu. Tuhan ingin agar mereka melihat ke masa depan (Yesaya 43:18, Yoel 2:25). Mungkin aku telah berbuat salah selama 10 tahunku dulu, namun aku dapat mengakui kesalahan dan sikap kerjaku yang memalukan itu kepada Tuhan, sebab Dia akan menerimaku dengan belas kasihan dan anugerah-Nya (Ibrani 4:15-16).

Ketika aku berdiam dalam kebaikan Tuhan, aku diingatkan untuk mengerjakan tanggung jawabku dengan kekuatan yang dianugerahkan-Nya kepadaku, supaya Tuhan dimuliakan (1 Petrus 4:11). Setiap harinya, kepada Tuhan aku meminta kekuatan supaya aku bisa menggunakan setiap kesempatan untuk melayani dan memuliakan Dia dalam pekerjaanku.

Setelah beberapa waktu, manajerku melihat ada perubahan dalam sikap kerjaku. Dia melihatku mau belajar dan bisa diandalkan, jadi dia mulai mempercayaiku dengan beberapa proyek baru dan tanggung jawab yang lebih. Apa yang diberikan manajerku inilah yang jadi kesempatan buatku membuktikan perubahan-perubahan positif dalam diriku. Dengan tiap kesempatan itu, tanggung jawab yang kuemban menjadi lebih menantang dan kadang aku pun merasa khawatir apakah aku bisa menangani beban pekerjaan yang bertambah itu atau tidak. Namun, aku memohon pertolongan dari Tuhan dan menyerahkan pekerjaanku kepada-Nya setiap waktu. Dialah yang menjadi sumber kekuatanku dan alasanku untuk bisa tetap tersenyum meskipun tekanan menghimpitku.

Di akhir tahun, tibalah waktunya untuk penilaian kinerjaku. Manajerku memberikan tanggapan positif mengenai performa kerjaku dan dia juga berkata kalau dia terkejut dengan perubahan sikap kerjaku. Setelah bekerja 10 tahun, itulah kali pertama aku mendapat tanggapan kerja yang baik dan kenaikan gaji yang wajar.

Aku telah belajar untuk memiliki pola pikir Kerajaan Allah dalam pekerjaanku. Sebagai anak-anak Tuhan, kita lebih dari sekadar mampu untuk mengatasi kesalahan-kesalahan kita. Ketika atasan kita menunjukkan kesalahan-kesalahan kita, izinkanlah tanggapan dari mereka itu sebagai sarana untuk kita bertumbuh supaya kita bisa lebih dan lebih kompeten lagi melakukan bagian kita, dan memuliakan Tuhan melalui pekerjaan kita.

Baca Juga:

Sebuah Perenungan: Hidup Ini Tidak Adil!

Ada 3 orang anak: Ani, Budi, dan Chandra. Ani mendapatkan 5 buah apel, Budi mendapatkan 10 buah apel, dan Chandra mendapatkan 15 buah apel. Apakah itu adil?

5 Tips Menghadapi Bos yang Menyebalkan

5-tips-menghadapi-bos-yang-menyebalkan

Oleh Amanda Lim, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 5 Ways To Deal With A Difficult Boss

Jika kamu membaca artikel ini karena kamu memiliki bos yang menyebalkan, aku mengerti perasaanmu. Dari pengalamanku, aku sangat paham betapa beratnya beban yang harus kamu pikul akibat memiliki bos seperti itu. Stres dan gelisah bahkan bisa menghantuimu hingga waktu di luar jam kerja dan bahkan saat kamu bangun pagi.

Jika kamu ingin tahu seperti apakah mantan bosku itu, cobalah bayangkan seseorang yang cerewet, suka menuntut, merasa tidak aman, dan suka mengawasi setiap hal yang kamu lakukan. Sebagai dampak dari bekerja dengannya, beberapa temanku bahkan sampai sempat mengalami sakit kepala, gangguan tidur, dan jantung mereka berdegup tidak beraturan.

Aku pun pernah menjadi korban. Masih teringat jelas dalam pikiranku bagaimana peristiwa itu terjadi. Waktu itu, bosku marah dan dia mengirimiku banyak e-mail yang berisi komentar-komentar tentang kesalahanku. Dia mengomentari tata bahasa, tanda baca, dan lambatnya responsku dalam membalas e-mail. Komentar-komentarnya membuat tenaga dan konsentrasiku terkuras habis hari itu. Saat aku pulang meninggalkan kantor, aku merasa seolah-olah aku adalah orang yang paling tidak berguna di muka bumi.

Ketika malam tiba, aku kira aku bisa beristirahat dengan tenang. Namun, tiba-tiba bosku mengirimiku sebuah pesan singkat. Dia ingin memastikan apakah aku sudah memeriksa data yang dia minta atau belum. Darahku seolah membeku tatkala aku sadar kalau aku belum memeriksanya. Saking paniknya, sampai-sampai aku tidak dapat mengingat kata sandi ponselku sendiri, padahal aku baru saja menggunakannya beberapa menit yang lalu.

Singkat cerita, aku bisa mengingat kembali kata sandi ponselku, tapi karena aku tidak ingat data mana yang bosku inginkan, maka keesokan harinya aku pun terkena masalah. Kemudian, selama beberapa bulan setelahnya, dia bersikap dingin dan selalu mengkritik pekerjaanku walaupun aku sudah berusaha sebisaku untuk menyenangkannya. Keadaan berubah membaik hanya ketika ada karyawan-karyawan baru yang bergabung dan perhatian bosku jadi teralih kepada mereka.

Ketika aku merenungkan kembali pengalaman burukku selama enam bulan bekerja untuk mantan bosku, ada beberapa pelajaran yang dapat kupetik. Jika saat ini kamu sedang berada dalam keadaan yang serupa denganku dulu, aku harap artikel ini dapat menolong dan memberimu semangat.

1. Cobalah berunding dengan bosmu

Sebisa mungkin, cobalah untuk tidak berpikir negatif terlebih dahulu, apalagi jika kamu masih karyawan baru (karena mungkin saja kamu belum kenal karakter bosmu). Mungkin saja bosmu sedang memiliki masalah, sehingga dia tidak sadar bahwa sikapnya itu mempengaruhi karyawan serta pekerjaannya. Atau bisa juga karena kamu dan bosmu mengalami miskomunikasi hingga terjadi salah paham.

Aku yakin bahwa ini adalah satu dari sekian cara yang dapat kita pratikkan untuk menghormati bos kita (1 Petrus 2:17). Dulu, aku pun sempat mencoba berunding dengan bosku soal beban pekerjaanku yang semakin berat. Namun, beban yang dia berikan padaku tidak semata-mata membuatku langsung membencinya, karena aku pun harus berusaha untuk melihat dari sudut pandang bosku.

Akan tetapi, perundingan tidak selalu menjamin adanya perubahan. Apalagi jika bosmu adalah tipe orang yang tidak dapat menerima kritik dan selalu merasa benar sendiri.

2. Sadarilah bahwa kamu tidak selalu dapat “mengatur” bosmu

Ada banyak artikel yang dapat memberimu informasi tentang cara-cara efektif dalam menghadapi bos yang menyebalkan. Contohnya: Cobalah cari tahu hal-hal apakah yang sekiranya bisa memancing emosi bosmu, sehingga kamu bisa bertindak lebih hati-hati. Bagi sebagian orang, cara ini mungkin akan berguna. Tapi, jika bosmu adalah seorang yang tidak rasional, maka cara ini tidak akan efektif.

Sebenarnya, sebelum aku mulai bekerja di divisi ini, aku sudah mendengar reputasi buruk tentang bosku. Bahkan, seniorku juga pernah menghimbau supaya aku jangan menerima pekerjaan ini. Tapi, dengan polosnya, aku pikir bahwa aku pasti bisa “mengubah” bosku apabila aku bekerja dengan baik dan mampu membuktikan kemampuanku padanya. Selama enam bulan pertama, aku giat bekerja dan keadaan terlihat baik. Bahkan, aku berhasil menjadi salah satu karyawan favorit bosku waktu itu.

Namun, seiring waktu berlalu, sekalipun cara pandang dan sikapku akan pekerjaan tidak berubah, keadaan mulai berubah. Hal-hal kecil yang tadinya tidak menjadi masalah, sekarang seakan menjadi masalah besar di mata bosku. Alhasil, tidak sehari pun dapat kulewati tanpa memohon maaf kepadanya.

Aku kehilangan sukacita dalam pekerjaanku dan rasa takut selalu menghantuiku setiap kali aku hendak berangkat ke kantor setiap pagi. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri setiap ada kesalahan kecil yang terjadi hingga aku kehilangan rasa percaya diriku. Ketika aku menyadari bahwa dengan kekuatanku sendiri aku tak mampu berbuat apa-apa, aku berpaling kepada Tuhan.

3. Ingatlah bahwa yang sesungguhnya memegang kendali adalah Tuhan

Aku teringat akan malam-malam ketika aku menulis doaku di sebuah jurnal. Di atas tempat tidur, aku menangis sembari berdoa supaya Tuhan memampukanku untuk memandang hanya kepada-Nya saja, dan bukan untuk menyenangkan manusia. (Kolose 3:23-24)

Dalam masa-masa sukar itu, inilah yang kutulis dalam jurnalku:

“Tuhan, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa takut untuk berangkat kerja. Tadinya kukira aku tidak akan pernah mengalami masalah semacam ini, tapi komentar-komentar yang bosku lontarkan itu mempengaruhi pikiranku. Aku gelisah kalau membayangkan bosku kembali mengirimiku e-mail tentang masalah yang sama lagi. Tuhan, Engkaulah yang telah mengajariku sejak remaja untuk terus percaya kepada-Mu, mengutamakan-Mu, dan bekerja sepenuh hati demi Engkau, dan bukan demi manusia. Bantulah aku melepaskan segala kepahitan dan ketidaksenanganku kepada bosku, karena aku hanya ingin fokus kepada Engkau saja, oh Tuhan.”

Satu minggu sejak aku mengucapkan doaku itu, Tuhan mengubahkan cara pandangku dengan cara yang sangat tidak terduga. Anggota keluargaku mengalami kecelakaan sehingga aku harus izin kerja selama beberapa minggu. Di waktu inilah aku belajar untuk berhenti mengasihani diri sendiri dan meluruskan kembali pandanganku. Aku tidak lagi mendambakan pengakuan dan pujian dari bosku, karena semua hal ini kurasa tidak lagi penting buatku.

Selama ini, aku sudah terlalu fokus pada permasalahanku sendiri, sehingga aku lupa bahwa Tuhanlah yang sesungguhnya memegang kendali atas hidupku. Aku diingatkan kembali bahwa Ialah yang menciptakan dan mencukupkan segala kebutuhanku. Seperti halnya Ia memiliki kuasa untuk memberi nyawa bagi makhluk hidup dan mengambilnya kembali, demikianlah Ia juga memiliki kuasa untuk mempertemukan dan memisahkan aku dari bosku.

4. Temukan rekan-rekan kerja yang sehati dan dapat mendukungmu

Tuhan tidak meninggalkan aku sendiri. Aku mengucap syukur untuk rekan-rekan kerjaku yang Kristen dan rekan-rekan dari gereja yang terus menerus mengingatkanku akan kuasa dan kasih Tuhan. Bahkan, melalui masalah ini, beberapa dari mereka sekarang menjadi sahabatku.

Janganlah memendam segala rasa frustrasi dan kesedihanmu sendirian di dalam hati. Cobalah cari seorang teman yang dewasa dan peduli, supaya dia dapat berdoa bagimu dan memberimu nasihat. Tuhan telah memberikan bagi kita saudara-saudari seiman di dalam Kristus yang mengasihi dan menemani kita dalam melewati masa-masa yang sukar (Amsal 17:17). Jika waktunya tiba, mungkin kamulah yang justru akan menjadi penolong dan penasihat bagi saudara seimanmu ketika mereka menghadapi masalah yang serupa dengan masalahmu dulu.

5. Jangan bergosip

Ketika kamu telah menemukan sekelompok teman yang dapat menopangmu dalam menghadapi persoalan, salah satu godaan terbesar adalah mengubah kesempatan untuk berbagi pokok doa menjadi kesempatan untuk bergosip. Sejujurnya, aku telah jatuh dalam kesalahan ini berkali-kali. Semakin terbelalaknya mata mereka dan antusiasnya ekspresi wajah mereka ketika aku bercerita soal bosku, semakin berkobar semangatku untuk bergosip. Pada akhirnya, ketika aku bertemu dengan teman-temanku yang lain, aku jadi tergoda untuk menceritakan tentang bosku, bahkan terkadang sampai ke detail-detail terkecil.

Seiring aku berkumpul dengan mantan rekan-rekan kerjaku dari waktu ke waktu, kami pun banyak bertukar cerita. Karena kami semua telah merasakan sendiri bagaimana menderitanya bekerja bagi seorang bos yang menyebalkan, kami pun saling bertukar cerita. Semakin banyak cerita yang kudengar, semakin buruk aku memandang bosku. Tadinya kupikir kata “jahat” saja cukup untuk menggambarkan kepribadian bosku itu. Namun setelah kudengar cerita dari mantan rekan-rekan sekerjaku, kata “jahat” seakan tak cukup lagi. Dia sudah seperti “monster” yang tidak dapat ditolong lagi.

Tetapi, setiap kali aku pulang setelah bergosip, Tuhan menegurku di dalam hati karena cerita yang kubagikan itu tidaklah membawa kemuliaan bagi nama-Nya, baik di depan sesama orang percaya, maupun di depan teman-temanku yang bukanlah orang percaya. Pada akhirnya, aku berkali-kali harus mengaku dosa dan meminta ampun kepada Tuhan, karena telah menjelekkan bosku (Mazmur 34:13).

Sampai sekarang pun, aku masih terus belajar untuk mengekang mulutku. Inilah satu pelajaran yang masih terus kugumulkan sampai hari ini.

Sekarang, aku bekerja bagi seorang bos yang sifatnya bertolak belakang dengan bosku yang dulu. Selain mampu berpikir luas, dia juga sabar dan pengertian. Dia memberikan setiap karyawannya kesempatan untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Bila saja aku belum pernah bekerja bagi mantan bosku, mungkin aku takkan pernah sadar betapa beruntungnya aku memiliki bos yang baik seperti bosku sekarang.

Aku berdoa supaya kamu pun suatu saat dapat bersyukur kepada Tuhan ketika kamu mengingat kembali bagaimana Tuhan menolongmu untuk mengatasi pergumulanmu di masa lalu.

Baca Juga:

Untuk Indonesia, Aku Tetap Optimis!

Melihat negeriku dipenuhi dengan banyak masalah, seringkali aku jadi suka membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lain dan bertanya-tanya: Mengapa aku seorang Indonesia? Namun, tatkala aku mulai pesimis akan kondisi bangsaku, di sinilah Tuhan mengingatkanku kembali bahwa negeri ini memiliki masa depan.

Haruskah Aku Keluar dari Pekerjaan Ini, Tuhan?

haruskah-aku-keluar-dari-pekerjaan-tuhan

Oleh Elleta Terti Gianina, Yogyakarta

Tekanan ekonomi memaksaku untuk bekerja sembari berkuliah. Aku mengambil kuliah Jurusan Periklanan, dan waktu itu sedang dalam proses menyelesaikan skripsi yang sempat tertunda beberapa semester. Namun, aku juga perlu mencari uang sendiri untuk membayar kuliahku. Jadilah aku bekerja menjadi seorang copywriter di sebuah agensi iklan di Yogyakarta.

Awalnya, aku merasa nyaman dengan pekerjaan baruku ini. Sebagai seorang copywriter, tugasku adalah membuat konsep atau cerita sebuah iklan, dan mewujudkannya hingga iklan tersebut ditayangkan. Pekerjaan ini cocok dengan hobiku menulis dan membuat cerita. Selain itu, setiap karyawan bebas memakai pakaian apapun, datang jam berapapun, dan berpikir sekreatif mungkin untuk menciptakan sebuah karya. Lingkungan kerjanya juga mengasyikkan, seperti dalam sebuah rumah bersama dengan rekan-rekan kerja yang penuh canda. Tak ada kegelisahan apapun yang kurasakan saat itu.

Namun, keadaan berubah setelah tiga bulan aku bekerja. Deadline pekerjaan yang harus kuselesaikan membuatku hampir setiap hari harus bekerja hingga lebih dari 15 jam. Tidak jarang aku harus menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku bersama timku, atau aku harus berdinas ke luar kota untuk melakukan shooting iklan atau bertemu dengan klien. Tekanan pekerjaan yang berat ini membuatku merasa kehilangan sebagian hidupku.

Sebagian besar waktuku tersita untuk pekerjaan. Aku tidak punya waktu lagi untuk menyelesaikan skripsiku. Hubunganku dengan teman-teman kuliahku juga menjadi renggang karena aku jadi sering membatalkan janji bertemu dengan mereka karena aku harus menyelesaikan pekerjaanku. Pelayananku juga menjadi terganggu karena tidak jarang aku masih harus masuk kantor di hari Sabtu dan Minggu. Tidak hanya itu, waktuku bersama keluarga, kesehatanku, dan hubunganku dengan Tuhan pun jadi semakin buruk karena kesibukanku bekerja.

Aku merasa lelah dan hatiku tidak tenang. Karena pekerjaanku, aku seringkali tidak bisa memenuhi komitmen pelayananku untuk mengajar di Gunungkidul setiap hari Sabtu. Aku juga tidak mempunyai waktu untuk bersaat teduh.

Aku kemudian menceritakan pergumulanku ini dengan teman pelayananku. Dia mengatakan mungkin sebaiknya aku keluar dari pekerjaan itu, tapi sebelum membuat keputusan, tanyalah dahulu kepada Tuhan apa yang Dia kehendaki untuk aku perbuat. Sebuah nasihat yang amat bijak.

Di satu sisi, aku ingin keluar dari pekerjaan ini. Tapi di sisi lain, ada banyak kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikirkanku. Bagaimana jika nanti aku tidak dapat kerja setelah keluar dari sini? Aku harus kerja apa? Bagaimana aku dapat membayar uang kuliahku? Aku malas untuk melamar sana-sini dan melakukan tes kerja lagi. Namun, nasihat temanku mendorongku untuk membawa semua pergumulan itu di hadapan Tuhan. Tuhan mengingatkanku dengan sebuah pertanyaan yang muncul di dalam hatiku, “Apa yang kamu cari di dalam hidupmu?”

Aku tidak pernah memikirkan pertanyaan itu sebelumnya. Apa yang aku cari di dalam hidupku? Saat itu, aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Aku kembali berdoa kepada Tuhan, dan aku merasakan Tuhan menguatkan hatiku untuk keluar dari pekerjaan itu.

Aku meminta Tuhan untuk memberitahuku waktu yang tepat untuk meninggalkan pekerjaanku, dan jika Tuhan memberikanku pekerjaan baru, aku memohon kepada-Nya agar kiranya pekerjaan itu dapat membuatku semakin dekat dengan-Nya dan aku dapat mempermuliakan nama-Nya di tengah lingkungan pekerjaanku. Namun, jika aku belum diizinkan untuk mendapatkan pekerjaan baru, biarlah Tuhan yang menjaga hidupku dan mencukupkannya. Firman-Nya dalam Matius 6:25 berikut ini menguatkanku, “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?”

Akhirnya, setelah sekitar 3 bulan bergumul, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku di akhir bulan Januari 2017, tepat setelah 2 tahun aku bekerja di sana. Saat aku membuat keputusan itu, aku tidak tahu bagaimana masa depanku, tetapi aku percaya Tuhan akan menyediakan yang terbaik bagiku, dan aku berserah kepada-Nya.

Menjelang aku keluar dari pekerjaanku, aku mulai mencari pekerjaan baru di sebuah portal kerja online. Aku menemukan satu perusahaan engineering yang membutuhkan seorang copywriter. Ada banyak pertanyaan yang muncul di benakku: Untuk apa seorang copywriter di perusahaan engineering? Apa yang dikerjakan? Apakah aku melamar saja meskipun mereka mencari karyawan dengan 5 tahun pengalaman? Aku menyertakan Tuhan dan berdoa di dalam mengambil keputusan. Akhirnya, aku melamar di perusahaan engineering itu dan mengikuti tes tertulis dan wawancara. Saat itu, aku masih bekerja di perusahaanku yang lama.

Tak lama kemudian, aku mendapatkan kabar melalui e-mail bahwa aku diterima di perusahaan engineering tersebut. Aku bersyukur, namun juga bimbang. Aku takut jika waktu kerja, lingkungan, dan pekerjaannya tidak sesuai dengan yang aku inginkan. Aku kembali berdoa kepada Tuhan, dan Tuhan kembali menjawab doaku. Aku dapat mulai bekerja di perusahaan yang baru itu tepat di tanggal 1 Februari. Tuhan tidak membiarkanku menganggur satu haripun! Dan di tempat kerja yang baru ini, waktu kerjaku tidak mengganggu pelayanan dan saat teduhku.

Meskipun perusahaanku bukanlah perusahaan yang besar, tetapi di dalamnya aku menemukan banyak orang yang hebat dan mencintai Tuhan Yesus. Aku juga dapat berbagi hidup dan menceritakan tentang kebaikan Tuhan bersama rekan-rekan kerjaku. Tuhan menjawab doaku agar aku dapat mempermuliakan Dia di tengah lingkungan pekerjaanku, dan Dia mengizinkanku membuat sebuah persekutuan di kantor, meskipun saat ini baru beranggotakan 3 orang. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan karena Dia menjawab doa-doaku.

Melalui pengalamanku ini, aku belajar untuk menyertakan Tuhan di setiap langkah pekerjaanku, dan belajar untuk percaya kepada-Nya di tengah segala pergumulan hidupku.

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:33-34).

Baca Juga:

Ketika Hal-hal Kecil Menjerat Kita dalam Dosa

Seringkali ketika dihadapkan dengan kesulitan, kita berjuang dengan susah payah dan penuh kewaspadaan. Tapi, bagaimana dengan keadaan yang biasa-biasa saja? Apakah kita tetap waspada supaya tidak terjatuh ke dalam dosa?

Berkali-kali Gagal Mencari Pekerjaan, Tuhan Membawaku pada Rencana-Nya yang Tak Terduga

Berkali-kali-Gagal-Mencari-Pekerjaan,-Tuhan-Membawaku-pada-Rencana-Nya-yang-Tak-Terduga

Oleh Aryanto Wijaya

Satu hari setelah dinyatakan lulus sebagai Sarjana, aku pikir kehidupan akan menjadi lebih mudah. Aku tidak perlu lagi berpikir keras untuk merangkai kata-kata dalam skripsi, ataupun memikirkan tugas-tugas kuliah lainnya. Tapi, semua itu hanya sementara hingga sebuah pertanyaan menyergapku, “Habis lulus mau ngapain dan kerja di mana?”

Menjadi seorang wartawan adalah cita-citaku sejak masih menjadi seorang mahasiswa baru. Kesukaanku akan menulis dan jalan-jalan menjadi motivasi utamaku untuk kuliah di Jurusan Jurnalistik. Namun, menjelang lulus aku harus menghadapi dilema yang mungkin juga dihadapi oleh teman-teman sejurusan lainnya. Pilih passion atau gaji? Pilihan yang berat untuk seorang fresh graduate, apalagi di Yogyakarta gaji pekerjaan di bidang Jurnalistik hanya sejumlah UMR saja. Akhirnya, aku menjatuhkan pilihanku pada gaji dan untuk mendapatkan gaji besar, tentu aku harus bekerja juga di perusahaan ternama. Itulah yang ada di pikiranku saat itu.

Di minggu pertama setelah ujian skripsi, aku segera mengikuti bursa pameran kerja yang diselenggarakan di Solo. Dari Yogyakarta, dengan bersemangat aku mengendarai motor sambil membawa 30 lembar CV. Tapi, semangatku seketika luntur tatkala dari puluhan perusahaan yang membuka lowongan, tak satu pun yang aku tertarik untuk melamar di sana. Kebanyakan perusahaan-perusahaan itu hanya membuka lowongan sebagai marketing, bidang yang aku tidak terlalu tertarik untuk menekuninya.

Aku belum mau menyerah. Aku bergabung dengan sebuah grup di LINE yang berisikan ratusan mahasiswa pencari kerja. Setiap hari selalu ada info lowongan dan bursa kerja. Satu minggu setelah pameran bursa kerja pertama, aku mengikuti bursa kerja lainnya. Kali ini ada dua perusahaan berskala nasional yang membuatku tertarik. Di kedua perusahaan itu aku melamar dan berharap supaya bisa lolos seleksi.

Perusahaan pertama menggelar seleksi terlebih dahulu. Namun, aku cukup ragu karena perusahaan ini adalah perusahaan rokok, sedangkan aku sendiri tidak merokok. Aku lolos di seleksi administrasi dan besok harus melanjutkan tahap kedua, yaitu psikotes. Namun, di tahap kedua inilah aku gagal. Dari 300-an peserta, hanya 75 orang yang dinyatakan lolos ke seleksi selanjutnya.

Masih belum patah semangat, aku menyiapkan diri untuk seleksi psikotes di perusahaan kedua. Lagi-lagi aku gagal karena aku merasa soal-soal yang diberikan cukup sulit. Waktu itu aku mendaftar dengan teman-teman lainnya. Karena mereka juga tidak diterima, jadi aku tidak merasa terlalu kecewa. Selain mendatangi langsung bursa pameran kerja, aku juga mencoba melamar kerja secara online. Ada sekitar lima perusahaan yang aku kirimkan aplikasi lamaranku, namun tak satu pun yang merespons.

Memikirkan kembali esensi bekerja

Kegagalan itu membuatku berpikir keras. Apakah memang yang kubutuhkan nanti dalam bekerja hanya sekadar gaji? Apakah nama perusahaan yang besar nanti memang akan membuatku bangga? Apakah aku tidak ingin mengembangkan ilmu jurnalistik yang telah kudapat di kuliah lewat pekerjaan yang nanti kukerjakan? Pertanyaan itu membuatku memikirkan ulang langkah apa yang seharusnya kuambil.

Waktu itu, aku melihat ada lowongan kerja sebagai editor untuk sebuah website yang dikelola oleh yayasan non-profit di Jakarta. Aku tertarik untuk mendaftar karena walaupun bukan wartawan, pekerjaan sebagai editor itu erat kaitannya dengan jurnalistik. Tapi, aku ragu karena aku masih mendambakan supaya bisa bekerja di perusahaan ternama dengan gaji besar. Jadi, aku mencoba mendaftarkan diriku ke sebuah perusahaan lainnya yang menurutku terkenal. Walaupun yang kulamar tidak sesuai dengan jurusanku, tapi aku ingin sekali diterima di sana .

Namun, pertanyaan itu kembali menghantuiku. Di tengah rasa bimbang itu, aku memutuskan pergi sejenak ke rumah temanku yang berada di Cilacap supaya bisa menenangkan diri. Aku juga berdoa meminta Tuhan boleh memberiku petunjuk mengenai langkah apa yang harus kuambil. Setiap kali berdoa, aku merasakan ada dorongan di hatiku untuk mencoba mendaftar sebagai editor di yayasan non-profit itu. Setelah berkonsultasi dengan temanku, dia menjawab tidak ada salahnya untuk mencoba saja mendaftar di yayasan itu.

Akhirnya aku mendaftar di yayasan itu dan mengikuti serangkaian seleksi rekrutmen. Satu minggu berlalu, tatkala aku membuka e-mail, aku kaget. Perusahaan besar yang kulamar mengirimi aku e-mail bahwa aku lolos tahap psikotes dan diharap melanjutkan tahap seleksi di Jakarta. Sementara itu, yayasan non-profit itu juga mengirimi aku pesan serupa supaya aku tiba di Jakarta tepat keesokan hari.

Jika beberapa bulan lalu aku sempat khawatir karena ketakutan tidak bisa mendapat pekerjaan, hari itu aku bingung karena dua pilihan yang tersaji di depanku. Aku takut apabila pilihan yang kuambil ternyata salah. Aku berdoa lagi dan lagi, serta menceritakan kebimbangan ini kepada teman-teman di kost. Akhirnya, di malam hari aku mengambil kesimpulan demikian, “Perusahaan yang menerimaku duluan, itulah yang akan kuambil.” Seberapa pun gaji yang nanti akan diberikan, selama itu cukup untukku memenuhi kebutuhan hidup, aku akan menerima tawaran pekerjaan itu.

Keesokan paginya aku terbang ke Jakarta. Setelah melakukan wawancara lanjutan, yayasan non-profit itu menerimaku bekerja sebagai seorang editor. Sesuai dengan keputusanku malam sebelumnya, aku menerima tawaran bekerja di sana. Kemudian, aku mengirim e-mail mengundurkan diri ke perusahaan yang seharusnya aku melakukan seleksi lanjutan.

Pilihanku untuk bekerja sebagai seorang editor

Setelah aku menerima tawaran kerja sebagai editor, aku tidak lagi mencari-cari pekerjaan lainnya. Aku mengundurkan diri dari grup pencari kerja di LINE. Sembari menanti wisuda di akhir November 2016, aku menyiapkan diri untuk pindah ke Jakarta. Sejujurnya, aku takut akan hari-hariku nanti setelah lulus kuliah. Tapi, aku teringat akan firman Tuhan yang berkata bahwa “kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”. Aku berdoa supaya di hari-hari yang kulewati, aku boleh belajar taat.

“Apakah menjadi editor adalah memang panggilan Tuhan dalam hidupku?” Tanyaku dalam hati. Waktu itu aku tidak tahu jawabannya, apakah ya atau tidak. Tapi, satu yang aku tahu bisa lakukan adalah coba saja jalani dulu pekerjaan ini. Satu bulan pertama bekerja sebagai editor adalah masa-masa transisi. Di samping aku harus menyesuaikan diri dari lingkungan hidup yang kontras antara Yogyakarta dan Jakarta, aku juga harus belajar segala sesuatu tentang dunia editor dari nol. Ilmu yang kudapat selama kuliah ternyata belum cukup untuk menjadi seorang editor yang tak hanya mampu mengedit, namun juga mampu menulis dan bertindak amat teliti.

Setiap harinya, aku menerima tulisan-tulisan yang dikirim oleh penulis dari berbagai daerah di Indonesia. Tulisan-tulisan mereka itu unik. Ada yang berkisah tentang opininya, namun banyak pula yang bercerita mengenai pengalaman hidupnya. Dari sekian banyak tulisan, biasanya ada beberapa tulisan yang membuatku terharu. Ada seseorang yang mengalami kecelakaan, namun tidak menyerah dan tetap sanggup mengakui Tuhan itu baik. Ada yang menulis tentang hatinya yang hancur setelah berpacaran sekian lama namun putus tanpa alasan yang jelas. Bahkan, ada pula seorang nenek berusia 71 tahun yang tubuhnya tak lagi prima dan penglihatannya kabur, namun masih semangat menulis.

Penulis-penulis inilah yang membuatku bersukacita setiap harinya dan menguatkanku bahwa pekerjaan inilah yang memang Tuhan siapkan untukku. Untaian kata yang mereka kirimkan seolah menjadi bahan bakarku untuk semangat bekerja sebagai editor setiap harinya. Sekarang, aku telah tujuh bulan bekerja di yayasan non-profit ini dan menemukan diriku menikmati pekerjaan ini.

Dahulu, aku sempat berpikir bahwa pekerjaan yang ideal itu diukur dari seberapa besar gaji yang diterima. Dalam benakku, dengan gaji besar aku bisa bahagia, bisa membeli apa pun yang kuinginkan, juga bisa traveling ke tempat-tempat baru yang belum pernah aku kunjungi. Namun, pekerjaanku sebagai editor memberiku paradigma yang baru tentang pekerjaan.

Aku bersyukur karena lewat gaji yang kuterima setiap bulannya, aku bisa memenuhi kebutuhan hidupku sendiri, mendukung orangtuaku, menabung, juga bisa pergi traveling ke beberapa tempat di pulau Jawa. Aku bekerja memang untuk mendapatkan gaji, namun lebih tinggi dari itu, pekerjaanku adalah untuk kemuliaan Tuhan sebagaimana Rasul Paulus pernah berkata, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23).

Sebagai seorang mantan fresh graduate, aku tentu memiliki mimpi-mimpi besar. Hingga saat ini pun mimpi-mimpi itu tetap ada, namun lebih mengerucut. Aku masih berharap kelak dapat melanjutkan pendidikan kembali, namun tugasku saat ini adalah memberikan yang terbaik lewat pekerjaanku. Pekerjaanku adalah bagian dari rencana Tuhan supaya aku bisa memuliakan-Nya. Ketika aku menjadikan Tuhan sebagai yang utama dan terutama, aku percaya bahwa Tuhan sendirilah yang akan memenuhi tiap-tiap kebutuhanku seperti firman-Nya berkata “Janganlah kamu kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Matius 6:25).

Apakah kamu sedang bergumul mencari pekerjaan? Jangan menyerah dan tetaplah berdoa. Naikkan permohonanmu kepada-Nya dan biarkan Tuhan bekerja dalam hidupmu hingga kelak, lewat pengalaman-pengalaman hidupmu kamu boleh melihat pekerjaan Tuhan yang luar biasa.

“Aku tahu Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2).

Baca Juga:

Gagal Bukan Berarti Masa Depanku Suram, Inilah Kisahku Ketika Dinyatakan Tidak Lulus SMA

Delapan tahun lalu, tepatnya di tanggal 16 Juni 2009 adalah hari yang tidak pernah bisa kulupakan. Siang itu, aku dan teman-teman seangkatanku sedang was-was menantikan pengumuman kelulusan kami. Seperti peribahasa untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, hari itu aku menerima sebuah amplop pengumuman yang menyatakan bahwa aku tidak lulus SMA.