Posts

Pikiran Jelek yang Menghakimi Dirimu Sendiri Bukanlah Suara Tuhan!

Oleh Jess McDonald Ragg
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When You Think It’s God Speaking, But It’s Actually Your Inner Critic

Beberapa tahun belakangan aku memandang Tuhan seperti aku memandang Simon Cowell, seorang juri yang biasanya mengomentari para kontestan di ajang pencarian bakat.

Caraku memandang Tuhan seperti itu kusadari ketika aku ikut kelas tentang formasi spiritual. Dosenku memberi tahu bahwa selama kelas itu kami akan menjelajahi dan mencari tahu seberapa jauh dan seperti apa pemahaman kami terhadap karakter Allah.

Dalam kasusku, aku menggambarkan Allah seperti seseorang yang duduk di kursi hitam berlapis kulit, menatapku dengan sinis, sementara aku sendiri berdiri dengan cemas di atas panggung setelah menyanyikan sebuah lagu. Aku hanya berdiri, was-was, dan menunggu kata-kata pedas-Nya.

Aku memandang Allah seperti juri di acara X-Factor yang menanti untuk mengkritik bahwa segala upaya yang kupikir mati-matian ternyata cuma “biasa-biasa” saja. Aku tidak sedang bicara soal dosa; aku bicara tentang keseharianku, seperti:

  • Kesuksesanku selama di kampus, caraku mengerjakan tugas, menjawab pertanyaan dosen;
  • Relasiku, apa pun “topeng” yang sedang kupakai, entah sebagai anak, teman, atau saudara;
  • Pekerjaanku dan segala kesalahan yang kuperbuat;
  • Pelayananku di tim musik, seberapa efektif performaku berdasarkan reaksi dari orang-orang.

Kurasa seringkali aku menetapkan ekspektasi tinggi atas diriku sendiri, dan aku pun merasa bersalah karena sering mengatakan hal-hal negatif buat diriku sendiri. Meskipun aku punya ayah yang selalu mendukungku, aku tidak ingat kalau ada guru sekolah Minggu yang memberitahuku bahwa Tuhan punya tongkat besar yang siap memukulku jika aku berpikir jelek dan mengatakan hal-hal buruk buat diriku sendiri. Kata-kata, ekspektasi, dan kekecewaan yang bergulir di benakku bukanlah suara Tuhan. Yang perlu kulakukan hanyalah mengarahkan semua itu pada-Nya.

Dalam bukunya yang berjudul Knowledge of the Holy, A.W Tozer berkata, “Ada semacam natur tersembunyi dalam jiwa kita yang membuat kita cenderung menciptakan sendiri definisi tentang Allah.”

Yang penulis maksudkan adalah kita membangun kehidupan kita berdasarkan siapa orang-orang yang menurut kita memiliki karakter seperti Tuhan—entah sebagai Bapa yang penuh kasih dan perhatian saat kita melakukan aktivitas sehari-hari, atau Yesus yang kelihatan gaul, pejuang keadilan sosial, atau kita melihat Roh Kudus sebagai sosok yang karakternya tak terduga yang harus dibujuk dahulu agar bertindak.

Bukankah Tuhan adalah hakim?

Jangan salah sangka, Tuhan adalah hakim agung seperti yang ayat-ayat ini tunjukkan:

“Sebab, TUHANlah Hakim kita, TUHANlah panglima kita; TUHANlah Raja kita, Dia akan menyelamatkan kita” (Yesaya 33:22).

“Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang mampu menyelamatkan dan membinasakan. Namun, siapakah engkau, sehingga engkau menghakimi sesamamu?” (Yakobus 4:12).

Namun, penghakiman Allah telah ditimpakan kepada Kristus dua ribu tahun silam, ketika Dia terpaku di kayu salib. Penghakiman berupa murka itu tidak lagi ditimpakan pada kita ketika kita memiliki Kristus dan menjadikan Dia Tuhan dan Juruselamat.

Salah satu cara paling cerdas yang musuh kita lihat untuk mengikis hubungan ktia dengan Allah adalah dengan membuat kita mempertanyakan identitas dan integritas firman-Nya. Aku ingat di Kejadian 3, ketika ular menggoda Hawa, “Memang sungguhan Tuhan bilang begitu?”, menggoda Hawa untuk meragukan natur dan maksud Allah.

Dalam kasusku, aku menghidupi gambaran Allah sebagai juri X-Factor sesederhana karena aku tidak selaras dengan firman-Nya yang berkata:

“TUHAN itu pengasih dan adil, Allah kita penyayang” (Mazmur 116:5).

“Dari jauh TUHAN menampkkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yeremia 31:3).

“Namun, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Roma 5:8).

Di sini aku mau membagikan dua petunjuk sederhana untuk membantumu menghadapi persoalan yang sama sepertiku. Yang pertama adalah bagaimana kita dapat memahami sifat sejati Allah, dan yang kedua adalah bagimana kita bisa menangani kegagalan dengan lebih baik.

1. Memahami natur sejati Allah

Cara paling efektif untuk menyelaraskan kembali pemahaman kita tentang natur Allah adalah dengan secara reguler mengenal firman-Nya dan peka terhadap karakter-karakter-Nya yang ditunjukkan dalam Alkitab. Buatku pribadi, titik berangkat yang indah adalah Injil yang menolong kita melihat sosok Yesus secara dekat.

Kutemukan ayat dari Matius 9:36, “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak mempunyai gembala.”

Ayat itu membuatku kagum. Kurasakan perhatian dan kasih yang kuat dari pernyataan itu. Yesus memandang orang-orang yang berputus asa dengan berbelas kasihan. Buat orang sepertiku, yang berjuang untuk berbelas kasih buat diriku sendiri, fakta bahwa Tuhan berbelas kasihan terhadapku sungguh mengejutkan.

Aku tidak berkata bahwa aku telah tiba pada pemahaman sepenuhnya akan natur Allah, tapi aku tertantang untuk terus memurnikan pengetahuanku tentang-Nya. Aku dikuatkan juga lewat serial TV yang berjudul The Chosen yang menggambarkan hidup dan pelayanan Yesus selama di dunia.

Melihat kembali kisah-kisah Yesus yang sudah familiar diceritakan dengan cara baru menolongku memiliki pemahaman yang lebih baik tentang natur Allah terhadap kemanusiaan. Cara pandang ini juga mendorongku membaca ulang kisah-kisah Alkitab, memberiku pandangan baru tentang Yesus, terkhusus bagaimana Dia membangun relasi dengan para murid, juga ketika Dia menunjukkan belas kasihan terkhusus bagi mereka yang tersisih dan terlupakan.

Aku mendorongmu untuk pelan-pelan membaca Alkitabmu dan mencatat pernyataan-pernyataan ketika Allah menyingkapkan karakter-Nya, terkhusus dalam Perjanjian Lama–bukan karena Allah berbeda di Perjanjian Lama, tapi karena Perjanjian Baru adalah penggenapan dalam Kristus Yesus. Karena kita pun berada di dalam Yesus, Allah memandang kita lewat karya-Nya di kayu salib.

Meskipun Tuhan adalah Hakim, Dia juga adalah Bapa (Matius 6:9), Pencipta (Kolose 1:16), Juruselamat (Yesaya 12:2), Pembela (Mazmur 5:11), dan Kawan (Yohanes 15:15). Faktanya, Roma 2:4 berkata bahwa kebaikan-Nyalah yang membawa kita kepada pertobatan.

2. Mengatasi gagal dengan lebih baik

Gagal, hancur,dan kacau kadang tidak terhindarkan. Kita pernah mengalami hari-hari ketika kesulitan melanda dan kita bertanya-tanya bagaimana harus memprosesnya, bagaimana supaya kita tidak mengumpat dan menghujat kepada Tuhan yang baik.

Beberapa tahun yang lalu, aku membuat kesalahan dalam pekerjaanku yang membuatku membayar konsekuensi yang mahal. Aku pun merasa bodoh dan bersalah. Tapi, ayahku menguatkanku untuk selalu ingat bahwa Tuhan itu Mahakuasa dan selalu memegang kendali, sehingga aku tidak perlu stres terlalu berat.

Seiring waktu aku melihat bahwa kesalahanku itu menunjukkan ada proses yang seharusnya aku lakukan supaya aku bisa menjalankan tugasku lebih baik. Kita mungkin akan mendapat pelajaran berharga setelah proses berat itu, dan aku merasa tenang ketika tahu bahwa Tuhan selalu memegang kendali.

2 Korintus 12:9 selalu jadi pengingat yang baik bahwa anugerah Allah selalu cukup. Rasul Paulus mengingatkan kita bahwa kuasa Allah paling maksimal diwujudkan dalam kelemahan kita. Kita menjadi lebih terbiasa dengan kelemahan kita karena kita percaya bahwa Tuhan selalu hadir di segala musim.

Jadi, bagaimana kita mengatasi kegagalan dengan lebih baik? Kita menyerahkannya pada Allah, sembari tetap bergerak melakukan yang terbaik dengan apa yang kita punya, percaya bahwa Dia memegang kendali atas segala sesuatu.

Aku pribadi mengalami bahwa terkadang ada kegagalan yang harus kuterima begitu saja. Artinya, aku memilih untuk berkata buat diriku sendiri, “Aku harap itu nggak terjadi, dan mungkin aku bisa lebih baik kalau….. Tapi sekarang aku mau serahkan semua ke Tuhan” alih-alih merenungkan apa saja yang sudah, bisa, dan akan kulakukan, lalu menyalahkan diri sendiri, meratapi kesalahan dan berandai-andai semuanya tidak terjadi.

Aku mau bersikap jujur atas situasi yang kuhadapi dan memahami apa tindakanku yang membuatku tiba di sini, tapi aku juga mau memberi pengertian buat diriku sendiri sebagaimana Tuhan menunjukkanku kasih karunia dan sekali lagi, meyakinkan diriku bahwa Dia mengendalikan segala sesuatu.

Aku masih berjuang memiliki pemahaman tentang Allah yang tak sebatas seperti juri X-Factor, aku terus menutrisi pikiranku dengan firman-Nya supaya apa yang jadi gambaran yang salah tentang Allah dapat tergantikan oleh apa yang benar. Mengenal-Nya adalah sebuah perjalanan, dan pelan-pelan kita akan melihat, mengalami sendiri suara-Nya, kelembutan-Nya.

Mengetahui bahwa Tuhan melihatku, mengenalku dan bersukacita atasku, aku pun dimampukan untuk bersikap baik terhadap diriku sendiri dan bertumbuh dalam pemahamanku akan Bapa yang penuh kasih.

Kutipan Alkitab di artikel ini diambil dari Alkitab Terjemahan Baru Edisi 2 (TB2)