Posts

Gwan-hee Lee: Melalui Kanker, Kristus Nyata Hidup di Tubuhku

Oleh Yosheph Yang
Artikel ini ditulis berdasarkan film dan buku “Church Brother” (교회 오빠) yang mengisahkan perjuangan Gwan-hee melawan kanker.

*Spoiler alert

Segala sesuatu berjalan dengan baik di kehidupan Gwan-hee. Lulus dari salah satu universitas ternama di Korea Selatan, kerja sebagai peneliti di perusahaan besar di Korea, dan menikah dengan istri yang baik (Eun-joo Oh). Tidak sampai 100 hari setelah kelahiran anak pertama (So-yeon Lee), di bulan September 2015, Gwan-hee didiagnosis menderita kanker usus besar stadium empat. Tidak ada yang mengira bahwa ini adalah awal dari penderitaan lain yang menghampiri hidup Gwan-hee.

Hidupku adalah misi dari Tuhan

Di akhir tahun 2015, Gwan-hee dan keluarganya harus menelan pil pahit lain dalam kehidupannya. Ibunya Gwan-hee mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dikarenakan depresi melihat Gwan-hee yang menderita kanker. Eun-joo merasa bersalah tidak tahu bagaimana galaunya kehidupan ibu mertuanya setelah mengetahui berita kanker itu.

Melalui film dokumentasi tentang hidupnya melawan kanker, Gwan-hee sama sekali tidak berusaha menutupi masalah keluarganya. Gwan-hee menanggap apa yang ia alami berada di bawah pengaturan Tuhan, dan ia hanya menyampaikan kehidupannya yang terhempas ini apa adanya kepada orang-orang lain.

Walaupun kenyataannya pahit, Gwan-hee tetap mengasihi Tuhan dan percaya kepada kedaulatan Kristus dalam kehidupannya. Melihat sikap Gwan-hee yang seperti ini, banyak orang bertanya kepadanya. “Dengan kenyataan bahwa ibu kamu meninggal dengan bunuh diri, bagaimana kamu tetap bisa memuji Tuhan dan tidak membenci Tuhan sama sekali?”

Dan beginilah Gwan-hee menjawabnya. “Setelah menerima kenyataan pahit tentang ibuku, aku memulai doaku dengan menyalahkan Tuhan. Tuhan, kapan aku membenci Engkau dengan kanker yang aku terima? Tuhan tahu dengan jelas isi doa-doaku. Aku berdoa tolong Tuhan jaga hati ibuku yang lemah, berikan ibuku kekuatan terhadap berita kankerku. Apabila doa ini tidak didengar sama sekali, selanjutnya doa apakah yang bisa kupanjatkan kepada Engkau, ya Tuhanku?” Ketika Gwan-hee memulai doanya seperti itu, ia merasakan Roh Kudus memberikan penghiburan kepadanya. “Dukacita dan kesedihan yang aku terima tentang meninggal ibuku yang sangat kusayangi itu juga lebih dirasakan oleh Tuhan. Aku juga melihat di dalam hatiku Tuhan menangis ketika memeluk ibuku. Aku tidak bisa membenci Tuhan setelah itu.” Gwan-hee pun mengakhiri doanya saat itu dengan memuji Tuhan. Ia berkomitmen untuk tetap cinta Tuhan apapun kesengsaraan yang akhirnya akan muncul di dalam kehidupannya.

Empat bulan setelah meninggalnya sang ibu, Gwan-hee menerima kenyataan pahit lain dalam kehidupannya. Istrinya yang ia kasihi didiagnosis kanker darah stadium empat. Gwan-hee dalam kesaksiannya menceritakan walaupun kehidupannya tidak dapat dibandingkan dengan kisah Ayub di Alkitab, ia merasakan Tuhan sedang menguji imannya. Di dalam situasinya saat itu, Gwan-hee percaya misinya saat itu adalah tetap percaya kepada Tuhan. Mazmur 50:15 dan Yeremia 33:3 menjadi janji Firman Tuhan yang ia pegang dan percaya di dalam kesesakannya. Berseru dan berdoa kepada Tuhan dengan mengutarakan segala permasalahan dalam kehidupannya menjadi tanggapan Gwan-hee terhadap janji Tuhan yang ia pegang itu.

Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku. (Mazmur 50:15)

Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui. (Yeremia 33:3)

Perenungan melalui kanker

Di dalam masa pengobatan buat Gwan-hee dan istrinya yang sama-sama melawan kanker, mereka bersama-sama melakukan saat teduh di pagi hari. Di pagi itu, mereka membaca dari Roma 3:23, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”.

Gwan-hee membimbing diskusi yang ia lakukan bersama istrinya. Mengapa Tuhan melihat kita sebagai orang berdosa? Kita perlu lebih jelas memahami makna dosa dalam kehidupan kita. Menurut Gwan-hee, dosa adalah walaupun tahu pentingnya percaya Kristus, manusia pada umumnya tidak percaya sepenuhnya kepada Kristus dan tidak memberikan Kristus hak milik seutuhnya dalam kehidupan kita. Selain itu bagi Gwan-hee, dosanya adalah walaupun Tuhan telah memilihnya sebagai bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah (1 Petrus 2:9) yang diciptakan untuk mengasihi orang lain dan menjadi murid Kristus, ia tidak melakukan panggilan tersebut sepenuhnya.

Melalui perenungan tentang relasi antara dosa dan mengasihi orang lain, terlebih di masa pengobatan kankernya, Gwan-hee diajarkan Tuhan tentang apakah dosa itu dan makna kasih yang sebenarnya. Inilah yang menjadi hal yang pertama dalam pertobatannya. “Sebelum kanker tiba, dibandingkan dengan orang lain, aku berpikir bahwa aku melakukan banyak hal-hal baik di dalam atau pun di luar gereja.” Namun, setelah sakit menerpa tubuhnya, Gwan-hee menyadari bahwa dia tidak sepenuhnya mencari kemuliaan Tuhan.

Gwan-hee juga berpikir apabila ia tetap membiarkan rasa kebencian dan akar pahit dalam kehidupannya, itu bisa berdampak terhadap penyebaran sel-sel kanker di dalam tubuhnya. Gwan-hee pun berdoa kepada Tuhan untuk bisa mengasihi, mengerti, dan mengampuni orang-orang tersebut. Tuhan pun memberikan kasih karunia bagi Gwan-hee untuk berubah. “Dengan asumsi bahwa hari yang diberikan adalah hari terakhir dalam hidupku, aku tidak ingin menghabiskan hari yang diberikan ini dengan membenci orang lain,” katanya.

Di dalam masa pengobatan kanker, selain berterima kasih atas pengobatan yang ia terima, Gwan-hee juga berterima kasih karena ia dibandingkan sebelumnya lebih bisa melihat dengan jelas keadaan pikiran dan jiwanya dan bisa bertumbuh lebih lagi secara rohani.

Hanya Kristus yang hidup

Empat belas bulan pasca operasi kanker pertama yang dilakukan oleh Gwan-hee, sel kanker di dalam tubuhnya bertumbuh kembali di tubuhnya. Setelah mendengar kabar itu, tidak ada sama sekali rasa putus asa dan kecewa yang keluar dari mulutnya kepada istrinya. Sebaliknya, ia berkata demikian.

“Akhir-akhir ini, pokok doa dalam kehidupanku adalah di dalam tubuhku aku mati dan hanya Kristus yang hidup. Jika dilihat baik-baik, ini ada perkataan yang keren dan sulit, tetapi bagi aku dan Eun-ju yang saat ini berada di antara hidup dan mati, ini adalah situasi yang bisa kita lakukan. Orang-orang yang sehat pada umumnya, sulit untuk bisa memahami makna ini. Tetapi saat ini, jika kita lihat baik-baik, kita diberikan kesempatan untuk benar-benar mengaplikasikan makna sesungguhnya dari aku mati dan Kristus hidup dalam kehidupan kita. Hidup yang hanya digerakkan oleh Kristus”

Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku (Galatia 2:20)

Banyak orang di sekitar Gwan-hee yang berpikir kalau ia bisa sembuh seutuhnya dari kanker ini adalah mukjizat Tuhan yang luar biasa. Tetapi Gwan-hee berpikir lain. “Melalui pengobatan kanker ini, satu hari untuk hidup yang diberikan oleh Tuhan, itu sendiri adalah mukjizat yang besar. Melalui kanker ini, aku bisa merasakan pentingnya satu hari. Walaupun kanker itu sendiri bukan berkat, kita bisa merasakan pentingnya satu hari. Inilah manfaat yang aku dapat,” katanya.

Gwan-hee menjalani hidupnya hari demi hari. Apabila hanya satu hari saja yang diberikan oleh Tuhan, Gwan-hee mau melalui masa yang singkat itu untuk menjadi orang yang lebih diutuhkan dan dewasa di dalam Kristus. Baginya, inilah alasan hidupnya.

Menghitung berkat dalam hidup

Salah satu alasan lain yang membuat Gwan-hee tidak bisa membenci Tuhan dikarenakan ia selalu menghitung berkat yang ia terima dari Kristus. Di acara perkumpulan bersama para penderita kanker lainnya, ia berkata, “Di dalam pikiranku, aku punya laporan untung dan rugi tentang kehidupanku. Jika aku melihat hidupku seutuhnya dan menghitung berkat yang aku terima dari Tuhan dan membandingkan dengan penderitaan yang aku alami, hasilnya selalu positif. Aku sama sekali tidak bisa membenci Tuhan.”

Terkadang Gwan-hee juga khawatir apakah ia bisa tetap menjaga imannya sampai akhir hidupnya, terlepas apapun masalah lain yang akan muncul. Melalui sakit yang dideritanya, Ia merasakan bahwa ia adalah orang yang lemah yang sangat memerlukan bantuan Roh Kudus untuk hidup hari demi hari. Dengan keyakinan penuh, Gwan-hee berkata, “Bagi kita yang percaya kepada Yesus Kristus, total laporan dalam kehidupan kita tidak akan pernah rugi dikarenakan di laporan keuntungan ada kasih Kristus di atas kayu salib yang menerima kita orang berdosa ini sebagai anak-anak Allah (Yohanes 1:12). Kasih Allah yang di dalam Kristus lebih besar daripada masalah-masalah yang muncul di dalam kehidupan kita.”

Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. (Roma 8:38-39)

Banyak hal lain yang aku juga kagumi di hidupnya Gwan-hee. Di dalam masa pengobatan kankernya, ia lebih memilih tidak menggunakan morfin untuk mengurangi rasa sakitnya. Baginya, dengan morfin, saraf-sarafnya tidak berfungsi secara optimal dan tidak bisa menerima Firman Tuhan. Ia lebih memilih menderita bersama Kristus dibandingkan hidup tanpa Firman Tuhan. Sebagai ganti morfin, ia diberikan obat analgetik-antipiretik.

Masa-Masa terakhir hidup

Setelah operasi kanker keduanya gagal, Gwan-hee memakai waktunya untuk lebih bersama dengan orang-orang yang disayanginya. Gwan-hee sangat kecewa tidak bisa mendampingi anaknya bisa masuk ke hari pertama sekolah, yang merupakan misinya setelah menerima kanker. Terlepas dari kondisinya saat itu, Gwan-hee tetap percaya kepada kedaulatan Kristus. Dia berharap anaknya yang masih kecil itu bisa mencontoh imannya ketika dewasa nanti.

Menjelang akhir hidupnya, Gwan-hee berkata kepada istrinya, “Aku merasa takut. Setiap hari aku berdoa untuk belas kasihan Tuhan, pengampunan atas dosa-dosaku, keselamatan dari kesengsaraanku. Apabila penderitaanku ini kehendak Tuhan, berikan aku kekuatan untuk menghadapinya. Aku terkadang merasakan Tuhan tidak mendengar doa-doaku dan menghempaskanku. Inilah ketakutanku.” Gwan-hee merasakan apa yang Yesus rasakan di atas kayu salib. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46b).

Dini hari tanggal 16 September 2018, Gwan-hee menyelesaikan pertandingan hidupnya dan berpulang ke rumah Bapa di surga. Istrinya berterima kasih kepada Tuhan karena sampai pada akhirnya Gwan-hee tetap beriman kepada Kristus dan percaya kepada pengaturan Kristus. Gwan-hee memberikan kepada keluarganya dan orang-orang di sekitar contoh hidup orang beriman.

Melihat kehidupan perjuangan Gwan-hee melawan kanker, banyak hal yang bisa kita pelajari. Beberapa pelajaran hidup yang aku pelajari dari hidupnya adalah:

  • Pentingnya mendalami kasih Kristus di atas kayu salib bagi kita.
  • Aku berusaha mempelajari kembali makna injil dalam kehidupan. Aku 100% orang berdosa yang diselamatkan oleh Allah melalui pengorbanan Kristus di kayu salib.

  • Memiliki hubungan intim dengan Tuhan adalah cara orang beriman menanggapi kasih Kristus.
  • Gwan-hee di masa kesengsaraannya selalu berusaha mencari Tuhan melalui saat teduh dan doanya. Baginya keselamatannya hanya datang dari Tuhan. Sekalipun dagingnya dan tubuhnya habis lenyap, gunung batu dan bagiannya tetaplah Allah selama-lamanya (Mazmur 73:26).

  • Hidup dengan “fighting spirit” untuk memelihara iman sampai kita kembali bertemu Tuhan.
  • Sama seperti Gwan-hee, kita juga harus menjaga iman sampai garis akhir hidup kita. Apapun permasalahan muncul, kasih Kristus lebih besar dari pada masalah apapun juga. Kita juga bisa menanggap hari yang diberikan Tuhan hari ini adalah hari terakhir kita. Kita tidak mau mengakhiri pertandingan hidup kita dengan tidak taat atau lebih memilih dosa.

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya” (2 Timotius 4:7-8).

Sebagai penutup, aku ingin membagikan lagu yang dibuat berdasarkan renungan saat teduh Gwan-hee Lee. Tuhan memberkati.

Blessed Through Suffering (Lirik dari Note Saat Teduh Gwan-hee Lee)
(Pianis di video tersebut adalah Eun-joo, istri dari Gwan-hee)

I am flying the sky
Up and up I soar into the sky
My wings are strong and I need no more
I will continue and make it to the top

When my Lord broke my wings
And has brought me among the lowest
Now I see what I didn’t see before
My Lord let me see so many souls in pain

Now I know I am blessed through the suffering
My Lord turned my troubles into blessing
and made me kneel before the Cross
when people questioned where my Lord was
I am nowhere to be found now
Only my Lord appears in my humble life

“Who,” you ask me, “is my Jesus?”
Mourners’ Comforter is He
Light and Vision for the blind
He is healing for the ailing
For the dead, He is Resurrection
And in Him we find our life

Baca Juga:

Kebahagiaan Sejati Hanya di Dalam Yesus

Jika ditanya apa yang menjadi sumber kebahagiaan kita? Tentu jawabannya bisa beragam. Ada yang menjawab sumber kebahagiaannya adalah memiliki tabungan berlimpah, rumah, mobil, pekerjaan tetap, anak-anak yang sehat dan pintar, bahkan pensiun di masa tua dengan pemasukan yang terus berjalan.

Dia yang Kukasihi, Dia yang Berpulang Lebih Dulu

Oleh Nia Andrei, Sampit

Kawanku terkasih, tulisan ini adalah cerita singkat dari perjalanan pernikahanku dan suamiku.

Sekitar sebulan lebih setelah pernikahan kami, barulah diketahui bahwa suamiku menderita Leukimia atau kanker darah. Selama beberapa bulan setelahnya, suamiku harus kontrol bolak-balik ke rumah sakit dan transfusi darah.

Karena kondisi sakit kankernya yang membutuhkan perawatan lebih intensif, kami sekeluarga memutuskan untuk melanjutkan perawatannya di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat. Pada hari Sabtu, 2 Februari 2019, aku mendapatkan cuti dari kantorku. Aku sengaja tidak menghubungi suamiku. Aku tidak bilang kalau aku akan menyusulnya ke Jakarta. Hari itu, aku tiba-tiba datang ke ruang perawatannya.

Aku membuka tirai ruangannya dan berkata, “Hai..”

Papa mertuaku yang sedang menemaninya di ruangan pun tersenyum ketika aku datang.

Suamiku kaget, lalu bilang, “Hah?!”

“Kamu seneng nggak aku datang?”

“Iya,” jawabnya lirih.

“Tapi kok biasa aja?”

“Memangnya aku harus loncat-loncat di ranjang?” jawabnya begitu.

Aku tertawa dan menimpalinya dengan candaan, “Iya lah, sambil loncat-loncat di bed.”

Waktu melihat keadaannya, aku hampir menangis, tapi aku tetap berusaha tegar di hadapannya. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis di depan suamiku. Aku melihat lebam besar di pergelangan tangan kanan dan di paha sebelah kirinya. Kuoleskan salep di kedua bagian itu.

Mulai hari itu, aku menginap di RS, menenami dia. Setiap hari sebelum dia tidur, aku mengelus dahinya supaya dia merasa nyaman.

Minggu, 3 Februari 2019

Kegiatanku selama di rumah sakit tiap pagi dan sore adalah mengambil air panas di sudut ruangan. Tiap subuh jam 5, perawat datang untuk mengambil darah suamiku melalui selang cvc yang terpasang di dada kanannya, diukur tekanan darahnya, dan suhu tubuhnya. Aku melap seluruh badannya menggunakan waslap dan mengganti bajunya dengan baju pasien. Sprei dan sarung bantalnya pun tak lupa kuganti. Tiap mengusap wajahnya dengan waslap, aku berkata, “Ayang… Ayang…,” inginku menangis rasanya, tapi aku selalu menahan. Setiap kali dia buang air kecil selalu kucatat berapa mililiter volumenya, demikian juga jika dia minum dan buang air besar. Dia pun rutin menggunakan pengobatan uap untuk perbaikan infeksi di paru-parunya. Kadang hanya berselang satu hari jikalau Hb dan trombositnya turun, pasti dia harus melakukan transfusi darah.

Aku membawa Alkitab pernikahan kami. Setiap pagi sesudah sarapan aku membacakan beberapa ayat Alkitab dan dia hanya memandang diriku. Aku pun memandangi dirinya. Kami berdoa dan menyanyikan lagu-lagu rohani. Rasanya kami mampu menjalani hari ke hari hanya oleh penyertaan dan kasih setia Tuhan yang begitu luar biasa bagi kami.

Senin, 4 Februari 2019

Sama seperti hari-hari sebelumnya, ambil darah setiap pagi lewat selang cvc, disuntikkan antibiotik untuk paru-paru, minum obat pagi siang sore (4 macam), tetap pakai uap untuk perbaikan paru-parunya. Pagi hari itu, aku membacakan sebagian ayat Alkitab dan berdoa bersama. Sempat aku terdiam pada ayat Alkitab dari 2 Korintus 4:16, 5:1-8. Aku menangis dan diam, lalu dia memintaku untuk membacanya sampai habis.

Aku sempat mengobrol serius dengannya, “Hun, aku mau resign dari kerjaanku.”

Dia menjawab, “Kenapa? Pikirkan juga kerjaan.”

“Tapi kamu mau aku di sini sama kamu, kan? Mengurus kamu kan?”

“Iya,”

“Ya udah, jangan dipikirkan dulu.”

Selasa, 5 Februari 2019

Menjalani hari-hari bersama dia di RS, mengurus ini dan itu kebutuhannya setiap hari. Siangnya bertemu dokter paru dan dokter mengatakan bahwa pengobatan untuk paru-parunya perlu tetap dijalankan supaya nanti bisa dilakukan kemoterapi. Dokter sempat mengatakan dia perlu keluar dahulu sejenak supaya bisa menghirup udara segar dan terkena sinar matahari, tapi kondisinya tidak memungkinkan untuk keluar karena dia masih bergantung dengan selang oksigen.

Rabu, 6 Februari 2019

Kami menjalani hari-hari seperti hari-hari sebelumnya. Kami membaca Alkitab dan berdoa bersama.

Kamis, 7 Februari 2019

Sekitar jam 5 subuh, dokter Hematologi datang dan mengatakan kalau dia perlu dibawa keluar dari ruang perawatan supaya mendapat udara segar dan terkena sinar matahari karena udara dalam ruangan tidak baik untuk paru-parunya, antibiotik pun sudah resisten. Tapi, kondisinya masih tidak memungkinkan untuk keluar dari ruangan karena dia terlihat mulai sesak nafas dan bergantung dengan selang oksigen.

Hari itu adalah hari yang berat bagiku karena aku harus kembali ke Sampit dan meninggalkan dia di Jakarta.

Aku bertanya lagi memastikan keputusanku, “Hun, aku mau nanya lagi ni, memastikan. Kamu mau aku di sini kan nemenin kamu, mengurus kamu?”

“Iya, terserah saja. Yang terbaik ya.”

Aku bilang, “Oke kamu gak usah pikirin dulu karena keputusan ada di tanganku, aku mau resign.”

Pagi itu dia sudah terlihat mulai sesak nafas dan aku tak tega meninggalkan dia. Aku menghubungi atasanku untuk memperpanjang izinku, tapi tidak diperbolehkan. Mau tidak mau aku perlu pulang ke Sampit dan bilang bahwa aku ingin resign. Waktu aku pamit pada suamiku, wajahnya memerah. Matanya menatapku seolah ingin berkata, “Hun, jangan pergi.” Tapi aku tetap pergi waktu itu dan kembali ke Sampit.

Jumat, 8 Februari 2019

Pagi harinya aku masuk kantor dan sore hari tepat di jam pulang kantor aku memberanikan diri bilang ke atasanku bahwa aku ingin resign dan keputusan ini sudah bulat. Aku mau fokus merawat suamiku. Atasanku setuju.

Malam harinya aku mendapat kabar kalau dia sudah mulai sesak nafas dan di ruang perawatan pun sudah digunakan monitor jantung dan rencananya suamiku akan segera dibawa ke ICU. Aku menangis, berlutut, dan berdoa kiranya Tuhan dapat menolong dia melewati kondisi yang harus dihadapi. Aku pun bergegas membeli tiket pesawat untuk berangkat ke Jakarta besok paginya lewat Palangkaraya. Singkat cerita, saat dia yang kukasihi sedang berjuang di ruang ICU, waktu menunjukkan pukul 23:45 dan aku mendapat kabar bahwa Tuhan Yesus telah memanggilnya pulang.

Aku tersentak. Aku menangis. Aku meraung dan malam hari itu di Sampit turun hujan yang sungguh deras.

* * *

Aku mampu melewati semuanya, sepanjang perjalanan hubungan kami hingga menikah, semuanya karena kekuatan dan penyertaan daripada Tuhan. Aku mengingat kembali semua kebaikan-Nya pada kami. Walaupun waktu-waktu kami bersama begitu singkat, tetapi aku tetap bersyukur karena Tuhan masih memberikanku waktu untuk merawat suamiku dengan intens selama 6 hari di RS Kanker Dharmais Jakarta. Tuhan Yesus, terima kasih, Engkau sangat baik.

Sampai saat ini pun, aku tetap merasakan kasih dan penyertaan Tuhan dalam kehidupanku walau terkadang aku sangat rindu dengan suamiku, dia yang kukasihi.

Semoga kesaksian tentang sekelumit kisah kehidupanku dan alharhum suamiku bisa menjadi berkat bagi semua yang membaca kisah kehidupan kami.

Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Baca Juga:

Wanita untuk Kemuliaan Allah

Pada saat Ia bangkit dari kematian-Nya, saksi pertama dari kisah yang mengguncangkan sejarah itu adalah Maria Magdalena, seorang wanita. Mengapa bukan tokoh yang dianggap penting seperti Petrus, Yohanes, Yakobus, atau murid pria lainnya?

Apakah Sakit Kankerku Merupakan Bagian dari Rencana Tuhan?

Oleh Debra Hunt, Selandia Baru
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Can Cancer Be Part Of God’s Plan?

Satu kalimat yang tak pernah ingin kudengar: “Kamu terkena kanker.”

Usiaku 31 tahun ketika aku menerima diagnosis mengejutkan itu. Aku dan suamiku dikaruniai tiga orang anak yang masih kecil dan aku bekerja sebagai pendeta bagi anak-anak di gerejaku.

Kanker payudara tidak pernah menjadi rencanaku selama lima tahun, atau rencana-rencana lain yang kubuat dalam hidup. Aku tidak merokok, tubuhku rasanya sehat dan bugar, pun tak ada catatan sejarah keluargaku yang mengidap kanker payudara.

Namun, terlepas dari semua fakta itu, aku mendapati diriku terduduk di ruangan berdinding hijau, mendengarkan dokterku menjelaskan seberapa jauh kankerku sudah menyebar. Kankerku tidak terdeteksi sejak awal, dan berkembang lumayan cepat, jadi sang dokter menyarankan perawatan yang kulakukan meliputi operasi, kemoterapi, radiasi, dan terapi endokrin* selama 10 tahun. Dia memprediksi jika aku bisa melalui semua perawatan itu, aku punya 75 persen kesempatan hidup selama lima tahun ke depan.

Minggu-minggu setelahnya, pelan-pelan aku melepaskan segala impian dan harapanku untuk masa depan, termasuk juga impianku untuk gereja tempatku bekerja dan melayani.

Hidupku terganggu. Aku mendapati diriku bertanya, “Tuhan, kenapa? Mengapa Engkau mengizinkan ini terjadi atasku? Mengapa Engkau izinkan kanker merenggutku dari sesuatu yang Kau inginkan untuk aku raih?”

Jemaat gereja mendoakanku. Aku berdoa untuk diriku sendiri, memohon supaya Tuhan menyembuhkanku.

Yang kurasakan saat itu adalah Tuhan cuma ingin aku percaya pada jalan yang Dia rancangkan. Ya, aku tahu Tuhan bisa menyembuhkanku, tapi maukah aku tetap percaya jika Dia tidak melakukannya?

Butuh berminggu-minggu buatku untuk menerima kenyataan jika seandainya aku tidak sembuh. Namun, setelah berlinangan air mata, aku sadar seharusnya responsku adalah: “YA!” Ya, aku harus percaya Tuhan, sekalipun Dia tidak mengambil kanker ini dari tubuhku. Alkitab berkata Tuhan itu dapat dipercaya, dan aku memilih untuk percaya pada-Nya. Aku meletakkan imanku pada-Nya karena aku tahu Dia selalu peduli padaku. Aku bersandar pada sebuah ayat favoritku, “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7).

Aku memutuskan untuk berhenti meminta Tuhan seketika menyembuhkanku, melainkan aku memohon supaya aku dikuatkan dan percaya pada-Nya melalui setiap proses perawatan yang kulakukan.

Berkat-berkat tidak terduga

Apa yang kudapati sepanjang proses perawatanku adalah: meskipun rasanya sulit, Tuhan melimpahkan berkat-Nya dalam perjalananku ini.

Ketika aku pikir aku akan segera meninggal, dunia menjadi terlihat amat indah. Teringat akan kematianku sendiri, aku jadi melakukan segala sesuatu seolah itu adalah hal terakhir yang bisa kulakukan.

Aku berjalan menuju pintu di pagi hari dan terkagum akan embun yang menetes dari dedaunan, sinar mentari yang menyelinap di antara batang-batang pohon, dan bunga-bunga yang terkatup saat malam namun mekar merona kala fajar sambil disinari cahaya surya yang benderang. Keindahan di sekelilingku menjadi amat indah. Hidupku yang terancam oleh kematian membawaku untuk lebih bersyukur atas keindahan ciptaan-Nya; aku bisa melihat karya tangan Tuhan yang ajaib di mana-mana.

Aku juga diberkati dengan kedekatan yang istimewa dengan Yesus. Aku terkejut, karena aku merasa tidak seperti berjalan bersama-Nya di masa-masa berat ini… aku merasa Yesus menggendongku. Sejujurnya aku adalah orang yang pesimis dan agak negatif, tapi rasanya Yesus telah menolongku untuk merasa lebih positif dan optimis daripada hidupku yang biasa. Ya, menjalani hidup seperti ini masih terasa seperti tantangan sepanjang waktu, tapi aku selalu merasa Tuhan ada bersamaku, dan ada kedamaian tak terkatakan dalam hatku.

Menderita kanker juga membuka kesempatan bagiku untukku membagikan kisah kasih Tuhan. Aku diundang berbicara di beberapa acara, juga menulis di blog. Semua itu tak cuma menolongku untuk menikmati pengalamanku sendiri, tetapi mengizinkanku untuk bicara tetang hidup dan harapan yang orang-orang lain belum dapat memilikinya saat ini.

Kanker bukanlah rencana yang baik

Apakah berkat-berkat tak terduga yang kutuliskan di atas artinya kanker adalah rencana yang baik dari Tuhan? Kupikir tidak.

Ketika Tuhan membuat segala sesuatunya baru, di sana tidak akan ada lagi kesakitan dan kesedihan (Wahyu 21:4). Kanker bukanlah rancangan Tuhan bagi umat manusia, dan kanker tidak akan menguasai manusia selamanya—Tuhan kelak akan mengakhirinya. Tapi, sayangnya, untuk saat ini, kanker ada dalam hidup manusia, berkembang dalam tubuh, dan mempengaruhi banyak aspek kehidupan mereka yang menderitanya.

Seiring aku melanjutkan perjuanganku melawan kanker, aku tahu Tuhan tidak sedang duduk diam di surga sembari berkata supaya aku tetap kuat. Tuhan ada di sisiku, mengusap tetesan air mataku dan menguatkan tubuhku yang rapuh.

Aku yakin akan hal ini karena Yesus berbelas kasih atas ciptaan-Nya. Ketika Lazarus meninggal, Yesus menangis dan larut dalam sedih—meskipun Dia tahu akhir ceritanya akan bahagia! Yesus tahu Dia dapat membangkitkan Lazarus dari kematian, namun Dia mengizinkan diri-Nya diliputi kesedihan (Yohanes 11:35). Jadi, aku tahu bahwa menyakitkan pula bagi Tuhan untuk melihat ciptaan-Nya menderita dan kesakitan, rapuh, dan tak berdaya.

Kanker bukanlah rencana Tuhan. Itu adalah hasil dari dunia yang telah jatuh dalam dosa. Namun suatu hari kelak, Yesus akan mengakhiri segala kanker untuk semua orang.

Untuk saat ini, aku percaya Tuhan dapat menggunakan penyakit mengerikan ini untuk melakukan hal-hal menakjubkan. Meski aku mungkin terguncang karena kanker, Tuhan tidak. Tuhan sudah mengetahui Dia ingin memberikan sesuatu yang indah bagiku. Tuhanlah yang akan mengganti debu dengan mahkota yang indah, dan mengubah dukacita menjadi sorak sukacita (Yesaya 61:3, Mazmur 30:11). Kita bisa berhenti resah dan percaya pada-Nya, sebagaimana tertulis dalam Matius 6:25-27 dan Filipi 4:6-7.

Satu tahun telah berlalu dari perawatan yang kulalui, dan puji Tuhan keadaanku baik. Aku masih bergumul dengan kesehatanku, efek samping pengobatan, dan kekhawatiran apabila kankerku kembali. Tapi, aku amat bersyukur atas setiap kebaikan yang Tuhan telah lakukan dan yang akan Dia terus lakukan sepanjang perjalanan hidupku.

Kanker, sakit, atau penderitaan bukanlah rancangan yang Tuhan ingin berikan buatmu. Jika saat ini kamu menghadapi masa-masa yang sulit atau sedang berjuang melawan sakit, maukah kamu bersama denganku percaya pada-Nya, bahwa Tuhan mampu menggunakan keadaan kita yang buruk sekalipun untuk kebaikan?

*Terapi endokrin adalah terapi hormon untuk memperlambat atau menghentikan pertumbuhan sel kanker.

Baca Juga:

Karuna Sankara, Ini Suratku Untukmu

Karuna, bayi perempuan mungil yang jadi hadiah luar biasa bagi pernikahan kami dari Tuhan. Namun, kami harus belajar untuk melepasnya. Inilah pergumulan amat berat yang harus kami lalui.

Andrew Hui: Usiaku 32 Tahun dan Aku Menanti Ajalku

Ditulis oleh Janice, Singapura
Foto oleh Andrew Hui
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Andrew Hui: I’m 32 And I’m Dying

Di usia 32 tahun, Andrew hanya memiliki waktu dua hingga tiga bulan untuk hidup.

Pengobatan dengan cara radiasi telah dihentikan sebulan yang lalu setelah dianggap tak lagi efektif untuk mengendalikan penyebaran sel kanker dalam tubuhnya. Sejak saat itu, sel-sel kanker berkembang cepat dan menyerang ke hampir semua organ tubuh yang penting, juga menekan pembuluh darahnya.

Meskipun ia hanya punya waktu satu bulan atau lebih untuk tetap tersadar dan berpikir jernih, Andrew dengan antusias meluangkan waktunya untuk wawancara. Setelahnya, ia akan dipulangkan ke rumah agar merasa lebih nyaman sebelum kematiannya yang mendekat.

“Aku mau mendorong orang-orang untuk percaya kepada Tuhan di momen-momen tergelap hidup mereka,” katanya.

Penemuan yang Mengejutkan

Andrew tidak selalu melihat keadaannya dengan cara yang positif. Butuh perjuangan berbulan-bulan sampai akhirnya ia tiba di tahap ini: merasa damai dan menerima keadaan dirinya. Ini terjadi di bulan Juni lalu.

Para dokter menemukan kanker dalam tubuhnya ketika Andrew dilarikan ke UGD di suatu malam karena demam tinggi. Hasil rontgen menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan tumor di bagian atas dadanya. Tes biopsi setelahnya menunjukkan tumor itu sebagai tumor getah bening stadium-1.

Para dokter yakin bahwa ini bukanlah penyakit yang sulit disembuhkan, bahkan mengatakan kalau 90 persen orang-orang yang mengalami tumor pada tahap ini berhasil sembuh.

Jadi Andrew pun meletakkan harapannya pada perkataan dokter tersebut dan ilmu pengetahuan medis, menganggap bahwa perawatan-perawatan yang nanti dilakukannya akan seperti “liburan” beberapa bulan, lalu setelahnya pulih kembali.

Tapi, Andrew bukanlah termasuk 90 persen orang itu. Ia ada di 10 persennya.

Terapi R-EPOCH, sejenis kemoterapi yang dijalaninya ternyata tidak menolong.

Dokter lalu menggunakan jenis kemoterapi lain yang lebih kuat (RICE Therapy namanya). Kali ini, mereka mengatakan, ada kemungkinan 70-80 persen sembuh.

Andrew pun menjalani terapi ini sebanyak empat kali, tapi, lagi-lagi dia tidak termasuk dalam presentase orang yang berhasil sembuh.

Andrew harus menjalani terapi lain, immunotherapy, yang katanya cocok untuk 99 persen pasien.

Tapi, lagi-lagi Andrew tak termasuk dalam 99 persen itu. Tubuhnya tidak cocok menerima terapi ini karena efek samping yang muncul kemudian.

“Ini adalah pesan sederhana yang bisa kamu dapatkan dari Tuhan, tidakkah kamu berpikir begitu?” kata Andrew tanpa basa-basi, dengan diwarnai tawa.

“Aku telah meletakkan imanku pada ilmu pengetahuan medis dan ketika itu gagal, Tuhan menunjukkanku bahwa aku perlu mengubah cara pandangku dan berbalik kepada-Nya seutuhnya,” tambahnya.

Waktu-waktu penuh pertanyaan

Meskipun telah menjadi orang percaya sejak muda dan aktif melayani di gereja sebagai pemusik dan ketua, Andrew bergumul dengan Tuhan karena penyakitnya.

Kenapa aku?

Andrew bukanlah orang yang tidak menjaga gaya hidupnya.

Sebagai seorang bankir muda, dia tidak mabuk ataupun merokok. Malah, dia lebih memilih makan salad untuk makan siang lima hari dalam seminggu dan rutin berolahraga di gym sepulang kerja.

Kenapa sekarang?

Pertanyaan-pertanyaannya kepada Tuhan menumpuk dengan tebal dan cepat. “Aku baru memenuhi 10 persen saja dari mimpi-mimpiku, dan kupikir Tuhan akan memakaiku untuk tujuan yang lebih besar. Aku telah melayani di gereja selama 20 tahun, dan inikah caraku pergi meninggalkan dunia? Beginikah cara Tuhan memberi tahu pada dunia bahwa Ia peduli pada hamba-Nya?”

Dalam amarah dan kekecewaannya pada Tuhan, Andrew juga mengecam orang-orang Kristen lainnya.

“Mereka berkata dan mendeklarasikan kesembuhan atasku. Mereka percaya bahwa oleh bilur-bilur-Nya, Tuhan telah menanggung segala sakit kita (Yesaya 53:5). Tapi, aku tidak bisa menerima fakta bahwa kenyataannya aku tidak disembuhkan, tapi malah semakin parah. Rasanya mereka memberiku harapan palsu. Jadi aku memarahi dan mengusir mereka,” kata Andrew.

“Caraku melihat diriku, jika Tuhan memilih untuk menyembuhkanku, maka tugas-tugasku di dunia belum selesai dan aku akan melanjutkannya. Jika aku tidak sembuh, maka inilah waktuku untuk pulang. Jadi, sembuh atau tidak, kupikir itu solusi yang sama-sama menang.”

Pergumulan berat lain yang harus Andrew hadapi adalah kesakitan fisik yang luar biasa.

Andrew harus berjuang menghadapi mual, lesu, rambut rontok, dan seringkali dia muntah sampai semua isi perutnya mengotori dinding.

Batuk kronis juga membuatnya tidur meringkuk seperti bola di atas kasurnya. Ia merasa hatinya hancur setiap kali ibunya menangis di samping tempat tidurnya.


Liburan terakhir Andrew bersama Ibunya pada Desember 2018


Andrew dan keluarganya di bulan April 2019

Sebuah titik balik

Namun, perasaan damai yang mendalam dan kepasrahan diri menghadapi kematian datang ketika pandangan Andrew tentang Tuhan berubah.

“Aku selalu melihat kedaulatan Allah atas hidupku sebagai sesuatu yang tak bisa dipertanyakan. Tuhan bisa melakukan apapun seturut yang Ia mau dan suka, dan kita tidak punya hak untuk bertanya untuk apa, meminta sesuatu, kecuali Tuhan memberinya. Aku melihat kedaulatan-Nya sebagai kebijaksanaan yang amat tinggi dan luar biasa,” kata Andrew.

“Tapi kemudian aku sadar bahwa cara Tuhan menunjukkan kedaulatan-Nya adalah melalui kasih. Apa yang terjadi padaku mungkin tidaklah baik, tetapi Tuhan itu baik dan kedaulatan-Nya terlihat dari bagaimana Ia menggendongku melewati badai kehidupan ini.”

Salah satu ayat yang menolong Andrew tiba pada pemahaman ini adalah Efesus 3:17-18 yang berkata, “Sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus.”

Kepercayaan Andrew pada kasih Tuhan dan kedaulatan-Nya telah menyingkirkan segala takut yang dulu ia hadapi ketika harus menghadapi ajalnya.

“Aku tidak takut mati sekarang. Ketika aku menutup mataku untuk terakhir kalinya, aku yakin aku pergi dan berada bersama-Nya, lebih yakin daripada aku biasanya naik pesawat meskipun aku tahu ke mana tujuan pesawat itu.”

“Inilah keyakinan yang kepada-Nya aku bersandar. Tanpa itu, jika Allah ataupun Yesus tidak ada, aku akan memilih bunuh diri karena segala harapanku hilang dan hidupku tidak ada maknanya.”

Andrew juga amat bersyukur memiliki keluarga jemaat yang berpuasa, berdoa, dan menangis bersamanya selama masa-masa sakitnya. Banyak relawan membelikan makanan atau mengantarkannya dari rumah sakit ke rumah dan sebaliknya.

Sebuah momen yang menyentuh

Meskipun Andrew dilahirkan di keluarga Kristen dan tumbuh besar di gereja, dia baru benar-benar “datang kepada iman” atau memahami betul imannya pada usia 16 tahun.

Dia ikut kelompok paduan suara lelaki di gereja dan lagu berjudul “So You Would Come” menyentuh hatinya:

Nothing you can do
Could make Him love you more
And nothing that you’ve done
Could make Him close the door

Tiada yang bisa kamu lakukan
Yang bisa membuat-Nya lebih mengasihimu
Dan tiada hal yang telah kamu lakukan
Yang bisa membuat-Nya menutup pintu untukmu

Kata-kata itu merobek hati Andrew seiring ia selalu berusaha melakukan hal-hal baik atau melayani di gereja untuk memperoleh pengampunan atas dosa-dosanya.

Lirik lagu itu memberikan Andrew kebebasan. Andrew sadar bahwa Tuhan mengasihi-Nya dan tidak ada yang perlu ia lakukan untuk mendapatkan itu. Hanya oleh anugerah saja ia diselamatkan, bukan karena hasil usahanya. Kebenaran ini memberikan Andrew harapan, meskipun banyak dosa-dosanya, Tuhan tidak pernah berhenti mengasihinya.

Tetapi, perjalanan hidup setelahnya tidak selalu berjalan mulus.

Meskipun ia kuliah di jurusan Komunikasi dan Media Massa, ia bekerja di sektor perbankan setelah lulus karena bidang ini lebih menjanjikan secara finansial.

Angka-angka tidak membuatnya bergairah, tapi ia menggunakan uangnya untuk memenuhi dirinya dengan pengalaman. Andrew suka traveling untuk mengalami budaya ataupun makanan yang baru. Ia pun mendukung gereja dengan mendanai program misi.

Andrew bekerja berjam-jam untuk meraih karier di perusahannya. Kerja selama 12 jam menjadi normal. Jabatan terakhirnya adalah sebagai seorang manajer di perusahaan perbankan.

Tetapi, apa yang dipelajarinya pada usia 16 tahun tidak pernah luput dari hidupnya. Kedamaian yang datang dari keyakinan akan penerimaan penuh dari Tuhan dan kasih-Nya untuk dirinya, adalah kasih yang sama yang menjagai hatinya sekarang ketika Andrew harus bertarung melawan pertempuran yang lebih besar menghadapi kematiannya.


Andrew dan teman-temannya menolong pembangunan panti asuhan di Thailand

Berkat melalui iman

Di samping memiliki jaminan akan kedamaian dan kepastian bertemu Yesus di surga kelak, Andrew berkata bahwa imannya memberikan cara yang berbeda untuk mengatasi sakitnya.

“Ketika aku berseru pada Tuhan memohon pertolongan-Nya di malam hari karena sakitku, aku mendapati sakit itu berkurang ketika aku berfokus kepada-Nya dan aku pun tertidur nyenyak setelahnya,” kata Andrew.

Iman Andrew juga memampukannya melihat berkat yang timbul dari sakitnya, seperti mengetahui kapan ia akan meninggal, dan juga untuk pergi meninggalkan dunia ini dan melepaskan segala penyakit yang besertanya.

“Karena ini, aku bisa mempersiapkan kematianku, mengatakan apa yang perlu kukatakan dan melakukan apa yang perlu kulakukan.

Obat-obatan dan terapi juga menolongku untuk meninggalkan dunia dengan lebih nyaman dan tentunya dengan senyuman di wajahku.”

Belakangan ini, ia mulai mampu mengobrol dengan orang tuanya tentang apa yang akan mereka lakukan ketika ia telah pergi dan akan dijadikan apa nanti kamarnya.

“Adalah sebuah berkat untuk bisa berdiskusi tentang hal itu, karena mereka bisa bertindak dengan lebih jelas setelahnya,” kata Andrew yang sedang menyiapkan “kotak ajal” yang isinya adalah pesan selamat tinggal untuk orang-orang yang dikasihinya.

“Aku tidak percaya pemakaman yang menyedihkan. Aku mau pemakamanku nanti dipenuhi sukacita dan sekarang aku mau bertemu dengan orang-orang selagi aku bisa, untuk mengucap syukur dan menguatkan mereka yang penting buatku, juga menikmati makan bersama-sama,” ucapnya. Adrew suka memasak dan sering menggunakan hobinya ini untuk kegiatan penggalangan dana di gerejanya.

Hari-hari ini, ia mendapati dirinya tidak banyak berpikir tentang kematian, tetapi tentang hal-hal “jangka pendek” seperti kerinduannya makan sup iga.

Satu impian yang belum terlaksana bersama kedua teman dekatnya adalah membuat warung makan yang menyediakan sup untuk para pekerja migran atau orang-orang yang kekurangan.

“Jika aku diizinkan untuk menghidupi hidupku lagi, aku pikir bagian yang ingin aku ubah adalah aku ingin lebih terlibat di pelayanan sosial karena itu akan memberi dampak banyak pada kehidupan orang lain. Tapi, sekali lagi, aku tidak tahu. Aku adalah aku hari ini karena segala pengalaman di masa lalu yang telah membentukku.”

Permintaan terakhir

Keinginan terbesarnya adalah untuk terhubung kembali dengan orang-orang yang pernah mewarnai hidupnya, teman-teman sekolahnya yang sudah lama hilang kontak.

Ketika ditanya mengapa ia mau memprioritaskan waktunya untuk orang-orang yang tidak dekat dengannya, Andre berkata hatinya ada buat mereka. Andrew ingin mereka tahu tentang kedamaian yang hanya bisa didapat dalam Kristus.

“Entah mereka sibuk bekerja atau bergumul dalam masalah masing-masing, aku mau membagikan bahwa kedamaian inilah yang aku miliki bersama mereka. Jadi, ketika tiba saatnya kehidupan mereka berakhir, yang tentunya bisa terjadi kapan saja, mereka mengenal sebuah kedamaian yang tidak bisa diberikan oleh uang, relasi, ataupun kekayaan.”

“Aku mau mereka mendengarku bukan sebagai seseorang yang meninggal, tetapi sebagai seseorang yang menanti mereka di surga dan rindu bertemu mereka kembali di surga kelak.”


Tangkapan layar dari status Facebook Andrew pada 16 Agustus 2019

Catatan:
Andrew telah meninggal dunia dengan tenang pada pukul 23:25 di tanggal 31 Agustus 2019.

Baca Juga:

Mengasihi Tuhan dengan Melakukan yang Terbaik dalam Pekerjaanku

Setiap orang tentu menginginkan kehidupan yang berdampak bagi banyak orang. Tapi, pertanyaan yang muncul di benakku adalah: “apakah yang aku kerjakan sudah memberi dampak ya?”

Jangan Sia-siakan Waktu Menunggumu!

Oleh Jalen Galvez, Filipina
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Don’t Waste Your Waiting

Tahun 2016, ibuku didiagnosis kanker payudara stadium empat.

Ketika aku mendengar kabar ini, aku bertanya-tanya mengapa pada Tuhan. Ada banyak pertanyaan dalam benakku, dan aku tidak bisa tidak memikirkannya. Sulit bagiku untuk menghadapi situasi yang akan aku dan keluargaku hadapi, karena ini bukanlah sesuatu yang kami harapkan terjadi. Imanku pun terguncang. Mengapa harus ibuku?

Menunggu adalah hal yang sulit, terlebih ketika kita tidak tahu bagaimana jawaban dari doa-doa kita kelak. Aku bergumul selama masa-masa itu, aku susah payah menginginkan jawaban dari Tuhan apa alasan dan tujuan dari semua peristiwa ini. Aku meragukan-Nya, karena aku tidak tahu kapan dan bagaimana Tuhan akan menjawab doaku. Itulah bagian tersulit dari menunggu. Tetapi, seiring aku terus mencari-Nya lewat doa dan firman-Nya, Tuhan menolongku untuk mengerti bahwa di saat aku menunggu, Dia bekerja.

Hari-hari setelah kami mengetahui kondisi ibuku, aku bersaat teduh di perpustakaan. Aku berdoa memohon Tuhan menunjukkan diri-Nya lewat firman-Nya, lalu kubukalah Alkitabku. Hari itu aku membaca Lukas 8:40-56, ketika Yesus menyembuhkan anak Yairus. Dalam Lukas 8:50, Yesus menghibur Yairus, “Jangan takut, percaya saja, dan anakmu akan selamat.”

Saat membaca ini, aku merasa terhibur. Aku dengan yakin mengimani Tuhan pun akan menyembuhkan ibuku. Lebih penting lagi, aku diyakinkan bahwa Tuhan sanggup bekerja dalam situasi ini dan memberi kita penghiburan jika kita berfokus kepada-Nya. Kita tidak perlu takut dengan keadaan kita sekarang ataupun yang kelak datang.

Ada tujuan dalam menunggu

Aku telah belajar bahwa di tiap momen menunggu, Tuhan punya tujuan. Roma 5:3-5 mengingatkan kita:

Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.

Pencobaan yang kita alami menuntut kita untuk hidup bergantung pada anugerah yang Tuhan sediakan. Melalui pengalaman ini, aku belajar bahwa setiap jam adalah anugerah Tuhan buat kita. Saat aku membuka hatiku kepada firman-Nya dan bertumbuh dalam kasih pada-Nya, aku dikuatkan bahwa apapun yang terjadi, aku dapat berpegang teguh pada keyakinan bahwa Tuhan bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan (Roma 8:28).

Seiring kita menanti Tuhan untuk bekerja dalam hidup kita, ini adalah kesempatan untuk kita bertumbuh dalam kesabaran, membesarkan kapasitas hati, dan menyerahkan hidup kita pada Tuhan. Kali pertama aku menyerahkan hidupku pada Tuhan adalah tahun 2012, ketika aku menjadi orang Kristen dan dibaptis. Selama masa-masa sulit, aku terus mengingatkan diriku lagi dan lagi, “Hey, kamu sudah menyerahkan seluruh hidupmu pada Tuhan, jadi Dia sanggup menyelesaikan masalahmu ini.” Aku perlu selalu mengingatkan diriku, apapun keadaannya, aku selalu bisa meletakkan kepercayaanku pada Tuhan.

Menunggu bukanlah pekerjaan sia-sia. Ketika kita berdoa dan menanti jawaban, marilah kita membuka mata kita akan kebesaran Tuhan. Waktu Tuhan mungkin berbeda dari kita. Pun rancangan-Nya tak memerlukan persetujuan dari kita. Meskipun kita tidak tahu bagaimana doa kita akan dijawab-Nya, marilah kita dengan iman meyakini Tuhan bekerja di dalamnya.

Meskipun kita merasa seperti terombang-ambing dalam samudera ketakutan, kekhawatiran, dan kesedihan, marilah kita mengingat bahwa Tuhan tahu apa yang Dia sedang lakukan dalam hidup kita. Kadang hanya dengan jatuh ke air yang dalam, kita dapat menengadah kepada Dia yang mampu menyelamatkan kita dari tenggelam—Yesus. Yang diminta Yesus hanyalah kita menantikan-Nya seperti iman seorang anak kecil, percaya bahwa Dialah Bapa yang sangat peduli akan hidup kita.

Ibuku saat ini masih menjalani kemoterapi oral. Inilah jawaban bagi doa-doa kami, karena keluargaku berharap ibu bisa menghindari kemoterapi lewat pembuluh darah. Ini adalah sesi terakhir kemoterapinya. Meskipun sampai saat ini ibuku belum dinyatakan sembuh total dari kanker, kami punya iman dia pasti sembuh! Tapi, apapun yang kelak akan terjadi, kami percaya Tuhan memegang kendali dan selalu beserta kami dalam setiap langkah kami.

Anugerahmu adalah satu-satunya
Yang memampukanku melalui semuanya
Dengan sabar, aku mau menantikan-Mu

Baca Juga:

Kisah Cinta Eli

Eli mencintai negaranya, dan ia rela mati demi tugas. Eli mencintai istrinya, dan ia menjaga kesetiaanya sampai tali gantungan memutus nafasnya di lapangan El Marga, di kota Damaskus yang berdebu.

Tuhan Yesus Menyelamatkanku dengan Cara-Nya yang Tak Terduga

Oleh Aisha*, Jakarta

Aku bukanlah orang Kristen sejak lahir. Orang tua dan keluarga besarku pun tidak ada yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Keluargaku melarangku berteman dengan orang yang tidak seiman dengan kami. Sampai aku duduk di kelas 2 SMP, aku tidak pernah tahu Yesus itu siapa. Hingga akhirnya aku pun pindah sekolah ke Jakarta dan di sekolah itu aku memiliki teman-teman yang beraneka ragam.

Suatu ketika, aku berdiskusi dengan temanku yang Kristen. Dia bercerita kepadaku tentang Tuhan, dan itu membuatku sangat penasaran. Katanya, Tuhannya itu bernama Yesus yang sangat penuh kasih. Yesus rela mati di kayu salib demi menebus dosa manusia. Tapi, aku merasa apa yang disampaikan temanku itu berbeda dengan apa yang disampaikan oleh guruku dulu dan aku malah ngotot bahwa apa yang temanku percayai itu salah. Namun, aku merasa ada sebuah pertanyaan besar mengganjal di hatiku, “Siapakah Yesus sebenarnya?”

Diselamatkan melalui tragedi

Saat itu aku adalah orang yang suka tidak bersyukur dan hidup tanpa hikmat. Ayah dan ibuku telah bercerai sejak aku masih bayi dan aku pun dirawat oleh nenekku. Latar belakangku dari keluarga broken-home membuatku sering berpikir pendek atas masalah-masalah yang kuhadapi. Aku sering merasa lelah dengan hidupku dan sempat beberapa kali mencoba bunuh diri.

Hingga suatu ketika, saat aku berusia 14 tahun, suatu hal yang tidak kuinginkan terjadi kepadaku. Aku divonis menderita sakit kanker darah stadium dua. Untuk mengobati penyakit itu seharusnya aku menjalani operasi pencangkokan sumsum tulang belakang. Tapi, karena tidak mendapat pendonor sumsum tulang belakang yang cocok, akhirnya aku hanya menjalani pengobatan kemoterapi dan radioterapi selama beberapa kali.

Penyakit ini membuatku merasa menjadi beban buat keluargaku. Nenekku tidak dapat membiayai pengobatanku, jadi ibukulah yang bertanggung jawab untuk masalah keuanganku. Tapi, saat itu ternyata ibuku sedang kesulitan ekonomi. Kalau sebelumnya aku pernah ingin bunuh diri, saat itu aku ingin bertahan hidup. Aku ingin sembuh supaya bisa membalas budi perjuangan ibuku. Tapi, melihat keadaan yang sepertinya tidak baik itu, aku jadi sangat sedih dan aku pun pasrah atas hidupku, mungkin sudah waktunya aku pulang ke pangkuan Tuhan.

Hari-hariku kemudian terasa berat. Rasa sakit yang timbul dari sakit kanker itu luar biasa. Hingga suatu ketika, saat aku sedang kesakitan di rumah sakit, tanpa sadar aku teringat akan Tuhan Yesus, nama yang dahulu pernah temanku ceritakan kepadaku.

“Aku sakit, aku sesak, tolong aku! Tolong aku, Yesus! Jikalau memang Engkau adalah Tuhan, aku mohon pulihkan aku!” kataku pada Tuhan.

Air mataku pun jatuh membasahi pipiku. Aku masih tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hidupku, tapi saat itu aku merasakan ada kedamaian yang tak biasa. Aku merasa seperti ada harapan dan kekuatan untuk berjuang melawan penyakit kankerku.

Singkat cerita, aku pun terus melanjutkan proses pengobatan radioterapiku. Hingga suatu ketika, saat dokter melakukan pemeriksaan kembali, hasilnya mengejutkanku. Dokter melihat bahwa sel-sel kankerku hilang, dan aku dapat dinyatakan sembuh. Dokter dan orang tuaku yakin bahwa kesembuhan ini terjadi sebagai buah dari pengobatan rutin yang kulakukan. Tapi, buatku pribadi, aku merasa yakin bahwa kesembuhan ini adalah anugerah dari Tuhan Yesus yang telah mendengarkan seruan minta tolongku.

Menjalani hidup yang baru bersama Tuhan Yesus

Saat itu usiaku 14 tahun, tapi aku begitu yakin untuk memantapkan imanku kepada Tuhan Yesus. Lewat bantuan beberapa temanku yang percaya pada Yesus, aku pun bertemu dengan seorang hamba Tuhan dan mengucapkan pengakuan iman percayaku dengan lidahku sendiri. Aku melakukan semuanya itu secara sembunyi-sembunyi, sebab aku tidak ingin menimbulkan kegaduhan dalam keluargaku.

Sekarang, sudah tiga tahun berlalu sejak Yesus masuk ke dalam hidupku. Selama waktu inilah aku mendapati bahwa mengikut Kristus bukanlah hal yang mudah. Berbagai masalah tetap ada dalam hidupku. Namun, di balik semua masalah itu, Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Di malam sebelum Paskah, aku teringat akan betapa beratnya proses yang Tuhan Yesus lakukan sampai Dia disalib di Golgota. Aku pun merasa tertegur. Tuhan Yesus sudah begitu baik buatku. Dia tidak hanya menyembuhkanku dari sakit fisik di dunia, melainkan juga menyelamatanku dari kesakitan kekal akibat dosa. Aku pun menangis, bukan karena sedih, tapi tangis bahagia karena aku punya Tuhan yang sangat mengasihiku yang hina ini.

Melalui ujian-ujian dalam hidupku, imanku semakin kuat dan semakin besar juga keinginanku untuk lebih mengenal dan dekat dengan Tuhan. Aku mengenal Tuhan Yesus sebagai Pribadi yang penuh kasih. Dia adalah Tuhan yang ingin agar kita, ciptaan-Nya kelak tinggal bersama-sama dengan Dia di surga. Dan, untuk itulah Dia rela disiksa dan disalib. Aku bersyukur kepada Tuhan atas iman yang Dia berikan padaku. Sekarang hidupku sudah terjamin, karena aku tahu ke mana tujuanku kelak setelah kehidupan ini berakhir.

“Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Roma 10:9).

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Belajar dari Kisah Aldi, Yang Kita Butuhkan Bukan Hanya Makanan Jasmani Saja

49 hari terkatung-katung di laut, Aldi putus asa dan hampir saja mengakhiri hidupnya. Namun, ada satu yang membuatnya kembali menemukan harapan: firman Tuhan.

Tuhan Mengubah Kesedihanku Menjadi Sukacita

Oleh Callie Opper, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When God Turned My Sorrow to Joy

Dalam kehidupan setiap orang, aku percaya ada sebuah masa di mana kita akan menyadari betapa kecilnya kita jika dibandingkan dengan Tuhan, dan juga betapa kecilnya kita jika dibandingkan dengan masalah-masalah yang bisa saja mengalahkan kita. Masa-masa seperti ini pernah terjadi di hidupku saat aku berusia 14 tahun.

Waktu itu keluargaku menerima kabar buruk bahwa ibuku divonis menderita leukimia atau kanker darah. Berselang sebulan setelahnya, giliran ayahku yang divonis menderita kanker kelenjar getah bening. Sebagai seorang remaja berusia 14 tahun, aku tidak tahu harus merespons kabar buruk ini seperti apa, yang jelas kabar ini telah mengguncang duniaku. Dunia yang sebelumnya tampak sempurna bagiku, sekarang telah runtuh, dan satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah berpura-pura menjadi kuat, padahal hatiku terasa hancur. Aku harus kuat supaya aku bisa melalui semuanya ini, dan juga supaya Tuhan berkenan menyembuhkan kedua orangtuaku.

Sebagai seorang anak yang tumbuh besar di lingkungan Kristen, sudah berkali-kali aku mendengar bahwa ketika hidup menjadi sulit, kita harus mempercayai Tuhan. Ketika tragedi terjadi, kita harus kuat karena Tuhan ada di sisi kita. Tetapi, ketika badai hidup menerpa hidupku, tidak serta merta aku mempercayai rencana Tuhan. Malah, aku sempat berpikir jika Tuhan mungkin saja menyerah kepadaku karena keraguanku. Aku telah menerima Kristus saat berusia 9 tahun dan mengucapkan doa-doa yang aku pahami artinya. Akan tetapi, aku tidak mengerti bagaimana sesungguhnya mengikut Yesus.

Karena kesedihan ini, sekalipun di sekelilingku ada banyak orang yang mengasihiku, aku mendapati diriku merasa kesepian. Aku membiarkan perasaan ini berakar dan membuatku jadi tidak percaya diri; aku mulai meragukan apakah Tuhan memang benar-benar hadir di dalam hidupku karena Dia tidak menyembuhkan ibuku. Dan karena aku merindukan perhatian dari orang lain, aku membiarkan dunia menentukan siapa diriku. Di dalam hati, aku melarikan diri dari seorang Pribadi yang berjanji tidak pernah meninggalkanku; aku menutup hati dan pikiranku dari Tuhan.

Setelah lebih dari setahun sejak ibuku divonis kanker, beliau pun meninggal dunia. Aku harus berusaha untuk menjalani kehidupan yang baru—sebuah kehidupan tanpa kehadiran sosok Ibu. Di luar, aku berusaha menunjukkan bahwa aku percaya sepenuhnya kepada Tuhan, tetapi jauh di dalam diriku, aku merasa bingung dan kehilangan. Aku terus bertanya mengapa, dan menjadi semakin pahit ketika aku melihat ayahku jatuh cinta dengan orang lain dan kami pindah meninggalkan rumah yang telah kutempati sejak aku masih kecil.

Namun, di tengah-tengah masa kelam itu, sesungguhnya Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Tuhan terus mengejarku dan perlahan menghancurkan benteng kepahitan yang mengelilingi hatiku.

Beberapa lama berselang setelah kematian ibuku, aku mendaftarkan diriku dalam sebuah program mission trip ke Tiongkok. Sebenarnya, alasanku mengikuti mission trip ini sangat egois—aku ingin melarikan diri dari segala tragedi yang menyelubungi diriku dan keluargaku.

Namun, rencanaku yang semula berubah dengan cepat; Tuhan punya rencana untuk menunjukkan betapa egoisnya diriku dan Dia ingin memulihkanku. Suatu ketika, di atas gunung di Tiongkok, Dia menggunakan tempat yang terpencil untuk menyadarkanku akan betapa beratnya sakit yang kurasakan, pemberontakanku terhadap-Nya, dan Dia juga menyatakan kondisi hatiku yang sesungguhnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mendapati diriku begitu lemah di hadapan-Nya. Dia menegurku melalui sebuah ayat: “Dalam segala penderitaan kami aku sangat terhibur dan sukacitaku melimpah-limpah” (2 Korintus 7:4). Ketika motivasiku pergi ke Tiongkok adalah untuk melarikan diri, Tuhan malah membawaku ke sebuah tempat yang tenang untuk duduk di hadirat-Nya dan mengalami perubahan hidup.

Aku tidak tahu seperti apakah sukacita yang sejati itu, tetapi saat itu aku tahu bahwa aku membutuhkannya. Aku memohon pada Tuhan supaya Dia memberiku sukacita, supaya aku percaya akan rencana-Nya, jalan-Nya, dan cerita yang Dia tuliskan untukku sepenuh hatiku.

Selama beberapa tahun berikutnya, Tuhan membentuk hatiku untuk mengungkapkan emosi yang tidak ingin kuhadapi, kesedihan yang belum terselesaikan, dan kebohongan yang kupercaya tentang Tuhan dan diriku sendiri.

Tuhan menunjukkanku bahwa sukacita bukanlah kebahagiaan yang bersifat sementara, melainkan sebuah kepuasan yang mendalam akan rencana Tuhan, yang kita tahu adalah untuk kebaikan kita dan tujuan-Nya. Sukacita bukan berarti bahwa aku akan selalu bangun dengan senyuman setiap harinya; sukacita bukan berarti bahwa aku akan selalu riang gembira di tengah badai kehidupan. Sukacita adalah sebuah keputusan untuk melihat tujuan Allah ketika segala sesuatunya runtuh. Sukacita adalah pilihan setiap hari, sekalipun ada hal-hal yang membuat air mata menetes.

Tuhan mengajariku bahwa menjadi seorang yang lemah adalah jauh lebih baik daripada berpura-pura kuat. Kelemahan kita menunjukkan bahwa sesungguhnya kita butuh bergantung pada Tuhan. Tuhan mengajariku bahwa it’s okay to be not okay—tidak masalah untuk jujur apabila kita memang tidak sedang baik-baik saja. Tuhan menyambut setiap keraguan kita dan mengundang kita untuk bersama-sama bergumul dengan-Nya di saat kita tidak mengerti apa yang Dia sedang kerjakan.

Hal yang indah yang kupelajari tentang Tuhan adalah Dia tidak pernah menyerah terhadap kita. Dia tidak pernah berhenti mengejar kita tak peduli sebagaimanapun usaha kita untuk melarikan diri. Dia akan pergi ke tempat terdalam dan tergelap di hati kita untuk membuktikan bahwa Dia adalah Tuhan yang baik.

Aku telah menyaksikan bahwa Tuhan telah mengubah hal yang buruk menjadi baik. Dia telah menghapuskan kepahitan yang kupegang selama bertahun-tahun dengan cara memberikan orang-orang yang mau menolongku. Dia menggunakan kematian ibuku sebagai cara untuk menunjukkan realita bahwa hidup ini begitu singkat. Dia mengajariku bahwa aku harus menghargai orang lain dan menghargai setiap detik. Dia telah menunjukkanku betapa pentingnya untuk mencintai dan menjalani hidup dengan baik karena hubungan dengan orang lain begitu berharga.

Tuhan telah begitu setia dalam perjalanan hidupku. Dia telah menunjukkan banyak hal kepadaku melalui kematian ibuku. Dia memberiku sukacita yang utuh dan mengajariku untuk menerima kelemahanku, dan memandang hanya kepada-Nya saja. Dia mengajariku untuk menerima dukacita. Dia telah menunjukkan kepadaku bahwa bersembunyi dan melarikan diri dari badai yang Dia izinkan terjadi adalah sebuah perbuatan yang sia-sia.

Aku percaya bahwa Tuhan memiliki cerita yang unik untuk setiap orang. Dia memberikan yang terbaik untuk hidup kita dan mengubah rasa sakit yang kita alami menjadi sebuah kebaikan yang jauh lebih indah daripada yang dapat kita bayangkan. Hidup adalah sebuah pemberian, dan kisah hidup kita, tak peduli seperti apapun kisahnya adalah gambaran dari Injil. Cerita hidup kita adalah tentang Dia dan kemuliaan-Nya.

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku” (Habakuk 3:17-19).

Baca Juga:

Nyaris Mati Karena Bunuh Diri, Namun Tuhan Memberiku Kesempatan Kedua

Obat-obatan dan pecahan kaca, air mata dan darah, ketakutan dan putus asa. Itulah gambaran dari malam yang paling kelam dalam hidupku di mana aku memutuskan bunuh diri. Namun, usahaku itu gagal dan Tuhan menyadarkanku akan betapa salahnya cara pikirku.