Posts

Yang Aku Pelajari Ketika Retret Kampusku Dibatalkan di Hari H

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

“Kakak dan abang, mohon doanya karena retret kita terancam dibatalkan oleh dekanat karena tidak dapat izin kegiatan rektorat.”

Demikian pesan di grup WhatsApp penilik (pemerhati) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di kampusku. Pesan itu dikirimkan H-1 sebelum acara retret tahunan kampus kami berlangsung. Sebagai penilik PMK, aku merasa gelisah karena retret yang akan kami adakan ini adalah retret pekabaran Injil untuk mahasiswa baru dan juga merupakan program kerja terbesar dalam PMK kami. Aku mengikuti kabar-kabar terbaru melalui informasi yang dibagikan di grup WhatsApp oleh junior-juniorku yang masih berada di kampus. Akhirnya pokok masalahnya ditemukan, yaitu ada miskomunikasi antara pihak rektorat (pihak universitas), dekanat (pihak fakultas), dan badan kemahasiswaan (seperti BEM) terkait perizinan acara untuk mahasiswa baru yang akan dilangsungkan di luar kampus.

Di tahun-tahun sebelumnya, kami selalu membuat acara retret untuk mahasiswa baru cukup dengan meminta izin kepada dekanat, tanpa perlu ke rektorat. Bukan hanya PMK-ku yang membuat acara retret, tetapi organisasi keagamaan lain pun melakukan perizinan dengan cara yang serupa. Namun tiba-tiba di tahun itu kami diwajibkan meminta surat izin kepada rektorat minimal H-7 sebelumnya kegiatan itu dilangsungkan. Malangnya, peraturan ini luput disosialisasikan oleh pihak berwenang (di mana sampai saat ini masih terjadi perdebatan tentang siapa yang paling berkewajiban mensosialisasikan peraturan ini), sehingga akhirnya yang menjadi korban adalah para panitia yang sudah mempersiapkan acara selama berbulan-bulan. Kami dipaksa membatalkan, atau mengundur acara yang sudah kami persiapkan sejak lama dan menelan biaya puluhan juta hanya karena surat izin kegiatan yang tidak pernah kami tahu.

Pantang menyerah, keesokan harinya tepat di hari-H, para pengurus PMK dan alumni berjuang untuk berdialog dengan pihak dekanat. Kami juga menghubungi pihak rektorat, dosen, alumni yang berpengaruh, atau siapa saja yang sekiranya bisa membuat rektorat dan dekanat luluh dan mengizinkan kami melangsungkan acara dengan segala konsekuensinya. Dari pagi hingga malam menjelang, kami berdoa dan berusaha. Tapi, hasilnya nihil. Pihak kampus, baik rektorat maupun dekanat bersikukuh melarang acara kami dilangsungkan. Pada pukul 18:00, diumumkanlah kepada seluruh peserta bahwa acara retret diundur sampai waktu yang belum ditentukan. Bus-bus sudah datang, konsumsi sudah disiapkan, dan barang-barang sudah dikumpulkan, namun kami batal berangkat.

Diliputi kekecewaan

Seketika kami semua, orang-orang yang terlibat mengurusi retret dan sudah berkumpul di titik kumpul merasa sangat terpukul dengan keputusan ini. Kami kaget, kecewa, sedih, bahkan marah. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Mahasiswa baru yang juga sudah datang berkumpul akhirnya kembali pulang dengan perasaan sedih dan kecewa. Banyak dari mereka lalu menyemangati kakak-kakak seniornya. Dalam kondisi yang begitu kalut, kami lalu memutuskan untuk berdoa bersama.

“Di saat badai bergelora, ku akan terbang bersama-Mu,
Bapa, Kau Raja atas semesta, ku tenang s’bab Kau Allahku.”

Lagu di atas kami nyanyikan sambil bercucuran air mata. Saat itu aku bertanya dalam hati, jika Allah berkuasa, mengapa Dia membiarkan peristiwa yang tidak menyenangkan ini terjadi kepada kami, apalagi kepada adik-adik kelasku yang menjadi panitia dan pelayan di retret itu? Mereka sudah bersusah payah menyiapkan acara selama hampir tiga bulan. Seksi acara mencari tema, menghubungi pembicara dan pelayan ibadah, mempersiapkan permainan outbound, membuat buku acara, dan memastikan latihan dilaksanakan seminggu sekali. Seksi perlengkapan harus kesana kemari mencari dan mensurvei tempat dan kendaraan yang kan dipakai. Dan, seksi dana harus mencari uang puluhan juta untuk memenuhi kebutuhan retret.

Sebagai senior yang dahulu pernah berada di posisi mereka, aku tahu benar jatuh bangun persiapan retret ini. Mulai dari pelayan yang susah diajak latihan, percetakan yang tiba-tiba mengundur waktu pencetakan buku, hingga dana yang belum juga terkumpul. Sementara mahasiswa lain menikmati liburan semesteran, kami panitia harus bolak-balik ke kampus untuk rapat dan mempersiapkan retret tersebut. Namun, tiba-tiba di hari H, dengan “mudahnya” ada pihak lain yang menghancurkan semua perjuangan mereka. Aku sangat sedih melihat kondisi setiap adik yang terpukul dengan kenyataan ini. Namun seketika aku diingatkan dengan sebuah Mazmur yang berbunyi demikian:

“Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya” (Mazmur 126:5-6).

Walau air mata mengalir di pipiku, aku merasakan penghiburan yang begitu indah melingkupiku. Aku terkenang dan terbayang tentang perjalananku dalam bersekutu bersama PMK di kampusku, terutama ketika aku menjadi pengurus di tahun 2014-2015. Pada tahun-tahun tersebut, aku merasakan betapa menantangnya pekerjaan di ladang Tuhan, begitu berbeda dengan apa yang aku bayangkan sebelumnya. Aku harus meluangkan banyak waktu untuk mempersiapkan pelayanan seperti ibadah Jumat dan doa siang, memonitor jalannya kelompok-kelompok kecil (kelompok pendalaman Alkitab), rapat koordinasi, dan berbagai aktivitas lainnya. Semua hal itu harus aku lakukan di tengah perkuliahan yang cukup berat, di mana tugas menumpuk dan mata kuliah yang kuambil terasa sulit. Namun, aku bersyukur Tuhan menganugerahiku kesempatan untuk melayani di PMK kampusku, sebab di dalamnya aku mengenal Yesus, dan bertumbuh dalam firman-Nya. Aku juga belajar artinya berkorban dan membayar harga, apa itu terbeban, dan bagaimana hidupku harus benar-benar menjadi berkat bagi lingkunganku.

Pelayanan ini jelas tidak mudah, namun pengenalanku akan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat menolongku untuk setia mengerjakan pelayananku, seperti kata-kata C.T. Studd (pendiri lembaga misi WEC International):

“If Jesus Christ be God and died for me, then no sacrifice can be too great for me to make for Him.”

“Apabila Kristus adalah Tuhan dan Dia mati bagiku, maka tidak ada pengorbanan yang terlalu besar untuk kulakukan bagi-Nya”.

Pengorbanan yang kulakukan tidaklah ada yang sebanding dengan pengorbanan yang telah lebih dulu Yesus lakukan buatku.

Aku juga mengingat ketika aku lulus kuliah dan harus meninggalkan persekutuan di kampus, aku melihat adik-adik yang dulu kulayani telah bertumbuh menjadi pelayan-pelayan yang sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Generasi demi generasi berlalu, tantangan dan kesulitan datang silih berganti, namun kasih setia Tuhan terus menyertai persekutuan kami.

Melihat kasih Tuhan di balik peristiwa yang tampaknya buruk

Flashback pelayananku membuatku sadar bahwa retret yang dibatalkan tepat di hari H adalah kesempatan untuk kami melihat kasih karunia Tuhan bagi persekutuan kami. Kami mungkin tidak mengerti apa alasan di balik semua ini, namun ketika kami mempercayai bahwa Allah berdaulat di atas segalanya dan Dia tidak pernah salah, maka kami belajar untuk bertumbuh dalam iman. Dan, hal inilah yang aku saksikan ketika mendengar sharing dari beberapa adik persekutuanku ketika kami selesai berdoa. Aku melihat ada kedewasaan dalam menyikapi permasalahan yang kami hadapi bersama. Banyak dari mereka yang justru mengungkapkan syukur karena melalui peristiwa ini mereka belajar untuk bergantung pada Tuhan dan tidak mengandalkan diri sendiri. Mereka juga mengungkapkan keyakinan dan harapan mereka akan rencana Allah yang lebih baik dari yang mungkin mereka pikirkan.

Alih-alih berlarut dalam kesedihan, mereka berusaha saling menguatkan dan menghibur. Panitia dan pelayan ibadah kemudian langsung memikirkan solusi terbaik yang bisa diambil untuk menanggulangi peristiwa ini. Akhirnya diputuskanlah bahwa akan diadakan ibadah satu hari di kampus untuk mahasiswa baru agar mereka tetap dapat mendengarkan pemberitaan Injil. Fokus kami hanya satu: Injil bisa diberitakan, sambil terus berdoa ada mahasiswa baru yang setelah mendengar Injil dapat sungguh-sungguh percaya dan hidupnya diubahkan. Dua hari setelah peristiwa pembatalan itu, kami mengadakan ibadah sehari di kampus yang terdiri dari dua sesi ibadah dan sesi konseling. Puji Tuhan acara tersebut berjalan dengan baik dan banyak mahasiswa baru yang datang walaupun acaranya cukup mendadak. Kami bersyukur ada kesehatian yang terjalin antara panitia, pelayan, dan mahasiswa baru. Tapi yang paling membuat kami bersyukur adalah karena melihat banyak mahasiswa baru yang menikmati sesi ibadah dan konseling yang diadakan.

Secara tidak langsung, kesulitan ini mengikat kesatuan kami. Kami kembali mengingat bahwa pelayanan ini adalah milik Tuhan, dan kami hanyalah pekerja-pekerja upahan di ladang-Nya. Sebagai pemilik, Allah berdaulat untuk melakukan apapun. Kami hanya perlu taat dan percaya akan kehendak-Nya. Setelah diingatkan tentang hal tersebut, kami mulai merasakan damai sejahtera dan kembali bersukacita walau kondisi tidak menyenangkan. Hal ini membuatku merasa terharu dan bahagia, karena Tuhan mengizinkan kami untuk “naik kelas” dalam menghadapi tantangan ini.

Dari pengalaman ini aku makin bersyukur karena Tuhan berkenan menganugerahkan pertumbuhan bagi persekutuan yang di mana aku menjadi bagian di dalamnya. Lebih dalam, aku bersyukur Tuhan menganugerahkan persekutuan ini kepadaku. Sebuah persekutuan, yang kalau boleh aku meminjam kalimat temanku, adalah “cara Tuhan mengasihiku”.

Soli Deo Gloria!

Baca Juga:

Tuhan Yesus Menyelamatkanku dengan Cara-Nya yang Tak Terduga

Aku bukan orang Kristen sejak lahir, pun di keluargaku tidak ada yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Hingga suatu ketika, saat aku tengah kesakitan karena penyakit kankerku, aku berseru kepada-Nya.

Meninggalkan Karier Sebagai Pengacara Terkenal untuk Melayani Tuhan, Inilah Kisah Paul Wong

meninggalkan-karier-sebagai-pengacara-terkenal-untuk-melayani-tuhan-inilah-kisah-paul-wong

Oleh Janice Tai, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Paul Wong: Hotshot Lawyer to Devoted Campus Pastor

Sebagai putra dari seorang pengacara terkenal di Singapura, Paul Wong tampaknya akan mengikuti jejak ayahnya.

Setelah menyelesaikan studi hukumnya di Universitas Cambridge, Paul kemudian bekerja di Linklaters, sebuah firma hukum terkemuka di London yang merupakan salah satu dari lima firma hukum terbaik di Inggris.

Sebagai seorang pengacara korporat, dia membantu perusahaan-perusahaan FTSE 100 (100 perusahaan dengan nilai pasar tertinggi di Bursa Saham London) untuk meraup miliaran dolar dengan membuatkan mereka dokumen yang membantu mereka dalam menjual saham-saham mereka.

Namun di masa keemasannya di usia 30 tahun, Paul memutuskan untuk melepaskan seluruh karier yang telah dibangunnya dan berjalan mengikuti arahan dari Tuhan.

Awalnya dia tidak pernah berpikir bahwa dia mampu atau mau meneruskan jejak ayahnya. Ayah Paul, Lucien Wong, baru-baru ini diangkat sebagai pengacara penasihat negara Singapura pada bulan November 2016. Sebelumnya, Lucien sempat memimpin firma Allen & Gledhill, salah satu firma hukum terbesar di Singapura.

Karier Paul di Inggris juga tampak sangat menjanjikan. Saat dia memutuskan untuk mengundurkan diri dua tahun yang lalu, gajinya sudah mencapai lebih dari Rp 1 miliar setahun. Dia mungkin juga bisa menjalin berbagai kemitraan jika saja dia bertahan selama dua hingga lima tahun lagi.

Namun, Paul memilih untuk mengundurkan diri dan mengikuti sebuah pelatihan untuk menjadi seorang pengkhotbah dan pengajar Alkitab. Di akhir bulan Agustus 2016, dia kembali ke Singapura untuk menjadi pendeta kampus dalam kelompok persekutuan Kristen di Singapore Management University (SMU).

Dari sebuah firma hukum raksasa yang mempekerjakan 2.000 pengacara, Paul pindah ke sebuah tempat kerja yang hanya memiliki seorang karyawan, yaitu dirinya, dan seorang pekerja magang.

Jadi mengapa dia membuat perubahan yang begitu besar ini dalam kariernya?

Paul-Wong-4

Ada di titik terbawah

Coba tanya seorang pemuda berusia 33 tahun, apakah dia pernah berpikir untuk melayani Tuhan sepenuh waktu, dan mungkin kamu akan mendapat jawaban yang cepat: Tidak pernah.

Sewaktu Paul masih remaja, dia juga pernah melakukan kenakalan. Ketika SMP, dia sering bolos sekolah beberapa kali seminggu untuk bermain biliar di Lucky Plaza atau menonton bioskop.

Namun, dia memastikan dia menjalani “kewajibannya” sebagai orang Kristen. Setiap hari Minggu dia pergi ke Gereja Methodist Wesley dan bermain gitar dalam persekutuan pemuda. Ketika dia di London, dia pergi ke sebuah gereja lokal yang berjarak setengah jam perjalanan dari tempat dia tinggal dan bekerja.

“Gereja hanyalah aktivitas hari Minggu pagi bagiku dan tidak berdampak banyak bagi hidupku, keputusan-keputusanku, dan cara pandangku,” kata Paul. “Ketika aku menghadapi dilema antara pekerjaan atau gereja, pekerjaanlah yang selalu menang.”

Paul bekerja sangat keras. Dia ada di kantor enam hari seminggu. Sebuah hari yang baik baginya adalah jika dia dapat meninggalkan kantor sebelum tengah malam dan dapat cukup tidur sepanjang malam. Pernah suatu kali dia bekerja dua malam berturut-turut dan ada di kantor terus selama tiga hari untuk memenuhi tenggat waktu pekerjaannya.

“Dulu aku berpikir, jika Tuhan menempatkanmu di sebuah kampus atau firma hukum, hal terbaik yang memuliakan Tuhan yang dapat kamu lakukan adalah dengan menjadi mahasiswa terbaik atau menjadi pengacara terbaik. Tapi aku kemudian menyadari bahwa itu adalah pemikiran yang salah,” kata Paul.

Menurutnya, kehidupan rohaninya ada di “titik terbawah” ketika dia berhenti hidup dan berpikir seperti yang Tuhan inginkan.

Kebangkitan rohani

Pada sebuah hari Minggu di tahun 2011, Paul merasa malas pergi ke gereja. Dia sudah ada di kantornya, dan dia merasa malas jika dia harus pergi dan kemudian kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Rekan kerjanya menyarankannya untuk pergi ke gereja lain yang hanya berjarak lima menit perjalanan.

Dia akhirnya pergi ke gereja itu dan begitu terkesan dengan apa yang dilihat dan didengarnya di sana. “Aku telah mendengar banyak khotbah-khotbah bagus, tapi semuanya hanya masuk di telinga kiri lalu keluar di telinga kanan. Tapi, di gereja itu aku melihat firman Tuhan diberitakan dengan tegas dan bertujuan untuk mengoreksi diri. Dan orang-orang yang ada di sana menghidupi nilai-nilai itu. Roh Kudus bekerja melalui firman Tuhan yang mengubah segalanya,” kata Paul.

Dia mulai rutin datang ke gereja itu dan juga mengikuti kelompok pendalaman Alkitab yang ada. Mereka sedang mempelajari kitab Markus selama setahun penuh. Itu menjadi sebuah pengalaman yang mengajarkan Paul untuk menjadi rendah hati.

“Waktu itu aku berpikir, kitab Markus adalah kitab Injil terpendek di dalam Alkitab dan aku sudah membacanya setidaknya 10 kali. Mengapa kita perlu waktu setahun untuk mempelajarinya?” dia bertanya. “Tapi dalam prosesnya, aku baru tahu bahwa sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu cara membaca Alkitab. Itu adalah pengalaman yang mengajarkanku menjadi rendah hati. Dulu aku berpikir boleh-boleh saja menjadikan Alkitab seperti sebuah buku ajaib di mana aku bisa mengartikan isinya sesuka hati tanpa memperhatikan konteksnya. Ironisnya, sebagai seorang pengacara, aku tahu bahwa itu adalah cara terburuk dalam membaca sebuah tulisan.”

Suatu kali, kelompok pendalaman Alkitab Paul sedang membaca Markus 8, di mana Yesus memberitahukan kepada orang banyak bahwa setiap orang yang mau menjadi murid-Nya harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Dia. “Aku sadar bahwa meskipun aku menyebut diriku Kristen, aku masih hidup bagi diriku sendiri. Itu membuatku berpikir tentang apa artinya mengikut Tuhan, dan aku menyadari bahwa aku sama sekali belum mengerti tentang pemuridan,” kata Paul.

Setelah mendapatkan pencerahan itu, Paul mulai mengubah secara drastis bagaimana dia menggunakan waktunya. Dia mulai melayani dalam persekutuan jam makan siang di Linklaters dan melakukan pendalaman Alkitab privat dengan rekan-rekan di kantor dan gerejanya. Untuk melakukan itu, Paul harus mengurangi jam kerjanya setidaknya tujuh jam seminggu. Keputusannya mengurangi jam kerjanya itu pun mempengaruhi perusahaannya dan prospek kariernya.

“Aku punya seorang atasan yang pengertian dan aku merasa tidak perlu lagi menjadi seorang pengacara terbaik. Yang kuinginkan saat itu adalah menjadi pengacara yang paling setia. Yang harus aku lakukan adalah bekerja keras dan dengan integritas dan membuat Tuhan dikenal oleh orang-orang di sekitarku,” kata Paul.

Perubahan mendadak dalam cara Paul menyusun prioritas hidupnya itu membuat ibunya terkejut. Ibunya bahkan mengira Paul bergabung dengan sebuah kelompok sesat. Ibunya menginginkan Paul lebih berfokus ke kariernya di dunia hukum.

“Aku bisa saja jatuh semakin jauh dari imanku dalam tahun-tahun itu tapi Tuhan mengubah dosa-dosaku menjadi sebuah kebaikan,” kenang Paul. Dia menikahi Angela tiga tahun lalu dan kini mereka telah dikaruniai seorang putri yang telah berusia satu tahun, Elizabeth.

Kehidupan yang baru

Dukungan yang diberikan Angela sangat penting dalam titik balik kehidupan Paul selanjutnya.
Ketika Paul mulai mengajar Alkitab lebih sering, pemimpin gereja Paul mulai memintanya mempertimbangkan untuk melayani sepenuh waktu di tahun 2013. Paul kemudian mendiskusikannya dengan beberapa orang, termasuk Angela, dan mendoakannya.

Paul tidak mendapatkan “panggilan” berupa mimpi atau penglihatan yang supernatural dari Tuhan. “Beberapa orang mungkin mengalami itu, tapi aku pikir tidak semua orang harus mengalami panggilan yang khusus seperti itu. Satu-satunya panggilan yang ada dalam Alkitab adalah panggilan untuk merespons Yesus. Sejak aku diberitahu bahwa karuniaku adalah mengajar dan aku harus menggunakannya, aku memutuskan untuk taat dan menggunakan karunia itu untuk Tuhan,” kata Paul.

Selain itu, Paul berpikir, melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang pengacara akan membuat waktunya untuk mengajar semakin terbatas. Menurutnya, dampak yang dihasilkannya akan lebih besar jika dia menjadi seorang pengajar yang memperlengkapi siswa-siswa, daripada jika dia menjadi pekerja kantoran.

Jadi, di tahun 2014 dia mengambil keputusan untuk mengikuti dua tahun pelatihan untuk pelayanan penuh waktu, sebelum dia bergabung dengan persekutuan Kristen SMU di tahun 2016. Ada sekitar 90 mahasiswa dalam persekutuan itu. Mereka bersekutu setiap hari Selasa dan Paul berkhotbah di sana. Selain itu, Paul juga melatih para pemimpin kelompok mahasiswa untuk memulai kelompok pendalaman Alkitab di kampus. “Sungguh suatu sukacita ketika aku dapat melihat orang-orang yang merindukan Tuhan dan juga membimbing mereka dalam masa mereka membentuk identitas dan pemikiran mereka tentang dunia ini,” katanya.

Paul-Wong-3

Paul masih bekerja selama enam hari dalam seminggu karena dia lebih senang mempersiapkan khotbah di hari Minggu. Tapi menurutnya tekanan yang dihadapinya kini lebih berarti. Daripada mengejar tenggat waktu, dia kini lebih memperhatikan orang-orang dan pertumbuhan rohani mereka.

“Bagian tersulit dari pelayanan penuh waktu bukanlah ketika aku mengambil keputusan itu, tapi ketika aku harus menjelaskan kepada orang-orang di sekitarku mengapa aku mengambil keputusan itu,” kata Paul. Istrinya mendukung keputusannya. Dan yang tidak disangkanya, ayahnya juga mendukungnya dan mengatakan kepadanya untuk melakukan apapun yang dia pikir benar.

Uniknya, justru ibunya—yang adalah seorang pemimpin awam di gereja, dan yang membimbing Paul menjadi seorang Kristen setelah kedua orangtuanya berpisah—yang awalnya paling menentang keputusan Paul. Ibu Paul merasa tidak seharusnya Paul menyia-nyiakan “gelar sarjananya” atau “masa depannya yang cerah”. Seharusnya, Paul bekerja lebih keras untuk mempersiapkan tabungannya untuk masa pensiun kelak. Tapi, ibu Paul kini telah berubah dan akhirnya mendukung pelayanan Paul sepenuhnya.

Selama mengikuti pelatihan, Paul harus menekan pengeluarannya, karena dia tidak mendapatkan penghasilan apapun selama masa pelatihan itu. Itu berarti dia tidak dapat naik taksi atau makan di restoran-restoran. Kini, dia mendapatkan penghasilan rata-rata seorang guru. Istrinya merawat putri mereka dan menjadi ibu rumah tangga.

Paul-Wong-2

Namun bagi Paul, pengorbanan terbesarnya bukanlah karena dia harus melepas gajinya yang besar, tapi karena dia harus menurunkan harga diri dan ambisinya dahulu. “Selain karier dan penghasilan yang jauh berbeda, statusku pun menjadi sangat berbeda daripada teman-teman sepermainanku. Namun aku takkan menukar apa yang kulakukan saat ini dengan apapun yang ada di dunia ini,” kata Paul.

Bagian Alkitab favoritnya adalah Yesaya 25, yang melukiskan sebuah gambaran tentang masa depan dan harapan yang akan datang. Ayat-ayat dalam pasal itu memotivasi Paul untuk mengejar upah yang kekal—bukan harta duniawi.

“Ayat itu membentuk cara pandangku terhadap dunia ini,” katanya. “Dunia yang fana ini hanya akan berakhir pada kehancuran dan satu-satunya yang akan bertahan adalah orang-orang yang diselamatkan Tuhan. Itulah yang membangun alasanku untuk hidup, bagaimana aku hidup, dan mengapa aku melakukan pekerjaan ini.”

Photo credit: Ian Tan dan Paul Wong

Baca Juga:

SinemaKaMu: Silence—Siapkah Kamu Memikul Salib?

Apa yang akan kita lakukan jika kita dihadapkan pada keadaan yang menguji iman kita? Untuk menjawab pertayaan ini, aku ingin mengajakmu untuk berefleksi sejenak dari sebuah film berjudul “Silence” yang bercerita tentang dilema yang harus dihadapi oleh orang-orang Kristen di Jepang beberapa abad lalu.