Posts

Yang Kuinginkan Untuk Natal Hanyalah…

Oleh Jefferson, Singapura

Gambar meme “Namaku Jeff” yang menyembul di antara tumpukan kado seolah-olah memang diletakkan demikian untuk menarik perhatianku. Di komisi remaja, kami memang sedang mengadakan pertukaran kado untuk merayakan Natal, tapi tidak kusangka pemberi kadoku memutuskan untuk mengemas hadiahnya sejelas itu. Melirik ke para remaja yang kumuridkan dan pemuda-pemudi lain yang melayani di komisi remaja, daftar tersangka pemberi kadoku langsung mengerucut ke beberapa nama.

Waktu membuka kado pun tiba. Jantungku berdebar penuh antusiasme. Si pemberi kado dengan cerdik membungkus kadonya dengan beberapa lapis koran. Rasa ingin tahuku semakin menjadi-jadi. Ia pasti memilih kado yang sangat cocok untukku! Lapisan demi lapisan kertas bungkusan kubuka hingga tiba pada isi kadonya.

Seketika aku tertegun.

Aku memelototi benda yang seharusnya adalah hadiah untukku. Dan, bukan hanya aku saja, satu ruangan nampaknya ikutan sunyi senyap, menunggu dan memperhatikan dengan saksama apa yang akan menjadi reaksiku terhadap “kado” yang kupegang. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Aku seperti menemukan granat tangan yang setelah kuperiksa lebih lanjut, ternyata sudah kehilangan pin pengamannya. Tentu saja bom itu meledak beberapa detik kemudian. Tapi bukan hadiahnya; aku yang meledak dalam murka putih-panas.

“APA-APAAN INI?! MEMANGNYA INI SEBUAH LELUCON?!”

Seperti korban ledakan bom yang setengah sadar setelah bom itu meledak, aku hanya dapat mengingat sekelebat dari apa yang terjadi setelahnya. Aku berusaha mengendalikan amarah semampuku sambil meletakkan “hadiah” itu sejauh mungkin dariku. Beberapa orang mencoba menghibur. Aku mengingat para remaja dan pemuda-pemudi lainnya mendapatkan hadiah yang layak. Wajah mereka terlihat gembira sementara aku hanya duduk di bangku, memasang senyuman terpaksa di tengah-tengah badai yang berkecamuk hebat di dalam hatiku.

Sambil menyaksikan yang lain membuka kado, mendadak ada suara yang berbisik dalam hatiku, “Apa yang sesungguhnya kamu inginkan dari Natal?”

Pertanyaan itu mengusikku selama beberapa waktu, bahkan setelah pemberi kadoku yang usil meminta maaf kepadaku dengan sungguh-sungguh, bahkan setelah aku mengampuninya dengan penuh, bahkan setelah aku menerima kado pengganti darinya, bahkan setelah aku melewati beberapa acara tukar kado berikutnya. Usikan itu baru berhenti ketika aku menemukan jawabannya dari tempat yang paling tidak kuduga: acara Natal Sekolah Minggu yang turut kupersiapkan sebagai salah satu panitia.

“Apa yang sesungguhnya kamu inginkan dari Natal?”

Di tahun-tahun sebelumnya, adalah drama yang diperankan oleh guru-guru yang membedakan acara Natal Sekolah Minggu dengan pelajaran biasa, entah dalam bentuk cerita kelahiran Yesus, adaptasi buku cerita anak, atau percakapan dengan seorang anak gembala. Tapi, tidak ada drama tahun ini. Oleh karena keterbatasan waktu dan pelayan, panitia memutuskan untuk mengadakan acara Natal yang sederhana namun bermakna. Berangkat dari senandung lagu “All I Want for Christmas is You” setelah sekitar dua jam mendiskusikan tema tanpa hasil, kami di tim panitia menyadari bahwa judul lagu itu dapat menjadi pelajaran yang baik bagi anak-anak.

“Apa yang kamu inginkan untuk Natal?” Dunia mengajarkan anak-anak (dan juga kita) untuk mengharapkan hadiah yang bagus, santapan yang mewah, serta perjalanan liburan yang menyenangkan untuk Natal. Semuanya itu baik, tapi tidak menggambarkan makna Natal dengan utuh. Di balik segala gemerlap gemilang Natal adalah kedatangan pertama yang sederhana daripada Yesus Kristus, sang Tuhan dan Juruselamat, untuk memberikan diri-Nya sendiri sebagai korban penebusan atas manusia berdosa. Dibandingkan dengan Tuhan Yesus, kado, makanan, maupun liburan kehilangan daya tariknya. Tidak ada hadiah yang lebih baik dan berharga daripada Tuhan Yesus. Berangkat dari perenungan ini, kami di tim panitia ingin anak-anak Sekolah Minggu pertama-tama dan terutama menginginkan sang Pemberi dan Sumber dari segala berkat yang mereka akan terima di masa Natal ini.

Di saat yang sama, kami memahami konteks Singapura, “kota ke mana [kami Tuhan] buang” (Yeremia 29:7) yang aman dan nyaman serta dapat membatasi pemahaman anak-anak terhadap tema di atas. Bagaimana mereka dapat mengerti betapa berharga dan menakjubkannya kedatangan pertama Tuhan Yesus kalau mereka terus diimingi-imingi dengan hal lain sebagai makna utama dari Natal? Dalam rahmat Tuhan, kami mengantisipasinya dengan menunjukkan kepada anak-anak realita penganiayaan terhadap orang Kristen di belahan bumi lain di mana Injil Kristus dilarang dibagikan. Anggota-anggota tubuh Kristus yang lain ini memahami dengan jelas (dan sangat mungkin lebih dalam dari kita) signifikansi dari kedatangan Tuhan Yesus yang pertama. Begitu besar dampak dari makna sesungguhnya Natal bagi kehidupan mereka sehingga mereka terus bertekun dalam iman dan membagikan Injil di tengah-tengah penganiayaan dan penderitaan. Harapan kami adalah anak-anak bisa belajar dari dan meneladani saudara-saudari kita ini. Puji Tuhan, kami menemukan sebuah video yang menyampaikan pesan ini dengan baik.

Dua bulan berikutnya kami gunakan semaksimal mungkin untuk mempersiapkan acara Natal di minggu kedua bulan Desember. Kulalui rapat-rapat lanjutan, latihan ibadah, pembuatan properti pendukung acara, serta pemanjatan doa kepada Tuhan agar Ia sendiri yang beracara dan berbicara kepada setiap pribadi yang menghadiri acara Natal Sekolah Minggu.

Doaku pun dijawab oleh Tuhan. Di tengah-tengah perayaan Natal, setelah mengikuti ibadah dan mendengarkan Firman Tuhan disampaikan oleh guru injil, dan sambil mengawasi proses berjalannya keseluruhan acara, tiba-tiba aku teringat acara tukar kado di komisi remaja minggu sebelumnya. Dalam retrospeksiku, aku menyadari reaksiku agak terlalu berlebihan dan pada level yang fundamental merupakan reaksi yang keliru. Sebagai salah satu panitia yang merumuskan tema di atas, seharusnya aku sendiri telah memahami dengan baik kebenaran tentang apa yang harusnya kuinginkan untuk Natal: Tuhan Yesus. Namun, dalam naturku sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah dunia yang berdosa, tanpa sadar aku telah menginginkan hal-hal lain di luar Kristus sebagai yang terutama untuk Natal tahun ini. Aku jatuh ke dalam godaan untuk mengutamakan diri sendiri di atas Tuhan dan sesama sehingga ketika mendapatkan “hadiah” tersebut, aku langsung emosi dan merasa egoku telah dilukai.

Di satu sisi, kasih antara saudara seiman sepatutnya dinyatakan dengan cara yang tepat dan memikirkan perasaan pribadi si penerima, tidak seperti “hadiah” yang kuterima waktu itu. Di sisi yang lain, ketika kita sudah menerima Kristus yang adalah hadiah yang terbaik dan berharga melebihi segalanya, kita seharusnya menjadi lebih sulit tersinggung karena kita memiliki sukacita dan damai sejahtera Kristus yang tidak dapat digoncangkan oleh suatu hal apa pun (Yohanes 14:27). Kita juga jadi lebih memahami dan dimampukan untuk melakukan perintah Tuhan dalam Efesus 4:32, “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”

Syukur kepada Allah Tritunggal atas pembelajaran yang memperkaya pengenalanku akan dan memperdalam kasihku kepada diri-Nya dan sesama.

Sebuah ajakan untuk Natal 2019

Awalnya aku tidak berencana untuk menulis bulan ini, tetapi ketika Tuhan mengizinkan peristiwa-peristiwa yang kuceritakan di atas terjadi, aku tahu aku tidak bisa tidak membagikannya dalam tulisan. Aku berharap Tuhan dapat memberkatimu lewat pengalamanku tersebut. Melaluinya juga aku ingin mengajakmu melakukan beberapa tindakan di bawah untuk Natal di tahun 2019 ini:

  • Memeriksa diri akan kesalahan-kesalahan kita, mengakui dosa-dosa kita, dan meminta pengampunan kepada Tuhan dan pihak yang telah kita lukai;
  • Mengampuni kesalahan-kesalahan orang lain terhadap diri kita, mengingat bahwa Tuhan telah terlebih dulu mengampuni kita di dalam Kristus;
  • Mendoakan, menghubungi, dan membagikan Kabar Baik akan kesukaan yang besar (Lukas 2:10) kepada satu teman/kerabat yang belum percaya; dan
  • Ketika mengikuti acara tukar kado, memikirkan dengan baik apakah hadiah yang akan diberikan dapat semakin membangun si penerima kado dalam kasih dan sukacita di dalam Kristus Yesus.

Mungkin kita biasanya menghindari melakukan hal-hal yang kusebutkan di atas, tapi ketika momen tahunan untuk memperingati kedatangan Tuhan Yesus yang pertama tiba, kita memiliki dua pilihan: terus berusaha menghindar, atau menghadap takhta Kristus dengan seluruh keberadaan kita sehingga kasih-Nya mengalir dan melimpah dalam hidup kita. Pilihan manakah yang akan kamu ambil?

Baca Juga:

Sebuah Salib yang Menegurku

““Ah, paling isinya gelas, mug, pigura, atau dompet,” kataku dalam hati.

Namun, tebakanku salah.

Bukan benda biasa yang ada dalam kado itu, melainkan sebuah salib kecil.”

Sebuah Salib yang Menegurku

Oleh Irene

Bulan demi bulan berlalu. Satu per satu sahabatku di masa kuliah mulai mendapatkan pekerjaan. Ada yang dipanggil ke Jakarta, ada pula yang menetap di kampung halamannya. Malam Natal tahun 2016, aku menyatakan kerinduanku kepada Tuhan untuk mendapatkan pekerjaan di kota besar.

Sudah beberapa bulan aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Sejujurnya, aku mulai lelah dan pesimis, doaku tak kunjung juga dijawab Tuhan. Rasa malas berdoa pun muncul, padahal aku tahu Alkitab mengatakan, “Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang kudus” (Efesus 6:18).

Saat aku mulai mengabaikan doa, pikiranku jadi sering memikirkan hal-hal buruk. Pikiran buruk itu menerjangku seperti derasnya ombak yang menyapu pasir pantai. Aku merasa minder karena masih menganggur di saat teman-temanku sudah mendapat pekerjaan mereka. Nasihat dari orangtua dan sahabatku untuk aku terus berdoa, berusaha, dan bersabar pun tak mempan. Aku jadi bebal dan memandang masa depanku sendiri seolah gelap.

Sebulan berlalu, Januari pun tiba. Komunitas lektor di gerejaku mengundangku untuk ikut acara kebersamaan di akhir masa Natal. Setiap orang diminta membawa kado untuk nanti ditukar dengan anggota lainnya. Kami duduk melingkar dan bertukar kado dengan cara memilih nomor urut yang sudah diacak. Saat mendapatkan kadoku, kusobek sedikit-sedikit bungkusnya.

“Ah, paling isinya gelas, mug, pigura, atau dompet,” kataku dalam hati.

Namun, tebakanku salah.

Bukan benda biasa yang ada dalam kado itu, melainkan sebuah salib kecil. Warnanya coklat tua dan terdapat sosok Tuhan Yesus yang terpaku di salib itu dengan lengan yang terentang.

Aku tertegun.

Salib kecil yang kuterima dalam sebuah kado itu rasanya begitu menegurku. Sejak aku merasa doaku tak dijawab, aku tak lagi mendekatkan diri pada Tuhan. Aku malas berdisiplin rohani dan meragukan penyertaan-Nya. Namun, lewat sebuah kado yang mungkin terkesan seperti kebetulan, Tuhan mengingatkanku bahwa Dia senantiasa menyertaiku. Tuhan Yesus tetap tinggal bersamaku dan Dia bersedia membuka tangan-Nya kembali untuk menyambutku, tak peduli aku pernah melupakan dan meninggalkan-Nya.

Di dalam Lukas 15:4-6, tertulis demikian: “Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya? Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan.”

Kado salib itu meneguhkanku bahwa Kristus, sang Gembala Baik, datang mencariku. Aku seperti satu domba yang sesat, yang menghilangkan diri dari kawanan. Aku menaikkan doa demikian: “Tuhan, sekarang ini aku tengah bergumul dan belum memiliki pekerjaan. Di tengah kekuranganku, aku berharap Engkau menunjukkanku jalan dan jawaban. Tempatkanlah aku di tempat kerja di mana aku bisa belajar dan memberikan yang terbaik bagi-Mu.”

Sejak teguran itu, aku pelan-pelan membangun kembali relasiku yang renggang dengan Tuhan. Doaku memang tidak dijawab dengan segera, tetapi ada kedamaian dan kekuatan yang melingkupi hatiku. Ada iman yang bertumbuh di hatiku, bahwa dalam upayaku mencari pekerjaan, Tuhan senantiasa menolongku. Masa penantian mendapat pekerjaan itu pun menjadi sebuah masa-masa pendisiplinan rohani buatku, yang menolongku untuk memperbaiki kehidupan doaku.

Puji Tuhan, beberapa bulan kemudian, Tuhan menganugerahiku pekerjaan yang hingga kini aku masih menekuninya. Apa yang kudapatkan bukanlah karena aku kecapakanku semata, melainkan karena anugerah dan tuntunan Tuhan.

Mengawali tulisanku dengan sekelumit kisahku mencari pekerjaan, aku menyadari bahwa di balik anugerah pekerjaan yang kuterima, ada hal lain yang sejatinya jauh lebih indah. Allah kita adalah Allah yang setia, yang tak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Ketika manusia ciptaan-Nya jatuh ke dalam dosa, Allah tidak tinggal diam. Allah merencanakan sebuah misi penyelamatan yang agung: Allah mengambil rupa manusia, datang ke dunia, untuk menebus dosa-dosa kita. Karena karya Kristuslah kita dapat menghampiri Allah dan memangil-Nya sebagai Bapa (1 Yohanes 3:1). Kita dapat menaikkan doa secara langsung dan meminta kepada-Nya, sebab Bapa mendengar setiap anak-anak-Nya (Matius 6:6).

Hari ini, ketika kita menikmati kehangatan suasana Natal, maukah kita membuka hati kita untuk Kristus? Jika selama ini kita menyimpan kekecewaan karena ada doa-doa yang belum dijawab, aku mau berdoa untukmu: kiranya kedamaian ilahi besertamu dan kamu tetap bertekun dalam doamu. Sebab sejatinya doa tak hanya bicara soal meminta dan memohon, melainkan tentang relasi antara kita dengan Bapa.