Posts

Ketika kulihat hidupku penuh cela dan noda…

Benar adanya firman Tuhan ini: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” ( Yohanes 15:13).

Kasih-Nya pada kita adalah kasih yang besar dan tulus. Dia yang suci telah merelakan nyawanya untuk menghapuskan dosa-dosa kita.

Yuk, bersyukur selalu atas cinta kasih Yesus dengan tetap hidup di dalam-Nya 🤗

Artspace ini ditulis oleh @nonielina, dibuat oleh @meilimu, dan diterjemahkan juga dalam bahasa Inggris @ymi.today.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Sharing: Mensyukuri Kedatangan Juruselamat

Bagaimana sukacita Natal memperbaharui semangatmu untuk menceritakan kelahiran-Nya kepada orang-orang di sekitarmu?

Bagikan jawaban dan pengalaman sobat muda di kolom komentar. Kiranya jawaban tersebut dapat menjadi berkat bagi sobat muda lainnya.

Mengapa Kita Memerlukan Juruselamat?

Oleh Max Jeganathan
Artikel ini diadaptasi dari artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Do We Even Need A Savior?

Film The Martian—yang dibintangi oleh Matt Damon—menceritakan kisah fiksi tentang seorang astronot yang bernama Mike Watney. Watney bersama timnya bertugas melakukan misi perjalanan ke Planet Mars. Dalam perjalanannya, mereka harus pulang ke bumi lebih awal karena terjadi badai besar. Tapi, kemalangan menimpa Watney. Ia terhempas ke tengah badai dan terdampar di Mars. Timnya yang lain tak dapat menemukan Watney dan mengira ia pasti sudah tewas. Namun, Watney selamat dan dengan persediaan yang terbatas ia harus bertahan hidup sampai ada tim penyelamat yang datang menyelamatkannya.

Singkat cerita, Watney akhirnya bisa mengabari rekan-rekannya di bumi bahwa ia masih selamat. Tim penyelamat pun lalu terbang kembali ke Mars untuk menjemputnya. Setelah kembali ke bumi, adegan terakhir dari film ini menunjukkan Watney berbicara kepada sekelompok astronot. Dia bertutur tentang pengalaman mengerikannya bertahan hidup di Planet Mars, dan di akhir kisahnya dia menekankan bahwa dedikasi itu penting. “Kalau kamu sudah memecahkan cukup banyak masalah, kamu bisa pulang ke rumah!” Watney merasa dia bisa pulang kembali ke bumi karena dia sudah melaksanakan tugasnya sebagai seorang astronot dengan sebaik mungkin.

Pernyataan Watney adalah sebuah cerminan dari suatu keyakinan yang menggerakkan kehidupan masyarakat modern masa kini. Kita berjuang untuk rajin belajar, bekerja keras, mengikuti kata hati kita sendiri, dan hidup menjadi diri kita sendiri. Dorongan untuk bergantung pada diri sendiri adalah sesuatu yang sudah dipelajari oleh manusia selama ribuan tahun. Para sosiolog menyebutnya sebagai proses kemandirian, para psikolog menyebutnya sebagai proses aktualisasi diri, dan Carl Jung, seorang pemikir, menyebutnya sebagai proses menjadi lebih individualis. Gagasan-gagasan ini adalah hal yang sama dengan gagasan lain seperti gagasan tentang kitalah yang bisa menolong diri kita sendiri, kitalah yang bisa membina kehidupan kita sendiri, dan filosofi zaman baru yang kita lihat saat ini. Kita dipanggil untuk melihat ke dalam diri kita dan membangun kehidupan kita berdasarkan standar moral, fisik, emosi, dan kendali kita sendiri.

Panggilan untuk bergantung dan mengandalkan diri kita sendiri telah menjadi suatu dorongan yang besar terhadap kemajuan budaya kita sekarang. Secara teknologi, akademis, intelektual, dan juga finansial kita tentu lebih maju dibandingkan dengan kehidupan yang terjadi beberapa abad silam.

Kita tidak pernah cukup baik

Namun, di balik segala kemajuan zaman tersebut, kita melihat ada hal-hal lain yang malah berjalan sebaliknya. Kita melihat ada kasus bunuh diri, perceraian, kekhawatiran, dan masalah-masalah sosial lainnya yang banyak terjadi di seluruh dunia. Kita menyebut masa kini sebagai era “hak asasi manusia”, namun perbudakan belum sepenuhnya hilang. Teknologi komunikasi yang semakin canggih membuat kita lebih mudah terhubung, tapi tetap saja, banyak orang merasa kesepian. Kita mengatakan bahwa moralitas kita di zaman ini lebih baik daripada sebelumnya, tapi tetap saja banyak kasus pembunuhan yang terjadi.

Di dalam suratnya kepada jemaat di Roma yang ditulis beberapa dekade setelah kebangkitan Yesus, Paulus menuliskan, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23). Berabad-abad sebelum Paulus menuliskan suratnya dengan tinta di atas kertas perkamen, perkataan Pemazmur senada dengan apa yang Paulus tuliskan. Pemazmur menyatakan bahwa dirinya sebagai manusia senantiasa bergumul dengan dosa-dosanya. Pemazmur tidak mampu membersihkan dirinya sendiri dari dosa, ia butuh belas kasihan Allah untuk menyelamatkannya dari dosa (Mazmur 51).

Apa yang pemazmur ungkapkan dalam Mazmur 51 adalah gambaran dari kehidupan kita juga. Sejak di dalam kandungan, kita telah mewarisi dosa. Tidak ada seorang pun yang terlahir ke dunia ini tanpa dosa. Dan, upah dosa ialah maut (Roma 6:23).

Kita merindukan pertolongan

Ada pandangan yang mengatakan bahwa kita hanya perlu melihat ke dalam hati kita untuk mengetahui apa yang sesungguhnya kita butuhkan. Secara dangkal, pandangan ini terkesan menyakinkan. Tapi, sejatinya saat kita hanya melihat diri kita sendiri semakin dalam, kita bukannya menemukan jawaban, malahan kita akan menemukan lebih banyak lagi pertanyaan.

Kita mungkin sudah berusaha meyakinkan diri kita bahwa kita dapat memecahkan segala masalah seorang diri. Tapi, naluri mendasar kita adalah: ketika kita menghadapi masalah, kita akan mencari bantuan dari luar, dari seseorang yang kita anggap lebih mampu daripada kita. Mungkin inilah salah satu konsep yang mendasari mengapa kisah-kisah superhero muncul.

Ketika kita melihat kisah-kisah superhero, kisah-kisah yang diangkat adalah kisah tentang bagaimana mereka, dengan kekuatan supernya menyelamatkan manusia. Ada Iron man yang menyelamatkan bumi dari senjata pemusnah massal; Superman yang menunjukkan belas kasihnya meskipun dia harus mempertaruhkan nyawanya di hadapan musuh, sampai-sampai musuhnya berkata, “Dia benar-benar peduli kepada orang-orang di bumi!”; Wonder Woman yang berjuang tanpa rasa takut untuk melindungi manusia. Superhero-superhero itu menunjukkan kepada kita tindakan-tindakan pengorbanan, keadilan, dan belas kasih yang menyatu dalam suatu tindakan untuk menyelamatkan manusia.

Namun, bagaimana jika hal-hal yang kita kagumi pada superhero-superhero itu—kekuatan, pengorbanan, belas kasih, dan keadilan—menjadi satu di dalam Sosok Juruselamat yang menyelamatkan aku dan kamu? Bagaimana jika kisah penyelamatan itu terjadi juga di dunia nyata?

Di dalam konteks inilah iman Kristen muncul dengan tiga pilar utama, yang tidak tertandingi oleh pikiran manusia:

Kekristenan memiliki pemahaman yang unik dan jujur tentang realita penderitaan di dunia kita (1 Petrus 1:6). Ajaran Kristen tidak menyangkal penderitaan sebagai ilusi, yang tidak artinya, hasil dari karma, atau sesuatu yang dapat dihindari. Kekristenan mengakui bahwa penderitaan adalah realita kehidupan yang tidak dapat dihindari.

Manusia merindukan keadilan dan pengampunan (Mazmur 51) dan;

Sebuah misi penyelamatan yang kedengarannya paling tidak mungkin: Tuhan masuk sendiri ke dalam dunia sebagai Pribadi Yesus Kristus (Kolose 1). Allah, melalui Yesus Kristus menjadi manusia dan mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita dari dosa dan maut.

Yesus tidak hanya memenuhi kebutuhan kita yang paling dalam, kebutuhan untuk diselamatkan. Dia juga memuaskan hasrat kita yang terdalam, yaitu di dalam Dia kita beroleh hidup yang berkelimpahan (Yohanes 10:10). Melalui anugerah-Nya, Yesus menyingkirkan kesalahan dan rasa malu kita. Dia menutupi ketidaksempurnaan kita dengan kesempurnaan-Nya, dan menjadikan kita anggota keluarga Allah, di mana kita diyakinkan akan identitas kekal kita sebagai anak-anak-Nya. Inilah misi penyelamatan terbesar yang pernah dilakukan.

Kembali ke film The Martian yang dibahas di awal tulisan ini, kita melihat ada hal penting yang ditunjukkan dari film ini. Astronot Mike Watney memang pantas menerima pujian karena dia telah berhasil bertahan hidup selama berminggu-minggu di Planet Mars. Tapi, sesungguhnya dia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Semua kecerdikannya tidak dapat menolongnya keluar dari Planet Mars. Dia membutuhkan penyelamatan. Perjalanannya kembali ke bumi hanya terwujud berkat misi penyelamatan yang sengaja dikirim untuk menolongnya.

Mungkin apa yang kita lihat di dalam film itu adalah apa yang kita lihat juga di dalam hati kita: bahwa kebutuhan terbesar kita adalah diselamatkan oleh seorang Juruselamat. Kita beruntung, di dalam Pribadi Kristus, kita diselamatkan. Kristus telah melakukan apa yang tidak dapat diri kita sendiri lakukan. Pertanyaan untukku dan untukmu adalah: Apakah kita menolak-Nya atau menerima-Nya?

Tentang penulis:

Max Jeganathan adalah Direktur Regional dari Ravi Zacharias International Ministries (RZIM) wilayah Asia-Pasifik. Dia lahir di Sri Lanka, namun keluarganya pindah ke Australia sebagai pengungsi ketika dia masih kecil. Max pernah bekerja sebagai pengacara dan penasihat politik. Sebagai seorang pembicara dan apologis dari RZIM, Max menyampaikan materi-materi seputar iman, politik, kebijakan publik, ekonomi, dan moralitas. Sekarang dia tinggal di Singapura bersama istrinya, Fiona, dan anaknya, Zachary.

Baca Juga:

Ayo Renungkan Kembali Alasan Mengapa Kita Merayakan Natal

Aku bersyukur atas pengorbanan Kristus setiap harinya dalam hidupku, tapi apakah aku harus benar-benar meluangkan waktu di suatu hari yang simbolis untuk mensyukurinya lagi?

Natalku yang Berpohon

Oleh Frans Hot Dame Tua, Tangerang

Si pohon cemara beserta ornamen bandul-bandulnya tegak berdiri. Kapas-kapas putih pun memberi kesan salju di sekujur tubuh pohon itu. Tunggu…kapas? Kesan? Ya, itu bukan pohon sungguhan. Itu hanyalah pohon buatan yang menyerupai aslinya. Hadirnya pohon itu menandakan dimulainya sebuah masa yang disebut Natal.

Ya, Natal adalah sebuah masa. Euforianya tidak hanya terjadi satu hari, tapi selama berminggu-minggu dan banyak orang sangat menanti-nantikan masa ini. Bahkan, mungkin bisa juga dikatakan kalau Natal seakan membuat hari-hari lain di dalam setahun itu dianaktirikan karena Natal diperingati dengan meriah, sedangkan hari-hari lainnya biasa saja.

Di usiaku yang dulu sedang beranjak remaja, aku hanya berpikir tentang hal-hal yang membahagiakan hatiku. Dan, hal-hal penuh kebahagiaan tersebut banyak kutemukan saat masa Natal. Kebahagiaan bagiku waktu itu adalah ketika aku bisa lepas dari rutinitas sekolah seperti bangun pagi, fokus belajar di kelas, dan hal-hal menjemukan lainnya.

Pohon cemara yang dipasang lengkap dengan segala perniknya memberiku harapan bahwa sebentar lagi musim liburan akan segera datang. Artinya, aku bisa bangun tidur lebih siang, menonton kartun di televisi, dan tentunya tidak harus pergi sekolah. Sebagai seorang anak berusia 14 tahun, itulah secuplik kesan tentang Natal yang pernah kurasakan: Natal adalah masa yang penuh dengan kebahagiaan.

Tapi, semakin usiaku yang bertambah, semakin banyak pula masa Natal yang kulalui. Aku pun jadi mulai mengerti apa makna dan tujuan hidupku, terutama saat aku duduk di bangku kuliah. Dan, di tahap inilah aku akhirnya mengenal Yesus, nama yang tentunya sangat familiar di telinga kita.

Sesungguhnya, sebelum aku mengenal-Nya di bangku kuliah, nama itu tidaklah asing dalam pendengaran masa kecilku. Tiap minggu aku pasti menyebut nama itu. Nama itu selalu ada di nyanyian yang aku nyanyikan tiap hari Minggu. Tidak heran jika nama itu memang tidak asing bagiku. Tapi, di masa itu, aku belum mengenal betul siapa nama itu.

Namun, ada satu fakta yang sebenarnya kuketahui betul sewaktu aku masih kecil, yaitu bahwa masa Natal ada karena nama itu ada! Masa Natal itu ada untuk memperingati kelahiran-Nya. Hal itulah yang kuketahui waktu kecil. Dan, seiring berjalannya waktu, pemahamanku tentang nama itu pun semakin bertumbuh ketika aku mulai mengenal-Nya lebih jauh lagi.

Inilah yang membuatku merenung dan mengingat kembali tentang apa makna dari masa Natal yang sedang kita jalani hari ini. Ketika aku masih kecil dulu, aku bersukacita di masa Natal karena liburan dan pohon Natal yang indah. Tapi, waktu itu aku sama sekali tidak peduli tentang Yesus yang sesungguhnya menjadi alasan utama di balik hadirnya masa Natal. Kala itu, gemerlap hiasan Natal dan pohonnya, beserta liburan dan banyak hiburan telah menggeser Yesus sebagai fokus utama dalam masa Natal. Euforia Natal ini menutup mataku dan membuatku berpikir bahwa Natal tidak perlu ‘terlalu banyak’ Yesus, cukuplah menyebut nama-Nya dalam puji-pujian saja, pikirku. Aku seolah menyaksikan Natal sebagai sebuah pentas yang penuh dengan gemerlap keindahan “bintang tamu”, tanpa aku menyadari bahwa sebenarnya ada Yesus, sang bintang utama, yang menanti di belakang panggung hingga pentas berakhir.

Sepertinya, tidak hanya aku saja yang pernah merasakan ini. Mungkin juga ada beberapa orang, ataupun bisa jadi pembaca yang terkasih juga pernah merasakan hal yang sama. Kita terbuai oleh keindahan pohon cemara. Kita terlena oleh liburan dan diskon belanja. Bahkan, kita terobsesi untuk mendekorasi gereja ataupun rumah semeriah mungkin supaya orang-orang tahu bahwa kita sedang bersukacita merayakan Natal.

Namun, Natal yang kita rayakan hari ini sesungguhnya amatlah kontras dengan Natal yang pertama kali terjadi. Alkitab tidak mencatat ada gegap gempita dan kemeriahan menyambut kelahiran sang Juruselamat. Alkitab justru menyajikan kisah Maria yang tengah mengandung harus menempuh perjalanan jauh hingga tibalah saatnya untuk bersalin. Tidak ada rumah penginapan bagi Maria untuk bersalin. Akhirnya hanya palungan sederhana lah yang menyambut kelahiran sang Juruselamat. Dan dari tempat makan ternak itulah, sukacita besar dicurahkan bagi seluruh umat manusia (Lukas 2:1-7).

Sejak awal, kelahiran Yesus di dunia memang sepertinya sulit untuk dimengerti oleh logika manusia. Mengapa Juruselamat yang katanya adalah Raja harus lahir dengan cara yang hina? Bukankah Juruselamat itu adalah Pribadi yang perkasa dan sanggup menumpas segala kejahatan di muka bumi? Kok, Juruselamat itu malah hadir dalam wujud bayi mungil yang tidak berdaya?

Kelahiran Yesus seolah-olah menjungkirbalikkan logika manusia. Tajuk kelahiran Juruselamat yang seharusnya menggemparkan dunia, hanya ditunjukkan dengan kelahiran seorang bayi di dalam palungan.

Mungkin, inilah yang membuatku dulu sulit untuk melihat Yesus dalam masa Natal hingga aku pun berusaha membuat Natal yang sesungguhnya dulu terjadi dalam kesederhanaan kini diperingati dalam kemeriahan. Aku memperingati kelahiran Sang Juruselamat itu dengan menghadirkan pohon cemara dan berbagai pernak-perniknya, hingga aku lupa akan siapa yang sesungguhnya sedang aku rayakan.

Di masa Natal ini, aku ingin belajar dari Maria yang teladannya bisa kita ikuti untuk menyongsong masa Natal ini. Ketika para gembala memberitakan keajaiban yang mereka lihat, Maria menyimpan segala perkara itu dalam hatinya dan merenungkannya (Lukas 2:17-19). Dengan rendah hati, Maria menerima kelahiran Yesus Kristus sebagai rencana Allah yang agung. Bukan rencana yang indah dan menyenangkan mata, melainkan rencana yang begitu mulia bagi mereka yang hatinya miskin di hadapan Allah.

Yesus Kristus, Juruselamat yang lahir adalah bukti dari Allah yang amat setia dan tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Kelahiran Yesus merupakan awal dari karya-Nya yang begitu agung untuk menyelamatkan umat manusia melalui kematian dan kebangkitan Yesus kelak. Kelahiran hingga kebangkitan Yesus adalah rentetan peristiwa yang tak boleh dipisahkan satu dengan yang lain.

Dan, pada akhirnya, Natal adalah sebuah masa tentang Yesus. Sebuah masa yang membuktikan kasih Allah kepada manusia. Oleh karena itu, kiranya masa ini pun dapat menjadi pengingat bagi kita untuk berpaling dari pesona gemerlap pohon cemara kepada makna kedatangan Yesus ke dunia yang begitu berharga.

Kar’na kasihNya padaku Yesus datang ke dunia
Ia t’lah memb’ri hidupNya gantiku yang bercela
O, betapa mulia dan ajaib kuasaNya!
Kasih Jurus’lamat dunia menebus manusia.

Kidung Jemaat 178 – Kar’na Kasih-Nya Padaku

Baca Juga:

Catatan Natal di Tanah Rantau

Tahun ini adalah kali ketika aku tidak merayakan Natal bersama keluarga. Kadang, ada rasa rindu dan sepi ketika harus merayakan Natal tanpa kehadiran orang terkasih. Namun, ada dua pengalaman di tanah rantau yang mengajariku untuk memaknai Natal dari perspektif yang berbeda.

Kisah Raja dan Penjual Beras

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Cerita-cerita tentang relasi antara raja dan rakyat biasa nampaknya bukanlah cerita yang terlalu asing di telinga kita. Ada cerita-cerita rakyat yang banyak bertutur tentang ini. Lalu, jika kita membuka Alkitab, di sana pun terdapat beberapa ilustrasi yang menggambarkan relasi antara seorang raja dengan orang-orang biasa.

Menjelang momen Natal kali ini, aku teringat akan sebuah cerita pernah kudengar ketika aku masih tinggal di Yogyakarta dulu. Cerita ini adalah kisah nyata yang pernah terjadi puluhan tahun silam, sebuah cerita sederhana yang menggetarkan sekaligus menggelitik hati. Mari kuceritakan cerita ini untukmu.

Dulu, di kaki gunung Merapi, tepatnya di daerah Kaliurang, terdapat seorang simbok penjual beras yang setiap harinya berjualan di pasar Kranggan, kota Yogyakarta. Suatu pagi, dia berdiri di tepi jalan menanti kendaraan jip yang hendak menuju ke kota. Dari kejauhan dia melihat ada sebuah mobil jip yang sedang bergerak ke selatan,kemudian tangannya melambai-lambai dan mobil itu pun berhenti. Simbok ini memang sudah biasa menumpang kendaraan jip yang datang dari arah utara ke selatan, dan pulangnya pun dia selalu kembali menumpang jip yang bertolak ke arah utara.

Mobil jip itu berhenti tepat di depan simbok. Seperti biasanya, simbok itu meminta sang supir untuk mengangkat beras bawaannya yang entah jumlahnya berapa karung. Supir itu menurut. Semua karung beras dinaikkannya di bagian belakang mobil jip, kemudian mereka meluncur menuju selatan.

Setibanya di pasar yang dituju, supir itu kembali membantu simbok untuk menurunkan semua karung beras yang diangkut di atas jip. Setelah semua karung beras selesai diturunkan, simbok ini memberikan uang sebagai upah atas bantuan supir. Akan tetapi, dengan sopan, supir tersebut menolak pemberian uang dan mengembalikannya kepada simbok. Karena uangnya dikembalikan, simbok malah jadi marah-marah dan mengira bahwa supir ini meminta uang dengan jumlah yang lebih banyak. Simbok membanding-bandingkan supir ini dengan supir lainnya yang biasanya menerima uang pemberian simbok. Tanpa membalas ocehan simbok, supir ini menjalankan jipnya dan meninggalkan pasar.

Setelah jip tersebut hilang dari pandangan mata, seorang polisi yang kebetulan sedang berada di pasar menghampiri simbok itu dan bertanya. “Apakah mbakyu tahu siapa supir tadi?” Masih dalam suasana hati yang kesal, simbok itu menjawab, “Supir ya supir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang supir yang satu ini agak aneh.” Polisi itu menanggapi simbok, “Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Supir tadi adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, raja di Ngayogyakarta ini.” Saat itu juga simbok tadi pingsan dan jatuh ke tanah. Dia amat menyesali tindakannya yang tidak hormat terhadap supir jip yang sesungguhnya adalah rajanya.

Cerita tentang seorang raja yang mengambil rupa sebagai rakyat biasa memang menjadi kisah yang menggugah hati. Rasanya ada sebuah sukacita dan harapan yang kembali hidup. Bagi orang biasa seperti kita, tentu adalah suatu kehormatan dan sukacita yang besar apabila ada “Raja” yang kedudukannya jauh lebih tinggi daripada kita sudi untuk hadir di tengah-tengah kita. Sebagai orang biasa, kita memiliki jarak yang sangat jauh dalam relasi kita dengan sang “Raja”. Kita ada di tempat yang rendah, sedangkan sang “Raja” ada di tempat yang mahatinggi. Namun, hati kita takjub bergetar manakala sang Raja yang dari tempat tinggi tersebut sudi melawat dan hadir secara nyata di tengah-tengah kita yang sejatinya ada di tempat yang rendah.

Inilah yang sejatinya terjadi pada hari Natal. Hari yang kita peringati di 25 Desember nanti, sesungguhnya bukanlah hari yang berbicara tentang gemerlap lampu, diskon belanja, ataupun tentang liburan panjang. Natal adalah hari peringatan yang seharusnya kembali mengingatkan kita akan keberdosaan dan ketidakberdayaan kita hingga Allah datang ke dunia untuk menyelamatkan kita.

“Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Filipi 2:5-7).

“Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Matius 20:28).

Kristus yang adalah Raja, sudi datang ke dunia, hadir secara nyata di tengah-tengah kumpulan manusia berdosa yang tak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Kedatangan Kristus memberikan kita jaminan akan tersedianya tempat untuk kita bersama-sama dengan Bapa di surga kelak.

Baca Juga:

Tuhan Mampu, Tapi Mengapa Dia Tidak Melakukannya?

Sebagai seorang atlet bulutangkis, aku berlatih sekuat tenaga untuk mengikuti kompetisi di Singapore Open. Namun, betapa kecewanya aku ketika menjelang hari pertandingan, aku gagal berangkat. Aku bertanya, “Tuhan, aku tahu Tuhan bisa meloloskan aku, tapi mengapa Tuhan tidak melakukan itu?”

Yesus dan Para Pengungsi Rohingya

Oleh: Wendy W
(Artikel asli dalam bahasa Inggris: Jesus and The Rohingya Refugees)

Jesus-and-the-Rohingya-Refugees

Bayangkan terkatung-katung di lautan lepas selama lebih dari tiga puluh hari tanpa makanan dan air. Tinggal berdesakan di atas kapal bersama ratusan orang lainnya, bertahan hidup dengan minum air seni sendiri. Yang meninggal dilempar keluar kapal. Itulah yang dialami oleh ribuan pengungsi di Teluk Bengal belakangan ini.

Para pengungsi itu adalah orang-orang Rohingya dari Myanmar dan Bangladesh, sebuah suku yang digambarkan oleh PBB sebagai para manusia yang di “ping-pong”.

Pemerintah dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara awalnya telah menolak menerima para imigran ini, mendesak orang-orang Rohingya keluar dari wilayah perairan mereka. Namun, pada bulan Mei kemarin, pemerintah Indonesia dan Malaysia menyatakan siap menyediakan tempat penampungan bagi sekitar 7000-8000 pengungsi, dengan catatan mereka akan dipindahkan atau dipulangkan ke negara asal dalam jangka waktu setahun.

Para pengungsi ini terkatung-katung di laut karena pemerintah di negara-negara Asia Tenggara belum memutuskan negara mana yang harus mengambil tanggung jawab atas suku Rohingya. Pada tanggal 29 Mei 2015, telah diadakan pertemuan di Thailand untuk membahas akar masalah dari krisis kaum imigran ini.

Apa yang dapat kita lakukan?
Untuk menyelesaikan krisis para pengungsi tersebut, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan: menyediakan bantuan darurat untuk mereka yang masih terkatung-katung di lautan, dan membereskan akar masalah mereka sekaligus memutuskan jaringan kejahatan yang mengambil keuntungan dari situasi mereka.

Sebagai orang-orang Kristen, kita dapat berdoa bagi para pemimpin di Asia Tenggara, agar koordinasi yang baik dapat dilakukan, dan mereka dapat menemukan jalan keluar untuk mengatasi masalah ini. Mari kita doakan juga agar dalam anugerah Tuhan, suku ini mendapatkan pertolongan dan akomodasi yang dibutuhkan. Doakan para pengungsi yang masih berada di laut, agar dapat segera diselamatkan oleh tim SAR, dapat menemukan tempat tinggal yang aman, dan suatu hari kelak dapat menemukan keselamatan bagi jiwa mereka di dalam Tuhan Yesus Kristus.

Yesus tahu persis apa yang sedang mereka alami.

Yesus, Sang Pengungsi
Yesus juga pernah menjadi seorang pengungsi pada zaman-Nya, bahkan terus-menerus menghadapi penganiayaan selama hidup di dunia. Sebagai seorang anak kecil, Dia harus ikut orangtua-Nya mengungsi ke Mesir ketika Raja Herodes memerintahkan pembunuhan anak-anak di bawah dua tahun di Betlehem, tempat keluarga-Nya tinggal. Dia juga pernah diludahi, dicambuk, dan disalibkan. Dia pernah dihina, dicela, dan akhirnya dibunuh.

Yesus mengerti bagaimana rasanya menghadapi penindasan, menjadi orang yang tidak diinginkan dan ditolak di mana-mana, serta tidak memiliki “tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Lukas 9:58). Orang-orang Rohingya dapat datang kepada Sang Juruselamat yang dapat merasakan apa yang mereka rasakan, dan yang sanggup menyelamatkan mereka, tubuh mereka dan jiwa mereka.

Sebab itu, mari kita terus mengingat mereka dalam doa, dan menyerahkan mereka kepada Tuhan dan Juruselamat kita.

Berseru-serulah mereka kepada TUHAN
dalam kesesakan mereka,
dan dikeluarkan-Nya mereka dari kecemasan mereka,
dibuat-Nyalah badai itu diam,
sehingga gelombang-gelombangnya tenang.
Mereka bersukacita, sebab semuanya reda,
dan dituntun-Nya mereka ke pelabuhan kesukaan mereka.

Mazmur 107:28-30

 
Siapakah Orang-Orang Rohingya?

Kelompok etnis di Myanmar ini diduga adalah keturunan para pedagang Muslim yang tinggal di Myanmar lebih dari seribu tahun lalu. Banyak di antara mereka terdesak keluar dari tempat tinggalnya karena berbagai ketegangan etnis, sosio-ekonomi, dan politik yang terjadi di negara mereka.

Menurut PBB, lebih dari dari 120.000 orang Rohingya telah meninggalkan negara mereka dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Situasi mereka yang serba sulit membuat mereka rentan menjadi objek perdagangan manusia, oleh oknum-oknum yang mendapat keuntungan dengan menyelundupkan mereka melalui laut ke Thailand, kemudian ke Malaysia.

Pada bulan Mei, ditemukan bekas kamp-kamp pengungsi berikut sekitar seratus jenazah yang terkubur di sepanjang perbatasan antara Thailand dan Malaysia. Aparat meyakini bahwa para pengungsi itu telah ditahan di kamp-kamp tengah hutan oleh sindikat perdagangan manusia untuk diperjualbelikan atau mendapatkan uang tebusan. Beberapa orang Rohingya juga disiksa di dalam sangkar kayu yang dikelilingi kawat berduri. Setelah penemuan yang mengerikan ini, Thailand mulai mengambil sikap yang lebih tegas untuk memutus rute perdagangan manusia yang melewati negaranya. Para pedagang manusia pun meninggalkan perahu-perahu para pengungsi di lautan, membiarkan ribuan pria, wanita, dan anak-anak, terkatung-katung tanpa bantuan atau harapan.

Photo credit: Steve Gumaer / Foter / CC BY-NC

Seperti Seekor Domba

Jumat Agung, 2 April 2010

Baca: Yohanes 15:9-17

Dia . . . seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya. —Yesaya 53:7

Pada tahun 1602, Caravaggio, seorang seniman berkebangsaan Italia, membuat sebuah lukisan yang dikenal dengan judul The Taking of Christ (Penangkapan Kristus). Lukisan ini, sebuah contoh awal dari gaya Barok, sangat mengesankan. Dilukis dengan warna-warna gelap, lukisan ini mampu membuat orang yang melihatnya untuk merenungkan peristiwa penangkapan Yesus di Taman Getsemani. Dua elemen utama dari peristiwa itu, yang tergambar pada lukisan tersebut menarik perhatian pengamat.

Gambaran pertama adalah Yudas yang menyampaikan ciuman maut. Namun, fokus pengamat segera tertuju pada jari-jari Yesus yang saling terlipat. Ini menunjukkan bahwa Yesus tidak memberikan perlawanan terhadap ketidakadilan. Meskipun Dia memiliki kuasa untuk menciptakan alam semesta, Kristus memberikan diri-Nya secara sukarela kepada para penangkap-Nya dan salib yang menanti.

Jauh sebelum peristiwa ini terjadi, Yesus memberitahu para pendengar- Nya bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengambil nyawa-Nya dari-Nya—Dia akan memberikannya menurut kehendak-Nya (Yoh. 10:18). Hati yang rela untuk berserah telah dinubuatkan Yesaya, yang menuliskan, “Dia . . . seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya” (Yes. 53:7).

Pengorbanan Kristus yang diibaratkan seperti domba tersebut merupakan indikator hebat akan kasih-Nya yang penuh kuasa. “Tidak ada kasih yang lebih besar,” kata-Nya, “daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Pikirkanlah itu. Yesus mengasihi kita sedemikian besarnya! —WEC

Karena kasih, Juruselamat mati menggantikanku
Mengapa Dia begitu mengasihiku?
Dengan taat Dia menuju ke salib Kalvari itu
Mengapa Dia begitu mengasihiku? —Harkness

Tangan Yesus yang terpaku menyatakan hati Allah yang penuh kasih.