Posts

Ada Pemeliharaan Allah dalam Perjalanan Iman Kita

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Mengikut Yesus keputusanku
Mengikut Yesus keputusanku
Mengikut Yesus keputusanku

Ku tak ingkar
Ku tak ingkar

Pernahkah kalian mendengar atau menyanyikan lagu di atas? Untuk teman-teman yang ibadah di gerejanya sering menggunakan kidung jemaat atau himne, lagu tersebut mungkin tidak asing didengar. Namun, tahukah kamu bahwa di balik sebuah lagu yang liriknya singkat dan sederhana itu, terdapat sebuah kisah yang mengingatkan kita akan pemeliharaan Allah dalam perjalanan iman kita?

Di abad ke-19, terjadi sebuah kebangunan rohani di Wales yang menggugah banyak misionaris untuk pergi mewartakan Injil. Salah satu daerah yang dituju oleh para misionaris tersebut adalah Assam di timur laut India. Orang-orang di sana kala itu belum ada yang mengenal Tuhan Yesus, dan para misionaris rindu untuk membawa Kabar Baik ke tempat itu. Tapi, upaya tersebut disambut dengan penolakan dari orang-orang di sana.

Namun, di balik penolakan tersebut, ada benih firman Tuhan yang jatuh dan bertumbuh di hati seorang pria. Berdasarkan catatan Dr. P. Job, pria itu bernama Nokseng, seseorang dari suku Garo yang memutuskan untuk menerima Tuhan Yesus dan mengikut-Nya. Tak hanya dirinya seorang, istri dan kedua anaknya pun mengikuti jejaknya.

Berita bahwa ada sebuah keluarga yang menerima iman Kristen membuat kepala desa marah. Dia memanggil semua warga dan menginterogasi mereka. Ketika didapatinya ada sebuah keluarga yang percaya kepada Yesus, kepala desa itu pun memaksa mereka untuk menanggalkan imannya. Ancaman ini tidak main-main. Nokseng diminta untuk menyangkal Yesus saat itu, jika tidak istrinya akan dibunuh.

Digerakkan oleh Roh Kudus, Nokseng menjawab, “Aku telah memutuskan untuk mengikut Yesus. Aku tidak ingkar.”

Jawaban ini membuat amarah kepala desa memuncak. Dia lalu mengambil kedua anak Nokseng dan mengancam akan membunuh mereka jika Nokseng tidak menyangkal imannya. Nokseng pun menjawab, “Sekalipun aku sendiri, aku tetap mengikut-Nya. Aku tidak ingkar.”

Kepala desa itu pun murka dan memerintahkan agar istri dan kedua anaknya dibunuh. Nokseng kini sendirian, dan sekali lagi kepala desa itu memintanya untuk menyangkal imannya atau mati. Di hadapan bayang-bayang maut, Nokseng kembali menjawab, “Salib di depanku, dunia di belakangku. Aku tidak ingkar.”

Kisah ini mungkin seharusnya berhenti di sini, ketika Nokseng dan keluarganya tewas terbunuh karena imannya. Namun, karya Tuhan tidak dibatasi oleh keadaan. Kematian sebuah keluarga sebagai martir itu membuka jalan bagi tersiarnya Kabar Keselamatan bagi penduduk desa itu.

Sang kepala desa tak habis pikir, bagaimana bisa sebuah keluarga berani mati untuk Seseorang yang tidak pernah mereka temui. Secara mengejutkan, dia pun lalu tertarik untuk mengenal Siapa orang yang disebut oleh Nokseng dan keluarganya hingga akhirnya dia dan seluruh penduduk desa bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus.

Kata-kata yang diucapkan oleh Nokseng sebelum dia dan keluarganya dieksekusi kemudian digubah menjadi sebuah himne oleh Sadhu Sundar Singh, seorang misionaris dari India. Liriknya menggunakan bahasa India dan mencantumkan Assam sebagai tempat asal lagu tersebut. Barulah pada tahun 1959, William Jensen Reynolds, seorang editor himne dari Amerika Serikat mengaransemen himne ini dan memasukkannya ke dalam buku kumpulan nyanyian. Versi inilah yang kemudian dikenal luas dan dinyanyikan oleh banyak orang percaya di berbagai belahan dunia.

Kisah di balik lagu ini mengingatkan kita kembali akan bagaimana pemeliharaan Allah memelihara perjalanan iman anak-anak-Nya. Rasul Paulus, dalam perjalanannya menjadi seorang Kristen juga mengalami banyak sekali penderitaan. Di suratnya kepada jemaat di Korintus, dia pun merinci tantangan dan marabahaya yang harus dia hadapi:

“Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali aku mengalami kapal karam, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu” (2 Korintus 11:24-26).

Secara manusia, penderitaan yang berat tersebut rasanya mustahil untuk ditanggung. Naluri manusia mungkin akan membawa Paulus, dan juga Nokseng untuk menyangkali iman mereka dan memilih kenyamanan duniawi. Tetapi, oleh pemeliharaan Allah, mereka mampu mengambil sebuah keputusan yang luar biasa, sebuah keputusan untuk menunjukkan imannya dan mengambil penderitaan yang tidak sebanding dengan kemuliaan yang kelak akan kita terima (Roma 8:18).

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita pun diperhadapkan dengan berbagai pilihan dan juga penderitaan, meskipun mungkin penderitaan itu tidak seberat apa yang dialami oleh Paulus maupun Nokseng. Tetapi, satu kebenaran yang dapat kita pegang adalah, di dalam Kristus, segala perkara dapat kita tanggung, sebab Dialah yang memberikan kekuatan bagi kita (Filipi 4:13).

Menyambut momen Jumat Agung yang akan kita peringati besok, selain menghayati pengorbanan Kristus di kayu salib, maukah kita juga membagikan kepada orang lain kisah tentang kasih dan pengampunan-Nya?

Baca Juga:

Pemilu 2019: Saatnya Lakukan Tanggung Jawab Kita

Setiap orang memiliki dua pilihan: menggunakan hak suara mereka, atau tidak. Keduanya adalah hak masing-masing individu. Tetapi, cobalah jujur: sebenarnya kita ingin bangsa ini dipimpin oleh orang yang kompeten atau tidak?

Memaknai Sengsara Kristus

Ilustrasi oleh: Betsymorla Arifin (@betsymorla)

MINGGU PALEM

“Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!” (Markus 11:9-10).

Warga Yerusalem begitu antusias menyambut Yesus yang masuk ke kota sambil menunggangi keledai. Mereka menyebarkan ranting-ranting hijau bahkan menghamparkan pakaiannya sebagai jalan buat Yesus.

Minggu palem yang kita rayakan hari ini menjadi sebuah pengingat akan minggu sengsara yang akan dilalui Yesus dalam perjalanan-Nya menuju Golgota. Kiranya hari ini kita tak hanya mengingat, melainkan membuka hati kita untuk menyambut Sang Raja yang bersedia menanggung derita agar kita beroleh pengampunan dan penebusan.

KAMIS PUTIH

Di malam sebelum Yesus ditangkap, Ia duduk bersama para murid-Nya untuk memecahkan roti, menuangkan anggur, dan bahkan membasuh kaki murid-murid-Nya (Lukas 22:19-20, Yohanes 13).

Yesus, yang adalah Raja, yang disambut secara luar biasa saat Dia memasuki Yerusalem, kini merendahkan diri-Nya untuk membasuh kaki para murid. Yesus hendak memberi kita teladan bahwa pemimpin yang sejati bukanlah pihak yang dilayani, melainkan yang melayani.

Yesus telah melayani kita terlebih dahulu, siapkah kita untuk melayani-Nya dengan melayani sesama kita?

JUMAT AGUNG

Yesus tiba di Taman Getsemani dan Dia meminta agar murid-murid-Nya berjaga-jaga sementara Dia berdoa. Yesus takut akan penderitaan yang akan Dia lalui, namun Dia memilih taat kepada Bapa (Matius 26:36-46). Para prajurit pun menangkap Yesus dan menggiring-Nya ke pengadilan. Yesus sendirian, murid-murid-Nya tak lagi bersama-Nya. Bahkan, Petrus, murid yang paling berani pun menyangkal-Nya.

Hari ini bukanlah sekadar hari yang biasa berlalu, sebuah sejarah besar yang mengubah kehidupan terjadi. Ketika Yesus mati, Dia telah menuntaskan janji penebusan-Nya. Kematian-Nya memberi jalan pendamaian bagi kita.

Sebagaimana Kristus yang telah mati di atas kayu salib, sudahkah kita juga menyalibkan dosa-dosa dan keinginan daging kita?

SABTU SUNYI

Yesus dibaringkan di dalam kubur yang dijaga oleh prajurit. Murid-murid-Nya berkumpul di tempat yang tersembunyi, mereka didera ketakutan karena Yesus telah mati. Meski begitu, Yesus akan membuktikan bahwa janji-Nya adalah benar, Dia akan bangkit pada hari yang ketiga dan mengalahkan maut (Lukas 24:46).

Dalam kehidupan kita, mungkin ada kalanya kita merasa takut seperti murid-murid. Pun Tuhan terasa seperti diam. Namun, sejatinya Tuhan tidak pernah berdiam diri. Tuhan selalu berkarya bahkan di saat-saat kita seolah tidak merasakan kehadiran-Nya sekalipun.

MINGGU PASKAH

Hari ini, Yesus membuktikan janji-Nya. Yesus bangkit dari kematian dan mengalahkan maut. Haleluya!

Kebangkitan inilah yang menjadi tonggak iman kita. Maut tak lagi berkuasa atas kita, kita telah ditebus-Nya dari dosa, dan kini kita dapat mengisi kehidupan dengan sukacita penuh bahwa Yesus telah memberi kita keselamatan dan hidup yang kekal. Tugas kita adalah bertekun dalam iman hingga waktu kedatangan Yesus yang kedua tiba.

Rabu Abu, Momen untuk Kita Berbalik dari Dosa

Oleh Sukma Sari Dewi Budiarti, Jakarta
Ilustrasi oleh: Betsymorla Arifin (@betsymorla)

Tahun 2019 telah memasuki bulan ketiga dan tidak terasa bulan depan kita akan bersama-sama merayakan Jumat Agung dan Paskah. Namun, sebelum hari besar itu diperingati, hari ini kita mengawalinya dengan Rabu Abu.

Terlepas dari gerejamu melaksanakan atau tidak, artikel ini kutulis bukan untuk memperdebatkannya, melainkan untuk memberikan pengetahuan kepada teman-teman tentang keberagaman tradisi Kristen yang kaya dan perlu kita syukuri.

Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga Katolik. Aku pun mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA di sekolah Katolik. Aku menemukan beberapa tradisi yang berbeda dari teman-temanku yang Protestan, salah satunya adalah hari Rabu Abu yang diperingati sebagai awal dari masa prapaskah. Meski begitu, ada juga beberapa denominasi dari gereja Protestan yang turut memperingati dan melaksanakan ibadah Rabu Abu.

Di dalam liturgi gerejawi, Rabu Abu menandai dimulainya masa prapaskah yang berjarak 40 hari sebelum Paskah. Kita akan diberi torehan abu di dahi kita sebagai bentuk penyesalan atas dosa-dosa yang sudah kita perbuat (Yunus 3:6). Abu yang digunakan tentu bukan abu gosok untuk mencuci piring, tapi berasal dari daun palma dari perayaan Minggu Palma setahun lalu yang kemudian dibakar dan abunya digunakan pada ibadah Rabu Abu.

Sekilas mengenai Rabu Abu

Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari masa Perjanjian Lama di mana abu digunakan sebagai lambang atas perkabungan, ketidakabadian, penyesalan, dan juga pertobatan. Orang yang menyesali dosanya kemudian menaburkan abu di atas kepalanya, atau di seluruh tubuhnya (Ester 4:1,3). Di masa kini, terkhusus di gerejaku, abu tersebut diberikan oleh imam atau prodiakon bagi umat yang berusia 18-59 tahun. Sambil abu ditorehkan, mereka akan berkata, “Bertobatlah dan percaya kepada Injil” atau “Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu”.

Melihat kembali ke perjalanan sejarah Kekristenan, gereja perdana juga menggunakan abu sebagai simbol perkabungan dan memohon pengampunan. Pada masa itu, mereka yang mengakui pertobatan di hadapan umum akan dikenakan abu di kepala mereka. Agak berbeda dengan abad-abad pertama, gereja di abad pertengahan menggunakan abu untuk mereka yang akan menghadapi ajal. Mereka dibaringkan di atas kain kabung dan diperciki abu sambil imam mengatakan, “Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.” Meski begitu, makna abu tetap sama, yaitu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian, dan pertobatan.

Ritual Rabu Abu sendiri ditemukan dalam manuskrip Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad ke-delapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric berkhotbah demikian, “Kita membaca di kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru bahwa orang-orang yang bertobat dari dosanya menaburi diri mereka dengan abu dan membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada masa awal prapaskah. Kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama masa prapaskah.”

Di gerejaku, bagi umat percaya yang mengikuti ibadah Rabu Abu diwajibkan untuk menjalani puasa dan pantang selama 40 hari. Puasa yang dimaksudkan di sini adalah makan satu kali kenyang. Saat umat menjalani puasa dan pantang selama 40 hari, biasanya tiap wilayah di satu gereja akan diberikan satu amplop pada masing-masing keluarga. Amplop yang biasa disebut amplop APP (Aksi Puasa Pembangunan) ni diisi dengan uang yang nantinya digunakan gereja untuk menolong sesama yang membutuhkan. Untukku sendiri, biasanya salah satu pantangan yang kulakukan adalah tidak jajan. Uang jajanku itulah yang nanti kumasukkan ke dalam amplop ini.

Sahabatku, terlepas dari ada tidaknya tradisi Rabu Abu dalam gereja kita, sudah seharusnya kita menghidupi hidup yang senantiasa mawas diri. Kita menyadari bahwa kita adalah ciptaan dari Sang Pencipta, sadar bahwa diri kita adalah manusia berdosa, dan hidup yang kita hidupi saat ini adalah kesempatan yang begitu berharga, karena Tuhan Yesus telah menebus kita dengan harga yang teramat mahal.

Kiranya setiap hari di dalam hidup kita, tidak hanya dalam masa Prapaskah ini, kita senantiasa menyesali dosa-dosa yang telah kita lakukan dan oleh anugerah Kristus kita berjuang untuk menjaga kekudusan, mengasihi sesama, dan juga tidak mementingkan diri sendiri.

Selamat memasuki masa Prapaskah!

Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Diam dan Tenang: Senjata Ampuh yang Mengalahkan Kekhawatiran

Aku berusaha menguatkan diriku untuk tidak khawatir. Tapi, apakah benar aku sungguh berusaha untuk tidak khawatir? Atau, aku cuma mengabaikannya saja?

Karunia Allah bagi Kita


Dari Minggu Palem sampai Minggu Paskah, kita menelusuri jejak perjalanan Yesus yang membawa-Nya ke atas kayu salib. Kita mungkin sudah sering mendengar kisah ini berulang kali, namun kisah ini sesungguhnya adalah kisah yang sangat penting. Ini adalah kisah yang berbicara tentang kasih Allah yang luar biasa bagi umat-Nya dan betapa besar pengorbanan-Nya demi menyelamatkan kita dari dosa-dosa kita. Biarlah kita tidak menganggap ini sebagai kisah yang klise. Lihatlah momen terpenting dalam sejarah ini dengan cara pandang yang baru. Mari kita berfokus pada yang terutama, yaitu Yesus, karunia Allah bagi kita.

MINGGU PALEM: Persiapkan jalan bagi Tuhan

“Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!” (Markus 11:9-10)

Seminggu sebelum Minggu Paskah, Yesus disambut masuk ke dalam kota Yerusalem dengan daun-daun palem dan pakaian yang mereka hamparkan di jalan. Mereka merayakan Yesus sebagai Juruselamat dan Raja. Kiranya kisah ini mengingatkan kita juga untuk membuka hati kita dan bersujud di hadapan Yesus, Juruselamat dan Raja kita.

KAMIS PUTIH: Lakukan ini untuk mengingat akan Aku

Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.” Demikian juga dibuat-Nya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu.” (Lukas 22:19-20)

Pada malam Dia dikhianati, Yesus memecahkan roti, menuangkan anggur, dan membasuh kaki murid-murid-Nya, sebagai tanda bahwa tubuh-Nya diremukkan, darah-Nya dicurahkan, dan kasih pengorbanan-Nya dinyatakan bagi kita. Kini, kita mengambil bagian dalam perjamuan kudus, menyatakan kematian-Nya dan mengingat pengorbanan-Nya yang amat mahal bagi kita di kayu salib. Apakah hati kita dipenuhi dengan ucapan syukur dan pujian kepada Pribadi yang memberi hidup-Nya agar kita dapat hidup?

JUMAT AGUNG: Melalui Kristus, kita mempunyai akses kepada Allah

Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. (Roma 5:2)

Segera setelah Yesus menghembuskan napas terakhirnya dan menyerahkan roh-Nya di kayu salib, tirai bait suci robek menjadi dua, dari atas ke bawah. Kematian-Nya membayar lunas segala utang dosa kita, dan memberi kita akses langsung untuk datang kepada Allah. Hanya melalui Yesus, ada jalan bagi kita untuk bertemu Bapa, untuk dipersatukan kembali dengan-Nya. Oleh karena itu, marilah kita mengingatnya setiap kali kita mengaku dosa, memuji Tuhan, dan memohonkan doa-doa kita.

SABTU SUNYI: Mahkota Duri

Yesus rela menanggung rasa sakit, malu, dan ejekan bagi kita. Dia mengenakan mahkota duri yang tidak pantas diterima-Nya. Untuk semua yang telah Dia lakukan, maukah kamu bertekun dalam menghadapi penganiayaan bagi-Nya dan berdiri tanpa malu untuk Injil?

SABTU SUNYI: Paku

Dosa kitalah yang membuat-Nya terpaku di kayu salib. Namun, lubang di tangan dan kakinya membuat kita menjadi utuh. Dosa apa yang ingin kamu pakukan di kayu salib sehingga kamu dapat dipulihkan untuk menjalani kehidupan yang berkelimpahan seperti yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang taat kepada-Nya?

SABTU SUNYI: Tulisan

“Raja Orang Yahudi”: Itu adalah tanda yang dibuat untuk mengejek-Nya. Meski ironis, tetapi sesungguhnya itu adalah kebenaran yang tepat. Hari ini, Yesus bukan hanya raja orang Yahudi, tetapi juga Raja atas orang-orang bukan Yahudi, yaitu kita semua. Sudahkah kamu memberi Dia tempat yang layak di hatimu sebagai Raja?

SABTU SUNYI: Salib

Dulunya salib adalah metode untuk menghukum para penjahat, tetapi sekarang menjadi simbol penebusan dan anugerah. Karena Kristus, arti salib telah berubah selamanya. Dengan mengetahui bahwa penebusan melalui pengorbanan Putra-Nya itu telah Allah rencanakan sejak kejatuhan manusia, bagaimana tidak kita menanggapinya dalam penyembahan dan pemujaan kepada-Nya?

MINGGU PASKAH: Tanpa kebangkitan-Nya, iman kita adalah percuma.

Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan (1 Petrus 1:3).

Ini bukan lelucon April Mop bahwa Yesus hidup hari ini! Kekalahan-Nya dari kematian membuktikan siapa diri-Nya yang Dia klaim: Tuhan. Kebangkitan-Nya membuktikan kuasa Allah yang luar biasa. Kemenangan-Nya membuktikan bahwa Dia menyatakan apa yang dijanjikan-Nya. Dan Dia telah berjanji untuk datang ke dunia ini untuk kedua kalinya. Janji harapan yang mulia ini layak menjadi dasar hidup kita. Mari kita melayani Dia dalam kasih dan ketaatan sambil menunggu dengan penuh pengharapan akan kedatangan-Nya kembali.

Ingatlah Yesus yang Pernah Menderita bagi Kita

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Jesus Didn’t Just Come to Die

Itu adalah minggu menjelang Paskah. Namun dia begitu murung dan terlihat lelah. Meskipun kehidupannya naik-turun, aku tidak pernah melihatnya begitu murung.

Setelah kutanyakan, dia menceritakan bahwa tidak ada alasan khusus yang membuatnya murung; dia hanya merasa kehilangan sukacita. Hal-hal kecil menjadi begitu mengganggunya, dan hal-hal yang baik tidak lagi menggembirakannya. Dan meskipun dia mencoba membaca Alkitab, dia tidak dapat mendengar Allah berbicara kepadanya.

“Kupikir aku kelelahan,” rekan kerjaku itu akhirnya menyimpulkan. Aku mencoba memberinya saran dan mendoakannya. Selain itu, rasanya tidak banyak hal lain yang dapat kulakukan untuk membantunya.

Di hari yang sama, aku mendapat kabar lainnya. Seorang temanku harus mendadak pulang dari perjalanannya ke luar negeri karena ayah mertuanya tiba-tiba meninggal.

Beberapa hari berikutnya, aku mengetahui nenek temanku yang lain masuk ke rumah sakit karena kanker tenggorokannya menjadi semakin parah; dan keadaannya terdengar buruk.

Meskipun itu adalah minggu menjelang Jumat Agung, itu tidak terasa berbeda dari minggu-minggu lainnya. Aku pun mengingat apa yang terjadi di minggu menjelang Jumat Agung lima tahun yang lalu, ketika aku menghadapi masa tersulit dalam hidupku. Saat itu, ketika aku sedang merasakan tekanan yang besar di pekerjaanku, secara tiba-tiba ayahku terserang stroke yang parah.

Tidak peduli apakah itu minggu menjelang Paskah atau bukan, itu sepertinya tak ada bedanya; ujian dan kesulitan hidup terus bergulir.

Tapi siapa yang bilang itu akan berbeda? Aku tiba-tiba menanyakan diriku sendiri.

Tidak peduli apakah itu minggu menjelang Paskah atau bukan, kita masih hidup di dunia yang penuh dengan dosa, masalah, dan penderitaan. Setiap hari, banyak orang menangis, bergumul, menderita, dan meninggal—sepertinya tidak ada habisnya.

Namun apa yang menjadikannya berbeda bagaikan bumi dan langit adalah ini: Di dunia yang sama, yang penuh dengan dosa inilah Yesus datang 2.000 tahun yang lalu untuk mati di kayu salib, untuk menggantikan kita, untuk menebus dosa-dosa kita.

Kadang, karena kita terlalu terpaku dengan kematian Yesus, kita mungkin melewatkan fakta bahwa Yesus bukan hanya datang untuk mati—Dia datang untuk menderita. Selama masa hidupnya di bumi, Yesus tidak lepas dari ujian dan kesulitan yang kita alami hari ini. Penebus, Juruselamat, dan Tuhan kita, juga adalah “seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan” (Yesaya 53:3).

Dan itulah yang membuat segala penderitaan yang kita alami di hidup ini jadi terasa berbeda.

Apapun situasi yang kita alami saat ini, kita dapat yakin bahwa ada seseorang yang benar-benar tahu apa yang sedang kita hadapi. Karena Dia sendiri pernah melewati semua itu.

Jadi, kalau kamu mendapatkan diagnosa penyakit tertentu, ingatlah Yesus, yang hidup setiap hari dalam hidup-Nya dengan menyadari bahwa Dia akan mati dengan cara yang begitu kejam (Matius 16:21).

Jika kamu bergumul untuk menerima apa yang menjadi kehendak Tuhan (mungkin keadaan di rumah atau kantormu tidak berjalan seperti yang kamu inginkan), ingatlah Yesus yang memohon kepada Allah Bapa di Taman Getsemani (Lukas 22:42).

Jika teman-temanmu telah mengkhianati atau meninggalkanmu, ingatlah Yesus, yang juga dikhianati oleh Yudas, murid-Nya (Lukas 22:3-6).

Jika kamu mendapatkan tuduhan yang salah, ingatlah Yesus, yang juga mendapatkan tuduhan yang salah di hadapan Pilatus dan Herodes (Lukas 23:2, 10).

Jika kamu telah kehilangan semua yang kamu miliki, ingatlah Yesus, yang meninggalkan takhta-Nya di surga untuk datang ke dunia yang telah jatuh dalam dosa ini (Filipi 2:6-8).

Jika kamu tidak mendapatkan apa yang menjadi hakmu, ingatlah Yesus, yang tubuh-Nya didera bagi kita (Filipi 2:6-8).

Jika kamu sedang menghadapi sakit secara fisik, ingatlah Yesus yang tergantung di kayu salib (Yesaya 53:4-5).

Jika kamu merasa diabaikan oleh Allah, ingatlah Yesus, yang ditinggalkan Allah di atas kayu salib (Matius 27:46).

Ingatlah Yesus.

Ingatlah bahwa Dia telah mati untuk memberikan kita hidup.

Ingatlah juga bahwa Dia pernah hidup di dunia ini untuk menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya kita hidup.

Di hari Jumat Agung ini, ketika kita mengingat kematian Yesus di atas kayu salib, marilah kita juga mengarahkan hati kita kepada-Nya dan mendekat kepada-Nya dengan keyakinan bahwa Dia mengerti apa yang kita rasakan dan akan memberikan kita belas kasihan dan anugerah untuk menghadapi ujian-ujian yang kita alami (Ibrani 4:14-16).

Baca Juga:

2 Hal yang Menolongku untuk Mempercayai Allah Sepenuhnya

“Percayalah kepada Tuhan.” Kamu mungkin sudah sering mendengar kalimat ini. Tapi, meski mudah diucapkan, percaya sepenuhnya pada Tuhan sering terasa sulit dilakukan. Bukankah begitu?

Ketika Jumat Agung Menjadi Hari yang Menyedihkan Hatiku

Ketika-Jumat-Agung-Menjadi-Hari-yang-Menyedihkan-Hatiku

Oleh Laura M., Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When Good Friday Doesn’t Seem So Good

Beberapa tahun yang lalu aku pernah mengalami sebuah peristiwa yang menyedihkan di hari Jumat Agung. Salah seorang teman terdekatku sejak di bangku sekolah dulu, Erica, meninggal dunia secara tiba-tiba karena kecelakaan mobil. Sejak duduk di bangku SD hingga SMA kami sering berada dalam satu grup. Kami mengikuti retret musim panas bersama-sama, kami ada dalam satu kelompok dalam pelajaran IPA, bahkan kami juga mengikuti perlombaan lompat tali yang diselenggarakan di wilayah kami.

Setelah lulus sekolah dan melanjutkan ke perguruan tinggi, kami tidak lagi berkomunikasi sesering dulu, tetapi kami masih terus menjaga hubungan baik. Rencananya, setelah liburan Paskah berakhir, aku akan menghubungi Erica sebelum dia berangkat ke luar negeri untuk pekerjaan misi.

Tapi, di malam hari Jumat Agung, aku mendapat kabar bahwa Erica telah meninggal dalam kecelakaan mobil saat ia berkendara pulang menuju rumahnya. Tidak pernah terbayang olehku Erica mengalami peristiwa itu. Aku pun menyadari parahnya pengaruh yang dibawa oleh sebuah peristiwa kematian.

Ya, kematian itu seharusnya tidak ada. Sejatinya, kita tidak diciptakan untuk mengalami kematian. Tapi, karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, kematian itu adalah upah dari dosa dan menjadi bagian dari hidup kita. Tiba-tiba, aku dapat membayangkan sedikit dari perasaan bingung, marah, dan sedih yang dialami oleh murid-murid Yesus ketika mengetahui bahwa Dia telah mati.

Tapi kemudian, aku melihat ada harapan. Hari Jumat Agung yang sebelumnya kuabaikan itu mengingatkanku akan dua hal. Pertama, penderitaan dan pembunuhan yang kejam kepada Seseorang yang mengakui diri-Nya sebagai Juruselamat dunia; kedua, hal “baik” yang dihasilkan dari kematian-Nya: memberi kita jalan keluar untuk bebas dari kematian! Kebangkitan Yesus di hari ketiga yang kita peringati sebagai Minggu Paskah memberi kita pengharapan kekal dan solusi dari kematian.

Puji syukur atas apa yang telah terjadi di Paskah yang pertama, aku dapat menerima kenyataan bahwa Erica tentu saat ini sedang berbahagia di surga, sekalipun terkadang aku masih merasa sedih karena kematiannya.

Perkataan Yesus dalam Yohanes 16:33 selama ini telah menjadi penghiburan yang sangat besar buatku. “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” Perkataan yang Yesus katakan sebelum Dia disalibkan itu memberi kita sebuah makna sejati dari Jumat Agung dan Minggu Paskah.

Hari ini, memang kita masih mengalami dampak dari dosa-dosa itu. Kepedihan yang dirasakan oleh murid-murid Yesus itu masih ada dalam kehidupan ini. Tapi, tatkala kita merasa hidup kita sedang berada di titik nadir, hari Paskah memberi kita sebuah kebenaran yang bisa kita pegang. Yesus telah mengalahkan kematian dengan cara memberi diri-Nya di kayu salib sebagai ganti kita, dan Dia juga menyatakan kebenaran-Nya pada kita dengan berkata, “Sudah selesai” (Yohanes 19:30). Ya, segala dosa kita telah lunas ditebus-Nya.

Ketika aku mengetahui bahwa Erica telah sepenuhnya menerima Yesus sebagai Juruselamatnya, aku percaya akan bertemu kembali dengannya di surga kelak. Ya, mungkin nanti kami akan berjalan-jalan bersama, atau juga mengikuti lomba lompat tali hingga kami mendapatkan piagam.

Baca Juga:

3 Alasan Mengapa Orang Kristen Harus Mendengar Injil Kembali

Apakah Injil hanya untuk orang-orang yang belum Kristen? Jawaban sederhanaku adalah: Tidak. Jika kita sebagai orang Kristen berpikir kalau kita baik-baik saja, itu berarti kita semakin butuh untuk mendengar Injil. Inilah tiga alasannya.

3 Alasan Mengapa Orang Kristen Harus Mendengar Injil Kembali

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Reasons Why Christian Need To Be Hearing The Gospel—Again

“Selamat pagi! Silakan ambil traktat Injil ini cuma-cuma,” ucap seorang pria paruh baya sambil menyodorkan sebuah traktat yang berjudul “Seandainya” kepada seorang wanita yang berjalan di depanku.

Wanita itu menolak dengan menggelengkan kepalanya. Kemudian, pria itu mendekatiku dan menawariku sebuah traktat yang sama. Aku menjawabnya dengan senyuman tipis, menggelengkan kepala, dan mempercepat langkahku. “Traktat itu kan untuk orang-orang yang bukan Kristen. Aku sudah jadi orang Kristen, aku tahu apa yang ada di dalam traktat itu dan aku tidak membutuhkannya,” gumamku kepada diri sendiri.

Tapi, tiba-tiba ada pertanyaan yang muncul dalam diriku. “Apa salahnya menerima traktat dan membaca kembali Injil? Kapan terakhir kali aku mendengar Injil itu? Apa aku sudah benar-benar mengerti Injil itu?” Aku menjadi malu dengan diriku sendiri dan berjanji akan mengambil traktat itu jika aku bertemu dengan orang yang menawarkannya lagi.

Beberapa minggu telah berlalu sejak kejadian itu, dan menjelang hari Jumat Agung, ada sebuah pertanyaan yang kurenungkan: Apakah Injil itu hanya untuk orang-orang yang belum Kristen?

Jawaban sederhanaku adalah: Tidak. Pada kenyataannya, jika kita sebagai orang Kristen berpikir kalau kita baik-baik saja, itu berarti kita semakin butuh untuk mendengar Injil. Inilah tiga alasannya.

1. Dunia seringkali membuat kita bingung.

Menerima Yesus masuk ke dalam hidup kita dan menyatakan bahwa Dia adalah Tuhan tidak serta merta membuat masalah kehidupan kita akan hilang. Perjuangan kita melawan dosa, rasa frustrasi karena atasan kerja atau teman yang jahat, dan kekecewaan kepada anggota keluarga kita akan tetap ada. Bencana alam dan sakit penyakit juga masih tetap akan terjadi.

Selain tantangan-tantangan dari luar, kita juga seringali harus menghadapi suara-suara yang berusaha menjatuhkan kita. “Kamu gagal,” suara itu berkata ketika aku masih saja terjatuh dalam dosa. “Jangan mengubah dirimu, kamu sudah sempurna,” kata dunia kepada kita. Ketika rasa kecanduan dan perasaan bersalah memburu kita, kita mendengar suara-suara itu lagi, “Kamu itu tidak cukup baik.” Suara-suara itu akan terus-menerus muncul untuk membuat kita menyerah.

Dunia ini sedang mengalami perubahan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, kita perlu terus-menerus mendengar Injil yang tidak pernah berubah. Kita perlu untuk selalu diingatkan kalau Tuhan menilai kita bukan karena penampilan kita, kemampuan kita, atau latar belakang keluarga kita, tapi semata-mata karena Dia menciptakan kita (Mazmur 139:13-16). Kita perlu untuk selalu diingatkan kalau Tuhan itu mengasihi kita tanpa mempedulikan seberapa buruknya kita, dan Dia menunjukkan kasih itu dengan Yesus yang mati untuk kita (Roma 5:8). Kita butuh untuk selalu diingatkan bahwa segala sesuatu yang kita hadapi saat ini hanya bersifat sementara, dan ada harapan mulia yang menanti kita di depan (Roma 8:18).

Mengerti Injil dengan baik memberi kita dasar hidup yang teguh.

2. Kita mudah untuk lupa dan hilang fokus.

Sayang sekali, lupa adalah sifat manusia. Memang, ada kalanya kita diliputi perasaan yang begitu berapi-api untuk berlutut dan menyesali setiap perbuatan kita, atau juga mengucap syukur atas kasih dan anugerah Tuhan. Perasaan berapi-api itu juga membuat kita seolah ingin memperbaharui kembali hidup kita, berjanji untuk berhenti menyia-nyiakan hidup dan mempersembahkan waktu, tenaga, dan uang kepada Tuhan. Kemudian, tanpa berpikir panjang kita mengartikan perasaan-perasaan itu sebagai panggilan untuk melayani Tuhan.

Tapi, ketika semangat kita sedang berapi-api, Iblis datang dan bekerja keras mencari celah untuk menjauhkan kita dari Tuhan. Ada dua jurus yang Iblis gunakan, yaitu: membuat kita putus asa dan mengalihkan perhatian kita. Banyak hal mungkin tidak terjadi sesuai rencana, masalah sehari-hari mungkin tetap ada, atau orang-orang yang kita hargai malah mengecewakan kita, dan kita menjadi tawar hati. Atau, keluarga dan pekerjaan terlalu menuntut kita hingga kita kehilangan fokus.

Kenyatannya, waktu-waktu seperti itu akan datang. Yesus sendiri mengatakan kalau pengikut-Nya akan diserang rupa-rupa pencobaan. Bagaimana kita dapat bertahan dan tetap hidup bagi Yesus? Jawabannya adalah dengan membiasakan diri dengan Injil. Bacalah Injil itu lagi dan lagi supaya kita dapat melekat dengan kebenaran Tuhan ketika waktu-waktu sulit datang. Ketika kita mengerti kemuliaan yang Yesus janjikan kelak, kita menemukan kekuatan untuk tekun menghadapi tantangan yang ada saat ini.

Menjadi terbiasa dengan Injil bukanlah hal yang buruk. Kenyataannya, semakin kita mengenal dan akrab dengan Injil, semakin kita dikuatkan dan mampu untuk menghadapi godaan iblis dan tantangan dunia (Efesus 6:10-17).
Mengenal Injil dengan baik akan menjaga kita tetap berfokus kepada Allah.

3. Kita masih bisa jatuh ke dalam dosa.

Sekalipun Adam dan Hawa menikmati relasi dengan Tuhan, mereka masih dicobai oleh hal-hal duniawi (Kejadian 3:6). Bukankah itu cukup jelas kalau tidak ada satupun manusia yang kebal terhadap pencobaan?

Sebagai manusia, kita memiliki hawa nafsu dan jika kita tidak menjaga panca indra kita—rasa, sentuhan, bau, pendengaran, dan pandangan—kita akan jatuh terpikat ke dalam dosa. Aku tahu kalau diriku mudah jatuh kepada dosa iri hati dan memberhalakan sesuatu. Aku tahu kalau diriku mudah sekali merasa tidak puas dan iri terhadap mereka yang tampak lebih baik, terlihat lebih mampu dan sukses. Sekalipun aku tahu benar kalau hal-hal yang aku inginkan itu tidaklah terlalu penting, aku malah mengambil waktu dan berusaha untuk mengejar itu semua daripada mengembangkan hubunganku dengan Tuhan. Ironisnya, semua pengejaran itu malah membuatku semakin kosong dan kekurangan.

Tapi, bisa juga kita melakukan hal yang ekstrem lainnya. Bisa saja kita membaca Alkitab setiap hari, berdoa setiap hari, dan melayani dengan berapi-api—dan berpikir kalau kita baik-baik saja karena kita tidak punya dosa “besar” dalam hidup kita. Bahkan kita mungkin juga berpikir kalau kebaikan-kebaikan yang kita buat itulah yang menyelamatkan kita. Mungkin juga kita berpikir kalau kita lebih baik dari orang lain, kemudian kita menghakimi mereka karena kita tidak menganggap mereka setia seperti kita. Mungkin inilah alasan mengapa Yesus menggunakan banyak waktu di hidupnya menegur orang-orang Farisi yang merasa diri mereka benar.

Tidak ada orang Kristen yang sempurna. Hanya ketika kita membenamkan diri kita ke dalam Injil, kita akan ingat kalau semuanya bukan tentang apa yang dapat kita kerjakan, tapi apa yang Tuhan sudah lakukan dalam hidup kita. Kolose 2:6-7 mengingatkan kita kalau menjadi Kristen itu bukan hanya sekadar menerima Yesus ke dalam hidup kita, tapi juga tentang menumbuhkan relasi bersama-Nya.

Mengenal Injil dengan baik menjaga kita untuk berlaku kudus, karena kita mau menyenangkan Tuhan Yesus.

Jadi, bagaimana jika kita memberi diri untuk mendengarkan berita Injil secara rutin? Khotbahkan berita Injil itu kepada diri kita sendiri! Paul Tripp, seorang pendeta dari Amerika pernah berkata, “Tidak ada seorangpun yang lebih berpengaruh dalam hidupmu selain dirimu sendiri. Karena, tidak ada seorangpun yang berbicara kepadamu melebihi yang kamu lakukan.”

Di hari-hari menjelang Paskah ini, akankah kamu mewartakan Kabar Baik ini lagi kepada dirimu?

Baca Juga:

Ketika Tuhan Menolak Proposal Hidupku

Selama bertahun-tahun aku memohon supaya Tuhan mengabulkan semua impianku, seolah-olah aku sedang mengajukan sebuah proposal kepada Tuhan. Namun, ternyata tidak satupun proposal hidupku itu yang berjalan sesuai rencanaku. Aku sempat mengalami kecewa, tapi kemudian Tuhan mengajarkanku satu hal berharga.

His Life for Mine

Demikianlah kita ketahui kasih Kristus,
yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita …

1 Yohanes 3:16

Apa artinya itu bagimu?

Yang tergantung di salib itu

Oleh: Melody Tjan

korban-agung

Tangisi dirimu sendiri
Sebab bukan yang tergantung di salib itu
yang butuh dikasihani.

Dia Sang Mulia yang menanggung
apa yang takkan pernah sanggup kau tanggung
Dia Sang Perkasa yang menyerahkan diri menggantikanmu

anak-anak manusia

Tidakkah kau dengar gelegar murka dari surga
menyengat pekat dosa yang terkumpul di Golgota?

“Mengapa engkau melawan Penciptamu?

Engkau sombong dan selalu merasa benar,
memuja diri sendiri dan ambisi-ambisimu yang liar

Engkau serakah dan malas, tukang fitnah dan tukang gosip,
pembohong dan licik, tidak tahu berterima kasih

Engkau pezinah, penikmat pornografi,
pikiranmu jorok dan penuh hawa nafsu yang memalukan

Engkau berbuat mesum dengan sesama jenis,
berdandan untuk membuat orang birahi

Engkau menggantikan kebenaran-Ku dengan dusta,
meninggikan makhluk ciptaan dan melupakan Pencipta

Engkau merasa tidak perlu mengakui-Ku
apalagi menghormati Sabda-Ku

Engkau penuh dengan rupa-rupa kelaliman dan kebusukan,
mencintai uang, gengsi, dan jabatan

Engkau membunuh saudaramu
dengan peluru kebencian dari hatimu

Engkau mengaborsi bayi-bayi
demi kenyamananmu sendiri

Engkau menindas orang lemah
mengabaikan mereka yang tak berdaya

Engkau mencuri hak orang lain
memanfaatkan sesama bagi kepentingan sendiri

Dari luar engkau membuat dirimu kelihatan bersih dan rohani
tetapi di dalam, engkau penuh sampah yang menjijikkan

Engkau munafik

Engkau suam-suam kuku dan mudah tergoda oleh dunia,
mencari posisi aman di bawah selimut kejahatan

Engkau menginginkan milik orang,
menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya

Engkau iri hati, tetapi tidak mencapai tujuanmu,
lalu engkau bertengkar dan berkelahi

Hatimu penuh kemarahan dan kepahitan,
tidak sudi mengampuni

Engkau menyalahkan orang lain,
dan terlalu angkuh untuk mengakui kesalahanmu

Engkau terlalu cepat bicara dan lambat mendengarkan,
lidahmu penuh racun yang mematikan

Perkataanmu jauh dari kasih karunia,
sarat omelan, kritik, dan penghakiman

Mulutmu seperti senjata beramunisi penuh
Isinya celaan serta sejuta kata yang sia-sia

Engkau pemimpin yang memutarbalikkan keadilan

Engkau guru yang justru menyesatkan orang

Engkau pekerja yang tidak bisa dipercaya

Engkau pelajar yang tidak mau diajar

Engkau tidak punya pengendalian diri

Engkau pengkhianat yang memecah belah komunitas

Engkau pemabuk dan pencuri

Engkau bermuka dua dan suka berbuat curang

Engkau tidak memercayai-Ku

Engkau menghujat nama-Ku

Engkau mempermainkan orangtua

Engkau istri yang tidak tunduk pada suami

Engkau suami yang malas dan tidak bertanggungjawab

Engkau mengajukan gugatan cerai,
merusak gambaran kasih Kristus dengan umat-Nya

Engkau muncikari dan pengedar obat terlarang

Engkau mempraktikkan sihir, ramal, dan memuja setan

Engkau menyebut diri sebagai umat-Ku, sebagai hamba-Ku,
namun hatimu sesungguhnya sangat jauh dari-Ku

Daftar dosamu masih panjang
dan Aku membenci semua kejahatan di dalam dirimu

Aku muak dan jijik dengan ibadahmu yang semu,
Aku tak bisa dipermainkan dengan besaran amal dan korban persembahanmu

Reguklah cawan murka-Ku ini … ”

Dan Yesus pun mereguk
apa yang takkan sanggup kita reguk
Hingga tetes terakhir

Oh, tangisi dirimu sendiri
Sebab bukan yang tergantung di salib itu
yang butuh dikasihani

Dia Sang Mulia yang menanggung
apa yang takkan pernah sanggup kau tanggung
Korban sempurna yang hanya bisa disediakan Penguasa Surga
Dia Sang Perkasa yang menyerahkan diri menggantikanmu

anak-anak manusia

Tidakkah kau lihat uluran kasih dari surga
membasuh tuntas dosa yang terkumpul di Golgota?

Agar matamu yang buta kembali terbuka
Agar hatimu yang sudah mati rasa kembali berdenyut
Dan engkau dapat kembali pada fitrahmu,
hidup mencerminkan mulianya Sang Raja

Tidakkah hari ini engkau ingin bersujud
dalam hormat dan syukur kepada-Nya?